- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Taman Sari


TS
dewaagni
Taman Sari
Taman Sari
Jika para pemeluk agama-agama di Indonesia bisa saling bahu-membahu, bergotong royong, dan damai, Indonesia bagaikan sebuah taman sari yang menebarkan wewangian dan oksigen kehidupan bagi warganya, juga dunia.
Apa yang terbayang di benak kita ketika mendengar atau membaca tentang taman sari? Sebuah taman bunga, tempat orang-orang bisa menikmati aneka ragam bunga di taman tersebut. Tidak hanya keberagaman bunga, tapi juga beragam kupu-kupu, yang mengisap sari bunga, yang bebas beterbangan.
Begitulah taman sari. Ada bunga, ada kupu-kupu, ada serangga, bahkan burung-burung. Juga anak-anak yang berkeliaran ke sana-kemari mengejar kupu-kupu dan binatang-binatang kecil yang ada di sana. Sedangkan orang-orang dewasa lebih banyak yang menikmati aneka bunga dan menghirup segarnya udara di taman.
Lalu, bagaimana dengan taman sari agama-agama marginal alias pinggiran? Di dunia ini, juga di Indonesia, selain agama-agama besar seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budda, dan Konghucu, juga tumbuh subur kelompok-kelompok yang menganut agama-agama kecil, yang marginal dan berkesan terpinggirkan.
Sebagai negara-bangsa, yang berpenduduk dengan beragam etnis dan suku bangsa, tentu harus menghargai serta memberikan hak hidup dan berkembang pada agama-agama tersebut. Kekurangperhatian negara terhadap pemeluk agama minortitas ini akan mendorong kelompok-kelompok tersebut memperjuangkan hak-hak mereka dengan cara masing-masing. Karena itu, hak-hak mereka, sebagaimana yang diperoleh kelompok agama-agama besar, semestinya diberikan dengan porsi yang adil. Inilah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, baik di pusat maupun di daerah.
Sepanjang ajaran suatu agama marginal tersebut tidak mengacak-acak dan menista agama-agama yang lain, sebenarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan. Kalau toh agama-agama marginal itu menginduk pada satu agama besar dan mengacak-acak ajaran agama induk, persoalan itu masuk ke ranah hukum. Tapi, jika ia punya nama dan ajaran sendiri, tak ada alasan untuk tidak memberikan hak-haknya, dan melindungi sebagaimana mestinya.
Sebagai contoh kasus adalah Salamullah. Awalnya, ajaran yang dikembangkan Lia Aminudin ini masih mengaku sebagai bagian dari agama Islam. Tapi, karena ajarannya mengacak-acak ajaran Islam, Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1997 memfatwa sesat atas ajaran Lia Aminuddin tersebut. Ketika dalam perjalanan waktu akhirnya Salamullah menjadi agama baru, persoalan jadi lain. Ia punya hak hidup, meskipun jumlah pengikutnya hanya dalam bilangan puluhan atau ratusan orang.
***
Jika kita mengacu pada Pancasila sebagai dasar negara, sila pertama dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Para pendiri Republik ini, dari kalangan Islamis, memberikan tafsir bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Begitu pula dengan pemeluk agama selain Islam, akan menafsirkan bahwa negara berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya negeri ini dibangun bukan atas dasar sekulerisme yang memisahkan penyelenggaaraan negara dari agama-agama yang dianut oleh pemeluknya.
Dalam sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila ini, semua pelaksana dalam tindak-tanduk mereka harus menyandarkan pada ajaran agama masing-masing. Jika ia seorang muslim, nilai-nilai Islami harus menjadi sandarannya. Begitu pula dengan para pemeluk agama yang lain. Ini sebabnya, ketika seorang pejabat dilantik, ia mesti disumpah terlebih dahulu, menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Jika para pejabat dan penyelenggara negara melaksanakan tugas dan tanggung jawab jabatan dengan berdasarkan ajaran agama yang dianut, seperti tidak boleh korupsi, jujur dan adil, nuansa agamis akan mewarnai birokrasi kita.
***
Pembaca yang budiman, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, setiap kali menjelang Idul Fitri, Gatra hadir dengan Edisi Khusus. Kali ini dengan mengangkat tema: Taman Sari Agama Marginal. Tema ini kami angkat agar kita bisa saling memahami keberadaan agama-agama marginal yang sering kali hak-haknya sebagai suatu agama, kurang mendapat perhatian secara adil.
Dari berbagai agama marginal yang ditampilkan di Gatra kali ini, ada satu titik simpul yang bisa kita petik: adanya kearifan lokal yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan di tempat mereka berada. Hal ini terasa sekali ketika kita berkunjung ke komunitas pemeluk agama-agama marginal itu, lebih-lebih jika agama tersebut sudah ada sejak belum adanya zaman kerajaan di Nusantara ini.
Karena itu, kita mesti mengapresiasi keberadaan mereka, dan memberikan hak-hak mereka, sebagaimana yang didapat oleh para pemeluk agama-agama mayoritas. Jika itu terjadi, kegotongroyongan antar-umat beragama akan bisa terjadi dalam realitas keseharian. Kegotong-royongan itu akan membuahkan sikap kebersamaan dan saling toleran. Itulah modal utama sebuah bangsa dalam membangun negerinya.
Maka, terwujudnya Indonesia sebagai Negara Gotong Royong, sebagaimana pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang disampaikan dalam Sidang BPUPKI. Kala itu, Bung Karno mengatakan, gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan bersama.
Bung Karno memberi makna hakiki tentang sila-sila dalam Pancasila yang bisa diperas menjadi gotong royong, "Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong royong". Alangkah hebatnya Negara Gotong Royong."
Kegotong-royongan mesti kita hidup-hidupkan guna mencapai negeri yang tangguh dan punya daya tahan terhadap berbagai "serangan" dari pihak lain. Kata kunci dari kegotong-royongan itu adalah hindari syak-wasangka antar-pemeluk agama. Ajaran Islam, misalnya, melarang pemeluknya ber syak-wasangka, karena sebagian dari syak wasangka itu dosa (QS. Al-Hujurat: 12).
Jika para pemeluk agama-agama di Indonesia bisa saling bahu-membahu, bergotong royong, dan damai, Indonesia bagaikan sebuah taman sari yang menebarkan wewangian dan oksigen kehidupan bagi warganya, juga dunia.
Sebagai akhir kata, kami, keluarga besar Majalah Gatra, mengucapkan Selamat Idul Fitri 1437 Hijriyah. Taqabbalallahu minna waminkum (semoga Allah menerima amalanku dan amalan Anda). Mohon maaf lahir-batin.
Herry Mohammad
http://arsip.gatra.com/2016-07-04/ma...l=23&id=162372
Jika para pemeluk agama-agama di Indonesia bisa saling bahu-membahu, bergotong royong, dan damai, Indonesia bagaikan sebuah taman sari yang menebarkan wewangian dan oksigen kehidupan bagi warganya, juga dunia.
Apa yang terbayang di benak kita ketika mendengar atau membaca tentang taman sari? Sebuah taman bunga, tempat orang-orang bisa menikmati aneka ragam bunga di taman tersebut. Tidak hanya keberagaman bunga, tapi juga beragam kupu-kupu, yang mengisap sari bunga, yang bebas beterbangan.
Begitulah taman sari. Ada bunga, ada kupu-kupu, ada serangga, bahkan burung-burung. Juga anak-anak yang berkeliaran ke sana-kemari mengejar kupu-kupu dan binatang-binatang kecil yang ada di sana. Sedangkan orang-orang dewasa lebih banyak yang menikmati aneka bunga dan menghirup segarnya udara di taman.
Lalu, bagaimana dengan taman sari agama-agama marginal alias pinggiran? Di dunia ini, juga di Indonesia, selain agama-agama besar seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budda, dan Konghucu, juga tumbuh subur kelompok-kelompok yang menganut agama-agama kecil, yang marginal dan berkesan terpinggirkan.
Sebagai negara-bangsa, yang berpenduduk dengan beragam etnis dan suku bangsa, tentu harus menghargai serta memberikan hak hidup dan berkembang pada agama-agama tersebut. Kekurangperhatian negara terhadap pemeluk agama minortitas ini akan mendorong kelompok-kelompok tersebut memperjuangkan hak-hak mereka dengan cara masing-masing. Karena itu, hak-hak mereka, sebagaimana yang diperoleh kelompok agama-agama besar, semestinya diberikan dengan porsi yang adil. Inilah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, baik di pusat maupun di daerah.
Sepanjang ajaran suatu agama marginal tersebut tidak mengacak-acak dan menista agama-agama yang lain, sebenarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan. Kalau toh agama-agama marginal itu menginduk pada satu agama besar dan mengacak-acak ajaran agama induk, persoalan itu masuk ke ranah hukum. Tapi, jika ia punya nama dan ajaran sendiri, tak ada alasan untuk tidak memberikan hak-haknya, dan melindungi sebagaimana mestinya.
Sebagai contoh kasus adalah Salamullah. Awalnya, ajaran yang dikembangkan Lia Aminudin ini masih mengaku sebagai bagian dari agama Islam. Tapi, karena ajarannya mengacak-acak ajaran Islam, Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1997 memfatwa sesat atas ajaran Lia Aminuddin tersebut. Ketika dalam perjalanan waktu akhirnya Salamullah menjadi agama baru, persoalan jadi lain. Ia punya hak hidup, meskipun jumlah pengikutnya hanya dalam bilangan puluhan atau ratusan orang.
***
Jika kita mengacu pada Pancasila sebagai dasar negara, sila pertama dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Para pendiri Republik ini, dari kalangan Islamis, memberikan tafsir bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Begitu pula dengan pemeluk agama selain Islam, akan menafsirkan bahwa negara berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya negeri ini dibangun bukan atas dasar sekulerisme yang memisahkan penyelenggaaraan negara dari agama-agama yang dianut oleh pemeluknya.
Dalam sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila ini, semua pelaksana dalam tindak-tanduk mereka harus menyandarkan pada ajaran agama masing-masing. Jika ia seorang muslim, nilai-nilai Islami harus menjadi sandarannya. Begitu pula dengan para pemeluk agama yang lain. Ini sebabnya, ketika seorang pejabat dilantik, ia mesti disumpah terlebih dahulu, menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Jika para pejabat dan penyelenggara negara melaksanakan tugas dan tanggung jawab jabatan dengan berdasarkan ajaran agama yang dianut, seperti tidak boleh korupsi, jujur dan adil, nuansa agamis akan mewarnai birokrasi kita.
***
Pembaca yang budiman, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, setiap kali menjelang Idul Fitri, Gatra hadir dengan Edisi Khusus. Kali ini dengan mengangkat tema: Taman Sari Agama Marginal. Tema ini kami angkat agar kita bisa saling memahami keberadaan agama-agama marginal yang sering kali hak-haknya sebagai suatu agama, kurang mendapat perhatian secara adil.
Dari berbagai agama marginal yang ditampilkan di Gatra kali ini, ada satu titik simpul yang bisa kita petik: adanya kearifan lokal yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan di tempat mereka berada. Hal ini terasa sekali ketika kita berkunjung ke komunitas pemeluk agama-agama marginal itu, lebih-lebih jika agama tersebut sudah ada sejak belum adanya zaman kerajaan di Nusantara ini.
Karena itu, kita mesti mengapresiasi keberadaan mereka, dan memberikan hak-hak mereka, sebagaimana yang didapat oleh para pemeluk agama-agama mayoritas. Jika itu terjadi, kegotongroyongan antar-umat beragama akan bisa terjadi dalam realitas keseharian. Kegotong-royongan itu akan membuahkan sikap kebersamaan dan saling toleran. Itulah modal utama sebuah bangsa dalam membangun negerinya.
Maka, terwujudnya Indonesia sebagai Negara Gotong Royong, sebagaimana pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang disampaikan dalam Sidang BPUPKI. Kala itu, Bung Karno mengatakan, gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan bersama.
Bung Karno memberi makna hakiki tentang sila-sila dalam Pancasila yang bisa diperas menjadi gotong royong, "Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong royong". Alangkah hebatnya Negara Gotong Royong."
Kegotong-royongan mesti kita hidup-hidupkan guna mencapai negeri yang tangguh dan punya daya tahan terhadap berbagai "serangan" dari pihak lain. Kata kunci dari kegotong-royongan itu adalah hindari syak-wasangka antar-pemeluk agama. Ajaran Islam, misalnya, melarang pemeluknya ber syak-wasangka, karena sebagian dari syak wasangka itu dosa (QS. Al-Hujurat: 12).
Jika para pemeluk agama-agama di Indonesia bisa saling bahu-membahu, bergotong royong, dan damai, Indonesia bagaikan sebuah taman sari yang menebarkan wewangian dan oksigen kehidupan bagi warganya, juga dunia.
Sebagai akhir kata, kami, keluarga besar Majalah Gatra, mengucapkan Selamat Idul Fitri 1437 Hijriyah. Taqabbalallahu minna waminkum (semoga Allah menerima amalanku dan amalan Anda). Mohon maaf lahir-batin.
Herry Mohammad
http://arsip.gatra.com/2016-07-04/ma...l=23&id=162372
0
570
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan