nichols15Avatar border
TS
nichols15
Pencalonan Pilpres 2019 Menuju Kekacauan
Jumat (10/8) adalah batas waktu untuk mendaftarkan kandidat calon prediden dan wakilnya untuk ikut Pilpres 2019. Namun, saat ini tengah terjadi kekacauan di kubu koalisi Prabowo, calon presiden dari partai Gerindra. Koalisi Prabowo yang terdiri dari empat partai, ngotot memajukan nama perwakilan mereka untuk menjadi wakil presiden. Sementara, kubu petahana yang merupakan gabungan dari sembilan partai, tampak tenang-tenang saja.

Oleh: Ainur Rohmah (Asia Sentinel)

Batas tanggal 10 Agustus untuk mendaftarkan kandidat presiden dan calon presiden untuk Pilpres 2019 diiringi kekacauan, dengan tuduhan bahwa Prabowo Subianto telah mengambil suap karena memilih pengusaha yang sukses sebagai calon pasangannya, yang mau membayar untuk melunakkan dua partai koalisi mantan jenderal tersebut, yang memilih calon wakil presidennya sendiri.

Tuduhan itu telah membuat kampanye Prabowo menjadi kacau, dan diperkirakan akan memberikan bantuan yang cukup besar bagi kampanye Presiden Joko Widodo. Jokowi diperkirakan akan kembali memimpin sebuah koalisi sembilan partai yang dipimpin oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Prabowo—penantang Jokowi dalam Pemilu 2014—memimpin Partai Gerindra, yang hingga meledaknya krisis saat ini, diperkirakan akan memimpin koalisi empat partai termasuk Partai Demokrat. Tidak ada kandidat yang telah secara resmi mengumumkan calon wakil presidennya.

Saat ini Jokowi sangat disukai dalam jajak pendapat untuk mempertahankan kursi kepresidenan. Tapi beberapa analis percaya, bahwa dukungan terhadap Jokowi meskipun luas, namun mungkin tidak mendalam, dan dapat hancur karena masalah agama.

Sudah lama tersebar rumor bahwa presiden tersebut bukanlah seorang Muslim atau bukan seorang Muslim yang sangat taat. Ketika ia mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta pada tahun 2012, ia memilih seorang Kristen beretnis China sebagai wakilnya.

Ancaman untuk menghancurkan koalisi


Andi Arief—Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat—mengancam akan mengakhiri koalisi antara Partai Demokrat, yang dipimpin oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Gerindra. Ini atas laporan bahwa Sandiaga—wakil Gubernur Jakarta saat ini dan salah satu orang terkaya di Indonesia—telah membayar Rp500 miliar (US$34,6 juta) untuk kesempatan menjadi Cawapres Prabowo.

Spoiler for Sandiaga Uno:


Sandiaga diyakini telah menuangkan miliaran rupiah untuk membiayai pencalonannya sebagai wakil pemimpin Jakarta untuk Anies Baswedan dalam Pemilihan Gubernur Jakarta pada tahun 2017.

Partai Demokrat dan SBY mendorong putra mantan Presiden tersebut, Agus Harimurti Yudhoyono, untuk menjadi calon wakil Prabowo, meskipun Agus—yang dikenal sebagai AHY—ditentang oleh partai lain dalam koalisi Prabowo.

Andi menulis tweet bahwa Prabowo adalah “Jenderal Kardus,” dan mengatakan bahwa Partai Demokrat menolak tawaran oleh Prabowo untuk memberi penjelasan di rumah SBY di wilayah Kuningan. “Bahkan keinginan untuk menjelaskan melalui surat sudah tak perlu lagi. Prabowo lebih menghargai uang daripada perjuangan. Jenderal Kardus,” tulis Andi.

Dilema Prabowo


Setiap partai dalam koalisi Prabowo telah bersikeras menawarkan anggota mereka sendiri sebagai kandidat wakil presiden. SBY telah lama mendorong AHY, sementara PAN dan PKS bersikeras mendukung tokoh-tokoh elit partai mereka sendiri.

Spoiler for Prabowo:


Selain itu, sekelompok ulama Islam dan organisasi-organisasi Islam gabungan yang menamakan diri Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) telah merekomendasikan seorang ulama, Abdul Somad.

GNPF memainkan peran utama dalam kemenangan Anies Baswedan, kandidat gubernur Muslim yang didukung Gerindra dalam Pemilihan Gubernur Jakarta pada tahun 2017. Mereka mengorganisasi umat Islam untuk memilih para pemimpin Islam, mengadakan serangkaian demonstrasi yang ditujukan terhadap Basuki Tjahaja “Ahok” Purnama—Gubernur Jakarta beretnis China dan beragama Kristen.

Mereka mendorong sidang pengadilan untuk Ahok dengan tuduhan penistaan agama Islam, yang secara luas dipandang sebagai tuduhan palsu. Meskipun demikian, Ahok akhirnya dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara.

Adi Prayitno—dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Jakarta—mengatakan bahwa Prabowo menghadapi situasi yang sulit. Ia membutuhkan dukungan wakil presiden yang penting untuk memperkuat pencalonannya, dalam menghadapi kepentingan yang saling bertentangan dari partai-partai pendukungnya.

“Sejak Prabowo memutuskan untuk membentuk koalisi dengan Partai Demokrat, kedua partai pendukung lainnya tampaknya menjaga jarak dari Prabowo dan sikap politik mereka tidak jelas,” kata Prayitno, yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia. “Ini sepertinya tidak diduga oleh Prabowo.”

Prayitno mengatakan, ia menduga bahwa Prabowo dan SBY sengaja tidak secara langsung mengumumkan AHY sebagai calon wakil presiden setelah pertemuan mereka bulan lalu dalam upaya untuk menjaga PAN dan PKS dalam koalisi. SBY hanya mengatakan bahwa penentuan calon wakil presiden berada di tangan Prabowo, terlepas dari ambisinya dalam mengusulkan AHY.

Prabowo membutuhkan Partai Demokrat karena pengaruh SBY sebagai mantan presiden. “SBY masih memiliki jaringan politik yang kuat,” kata Prayitno. Kedua, katanya, Prabowo membutuhkan dukungan logistik dan keuangan yang lebih besar.

Kapasitas keuangan mantan jenderal Pasukan Khusus tersebut sangat lumpuh akibat dana yang ia habiskan pada Pemilu 2014, yang dikatakan sebagai yang termahal dalam sejarah Indonesia. Nasir Djamel, seorang praktisi politik, berspekulasi pada bulan April bahwa Prabowo mungkin tidak akan mengikuti pertarungan tahun 2019 karena kekurangan dana.

Dengan demikian—kecuali jika situasi bergejolak karena tuduhan Andi—sepertinya Sandiaga memiliki dana yang mengalahkan tawaran elektabilitas dan modal SBY. Meskipun demikian, seperti yang dikatakan Prayitno, PKS memiliki basis konstituen yang sangat militan dan kompak yang sangat dibutuhkan oleh Prabowo.

“Masalahnya adalah, mereka (PKS) sangat ngotot agar kader mereka dipilih sebagai calon wakil presiden,” kata Prayitno. Prayitno mengatakan bahwa koalisi Prabowo perlu duduk bersama, menghilangkan semua egoisme sektoral, untuk membentuk strategi kemenangan.

Selain itu, koalisi harus dibangun atas dasar kesamaan dengan tujuan utama mengalahkan petahana, tetapi justru yang terlihat adalah egoisme masing-masing partai sehingga kepentingan mereka terakomodasi.

“Ini menjelaskan bahwa koalisi mereka saat ini sangat rumit. Mereka harus berpikir tentang bagaimana caranya menang, tetapi mereka sekarang sibuk berpikir siapa yang harus maju,” kata Prayitno. Karena masalah ini, katanya, sepertinya Prabowo mungkin sekali lagi akan kalah.

Baca Sumber
0
3.6K
40
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan