Kaskus

News

annisaputrieAvatar border
TS
annisaputrie
Pilkada Serentak 2018: Signal Awal Perpisahan Jokowi-Megawati?
Pilkada Serentak 2018: Signal Awal Perpisahan Jokowi-Megawati?


Pilkada Serentak 2018: Signal Awal Perpisahan Jokowi-Megawati?
 07 Jan 2018 18:49 


Signal Jokowi akan berpisah dengan Megawati (PDIP) kian jelas. Penunjukkan nama kandidat dan pilihan koalisi partai dalam pilkada serentak di berbagai provinsi, menunjukkan dua sekutu itu mulai bersimpang jalan.


PDIP di berbagai wilayah penting seperti Jawa, Sumatera, termasuk Sulawesi mengusung kandidat dan berkoalisi dengan partai yang berbeda dengan partai pendukung Jokowi. PDIP bahkan tidak segan untuk berkoalisi atau mencoba membangun koalisi dengan partai oposisi seperti Gerindra dan PKS.


Kesan tersebut sudah muncul dengan sangat kuat sejak dimulainya proses penjajakan koalisi. PDIP menghindari kandidat yang didukung Jokowi, begitu pula sebaliknya.


Pilihan semacam itu tentu agak mengherankan mengingat Jokowi sejak mulai dari pencalonan sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai menjadi presiden, atas dukungan PDIP.


Kendati bukan kader PDIP sejak awal (mualaf), namun setelah terpilih menjadi walikota Solo, Jokowi memutuskan menjadi kader partai. Dalam bahasa Megawati, Jokowi menjadi petugas partai. Tidak pada tempatnya pilihan politiknya berbeda dengan garis partai.


Tanda awal yang sangat nyata, adalah keputusan Jokowi mengizinkan Khofifah berlaga di Pilkada Jawa Timur (Jatim) menantang Saifullah Yusuf (Gus Ipul). Padahal Gus Ipul yang berpasangan dengan Abdullah Azwar Anas diusung oleh PKB-PDIP, dan kemungkinan besar PKS. Untuk mengusung pasangan ini PDIP bahkan rela tidak menempatkan kader aslinya. Mereka mengakuisisi Azwar Anas yang semula kader PKB.


Dengan mengusung Khofifah (Demokrat-Golkar) risiko politik yang dipertaruhkan Jokowi tidak kecil. Dia berpotensi kehilangan dukungan dari sebagian besar ulama sepuh NU yang sejak awal, bulat mendukung Gus Ipul. Dukungan para ulama sepuh NU ini sangat penting bagi Jokowi. Dia tengah menghadapi oposisi kuat dari kelompok muslim perkotaan yang tergabung dalam GNPF Ulama.


Di Jawa Barat (Jabar) Jokowi sudah lebih dahulu menjatuhkan pilihan ke Ridwan Kamil (RK) sebagai cagub. Bahwa RK merupakan “orang” Jokowi tidak hanya terlihat dari kedekatan personal keduanya, namun juga dari partai pengusungnya. Yang paling awal mengusung RK adalah Nasdem, kemudian disusul PKB, dan PPP. Koalisi Jokower makin terlihat nyata, ketika Golkar bergabung dan mencampakkan Ketua Umum DPD I Golkar Jabar Dedi Mulyadi (Demul).


Dengan komitmen RK untuk mengamankan pencapresan Jokowi, seharusnya PDIP bergabung dengan koalisi tersebut, untuk memperkuat dan memastikan kemenangan RK. Alih-alih mendukung, PDIP malah bersuara miring terhadap RK.


Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto secara tegas menyatakan bahwa kinerja RK tidaklah cemerlang. Kualitas kepemimpinan dan keberhasilannya sebagai kepala daerah, masih jauh dibandingkan dengan Walikota Surabaya Risma Triharini dan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto. Karena itu PDIP tidak akan mendukung RK.


PDIP malah secara gencar melakukan pendekatan ke Netty Heryawan, istri dari Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Sebagai kader PKS Netty menolak dan lebih memilih taat mendukung pilihan partai yang mengusung Deddy Mizwar-Syaichu. Tak putus asa, Hasto sempat menyatakan terbuka bagi PDIP untuk berkoalisi dengan PKS.


Pernyataan Hasto sangat wajar. PDIP telah berkoalisi dengan PKS dan Gerindra di sejumlah pilkada kota/kabupaten dan provinsi. Di Sulawesi Selatan, PDIP bergabung mendukung pasangan Nurdin Abdullah-Andi Sudirman yang diusung PKS-Gerindra.


PDIP tidak bergabung mendukung Nurdin Halid-Azis Qohhar Mudzakar yang diusung Golkar, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, dan PKPI. Dilihat dari partai pendukungnya, semua adalah partai pemerintah dan beberapa diantaranya (Golkar, PPP, PKPI, dan Hanura) sudah sepakat untuk mencalonkan kembali Jokowi.


Di Sumatera Utara, PDIP mengusung mantan Wagub DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayat yang berpasangan dengan Sihar Sitorus, berhadapan dengan Letjen TNI (Purn) Edy Rahmayadi-Musa Rajeksah yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN. Golkar dan Nasdem kemudian bergabung mendukung Edy, bukan Djarot.


Sementara di Jawa Tengah (Jateng) dengan modal 31 kursi di DPRD, PDIP kembali mengusung incumbent Ganjar Pranowo yang kabarnya akan dipasangkan dengan Taj Yasin Maimoen (Gus Yasin) putra ulama NU karismatik KH Maimoen Zubair.
Adu kekuatan dan Berebut kantong Islam


Dari peta pilihan kandidat dan partai koalisi tadi, sangat terlihat Jokowi dan Megawati sedang menjajaki dalamnya air, mengukur kekuatan masing-masing. Mereka bertempur di balik layar dengan menggunakan pion.


PDIP hingga kini belum memutuskan untuk mengusung kembali Jokowi. Namun Jokowi tidak khawatir karena sejumlah partai seperti Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, dan PKPI sudah secara resmi memutuskan akan mengusungnya kembali.


Andalan utama Jokowi adalah Golkar yang memiliki total 14.75 persen suara. Tinggal menambah sekitar 5.25 persen saja untuk memenuhi _presidential threshold_ sebesar 20 persen. Secara teknis posisi Jokowi sudah aman, walaupun tanpa dukungan PDIP.


Berbagai manuver tadi dan hasil dari Pilkada serentak 2018, akan sangat menentukan apakah PDIP tetap mengusung Jokowi, atau mengajukan kandidat sendiri?


PDIP dengan sangat cerdik melihat kelemahan utama Jokowi adalah buruknya hubungan dengan kelompok Islam terdidik di perkotaan, dan wilayah yang dikenal sebagai kantong Islam seperti Jabar.


Pilihan terhadap Gus Ipul dan Azwar Anas yang berlatar belakang NU merupakan strategi PDIP untuk merebut kantong nahdliyin. Apabila PKS jadi bergabung dengan kubu Gus Ipul -- yang belum kita ketahui akan berpasangan dengan siapa pasca skandal Azwar Anas-- maka PDIP akan mendapat kuntungan berganda. PDIP berhasil merangkul kubu Islam tradisional sekaligus Islam perkotaan di Jatim.


Kemenangan PDIP akan sempurna bila kemudian pengganti Azwar Anas berasal dari kader PAN, atau malah PKS. Itu akan menjadi sebuah akuisisi politik yang sangat cerdas dan berani.


Begitu pula pilihannya terhadap Gus Yasin sebagai pendamping Ganjar di Jateng. Bila itu sampai terwujud, maka PDIP telah berhasil membentuk aliansi dengan kekuatan NU kultural di Jateng. KH Maimoen Zubair atau biasa dipanggil Mbah Maimoen pernah menjadi Ketua Majelis Syuriah DPP PPP. Dia merupakan ulama kharismatis dan memiliki Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang. Alumni pesantren Sarang tersebar dimana-mana dan banyak menjadi tokoh berpengaruh.


PDIP sejauh ini juga sudah berhasil melakukan akuisisi politik yang cukup signifikan dengan mencalonkan Abdullah Gani Kasuba (AGK) sebagai cagub Maluku Utara (Malut). AGK adalah kader dan tokoh PKS yang saat ini menjadi gubernur _incumbent_. Namun konflik keluarga dan internal PKS membuat AGK memutuskan maju sebagai cagub melalui PDIP. Dia akan berhadapan dengan adik kandungnya sendiri Muhammad Kasuba yang diusung oleh PKS, Gerindra, dan PAN.


Dari sisi jumlah pemilih, Malut sangat kecil, di bawah 1 juta suara. Namun secara politis dampaknya sangat luas. PDIP makin menegaskan bahwa mereka tidak anti terhadap partai maupun tokoh Islam, termasuk PKS yang menjadi partai oposisi pemerintah. PDIP sudah mulai membuat diferensiasi dengan Jokowi.


PDIP hanya gagal di Jabar, karena tidak berhasil mengakuisisi Netty Heryawan dan berkoalisi dengan PKS. Di Jabar PDIP memilih mengusung calon internal Ketua DPD PDIP Jabar TB Hasanuddin yang dipasangkan dengan mantan Kapolda Jabar Anton Charliyan.


Pilihan mengusung calon internal ini kembali menegaskan sikap PDIP yang tak ingin bergabung dengan poros RK-Uu Ruzhanul Ulum (Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura), atau Demiz-Demul (Golkar, Demokrat). Kedua-duanya ditengarai akan menjadi proxy Jokowi di Jabar.


Adu strategi, dan keberhasilan dalam pilkada serentak 2018, akan menentukan tawar menawar politik politik Jokowi dengan Megawati. Bila Jokowi merasa di atas angin, maka kemungkinan besar dia akan meninggalkan PDIP. Sebagai presiden, Jokowi tak ingin hanya menjadi petugas partai dan terus di bawah bayang-bayang Mega.


Sebaliknya PDIP juga akan mengajukan calon sendiri, bila banyak kandidatnya yang memenangkan pilkada. PDIP akan lebih percaya diri (pede) menghadapi Pilpres 2019 karena berhasil merangkul kekuatan-kekuatan Islam tradisional dan modernis di perkotaan.


Opsi lain, tidak tertutup kemungkinan Jokowi-Megawati akan kembali bersatu, bila secara kalkulasi lebih menguntungkan. Hiruk pikuk proses pencalonan kandidat dan koalisi jelang pilkada tidak lebih sebagai upaya untuk saling memperkuat posisi tawar mereka. 

https://www.ngopibareng.id/timeline/...gawati-3339162


Benarkah Gubernur Baru Hasil Quick Count All President's Men?
Kamis 28 Juni 2018, 17:30 WIB

Pilkada Serentak 2018: Signal Awal Perpisahan Jokowi-Megawati?Presiden Jokowi (Rengga Sancaya/detikcom)

Jakarta - Beredar poster yang menyandingkan beberapa pemimpin hasil quick count Pilgub 2018 dengan Presiden Joko Widodo. Poster itu menyebut para gubernur tersebut sebagai 'All President's Men' atau orang-orang Jokowi. Benarkah?

Dilihat Kamis (28/6/2018), poster itu menampilkan beberapa nama gubernur pemenang Pilgub 2018 versi quick count sejumlah lembaga survei. Mereka adalah Ganjar Pranowo (Pilgub Jateng), Khofifah Indar Parawansa (Pilgub Jatim), Ridwan Kamil (Pilgub Jabar), Edy Rahmayadi (Pilgub Sumut), Nurdin Abdullah (Pilgub Sulsel), Viktor Bungtilu Laiskodat (Pilgub NTT), I Wayan Koster (Pilgub Bali), dan Murad Ismail (Pilgub Maluku). 

Pilkada Serentak 2018: Signal Awal Perpisahan Jokowi-Megawati?Poster gubernur All President's Men

Partai-partai pendukung Jokowi saat ini maupun pengusung pada 2019 menanggapi poster tersebut. Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily mengungkit parpol pengusung cagub pemenang quick count yang disebut sebagai 'All President's Men' itu. 

"Ingat bahwa pendukung Pak Jokowi bukan hanya PDIP saja, tapi juga Golkar, PKB, NasDem, PPP, Hanura, yang kader-kader dan pasangan yang diusungnya banyak yang memenangi pilkada. Misalnya di Jawa Timur, Ibu Khofifah-Emil Dardak itu didukung Partai Golkar dan NasDem," kata Ace saat dimintai tanggapan hari ini.

"Di Jawa Barat, selain pasangan Asyik, itu parpolnya pendukung Jokowi dan pemenangnya Ridwan Kamil-Uu didukung NasDem dan PPP. Jadi tidak benar saya kira Pilkada 2018 ini merupakan kekalahan Jokowi," imbuh dia.

Soal poster itu, Bendahara Fraksi PDIP DPR Alex Indra Lukman mengatakan Jokowi, sebagai Presiden Republik Indonesia, merupakan pemimpin semua rakyat Indonesia. Dalam kapasitas tersebut, Alex yakin sudah ada hubungan baik Jokowi secara personal maupun organisasi, politik ataupun dalam pemerintahan.

"Kalau para calon pilkada terpilih kemudian punya keberpihakan, pasti dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang satu partai atau satu visi dengan Pak Presiden dalam membangun bangsa," kata Alex. 

Wasekjen PKB Daniel Johan mengatakan hasil pilkada merupakan buah kerja sama antara koalisi pendukung Jokowi saat ini dan oposisi. Jadi para pemimpin yang disebut 'All President's Men' tak bisa diklaim begitu saja

"Jadi sulit diklaim," tegas Daniel. 

https://news.detik.com/berita/408839...presidents-men


PDIP dan Gerindra Terpuruk, Inilah Hasil Quick Count di 17 Provinsi
Kamis, 28 Jun, 2018 | 23:41


Pilkada Serentak 2018: Signal Awal Perpisahan Jokowi-Megawati?

Grafik kemenangan parpol berdasarkan hasil quick count di 17 Provinsi yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018. (SERUJI)



JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 telah digelar di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, pada Rabu (27/6) yang lalu. Dari quick count atau hitung cepat yang dilakukan berbagai lembaga survei, telah diketahui hasil sementara dari pilkada yang menyedot perhatian ini.


Banyak kejutan yang terjadi dari hasil quick count yang dirilis berbagai lembaga survei ini, karena menyimpang dengan berbagai survei yang dilakukan sebelum hari pencoblosan. Walau tidak sedikit juga yang sama antara prediksi dan hasil quick count; seperti di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah.



Dari berbagai hasil quick count yang dipantau SERUJI pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) di 17 Provisi, Partai NasDem menduduki puncak sebagai partai yang paling banyak memenangkan Pilgub 2018. Nasdem berhasil memenangkan calonnya di 11 Provinsi.

Sementara, yang cukup mengejutkan, calon Gubernur-Wakil Gubernur yang diusung PDIP dan Gerindra rontok di berbagai daerah. Sebagai pemenang pemilu 2014, PDIP hanya mampu memenangkan calon yang diusungnya di 4 dari 17 Provinsi, atau hanya 23,53 persen. PDIP hanya memenangkan pasangan yang diusungnya di Jawa Tengan, Bali, Sulawesi Selatan, dan Maluku.



Yang paling terpuruk adalah Partai Gerindra. Dari 17 provinsi yang menghelat pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, Gerindra hanya mampu memenangkan suara rakyat di 3 provinsi saja (17,65%). Gerindra hanya memenangkan calonnya di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku.


Pilkada Serentak 2018: Signal Awal Perpisahan Jokowi-Megawati?
Grafik kemenangan parpol berdasarkan hasil quick count di 17 Provinsi yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018. (SERUJI)

Terpuruknya hasil dari kedua partai yang digadang-gadang bakal mengusung calon Presidennya sendiri pada Pilpres 2019 mendatang, diluar dugaan. PDIP yang akan kembali mengusung Jokowi sebagai capresnya, harus kehilangan kemenangan di berbagai daerah yang awalnya diprediksi mampu dimenangkan, seperti Jawa Timur. Hal yang sama dialami Gerindra, yang berencana kembali mengusung Prabowo sebagai capres mereka.

https://seruji.co.id/politik/pilkada...i-17-provinsi/

---------------------------

Kesimpulan umum hasil Pilkada serentak kemarin, ternyata rakyat pemilih nggak peduli lagi dengan parpol, yang mereka perhatikanlah adalah figurnya. Tak ada korelasi antara Figur Kandidat dan Parpol saat mereka mencoblos. Ini membuat kerja parpol semakin rumit menghadapi Pemilu dan Pilpres 2019 yang tak sampai 9 bulan lagi itu. 

Maka meskipun PDIP kalah dan terpuruk di Pilkada 2017 dan 2018, begitu pula Gerindra, belum tentu rakyat pemilih tidak akan memilih Jokowi dan Prabowo. Artinya: bisa saja terjadi menjelang Pemilu dan Pilpres tahun depan itu, semboyan "Pilih Orangnya, jangan pilih Parpol pendukungnya!"  atau semboyan semacam "Jokowi", yes! PDIP, No! " menjadi viral dan sikap pemillih kita kelak.  Bisa jadi PDIP kalah di Pemilu 2019, tapi tetap dapat Jokowi sebagai Presidennya. Atau Prabowo menang Pilpres, meski suara Gerindra jeblog dibawah 5% suara saja. Dan sebaliknya, Gerindra bisa saja menang di DPR tapi Prabowo kalah. 

emoticon-Wow
Diubah oleh annisaputrie 29-06-2018 08:18
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
3.8K
48
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan