Jakarta, namalonews.com- Pada lebaran tahun 2018 ini diprediski akan ada 19,5 juta orang yang akan mudik ke kampung halaman masing-masing. Jumlah itu naik 5,17% dari jumlah pemudik tahun 2017 yang berjumlah 18,6 juta orang. Sebagian dari mereka akan mudik dengan jalur darat di Pulau Jawa.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, yakin bahwa jalan tol Trans Jawa bisa dilewati dari Jakarta hingga Surabaya saat mudik. Jarak jalan tol Jakarta ke Surabaya sepanjang 760 kilometer, terbagi menjadi jalan operasional 525 km, dan fungsional 235 km.
Dengan demikian, jalan tol dari Merak dapat dilewati hingga ke Surabaya, dan masih bisa lanjut hingga Pasuruan, meskipun belum semuanya telah resmi dibuka.
Dari Merak hingga Pasuruan, sudah ada jalan tol sepanjang 995 kilometer.
Dari jarak itu, 760 kilometer sudah beroperasi penuh. Sepanjang 235 kilometer masih dalam kondisi fungsional. Jalan yang dalam kondisi fungsional sepanjang 235 km itu berada antara Pemalang, Jawa Tengah hingga Kertosono, Jawa Timur
“Kami targetkan Tol Trans Jawa bisa melayani arus mudik Lebaran. Dan akhir 2018, tol dari Jakarta-Surabaya sudah operasional seluruhnya,” ujar Basuki, belum lama ini.
Pada lebaran kali ini pemudik bisa melewati jalan-jalan tol tersebut sesuai dengan tujuan mereka mudik.
Yang menarik dari beberapa ruas jalan itu adalah terdapat spanduk yang bertuliskan “Jalan Tol Pak Jokowi.”
Atas munculnya spanduk yang bertuliskan klaim Jalan Tol Pak Jokowi, anggota DPD RI DKI Jakarta Fahira Idris, mengingatkan bahwa rakyat sudah cerdas. Rakyat bisa mengerti bahwa semua hasil pembangunan infrastruktur termasuk jalan tol yang menggunakan uang rakyat dan mekanisme pembiayaan lainnya adalah milik semua rakyat, tidak perduli siapa pun presidennya.
“Rakyat sudah cerdas. Saya khawatir spanduk-spanduk ‘Jalan Tol Pak Jokowi’ ini tidak akan menuai simpati, bahkan akan dianggap oleh sebagian besar rakyat sebagai bentuk arogansi. Pendukung Jokowi harus lebih cerdas menarik hati rakyat. Model-model ‘kampanye’ seperti ini kontraproduktif dan merugikan Jokowi,” tukas Fahira Idris, di Jakarta, Senin (11/6/2018).
Spanduk ‘Jalan Tol Pak Jokowi’ ini, lanjut Fahira, adalah salah satu dari mindset atau pola pikir yang keliru dari pendukung Jokowi.
“Jalan tol dibangun dari APBN, Badan Usaha dan juga melalui pinjaman. Rakyat yang lewat juga harus bayar, tidak gratis. Jadi nilai apa yang mau ditunjukkan kepada rakyat dengan hadirnya spanduk ‘Jalan Tol Pak Jokowi’ ini? Jangan pernah berpikir, Presiden-presiden sebelumnya tidak melakukan apa-apa. Itu namanya buta sejarah. Jika pendukung Pak Harto dan SBY, melakukan hal yang sama, bisa kacau negeri ini,” pungkas Ketua Komite III DPD RI ini.
Proyek Infrastruktur Buat Utang Luar Negeri Melonjak
Selasa 20 Februari 2018 09:07 WIB
BI terus memantau perkembangan ULN agar dapat berperan optimal dalam pembangunan.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Utang luar negeri (ULN) Indonesia melonjak 10,1 persen. Pada kuartal IV 2017, utang luar negeri telah mencapai 352,2 miliar dolar AS atau setara Rp 4.757 triliun.
Melonjaknya utang luar negeri dipengaruhi kenaikan utang di sektor publik dan swasta sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya. Namun, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman, menjelaskan, utang luar negeri Indonesia masih terbilang aman.
Alasannya, berdasarkan jangka waktu, struktur ULN Indonesia masih didominasi utang jangka panjang. Perinciannya, ULN berjangka panjang yang memiliki pangsa 86,1 persen dari total ULN dan pada akhir kuartal IV 2017 tumbuh 8,5 persen (yoy). "Sementara itu, ULN berjangka pendek tumbuh 20,7 persen (yoy)," ujarnya melalui siaran pers.
Menurut sektor ekonomi, kata dia, posisi ULN swasta pada akhir kuartal IV 2017 terutama dimiliki oleh sektor keuangan, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih (LGA), serta pertambangan. "Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,9 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pangsa pada kuartal sebelumnya sebesar 77,0 persen," ujarnya.
Pertumbuhan ULN pada sektor keuangan, sektor industri pengolahan, dan sektor LGA meningkat dibandingkan dengan kuartal III 2017. Di sisi lain, ULN sektor pertambangan mengalami kontraksi pertumbuhan.
Agusman mengatakan, Bank Indonesia memandang perkembangan ULN pada kuartal IV 2017 masih terkendali. Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir kuartal IV 2017 tercatat stabil di kisaran 34 persen.
Selain itu, rasio utang jangka pendek terhadap total ULN juga relatif stabil di kisaran 13 persen. "Kedua rasio ULN tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lain," ungkapnya.
Bank Indonesia juga terus memantau perkembangan ULN dari waktu ke waktu untuk meyakinkan ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi.
https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/18/02/20/p4ff8p415-proyek-infrastruktur-buat-utang-luar-negeri-melonjak
Menko Perekonomian, Darmin Nasution:
Utang Luar Negeri RI Naik Buat Bangun Infrastruktur
19 Apr 2017, 18:12 WIB
Utang luar negeri Indonesia di Februari sebesar US$ 321,7 miliar, naik 2,7 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) melaporkan
Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Februari 2017 tercatat sebesar US$ 321,7 miliar atau tumbuh 2,7 persen (year on year atau yoy). ULN sektor publik US$ 162 miliar dan swasta tercatat US$ 159,7 miliar di periode Februari ini.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menilai kenaikan utang luar negeri tak terlepas dari besarnya kebutuhan Indonesia membangun infrastruktur. Dalam 5 tahun ke depan, anggaran pembangunan infrasruktur yang dibutuhkan sekitar Rp 4.900 triliun.
"Kita kan bangun infrastruktur banyak sekali, itupun sudah diusahakan mayoritas jangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," kata dia usai pencoblosan di dekat kediamannya, Jakarta, Rabu (19/4/2017).
Meski sudah menggelontorkan APBN dalam jumlah besar, Darmin bilang, belum mencukupi kebutuhan anggaran untuk membangun infrastruktur. Bukan tanpa sebab, karena Indonesia sedang mengejar ketertinggalan itu.
"Karena sudah puluhan tahun pembangunan infrastruktur praktis tidak jalan. Jalan sih tapi sangat lambat, tidak memadai. Akibatnya ekonomi rakyat tidak bergerak. Jadi apa boleh buat (utang) karena pembangunan infrastruktur perlu biaya, tapi sekali investasi bisa dipakai 20-30 tahun," Darmin menerangkan.
Untuk diketahui,
utang luar negeri Indonesia di Februari sebesar US$ 321,7 miliar tercatat mengalami pertumbuhan 2,7 persen (Yoy). Namun melambat dibandingkan dengan pertumbuhan Januari 2017 sebesar 3,6 persen (yoy).
"Berdasarkan kelompok peminjam, perlambatan tersebut dipengaruhi oleh ULN sektor publik yang tumbuh melambat, seiring dengan ULN sektor swasta yang tetap menurun," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara.
Utang luar negeri sektor publik tercatat sebesar US$ 162,0 miliar atau tumbuh 10,3 persen (yoy) pada Februari 2017, lebih rendah dari pertumbuhan di bulan sebelumnya yang sebesar 12,4 persen (yoy).
Sementara itu, posisi ULN sektor swasta pada Februari 2017 tercatat sebesar US$ 159,7 miliar atau turun 4,0 persen (yoy), sama dengan penurunan bulan sebelumnya.
BI memandang perkembangan utang luar negeri pada Februari 2017 tetap sehat, namun terus mewaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional. Bank Indonesia terus memantau perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa
utang luar negeri dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang berpotensi memengaruhi stabilitas makro ekonomi.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2925529/menko-darmin-utang-luar-negeri-ri-naik-buat-bangun-infrastruktur
Tiga Tahun Jokowi-JK, Ini Pemicu Utang Negara Meroket Tajam
October 21, 2017
NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Genap tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK pimpin Indonesia. Berdasarkan laporan para menteri, berbagai program dinilai berhasil dijalankan Jokowi. Salah satunya mengenai pembangunan insfrastruktur, yang disebut-sebut sebagai bukti sahih kesuksesan pemerintahan Jokowi.
Namun di balik gencarkan pembangunan infrastruktur ini justru memicu utang negara meroket tajam. Tercatat dalam 3 tahun Jokowi telah menyumbang utang negara mencapai Rp 1.261,52 Triliun.
Dalam laporannya, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Kamis (19/10) menyebut Jokowi telah menarik utang sangat besar selama tiga tahun terakhir. Dari total utang Rp 3.866,45 triliun hingga September 2017, naik sebanyak Rp 1.261,52 triliun.
Menko Perekonomian Darmin Nasution tak menampik bahwa pemerintahan Jokowi memang melakukan penarikan utang besar-besaran selama tiga tahun terakhir ini. Meski utang yang ditarik besar, namun Darmin Nasution mengaku tak mempermasalahkan, karena menurutnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, yang dinilainya sebagai hal produktif.
Sebagaimana diketahui utang pemerintah per akhir September 2017 diambang tembus 4 ribu triliun, tepatnya Rp 3.866,45 triliun atau dalam sebulan naik mencapai Rp 40,66 triliun dibandingkan jumlah utang di Agustus 2017 sebesar Rp 3.825,79 triliun. Sejak awal masa kepemimpinan Jokowi kenaikan total utang pemerintah selama tiga tahun mencapai Rp 1.261,52 triliun, dari yang semula tahun 2014 hanya sebesar Rp 2.604,93 kini menjadi Rp 3.866,45 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri mengungkapkan, kenaikan jumlah utang pemerintah saat ini terjadi karena adanya defisit anggaran. Tahun ini defisit diproyeksi 2,92% terhadap PDB. “Kalau defisit ya memang harus ada kenaikan,” kata Sri Mulyani di Komplek Istana, Jakarta, Kamis (19/10).
Biang Keladi Itu Bernama Infrastruktur
Pemicu terbesar meroketnya utang Indonesia tak lain adalah pembangunan insfrastruktur, yang dinilai oleh beberapa pakar ekonomi sebagai biang keladi atas anomali ekonomi di Indonesia.
Pada 14 Mei 2017 lalu, China Development Bank (CDB) telah resmi menandatangani perjanjian pencairan dana utangan sebesar Rp 13,300 triliun untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Perjanjian itu, kata Menteri Luhut Binsar Pandjaitan (23/5) ditandangi langsung di Tiongkok. Yang ditandatangani langsung oleh Presiden Jokowi dengan Presiden Cina Xi Jin Ping.
Dana pinjaman utang dari negara Komunis itu sebenarnya tidak hanya untuk mega proyek kereta cepat yang kerap ‘dijual’ dalam iklan Meikarta saja. Melainkan juga untuk pembangunan infrastruktur lain di sejumlah wilayah di Indonesia. Inilah yang mesti dicermati.
Meskipun rakyat Indonesia sangat membutuhkan infrastruktur tapi konteks ini, kedaulatan dan kemerdekaan mestinya tidak bisa ditukar dengan apapun. Pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, Meikarta, Reklamasi serta pembangunan kawasan Industri Konawe, Sulawesi Tenggara secara purchasing power bukan untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Ini yang sangat disayangkan, banyak kebijakan yang semestinya menjadi kewajiban negara khususnya menyangkut hajat rakyat Indonesia, justru oleh pemerintahan Jokowi diserahkan kepada swasta asing. Sebagai contoh kebijakan pembangunan ekonomi yang bersifat vital dan strategis seperti bidang infrastruktur, properti, tanah, air, rumah sakit dan pendidikan. Ini jelas sangat membahayakan bagi keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia serta keamanan nasional.
Sederet pembangunan tersebut, nantinya hanya akan menjadi beban politik, beban kedaulatan serta beban ekonomi nasional bangsa Indonesia di masa depan. Pada prinsipnya, proyek-proyek infrastruktur yang didanai Cina dengan menggunakan BUMN sebagai jaminan bukan solusi.
Bermain Api di Tumpukan Jerami Kering
Seperti bermain api di tumpukan jerami kering, pemerintahan Jokowi tampaknya akan mengulang cerita Srilanka. Dikutip dari Reuters, pemerintah Sri Lanka beberapa bulan lalu resmi menanda tangani kesepakatan dengan Cina untuk menyerahkan aset BUMN-nya yakni Pelabuhan Hambantota ke tangan Cina. Tepatnya sejak pemerintah Sri Lanka dinyatakan tak mampu membayar hutang pada Cina.
Benar kiranya sikap kritis Sri Sultan Hamengku Buwono X (HB X) yang menolak keras pembangunan infrastruktur tol trans-Jawa. Dimana Sultan paham bahwa mega proyek pembangunan infrastruktur adalah hal dipaksakan dan tidak realistis. Pasalnya, ketika negara terus mengalami defisit, pemerintah justru memaksakan diri menghutang ke sana-kemari, sementara sektor ekonomi riil masyarakat terabaikan. Dalih percepatan ekonomi, jelas itu jawaban klise.
“Di Yogya tak ada jalan tol. Pemerintah Pusat juga sepakat, Saya (Sultan Jogja) tidak setuju adanya jalan tol, karena rakyat tidak akan mendapatkan apa-apa. Kalau jalan mau diperlebar itu silakan saja, tetapi jangan dibikin tol,” kata HB X (13/7).
Apa yang dikatakan HB X itu masuk akal, sebab jalan tol hanya akan menguntungkan bagi segelintir orang. Siapa? Tak lain adalah mereka para swasta-swasta asing yang loyal memberikan dana utangan kepada pemerintah.
HB X secara tegas mengatakan, tol hanya akan semakin memperlebar kesenjangan. Tak ada yang bisa diakses oleh rakyat secara ekonomi dari pembangunan itu.
“Keberadaan tol iku, sing diuntungke mung (yang diuntungkan hanya) pihak yang membuat tol saja, tetapi rakyat di skelilingnya gak dapat apa-apa. Karena jalan tol itu ditutup, orang di kiri kanan tol tak memiliki akses ke jalan. Kecuali harus bayar dan seringkali harus mutar-mutar dulu dan jauh pula. Kalau wilayah di luar Yogya, mau bikin tol, ya silakan saja, seperti di Bawen sampai Salatiga,” sambungnya.
Ketahanan Pangan dan Energi Lemah
Selain masalah infrastruktur yang menjadi pemicu utang meroket dalam tiga tahun Jokowi-JK, pemerintah juga belum berhasil mengurangi ketergantungan impor, khususnya pangan dan energi. Setidaknya dari 2014 hingga 2016, impor beras justru terus meningkat tajam. Tahun 2014 sebesar 844,2 ribu ton, 2015 sebesar 861,6 ribu ton, dan 2016 sebesar 1,3 juta ton. Indonesia juga mengimpor garam, kedelai, gandum, dan lain-lain.
Sementara itu, untuk impor energi juga masih tinggi. Sebanyak 50 persen kebutuhan BBM di dalam negeri masih diimpor. Baik dalam bentuk mentah maupun BBM. Di sisi lain, lebih dari separuh produksi minyak di dalam negeri hanya dipegang oleh korporasi asing.
https://nusantaranews.co/tiga-tahun-jokowi-jk-ini-pemicu-utang-negara-meroket-tajam/