Quote:
JawaPos.com – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Januari lalu, angka kemiskinan Indonesia per September 2017 mencapai 26,58 juta orang. Angka kemiskinan turun dibanding periode sama 2016 yang mencapai 27,77 juta orang.
Akan tetapi, jika dihitung berdasarkan standar Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia diperkirakan lebih banyak dari yang dirilis BPS. Pasalnya, dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp 387.160 per kapita per bulan.
Sementara itu, garis kemiskinan Bank Dunia adalah sebesar USD 1,9 per hari, atau setara Rp 775.200 per bulan (kurs 13.600). Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengungkapan, jika diukur dengan standar Bank Dunia, maka angka kemiskinan bisa lebih dari dua kali lipat.
“Ya 70-an juta orang angka kemiskinannya, kalau garis kemiskinannya USD 1,9 per hari. Karena (jumlah orang) yang rentan miskin saja ada 40-an juta,” kata Enny kepada
JawaPos.com,Selasa (6/3).
Kendati demikian, Enny mengatakan, tak masalah Indonesia punya standar sendiri. Asalkan, konsisten dan angka yang ditetapkan benar-benar relevan dengan keadaan yang sebenarnya.
Menurut Enny, garis kemiskinan di Indonesia ditentukan berdasarkan pemenuhan kebutuhan kalori. Oleh sebab itu, BPS perlu memastikan bahwa garis kemiskinan yang ditentukan bisa memenuhi minimal kalori yang dibutuhkan.
“Dan perlu diperhatikan bahwa kalori tidak hanya pemenuhan kuantitas, tapi juga kualitas. Kalau nasi saja tanpa protein kan menyangkut asupan gizi. Kalau asupan kurang, rentan kesehatan. Dampaknya pada produktivitas, dampaknya pada penghasilan, ini sudah seperti lingkaran setan,” ujar Enny dikutip dari
Jawa Pos.
Sementara itu, terkait dengan bantuan yang diberikan pemerintah, ia menyatakan, sederet program bantuan dianggap belum efektif.
“Ini masalah yang serius. Untuk melihat tingkat efektivitas program-program tersebut sangat mudah. Dengan anggaran yang begitu besar, berapa yang sudah dientaskan,” ujar Enny.
Sebagai contoh bantuan beras sejahtera (rastra). Menurut Enny, masih banyak ditemukan kasus, di antaranya keluhan beras rastra yang tidak layak konsumsi. Tak ayal, beras yang semestinya diberikan untuk dikonsumsi tersebut justru dijual oleh penerima.
Lalu, mengenai bantuan seperti kartu pendidikan, kartu Indonesia sehat, dan sebagainya. Enny berpendapat bantuan tersebut tidak mencapai target maksimal. Termasuk bantuan seperti program keluarga harapan (PKH).
“PKH sebenarnya ditujukan untuk keluarga miskin yang memiliki daya produksi, tetapi misalnya terbatas soal permodalan. Tapi, tetap saja karena data kependudukan kita yang amburadul, bantuan tersebut tidak terintegrasi dan tidak dapat terjangkau oleh masyarakat,” ungkap Enny.
(ce1/est/JPC)
Otak-atik standar bebas miskin demi pencitraan rezim berkuasa itu lagu lama.. Coba pegawai BPS dan gerombolan nastaik hidup dengan standar bebas miskin buatan mereka itu, kasih mereka gaji 400 ribuan per bulan, apa bisa mereka empanin anak istri?

taruhan nih kita, kalau emang sanggup hidup dengan gaji sesuai standar BPS, 2019 gue nyoblos Jokok daahh
