Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dwiuta022Avatar border
TS
dwiuta022
Kaleidoschool Part 1
Part 1: Ternyata Aku Sudah Tua

Matahari semakin menampakkan kebertuahannya. Hari ini panas sekali. Dan semakin panas karena aku dan Rahmi berada di dalam bus. Kami mengipas-ngipas badan dengan tangan padahal tahu cara ini tak efektif untuk mengurangi dampak global warming yang kini kami alami. Aku mengomel sepanjang perjalanan.

"Kenapa hari ini panas sekali?" kataku semakin kuat mengipas. "Biasanya aku tak pernah mengeluh kepanasan. Tapi hari ini benar-benar panas!" aku melanjutkan.

Rahmi menatapku dengan tatapan aneh.

"Kenapa kau melihatku seperti itu!?" tanyaku sedikit jengkel. Ini pertama kalinya aku mengeluh panas. Jadi ia tak perlu memandangiku seolah berkata : Panas begini saja sudah mengomel. Apalagi nanti kau rasakan panas di neraka.

"Kau tak ingat hari ini hari apa, Kinan?" ia bertanya padaku.

"Hari minggu yang sangat panas," jawabku seraya memperlihatkan senyum palsu padanya. Ia sungguh menjengkelkan. Ia pikir aku menderita Alzhaimer sehingga tak bisa mengingat hari apa hari ini.
Rahmi memandangiku lagi. Kali ini seolah berkata : Bukan itu yang kumaksud, Nenek Pikun.

***

"Kenapa kau menanyakan padaku mengenai hari?" aku bertanya pada Rahmi setelah turun dari bus. Hari ini aku tak melihat ada anak-anak bermain di sekitar komplek perumahan. Tentu saja karena panas.
Rahmi menghentikan langkahnya lalu menatapku dengan tatapan memohon. "Kau sungguh tak ingat apa-apa tentang hari ini?" ia malah balik bertanya. Sungguh membuatku bingung.

"Rahmi, aku memang sedikit pikun. Tapi aku tak mungkin tak bisa mengingat hari ini hari apa!"
"Bukan nama harinya yang kumaksud!"
"Lalu?!" tanyaku menyelidik.
Rahmi menghela napas. "Kau masih tujuh belas tahun tapi sudah pikun," ia mengatakan dengan wajah serius seolah benar-benar menganggapku menderita Alzhaimer. "Hari ini kau berumur tujuh belas tahun, Kinan," katanya melanjutkan.

"Apa?" aku memasang wajah tolol. Sedikit sulit mencerna kata-katanya.

"Hari ini kau berulang tahun. Hari ini kau berumur tujuh belas tahun, Kinan," Rahmi memperjelas sambil memperlihatkan senyum manis padaku. "Aku sudah yakin kau takkan mengingatnya," ia mengangguk memaklumi.

Aku masih saja memperlihatkan wajah tololku. "Jadi hari ini aku berulang tahun?" tanyaku lagi untuk meyakinkan diri. Aku memang selalu lupa hari ulang tahunku. "Hari ini umurku tujuh belas tahun dan aku akan mempunyai KTP? Benar, Rahmi?!" aku bertanya lagi.

Rahmi mengangguk sambil tersenyum.

Oh, tidak...?! teriakku dalam hati.
"Jadi sebentar lagi aku akan mempunyai KTP?"

Rahmi mengangguk lagi. Ia mengulurkan tangan dan seolah berkata: Selamat, Kinan. Ternyata kau sudah tua.

Aku memutar tubuh dan tidak mempedulikan uluran tangannya. "Aku akan mempunyai KTP dan itu berarti aku sudah tua!"

Rahmi menatapku heran. "Sudah tua?!"

Aku mengangguk.

"Aku lebih tua enam bulan daripada kau. Berarti kau menganggapku sudah tua?!" tanya Rahmi seolah tak terima. Padahal aku tak bermaksud meledeknya.

Aku terus berjalan sambil mengingat tanggal hari ini. Aku tak mempedulikan Rahmi yang berteriak memanggilku. Mungkin aku terlalu cepat berjalan sehingga ia harus berlari menyusulku.

"Kau baik-baik saja, Kinan?"
"Aku baik-baik saja," kataku sambil terus berjalan.
"Lalu kenapa kau seperti ini?!"
"Aku tidak tahu, aku tidak tahu, aku tidak tahu...," aku mengatakannya berkali-kali tanpa menoleh ke arah Rahmi. Aku juga tak mengerti mengapa aku seperti ini. Rahmi terdiam di tempat karena melihat reaksiku yang benar-benar seperti orang gila. Aku terus berjalan meninggalkannya dan ia tak lagi berteriak memanggilku. Itu lebih baik.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk, kali ini tanpa mengucapkan salam. Aku melepas sepatu cats-ku dan melihat Ibu sedang membereskan rumah.

"Selamat ulang tahun, Kinan. Maafkan Ibu sedikit terlambat mengucapkannya," Ibu tersenyum padaku.

"Tak masalah," aku membalas senyuman Ibu. Lebih baik tak diingat, kataku dalam hati.

"Kau ingin kita pergi makan?" Ibu bertanya setelah mencium pipiku. "Makan di luar?" tanya Ibu lagi.

"Tidak usah, Ibu...," kataku tetap tersenyum. Hari kelahiran bukan untuk dirayakan. Bagaimana mungkin hari penuaan diri dirayakan? Aku selalu menganggap orang-orang yang merayakan hari ulang tahun adalah orang-orang kurang kerjaan. Karena itu aku tak pernah setuju jika Ibu ingin merayakan hari ulang tahunku.

"Kau ingin Ibu belikan apa?"

"Tak usah repot-repot," aku menjawabnya santai.

Kak Fathan yang sedang menonton TV mengalihkan perhatiannya lalu menoleh ke arahku. "Kau ingin dibelikan boneka? Atau mungkin novel? Atau kau ingin makan pizza, spaghetti, bakso, sate Padang..."

"AKU INGIN KAU BERHENTI BICARA!!" aku berteriak memotong ocehannya. Anak laki-laki seharusnya tak cerewet. Tapi ia sungguh seperti ibu-ibu arisan.

Aku membuka pintu kamar, sekilas melihat Kak Fathan dan Ibu mengerutkan kening. Mungkin mereka mengira aku kesal karena terlambat diberi ucapan selamat ulang tahun. Aku tak peduli. Aku langsung melihat kalender dan di sana tertera tanggal lahirku.

Aku tak terlalu mempermasalahkan hari ulang tahunku. Yang jadi masalah, aku berumur tujuh belas tahun dan tiga tahun lagi aku berumur dua puluh tahun dan setelah itu berumur dua puluh lima tahun dan seterusnya. Dan arti dari semua itu adalah perjalananku-menuju sebuah hari dimana aku harus berkomitmen dengan seseorang mengenai dunia akhirat-semakin dekat. Kata lainnya adalah menikah. Percayalah padaku, Kawan, tiga atau delapan tahun lagi itu tidak lama. Tujuh belas tahun saja rasanya terlalu cepat.

Mungkin saja aku takkan menikah umur duapuluh lima tahun. Mungkin saja aku akan menjadi perawan tua atau semacamnya. Tapi tetap aku tak suka berumur dua puluh lima tahun. Aku tidak suka. Aku tidak mau menikah. Aku tidak mau berumur dua puluh lima tahun. Aku tahu aku memang aneh. Tapi aku benar-benar tidak mau.

to be continue...
0
736
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan