TS
fatrhino
[Orifict] Cryria
Selamat pagi, siang, sore atau pun malam untuk siapa pun yang nyasar ke thread ini
Berhubung ini adalah thread pertama ane di Fanstuff ane ingin menyampaikan salam hormat bagi para sesepuh Fanstuff. Izinkan ane untuk ikut meramaikan di sini walau ane sadar skill penulisan ane di bawah rata-rata.
Baiklah ane sudahi saja perkenalan singkat ini soalnya ane gak pandai merangkai kata. Jika tulisan ane sedikit menganggu tolong beri kritik dan masukan pada ane agar ane dapat berkembang lebih baik lagi ke depannya. So, cekribot!
Segitu dulu ya para agan bila ada masukan dari para mastah ataupun sesepuh ane akan terima dengan senang hati. Kalau begitu ane izin cabut dlu bye
Berhubung ini adalah thread pertama ane di Fanstuff ane ingin menyampaikan salam hormat bagi para sesepuh Fanstuff. Izinkan ane untuk ikut meramaikan di sini walau ane sadar skill penulisan ane di bawah rata-rata.
Baiklah ane sudahi saja perkenalan singkat ini soalnya ane gak pandai merangkai kata. Jika tulisan ane sedikit menganggu tolong beri kritik dan masukan pada ane agar ane dapat berkembang lebih baik lagi ke depannya. So, cekribot!
Quote:
Prolog
Cryria, salah satu planet dari sekian banyaknya planet yang berada dalam galaksi bernama Darion yang berinti Solus. Berotasi selama 26 jam dalam sehari dan 378 hari dalam setahun. Dan memiliki dua Moonerva, Athos dan Demira yang selalu tampak kala gelap malam datang.
Namun, malam ini kedua Moonerva itu tidak terlihat seperti biasanya. Langit yang selalu bersih pun kini dipenuhi oleh kepulan asap yang membumbung tinggi ke angkasa, asap kobaran api yang kian membesar diterpa angin yang berhembus, melahap segalanya tanpa rasa ampun.
Syruna itulah nama sebuah kerajaan yang tengah dilanda becanda paling mengerikan dalam sejarah Cryria malam ini. Entah bagaimana mulanya Ivdolva itu datang, lalu mengepakan kedua sayapnya yang gagah itu, membuat kerajaan itu luluh lantak dalam sekejap mata. Dia datang membawa teror, teror yang menciptakan simfoni lengkingan orang-orang yang menjerit mengiba pengampunan sambil berlarian tak tentu arah bahkan tak jarang menabrak satu sama lain.
Di atas menara tertinggi dia bertengger memamerkan pesona mata birunya yang begitu terang bak kristal yang bersinar di kegelapan. Hampir seluruh tubuhnya diselimuti oleh kobaran api yang membara layaknya amarah, dalam lebatnya api itu masih terdapat celah untuk mengintip tubuh aslinya yang tebal bagai logam murni yang mustahil untuk ditembus. Sayapnya dia kembangkan seolah-olah ingin menunjukkan keperkasaannya pada makhluk-makhluk hina di bawahnya.
Raungan Ivdolva itu mulai menyeruak di langit Syruna yang mulanya dipenuhi oleh riuh orang-orang yang sibuk mencari jalan untuk menyelamatkan nyawanya. Suara itu begitu menyayat kuping bagi siapapun yang mendengarnya, pertanda bahwa malaikat kematian akan datang sebentar lagi. Sayap gagahnya dia kepakkan sekali lagi, kobaran api yang melahap kerajaan ini semakin menggila. Dalam kengerian itu mata birunya menatap dengan tajam ke bawah, di antara kerumunan orang yang telah kehilangan harapan untuk hidup ada yang berhasil menarik perhatiannya.
Wanita itu berdiri tegap, menatap balik Ivdolva tanpa ada rasa takut sedikit pun yang tersirat di kedua mata hijaunya. Dalam tampilannya tak ada yang istimewa sama sekali bila dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya yang mematung. Tubuh tinggi semampai itu bersembunyi di balik jubah coklat yang sedikit kebesaran, rambut panjang pirangnya menyembul keluar sedikit dari kerudung yang dipakainya. Sialnya, penyamaran itu tidak cukup untuk mengelabuhi Ivdolva yang sedang dalam kondisi primanya.
Dari menara itu dia terbang landai ke arah kerumunan orang-orang yang langsung berlarian panik kala melihatnya turun. Semua orang meninggalkan tempat itu, kecuali dia seorang yang tetap bergeming sambil memegang sesuatu yang ditempatkan di pinggangnya. Kedua pasang mata itu saling mengunci satu sama lain, bermain dengan pikirannya masing-masing untuk mencari waktu yang tepat untuk melancarkan serangan. Dalam situasi itu waktu membeku bagi mereka.
Gesekan di antara mereka terjadi saat Ivdolva itu melancarkan cakarnya sambil meraung hingga membuat jalanan tersebut tumpah ruah ke segala tempat. Di udara wanita itu mengudara, menarik pedang miliknya dari sarung hitam yang begitu lusuh, lalu menghunuskan pedang berselimut cahaya kehijauan itu ke arah tempurung kepala Ivdolva itu. Sesaat keadaan yang mencekam mereda kala pedang wanita itu berhasil mengecup kening makhluk mengerikan itu.
Akan tetapi terdengar bunyi yang meruntuhkan ketenangan yang tercipta sangat singkat itu. Pola retakan mulai timbul, terus melebar dan pada akhirnya hancur lebur dilahap kobaran api. Mata hijau miliknya dengan jelas mengatakan kalau dia sangat tidak mengira kalau hal ini akan terjadi, dalam keadaan goyah di udara tubuhnya dipelantingkan dengan ekor Ivdolva yang begitu keras serta tajam. Berkat itu jubah coklatnya terkoyak, tidak, bahkan baju zirah yang dikenakannya pun hancur di bagian perutnya, dekat tulang rusuk sisi kiri.
Kulit putihnya robek, darah segar mulai menetes menjejak di tempatnya terbaring lemas. Di atasnya Ivdolva itu meraung kembali untuk mendeklarasikan kemenangannya yang begitu mudahnya ia dapatkan. Namun, siapa yang akan menyangka di dalam kengerian itu dia masih berusaha untuk bangkit demi menghentikan kehancuran yang disebabkan makhluk mengerikan yang berdiri tepat di atasnya.
Dalam keheningan wanita itu menggumamkan sesuatu yang hanya bisa didengar olehnya. Meskipun terdengar tak banyak yang akan mengerti dengan apa yang dikatakannya karena kata-kata yang diucapkan olehnya terkandung bahasa Elfaan, ibu dari semua bahasa yang ada atau dengan kata lain bahasa yang cukup dikeramatkan di kalangan rakyat biasa. Akan jadi bencana bila bahasa Elfaanini digunakan tidak sebagaimana mestinya, contohnya seperti saat ini, memancing para Ivdolva yang sangat sensitif dan benci dengan bahasa Elfaan, lebih tepatnya dengan masyarakat dulu kala yang menyegel sebagian besar dari mereka.
Berkat kata-kata itu cahaya putih selembut sutra menyelimuti tubuhnya yang kian melemah, di balik cahaya itu luka di kulitnya mulai menyembuhkan dirinya sendiri, lalu pada akhirnya menutup dengan sempurna seperti tidak pernah ada luka sebelumnya. Cahaya lembut itu masih bersamanya ketika dia kembali bangkit, menantang lawannya untuk yang kedua kalinya.
Ivdolva itu sangat terkejut dengan apa yang dia saksikan dengan kedua matanya, dia yakin sekali bahwa dia sudah menyerang wanita di depannya dengan sangat keras. Seharusnya dia sudah mati, begitulah pikirnya, lagipula orang gila mana yang bisa bertahan dari libasan ekor yang sangat tajam berlapis kobaran api itu tanpa meregang nyawa? Mata biru itu terus mengerjap-ngerjap mendapati wanita itu yang bisa berdiri dengan tegap tanpa ada luka di tubuhnya. Dia bingung, mengelilingi wanita itu beberapa kali dan akhirnya dia terjengkang setelah tak mengira akan ada serangan balasan dari lawannya.
Gemuruh sorak sorai memenuhi udara, semangat yang sempat redup dalam kegelapan kini kembali membara setelah melihat ada setitik cahaya penyalamat bagi mereka. Orang-orang yang pada awalnya berlarian untuk menyelamatkan hidup mereka kini berbalik, mengeruk tanah serta pasir dengan tangan mereka, lalu melemparkannya pada Ivdolva yang kesulitan bangkit. Api di tubuhnya perlahan-lahan menjinak dikarenakan tanah dan pasir yang terus menghujaninya tanpa jeda sedikit pun.
Geram dengan apa yang menimpa dirinya, sayap itu pun dikepakkan kembali dan orang-orang yang mengelilinginya langsung terlempar jauh, beberapanya tak sadarkan diri setelah itu. Api yang sempat mengecil kini membara kembali ketika dia terbang ke angkasa yang dipenuhi oleh asap hitam dan kobaran api yang membakar kerajaan Syruna.
Keadaan semakin pelik, harapan yang tadi muncul kini meredup kembali.
Wanita itu berjalan menghampiri serpihan pedang miliknya, diambil gagangnya yang sedikit terbakar oleh api dan dia mulai kembali merapal bahasa Elfaan yang jelas sekali malah memancing amarah Ivdolva ke level yang lebih tinggi. Raungan Ivdolva itu mulai kembali menghiasi malam, tapi dia tidak peduli karena kini pedangnya yang hancur telah berganti dengan kilatan cahaya biru yang membentuk sebilah pedang yang begitu cantik sampai-sampai kedua Moonerva memaksa menembus barisan asap tebal hanya untuk menyinari pedang cahaya itu.
Sadar akan posisinya yang tidak diuntungkan oleh keadaan Ivdolva itu berusaha untuk lari dari tempat tersebut. Dia terbang jauh lebih tinggi ke angkasa, mencoba menghilang di antara lebatnya asap hitam. Sayangnya asap itu menghilang dengan cepatnya seperti ada sesuatu yang menelannya, asap-asap itu kini merubah bentuk menjadi kepulan asap putih bermandikan bintik-bintik salju.
Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencari jalan keluar untuk dirinya, tapi percuma ... hawa dingin mematikan ini telah melumpuhkan kobaran api yang menyelimuti tubuhnya. Api yang sebelumnya berkobar tinggi, membakar Kerajaan Syruna pun hanya tinggal abu, di antara itu berdirilah seorang wanita yang baru saja membalikkan keadaan ini dan sedang bersiap untuk menjatuhkan Ivdolva yang mengusik kampung halamannya.
Dari kejauhan ratusan anak panah mengudara di langit, menghujani makhluk itu tapi tak ada satu pun dari serangan itu melukainya. Meski begitu anak panah itu terus menghujani dan membuatnya merasa tidak memiliki jalan keluar selain membunuh lawannya yang terang-terangan menantangnya. Dia menukik, menerabas asap putih yang terasa menusuk-nusuk kulit keras miliknya yang telah kehilangan jubahnya.
Di bawah, wanita itu telah menunggunya untuk mengakhiri hidup makhluk itu. Benturan terjadi dengan sangat cepat, Ivdolva itu terlihat sangat tak berdaya di depan pedang kilatan cahaya biru itu. Dia mengerang kesakitan saat kulit kerasnya dihancurkan, dari luka itu hawa dingin memaksa masuk ke dalam tubuhnya sampai-sampai sebagian kulitnya membeku. Keadaan semakin genting buatnya, hidupnya sebentar lagi akan usai di tangan wanita itu.
Namun, sesuatu yang bisa dibilang ajaib terjadi padanya. Untuk terakhir kalinya dia meraung sewaktu melepaskan semua panas tubuhnya hingga tak ada lagi yang tersisa. Tubuh yang hampir membeku kemudian dilahap oleh kobaran apinya sendiri, lalu hilanglah dia bersama ingatannya yang melebur menjadi abu.
Semua orang menyaksikan kejadian itu tanpa berkedip sedikitpun, sampai detik ini belum ada yang percaya bahwa makhluk mengerikan itu berakhir dengan cara yang tak kalah mengerikan dari dirinya. Bunuh diri. Kobaran api itu perlahan-lahan mengecil karena sudah tak ada lagi yang bisa dia makan. Semua mata terbelalak kala mengetahui ada bayi mungil berambut putih di tengah-tengah kobaran api itu. Rumoryang pada dahulu kala menjadi buah bibir kini benar-benar terjadi di depan mereka semua. Ivdolva itu bukan bunuh diri, melainkan dia terlahir kembali atas suatu kehendak.
Wanita itu menghampiri kobaran yang belum sepenuhnya padam, menggendong bayi itu serta menutupi tubuh mungilnya dengan jubahnya yang terkoyak karena pertarungan tadi. Dia pandangi wajah bayi itu yang tertidur begitu lelap dalam dekapannya, senyum kecil kemudian muncul di wajahnya yang lelah. Detik itu dia tahu kalau dia tidak mungkin bisa mengakhiri hidup bayi manis ini.
“Apa yang kau lakukan? Cepat bunuh bayi itu!” seru seseorang dengan lantang sambil mengepalkan tangannya ke udara selayaknya orang yang mengajukan protes.
“Benar! Mau apa pun bentuknya dia tetaplah Ivdolva!”
“Bayi itu harus mati setelah apa yang dia perbuat pada kita semua!”
Seruan untuk mengakhiri bayi mungil ini pun terus telontar dari satu mulut ke mulut lainnya, memancarkan kebencian yang sudah tak bisa dibendung lagi. Akan tetapi wanita itu bergeming, tidak peduli dengan ocehan mereka. Dia tetap menimang bayi mungil dalam dekapannya dan menjauh dari sana untuk melindungi apa yang patut dia lindungi saat ini.
Namun, langkahnya terpaksa harus dihentikan oleh seseorang yang mustahil dia tentang. Pria itu datang menghampiri dengan menunggangi kuda putih yang bulunya sedikit menghitam karena asap kebakaran. Dia adalah Raja yang memimpin Kerajaan Syruna, Raja Marsyur. Melihat kedatangannya wanita itu pun langsung membungkuk di hadapannya tanpa ada niat melepaskan bayi itu dari dekapannya.
“Maafkan hamba, Yang Mulia.”
“Apa kau sadar dengan apa yang telah kau perbuat ini, Theresa?” tanya Sang Raja dengan suara bergetar, dia tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya pada Ksatria Suci yang dipilih langsung olehnya itu. “Mau bagaimana pun bayi itu tetaplah Ivdolva yang meluluh lantakan kerajaan kita.”
Untuk yang kesekian kalinya Theresa memandang wajah polos yang tengah terlelap itu, tidak terlintas sedikit pun dalam benaknya kalau anak ini adalah Ivdolva yang dia lawan sebelumnya. Dia pun tak sampai hati bila harus menghunuskan pedangnya pada bayi yang entah bagaimana bisa mententramkan hatinya dalam sekejap. “Hamba sangat sadar, Yang Mulia.” Theresa menjawab tanpa memandang Rajanya, itu pertama kalinya dia melakukan hal tersebut. “Dengan segala hormat tolong izinkan Hamba untuk merawat bayi ini.”
Raja begitu terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut orang kepercayaannya. Badannya tak kuasa menahan beban yang sangat berat itu, tubuhnya bergetar, begitu pun giginya, dia ingin marah sekali. Marah pada dirinya sendiri yang tidak berdaya ini untuk menolong Ksatria Sucinya. Setelah berbagai pertimbangan akhirnya dia pun mengambil risiko, dia mengizinkan Ksatria Sucinya untuk merawat bayi mungil itu dengan bayaran rakyatnya mungkin tidak akan percaya lagi padanya.
“Terima kasih karena telah mengabulkan permintaan Hamba yang egois ini, Yang Mulia.” Raja tersenyum lembut pada Theresa. Detik itu untuk pertama kalinya Raja Marsyur melihat Ksatria Sucinya tersenyum begitu lebarnya padahal sejauh yang dia kenal Theresa itu adalah orang yang hemat senyum. Karena tidak ingin ada hal buruk yang terjadi Raja pun mengerahkan pasukan yang tersisa untuk mengantar Theresa serta melindungi bayi itu dari segala ancaman.
Raja Marsyur tahu betul dengan tindakan dia hari ini. Dia tahu kalau dia pasti akan membayarnya di masa depan. Entah masa depan yang cerah atau yang suram sekali pun.
.
Cryria, salah satu planet dari sekian banyaknya planet yang berada dalam galaksi bernama Darion yang berinti Solus. Berotasi selama 26 jam dalam sehari dan 378 hari dalam setahun. Dan memiliki dua Moonerva, Athos dan Demira yang selalu tampak kala gelap malam datang.
Namun, malam ini kedua Moonerva itu tidak terlihat seperti biasanya. Langit yang selalu bersih pun kini dipenuhi oleh kepulan asap yang membumbung tinggi ke angkasa, asap kobaran api yang kian membesar diterpa angin yang berhembus, melahap segalanya tanpa rasa ampun.
Syruna itulah nama sebuah kerajaan yang tengah dilanda becanda paling mengerikan dalam sejarah Cryria malam ini. Entah bagaimana mulanya Ivdolva itu datang, lalu mengepakan kedua sayapnya yang gagah itu, membuat kerajaan itu luluh lantak dalam sekejap mata. Dia datang membawa teror, teror yang menciptakan simfoni lengkingan orang-orang yang menjerit mengiba pengampunan sambil berlarian tak tentu arah bahkan tak jarang menabrak satu sama lain.
Di atas menara tertinggi dia bertengger memamerkan pesona mata birunya yang begitu terang bak kristal yang bersinar di kegelapan. Hampir seluruh tubuhnya diselimuti oleh kobaran api yang membara layaknya amarah, dalam lebatnya api itu masih terdapat celah untuk mengintip tubuh aslinya yang tebal bagai logam murni yang mustahil untuk ditembus. Sayapnya dia kembangkan seolah-olah ingin menunjukkan keperkasaannya pada makhluk-makhluk hina di bawahnya.
Raungan Ivdolva itu mulai menyeruak di langit Syruna yang mulanya dipenuhi oleh riuh orang-orang yang sibuk mencari jalan untuk menyelamatkan nyawanya. Suara itu begitu menyayat kuping bagi siapapun yang mendengarnya, pertanda bahwa malaikat kematian akan datang sebentar lagi. Sayap gagahnya dia kepakkan sekali lagi, kobaran api yang melahap kerajaan ini semakin menggila. Dalam kengerian itu mata birunya menatap dengan tajam ke bawah, di antara kerumunan orang yang telah kehilangan harapan untuk hidup ada yang berhasil menarik perhatiannya.
Wanita itu berdiri tegap, menatap balik Ivdolva tanpa ada rasa takut sedikit pun yang tersirat di kedua mata hijaunya. Dalam tampilannya tak ada yang istimewa sama sekali bila dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya yang mematung. Tubuh tinggi semampai itu bersembunyi di balik jubah coklat yang sedikit kebesaran, rambut panjang pirangnya menyembul keluar sedikit dari kerudung yang dipakainya. Sialnya, penyamaran itu tidak cukup untuk mengelabuhi Ivdolva yang sedang dalam kondisi primanya.
Dari menara itu dia terbang landai ke arah kerumunan orang-orang yang langsung berlarian panik kala melihatnya turun. Semua orang meninggalkan tempat itu, kecuali dia seorang yang tetap bergeming sambil memegang sesuatu yang ditempatkan di pinggangnya. Kedua pasang mata itu saling mengunci satu sama lain, bermain dengan pikirannya masing-masing untuk mencari waktu yang tepat untuk melancarkan serangan. Dalam situasi itu waktu membeku bagi mereka.
Gesekan di antara mereka terjadi saat Ivdolva itu melancarkan cakarnya sambil meraung hingga membuat jalanan tersebut tumpah ruah ke segala tempat. Di udara wanita itu mengudara, menarik pedang miliknya dari sarung hitam yang begitu lusuh, lalu menghunuskan pedang berselimut cahaya kehijauan itu ke arah tempurung kepala Ivdolva itu. Sesaat keadaan yang mencekam mereda kala pedang wanita itu berhasil mengecup kening makhluk mengerikan itu.
Akan tetapi terdengar bunyi yang meruntuhkan ketenangan yang tercipta sangat singkat itu. Pola retakan mulai timbul, terus melebar dan pada akhirnya hancur lebur dilahap kobaran api. Mata hijau miliknya dengan jelas mengatakan kalau dia sangat tidak mengira kalau hal ini akan terjadi, dalam keadaan goyah di udara tubuhnya dipelantingkan dengan ekor Ivdolva yang begitu keras serta tajam. Berkat itu jubah coklatnya terkoyak, tidak, bahkan baju zirah yang dikenakannya pun hancur di bagian perutnya, dekat tulang rusuk sisi kiri.
Kulit putihnya robek, darah segar mulai menetes menjejak di tempatnya terbaring lemas. Di atasnya Ivdolva itu meraung kembali untuk mendeklarasikan kemenangannya yang begitu mudahnya ia dapatkan. Namun, siapa yang akan menyangka di dalam kengerian itu dia masih berusaha untuk bangkit demi menghentikan kehancuran yang disebabkan makhluk mengerikan yang berdiri tepat di atasnya.
Dalam keheningan wanita itu menggumamkan sesuatu yang hanya bisa didengar olehnya. Meskipun terdengar tak banyak yang akan mengerti dengan apa yang dikatakannya karena kata-kata yang diucapkan olehnya terkandung bahasa Elfaan, ibu dari semua bahasa yang ada atau dengan kata lain bahasa yang cukup dikeramatkan di kalangan rakyat biasa. Akan jadi bencana bila bahasa Elfaanini digunakan tidak sebagaimana mestinya, contohnya seperti saat ini, memancing para Ivdolva yang sangat sensitif dan benci dengan bahasa Elfaan, lebih tepatnya dengan masyarakat dulu kala yang menyegel sebagian besar dari mereka.
Berkat kata-kata itu cahaya putih selembut sutra menyelimuti tubuhnya yang kian melemah, di balik cahaya itu luka di kulitnya mulai menyembuhkan dirinya sendiri, lalu pada akhirnya menutup dengan sempurna seperti tidak pernah ada luka sebelumnya. Cahaya lembut itu masih bersamanya ketika dia kembali bangkit, menantang lawannya untuk yang kedua kalinya.
Ivdolva itu sangat terkejut dengan apa yang dia saksikan dengan kedua matanya, dia yakin sekali bahwa dia sudah menyerang wanita di depannya dengan sangat keras. Seharusnya dia sudah mati, begitulah pikirnya, lagipula orang gila mana yang bisa bertahan dari libasan ekor yang sangat tajam berlapis kobaran api itu tanpa meregang nyawa? Mata biru itu terus mengerjap-ngerjap mendapati wanita itu yang bisa berdiri dengan tegap tanpa ada luka di tubuhnya. Dia bingung, mengelilingi wanita itu beberapa kali dan akhirnya dia terjengkang setelah tak mengira akan ada serangan balasan dari lawannya.
Gemuruh sorak sorai memenuhi udara, semangat yang sempat redup dalam kegelapan kini kembali membara setelah melihat ada setitik cahaya penyalamat bagi mereka. Orang-orang yang pada awalnya berlarian untuk menyelamatkan hidup mereka kini berbalik, mengeruk tanah serta pasir dengan tangan mereka, lalu melemparkannya pada Ivdolva yang kesulitan bangkit. Api di tubuhnya perlahan-lahan menjinak dikarenakan tanah dan pasir yang terus menghujaninya tanpa jeda sedikit pun.
Geram dengan apa yang menimpa dirinya, sayap itu pun dikepakkan kembali dan orang-orang yang mengelilinginya langsung terlempar jauh, beberapanya tak sadarkan diri setelah itu. Api yang sempat mengecil kini membara kembali ketika dia terbang ke angkasa yang dipenuhi oleh asap hitam dan kobaran api yang membakar kerajaan Syruna.
Keadaan semakin pelik, harapan yang tadi muncul kini meredup kembali.
Wanita itu berjalan menghampiri serpihan pedang miliknya, diambil gagangnya yang sedikit terbakar oleh api dan dia mulai kembali merapal bahasa Elfaan yang jelas sekali malah memancing amarah Ivdolva ke level yang lebih tinggi. Raungan Ivdolva itu mulai kembali menghiasi malam, tapi dia tidak peduli karena kini pedangnya yang hancur telah berganti dengan kilatan cahaya biru yang membentuk sebilah pedang yang begitu cantik sampai-sampai kedua Moonerva memaksa menembus barisan asap tebal hanya untuk menyinari pedang cahaya itu.
Sadar akan posisinya yang tidak diuntungkan oleh keadaan Ivdolva itu berusaha untuk lari dari tempat tersebut. Dia terbang jauh lebih tinggi ke angkasa, mencoba menghilang di antara lebatnya asap hitam. Sayangnya asap itu menghilang dengan cepatnya seperti ada sesuatu yang menelannya, asap-asap itu kini merubah bentuk menjadi kepulan asap putih bermandikan bintik-bintik salju.
Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencari jalan keluar untuk dirinya, tapi percuma ... hawa dingin mematikan ini telah melumpuhkan kobaran api yang menyelimuti tubuhnya. Api yang sebelumnya berkobar tinggi, membakar Kerajaan Syruna pun hanya tinggal abu, di antara itu berdirilah seorang wanita yang baru saja membalikkan keadaan ini dan sedang bersiap untuk menjatuhkan Ivdolva yang mengusik kampung halamannya.
Dari kejauhan ratusan anak panah mengudara di langit, menghujani makhluk itu tapi tak ada satu pun dari serangan itu melukainya. Meski begitu anak panah itu terus menghujani dan membuatnya merasa tidak memiliki jalan keluar selain membunuh lawannya yang terang-terangan menantangnya. Dia menukik, menerabas asap putih yang terasa menusuk-nusuk kulit keras miliknya yang telah kehilangan jubahnya.
Di bawah, wanita itu telah menunggunya untuk mengakhiri hidup makhluk itu. Benturan terjadi dengan sangat cepat, Ivdolva itu terlihat sangat tak berdaya di depan pedang kilatan cahaya biru itu. Dia mengerang kesakitan saat kulit kerasnya dihancurkan, dari luka itu hawa dingin memaksa masuk ke dalam tubuhnya sampai-sampai sebagian kulitnya membeku. Keadaan semakin genting buatnya, hidupnya sebentar lagi akan usai di tangan wanita itu.
Namun, sesuatu yang bisa dibilang ajaib terjadi padanya. Untuk terakhir kalinya dia meraung sewaktu melepaskan semua panas tubuhnya hingga tak ada lagi yang tersisa. Tubuh yang hampir membeku kemudian dilahap oleh kobaran apinya sendiri, lalu hilanglah dia bersama ingatannya yang melebur menjadi abu.
Semua orang menyaksikan kejadian itu tanpa berkedip sedikitpun, sampai detik ini belum ada yang percaya bahwa makhluk mengerikan itu berakhir dengan cara yang tak kalah mengerikan dari dirinya. Bunuh diri. Kobaran api itu perlahan-lahan mengecil karena sudah tak ada lagi yang bisa dia makan. Semua mata terbelalak kala mengetahui ada bayi mungil berambut putih di tengah-tengah kobaran api itu. Rumoryang pada dahulu kala menjadi buah bibir kini benar-benar terjadi di depan mereka semua. Ivdolva itu bukan bunuh diri, melainkan dia terlahir kembali atas suatu kehendak.
Wanita itu menghampiri kobaran yang belum sepenuhnya padam, menggendong bayi itu serta menutupi tubuh mungilnya dengan jubahnya yang terkoyak karena pertarungan tadi. Dia pandangi wajah bayi itu yang tertidur begitu lelap dalam dekapannya, senyum kecil kemudian muncul di wajahnya yang lelah. Detik itu dia tahu kalau dia tidak mungkin bisa mengakhiri hidup bayi manis ini.
“Apa yang kau lakukan? Cepat bunuh bayi itu!” seru seseorang dengan lantang sambil mengepalkan tangannya ke udara selayaknya orang yang mengajukan protes.
“Benar! Mau apa pun bentuknya dia tetaplah Ivdolva!”
“Bayi itu harus mati setelah apa yang dia perbuat pada kita semua!”
Seruan untuk mengakhiri bayi mungil ini pun terus telontar dari satu mulut ke mulut lainnya, memancarkan kebencian yang sudah tak bisa dibendung lagi. Akan tetapi wanita itu bergeming, tidak peduli dengan ocehan mereka. Dia tetap menimang bayi mungil dalam dekapannya dan menjauh dari sana untuk melindungi apa yang patut dia lindungi saat ini.
Namun, langkahnya terpaksa harus dihentikan oleh seseorang yang mustahil dia tentang. Pria itu datang menghampiri dengan menunggangi kuda putih yang bulunya sedikit menghitam karena asap kebakaran. Dia adalah Raja yang memimpin Kerajaan Syruna, Raja Marsyur. Melihat kedatangannya wanita itu pun langsung membungkuk di hadapannya tanpa ada niat melepaskan bayi itu dari dekapannya.
“Maafkan hamba, Yang Mulia.”
“Apa kau sadar dengan apa yang telah kau perbuat ini, Theresa?” tanya Sang Raja dengan suara bergetar, dia tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya pada Ksatria Suci yang dipilih langsung olehnya itu. “Mau bagaimana pun bayi itu tetaplah Ivdolva yang meluluh lantakan kerajaan kita.”
Untuk yang kesekian kalinya Theresa memandang wajah polos yang tengah terlelap itu, tidak terlintas sedikit pun dalam benaknya kalau anak ini adalah Ivdolva yang dia lawan sebelumnya. Dia pun tak sampai hati bila harus menghunuskan pedangnya pada bayi yang entah bagaimana bisa mententramkan hatinya dalam sekejap. “Hamba sangat sadar, Yang Mulia.” Theresa menjawab tanpa memandang Rajanya, itu pertama kalinya dia melakukan hal tersebut. “Dengan segala hormat tolong izinkan Hamba untuk merawat bayi ini.”
Raja begitu terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut orang kepercayaannya. Badannya tak kuasa menahan beban yang sangat berat itu, tubuhnya bergetar, begitu pun giginya, dia ingin marah sekali. Marah pada dirinya sendiri yang tidak berdaya ini untuk menolong Ksatria Sucinya. Setelah berbagai pertimbangan akhirnya dia pun mengambil risiko, dia mengizinkan Ksatria Sucinya untuk merawat bayi mungil itu dengan bayaran rakyatnya mungkin tidak akan percaya lagi padanya.
“Terima kasih karena telah mengabulkan permintaan Hamba yang egois ini, Yang Mulia.” Raja tersenyum lembut pada Theresa. Detik itu untuk pertama kalinya Raja Marsyur melihat Ksatria Sucinya tersenyum begitu lebarnya padahal sejauh yang dia kenal Theresa itu adalah orang yang hemat senyum. Karena tidak ingin ada hal buruk yang terjadi Raja pun mengerahkan pasukan yang tersisa untuk mengantar Theresa serta melindungi bayi itu dari segala ancaman.
Raja Marsyur tahu betul dengan tindakan dia hari ini. Dia tahu kalau dia pasti akan membayarnya di masa depan. Entah masa depan yang cerah atau yang suram sekali pun.
.
Segitu dulu ya para agan bila ada masukan dari para mastah ataupun sesepuh ane akan terima dengan senang hati. Kalau begitu ane izin cabut dlu bye
Diubah oleh fatrhino 30-05-2018 14:41
1
16.8K
Kutip
21
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan