- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Zainut Tauhid Sa'adi: Kalau Dilihat Dari Fatwa MUI, Ibu Meiliana Protes Sambil Nunjuk
TS
the.commandos
Zainut Tauhid Sa'adi: Kalau Dilihat Dari Fatwa MUI, Ibu Meiliana Protes Sambil Nunjuk
Warga Tanjung Balai, Meiliana divonis 18 bulan karena kasus penistaan agama. Meiliana dianggap menista agama karena mengeluhkan volume suara azan di masjid sekitar rumahnya pada tahun 2016. Meiliana pun berencana mengajukan banding terhadap perkaranya
Banyak kalangan yang protes terhadap putusan perkara Meiliana, baik tokoh masyarakat maupun politikus yang menyatakan ketidaksetujuannya dalam perkara tersebut. Bahkan dunia maya ramai dengan aksi penggalangan dukungan terhadap Meiliana.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun ikut angkat bicara terkait masalah ini. Perlu diketahui, MUI Sumatera Utara adalah pihak yang mengeluarkan fatwa penistaan agama dalam kasus ini. Berikut penuturan Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Sa'adi kepada Rakyat Merdeka.
Bagaimana tanggapan MUI terkait kasus ini?
Pertama MUI meminta kepada semua pihak untuk menghormati putusan Pengadilan Negeri Medan, yang memvonis Meiliana penjara selama 18 bulan, karena tuduhan melakukan penistaan agama. Pertimbangan yang disampaikan hakim, adalah sepenuhnya hak prerogatifnya, yang tidak bisa diintervensi karena hakim memiliki kemerdekaan di dalam memutus sebuah perkara. Kedua, MUI menyesalkan banyak pihak yang berkomentar, tanpa mengetahui duduk perkara yang sebenarnya.
Sehingga pernyataannya bias, dan menimbulkan kegaduhan dan pertentangan di tengah-tengah masyarakat. Seakan-akan masalahnya hanya sebatas pada keluhan ibu Meiliana terkait dengan volume suara azan yang dianggap terlalu keras.
Memang masalah sesungguhnya itu seperti apa?
Kalau dilihat dari fatwanya yang dikekuarkan MUI sana itu, dia bertindak sarkastik ketika disambangi oleh pengurus masjidnya untuk meng-clear-kan persoalan. Jadi dia protes itu sambil nunjuk-nunjuk ke pengurus masjid. Dia bilang, 'lu ya, lu ya (maksudnya kamu, sambil telunjuk tangannya menunjuk muka Pak Haris) kita sudah sama-sama dewasa. Ini negara hukum, itu masjid bikin telinga gua pekak, sakit kuping saya. Hari-hari ribut, pagi ribut, siang ribut, malam ribut, bikin gua tidak tenang'. Begitu omonganya kalau di surat fatwa yang kami pegang.
Setelah ditelaah dan menerima pandangan dari para ulama dan akhi, ucapan yang disampaikan oleh Bu Meiliana atas suara azan tersebut, kemudian dinilai sebagai penodaan dan penistaan terhadap syariat Agama Islam. Kasus seperti itu sebetulnya pernah terjadi juga terhadap Ibu Rusgiani. Dia dipenjara 14 bulan, karena menghina agama Hindu. Ibu itu menyebut canang atau tempat menaruh sesaji dalam upacara keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis.
Menurut Dewan Masjid Indonesia mengumandangkan azan itu kan tidak boleh terlalu keras agar tidak mengganggu warga di sekitar. Kalau azan di sana apakah menaati hal itu?
Soal itu saya tidak tahu. Tapi jika masalahnya hanya sebatas keluhan volume suara azan terlalu keras, saya yakin tidak sampai masuk wilayah penodaan agama. Tetapi sangat berbeda jika keluhannya itu dengan menggunakan kalimat dan kata-kata yang sarkastik, dan bernada ejekan.
Kalau begitu keluhannya bisa dijerat pasal tindak pidana penodaan agama. Dan yang namanya panggilan untuk menunaikan ibadah salat itu, lazimnya harus terdengar oleh jemaah di suatu kaum.
Pada zaman dulu sebelum ada pengeras suara, para muazin akan naik di atas ketinggian agar suara azannya didengar. Tapi sekarang pada zaman moderen tidak perlu lagi muazin naik di atas ketinggian.
Memang apa hukumnya mengumandangkan azan yang terdengar jelas di lingkungan sekitar?
Azan adalah salah satu syariat Islam, dalam bentuk ucapan atau kalimat tertentu, untuk memberitahukan mengerjakan salat fardhu. Karena itu merupakan syariat, jadi disunahkan untuk dilaksanakan.
Pihak Meliana kan berencana mengajukan banding. Bagaimana tanggapan MUI soal ini?
MUI menghormati pihak terpidana yang melakukan banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri Medan hal itu merupakan bentuk kesadaran hukum yang dilindungi oleh undang-undang.
Lantas apa imbauan MUI terkait polemik ini?
Kami imbau supaya hendaknya masyarakat lebih arif, dan bijaksana dalam menyikapi masalah ini. Karena hal ini menyangkut masalah yang sangat sensitif yaitu masalah isu agama. Jangan membuat pernyataan yang justru dapat memanaskan suasana dengan cara menghasut dan memprovokasi masyarakat untuk melawan putusan pengadilan.
Apalagi, jika pernyataannya itu tidak didasarkan pada bukti dan fakta persidangan yang ada. MUI berharap agar masyarakat mengambil hikmah, dan pelajaran berharga dari berbagai kasus yang terjadi.
Bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk dibutuhkan kesadaran hidup bersama untuk saling menghomati, toleransi, dan sikap empati satu dengan lainnya. Sehingga di masa depan tidak timbul gesekan dan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Apakah MUI juga punya saran buat pemerintah terkait persoalan ini?
Dalam sebuah masyarakat majemuk, diperlukan adanya peraturan yang dapat menjamin terbangunnya kehidupanyang harmonis, rukun, dan bersaudara antar elemen masyarakat.
Untuk hal itu pemerintah harus membuat regulasi yang dapat diterima oleh semua pihak. Regulasi tersebut tidak boleh diskriminatif, jadi harus mengatur dan melindungi semuanya.
Sementara ini, regulasi yangada hanya mengacu pada Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid.
Peraturan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan juga bersifat diskriminatif karena hanya mengatur rumah ibadah tertentu. Jadi hemat saya, Kementerian Agama harus membuat peraturan perundangan yang lebih komprehensif. *
https://www.rmol.co/read/2018/08/28/354456/Zainut-Tauhid-Sa-adi:-Kalau-Dilihat-Dari-Fatwa-MUI,-Ibu-Meiliana-Protes-Sambil-Nunjuk-nunjuk-ke-Pengurus-
Kata2nya gmn sih yg sebenarnya
Banyak kalangan yang protes terhadap putusan perkara Meiliana, baik tokoh masyarakat maupun politikus yang menyatakan ketidaksetujuannya dalam perkara tersebut. Bahkan dunia maya ramai dengan aksi penggalangan dukungan terhadap Meiliana.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun ikut angkat bicara terkait masalah ini. Perlu diketahui, MUI Sumatera Utara adalah pihak yang mengeluarkan fatwa penistaan agama dalam kasus ini. Berikut penuturan Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Sa'adi kepada Rakyat Merdeka.
Bagaimana tanggapan MUI terkait kasus ini?
Pertama MUI meminta kepada semua pihak untuk menghormati putusan Pengadilan Negeri Medan, yang memvonis Meiliana penjara selama 18 bulan, karena tuduhan melakukan penistaan agama. Pertimbangan yang disampaikan hakim, adalah sepenuhnya hak prerogatifnya, yang tidak bisa diintervensi karena hakim memiliki kemerdekaan di dalam memutus sebuah perkara. Kedua, MUI menyesalkan banyak pihak yang berkomentar, tanpa mengetahui duduk perkara yang sebenarnya.
Sehingga pernyataannya bias, dan menimbulkan kegaduhan dan pertentangan di tengah-tengah masyarakat. Seakan-akan masalahnya hanya sebatas pada keluhan ibu Meiliana terkait dengan volume suara azan yang dianggap terlalu keras.
Memang masalah sesungguhnya itu seperti apa?
Kalau dilihat dari fatwanya yang dikekuarkan MUI sana itu, dia bertindak sarkastik ketika disambangi oleh pengurus masjidnya untuk meng-clear-kan persoalan. Jadi dia protes itu sambil nunjuk-nunjuk ke pengurus masjid. Dia bilang, 'lu ya, lu ya (maksudnya kamu, sambil telunjuk tangannya menunjuk muka Pak Haris) kita sudah sama-sama dewasa. Ini negara hukum, itu masjid bikin telinga gua pekak, sakit kuping saya. Hari-hari ribut, pagi ribut, siang ribut, malam ribut, bikin gua tidak tenang'. Begitu omonganya kalau di surat fatwa yang kami pegang.
Setelah ditelaah dan menerima pandangan dari para ulama dan akhi, ucapan yang disampaikan oleh Bu Meiliana atas suara azan tersebut, kemudian dinilai sebagai penodaan dan penistaan terhadap syariat Agama Islam. Kasus seperti itu sebetulnya pernah terjadi juga terhadap Ibu Rusgiani. Dia dipenjara 14 bulan, karena menghina agama Hindu. Ibu itu menyebut canang atau tempat menaruh sesaji dalam upacara keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis.
Menurut Dewan Masjid Indonesia mengumandangkan azan itu kan tidak boleh terlalu keras agar tidak mengganggu warga di sekitar. Kalau azan di sana apakah menaati hal itu?
Soal itu saya tidak tahu. Tapi jika masalahnya hanya sebatas keluhan volume suara azan terlalu keras, saya yakin tidak sampai masuk wilayah penodaan agama. Tetapi sangat berbeda jika keluhannya itu dengan menggunakan kalimat dan kata-kata yang sarkastik, dan bernada ejekan.
Kalau begitu keluhannya bisa dijerat pasal tindak pidana penodaan agama. Dan yang namanya panggilan untuk menunaikan ibadah salat itu, lazimnya harus terdengar oleh jemaah di suatu kaum.
Pada zaman dulu sebelum ada pengeras suara, para muazin akan naik di atas ketinggian agar suara azannya didengar. Tapi sekarang pada zaman moderen tidak perlu lagi muazin naik di atas ketinggian.
Memang apa hukumnya mengumandangkan azan yang terdengar jelas di lingkungan sekitar?
Azan adalah salah satu syariat Islam, dalam bentuk ucapan atau kalimat tertentu, untuk memberitahukan mengerjakan salat fardhu. Karena itu merupakan syariat, jadi disunahkan untuk dilaksanakan.
Pihak Meliana kan berencana mengajukan banding. Bagaimana tanggapan MUI soal ini?
MUI menghormati pihak terpidana yang melakukan banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri Medan hal itu merupakan bentuk kesadaran hukum yang dilindungi oleh undang-undang.
Lantas apa imbauan MUI terkait polemik ini?
Kami imbau supaya hendaknya masyarakat lebih arif, dan bijaksana dalam menyikapi masalah ini. Karena hal ini menyangkut masalah yang sangat sensitif yaitu masalah isu agama. Jangan membuat pernyataan yang justru dapat memanaskan suasana dengan cara menghasut dan memprovokasi masyarakat untuk melawan putusan pengadilan.
Apalagi, jika pernyataannya itu tidak didasarkan pada bukti dan fakta persidangan yang ada. MUI berharap agar masyarakat mengambil hikmah, dan pelajaran berharga dari berbagai kasus yang terjadi.
Bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk dibutuhkan kesadaran hidup bersama untuk saling menghomati, toleransi, dan sikap empati satu dengan lainnya. Sehingga di masa depan tidak timbul gesekan dan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Apakah MUI juga punya saran buat pemerintah terkait persoalan ini?
Dalam sebuah masyarakat majemuk, diperlukan adanya peraturan yang dapat menjamin terbangunnya kehidupanyang harmonis, rukun, dan bersaudara antar elemen masyarakat.
Untuk hal itu pemerintah harus membuat regulasi yang dapat diterima oleh semua pihak. Regulasi tersebut tidak boleh diskriminatif, jadi harus mengatur dan melindungi semuanya.
Sementara ini, regulasi yangada hanya mengacu pada Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid.
Peraturan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan juga bersifat diskriminatif karena hanya mengatur rumah ibadah tertentu. Jadi hemat saya, Kementerian Agama harus membuat peraturan perundangan yang lebih komprehensif. *
https://www.rmol.co/read/2018/08/28/354456/Zainut-Tauhid-Sa-adi:-Kalau-Dilihat-Dari-Fatwa-MUI,-Ibu-Meiliana-Protes-Sambil-Nunjuk-nunjuk-ke-Pengurus-
Kata2nya gmn sih yg sebenarnya
0
2.2K
25
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan