- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dituding Pencitraan, Kenapa Jokowi Temui Peserta Aksi Kamisan di Tahun Politik?


TS
duratmokoo
Dituding Pencitraan, Kenapa Jokowi Temui Peserta Aksi Kamisan di Tahun Politik?

Quote:
Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akhirnya menerima peserta `Aksi Kamisan` pada Kamis (31/5/2018) kemarin, mendapat tanggapan sumir lantaran baru dilakukan Jokowi, ketika gelaran pemilu makin dekat.
Aktivis hak azasi manusia (HAM), Haris Azhar menilai, pertemuan itu hanya dagelan karena dilakukan menjelang tahun politik. Ia mengatakan pertemuan itu bukan inisiatif langsung dari Jokowi. Menurutnya, ada `aktor` yang mendorong Jokowi agar menerima para peserta aksi Kamisan.
"Jokowi bukan yang memanggil langsung. Bukan niat Jokowi. Ada pemain tengah yang saya lihat mau cari muka dan seolah-olah menunjukkan punya kemampuan atau akses, baik buat korban atau Presiden. Tapi ini bukan insiatif Jokowi," kata Haris, Jumat (1/6/2018).
Dia mengungkap, sebelum para peserta aksi bertemu Jokowi, mereka harus melalui proses screening. Dalam proses itu, para peserta ditanyakan apa saja pertanyaan yang akan diajukan kepada Presiden. Pertanyaan ini kemudian disaring. "Enggak genuine ketemu Presiden. Di-screening dulu oleh Moeldoko. Jadi menurut saya cuma dagelan saja," kata dia.
Haris juga mengkritik pertemuan tersebut yang sarat muatan politis. Sebabnya pertemuan dilakukan mendekati Pilpres 2019. Dia menilai ini dilakukan Jokowi hanya untuk mendongkrak popularitasnya. Seperti dikutip merdeka.com, apalagi belakangan ini Jokowi dinilai tak lagi populis, hasil survei menurun dan memiliki cataran buruk dalam hal penegakan hukum dan HAM.
Popularitas Jokowi juga menurutnya turun drastis belakangan ini. Presiden banyak diserang soal Perpres yang mengatur tingginya gaji Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), mantan napi korupsi yang boleh mencalonkan diri sebagai caleg atau kepada daerah, dan juga Istana yang tak jadi sentral pemberitaan peringatan 20 tahun reformasi.
Pertemuan peserta aksi Kamisan dengan Presiden juga tak membuahkan hasil menjanjikan. Presiden, kata Haris, hanya mengatakan akan mempelajari apa yang menjadi harapan dan keinginan para korban.
"Statement Presiden lucu dan katanya akan dipelajari dulu. Kemana saja selama ini? Itu kan ada dijanji kampanyenya. Berarti dia sendiri gagal memenuhi janjinya. Janganlan ngomong hak konstitusional korban, secara personal dia sudah berjanji pada Nawacita itu," kritik mantan Koordinator KontraS ini.
"Kalau dia enggak paham dengan isi Nawacita waktu dia jadi capres, dia dibohongin dong dengan orang yang susun Nawacita. Dia enggak ngerti dengan Nawacita," katanya.
Pernyataan Haris ditepis, Tenaga Ahli Utama Kedeputian bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin. Dikatakan, Pertemuan Presiden Jokowi dengan peserta `Aksi Kamisan` jauh dari kata pencitraan. "Kalau sekadar pencitraan, enggak. Bukan musimnya sekarang," kata Ngabalin, dalam acara refleksi 20 tahun reformasi di kantor DPD Golkar DKI Jakarta, Jumat (1/6/2018).
Ngabalin menegaskan keputusan yang terkesan mendadak itu sebagai karakter Jokowi yang terjadi tidak sekali saja. Ia pun menyebut pihak yang mengatur pertemuan tersebut bukan dari Jokowi sendiri.
"Apalagi, kan, bukan kami yang mengatur jadwalnya ke sana ke mari. Jadi jauh lah dari gerakan-gerakan presiden untuk sekadar pencitraan," ujar politikus Golkar tersebut.
Diketahui, sekitar 20 anggota keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) diterima Jokowi di Istana setelah menggelar `Aksi Kamisan` sebanyak 540 kali, dalam pertemuan yang dilakukan secara tertutup.
Usai pertemuan, ibu korban Tragedi Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih berharap, Presiden Jokowi dapat memenuhi janjinya untuk segera menyelesaikan pengusutan kasus HAM.
"Saya berharap Pak Jokowi memenuhi komitmennya untuk mewujudkan visi misi dan program aksi yaitu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Sumarsih yang merupakan ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan di Kompleks Istana Kepresidenan.
Sumarsih berharap, Kepala Negara memerintahkan Jaksa Agung M Prasetyo menindaklanjuti hasil temuan Komisi Nasional (Komnas) HAM. "Nanti kita lihat saja perkembangannya," ucap dia.
Tercatat ada enam agenda reformasi pascalengsernya Presiden Soeharto pada 1998 yakni adili Soeharto dan kroni-kroninya, amendemen UUD 1945, hapuskan dwifungsi ABRI, hapuskan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), otonomi daerah seluas-luasnya, dan tegakkan supremasi hukum. "Ini harapan saya Pak Jokowi bisa mewujudkan visi misi nawacita dan itu bentuk dari pelaksanaan reformasi," ucap Sumarsih.
Dalam kesempatan yang sama, juru bicara kepresidenan, Johan Budi, mengatakan "Presiden memerintahkan pada jaksa agung untuk berkoordinasi dengan Komnas HAM."
Pernyataan tersebut disambut baik Sandyawan Sumardi, figur yang senantiasa mendampingi para keluarga korban pelanggaran HAM dalam setiap `Aksi Kamisan`. Seperti dikutip BBCIndonesia, Sandyawan menilai pernyataan presiden adalah langkah maju menuju penyidikan atas berbagai pelanggaran HAM berat. "Memang secara eksplisit belum, tapi bahwa presiden memerintahkan jaksa agung, itu ke arah sana," kata Sandyawan.
Bagaimanapun, sebelum penyidikan terwujud, pria yang aktif dalam sejumlah kegiatan kemanusiaan itu menekankan pentingnya pengakuan presiden bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam sejumlah insiden di masa lalu.
Gimmick di Tahun Politik
Sebelum pertemuan antara Jokowi dan anggota keluarga korban pelanggaran HAM dilakukan, aktivis HAM, Suciwati dalam keterangan pers mengatakan, kedatangan Jokowi ke `Aksi Kamisan` bukanlah sesuatu yang istimewa.
Ia menegaskan, sejak awal digelar `Aksi Kamisan` bukan hanya untuk dikunjungi atau bertemu Presiden, melainkan untuk mendesak pertanggungjawaban negara atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Dikatakannya, kedatangan Jokowi ke `Aksi Kamisan` di penghujung bulan Mei 2018 ini, justru menimbulkan pertanyaan. Karena sejak jauh-jauh hari `Aksi Kamisan` telah berlangsung selama 11 tahun lamanya atau telah dilakukan sebanyak 540 kali di depan Istana Negara, dan telah mengirimkan ratusan surat kepada Presiden, termasuk di era kepemimpinan Jokowi. Namun tidak pernah satupun diantaranya mendapatkan respons yang berarti.
"Kami mengkhawatirkan bahwa kedatangan Presiden Jokowi atau pertemuan yang akan dilakukan hari ini hanyalah sesuatu yang bersifat simbolis atau merupakan sebuah gimmick di tengah tahun politik yang sedang berlangsung," kata Suciwati dalam keterangan persnya.
Istri aktivis HAM almarhum Munir itu menyayangkan jika kunjungan atau pertemuan ini tidak dilandasi oleh tekad dan komitmen kuat dari Kepala Negara untuk bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sebab menurut dia, hal tersebut justru akan menghina rasa keadilan dan kemanusiaan itu sendiri, serta semakin memupus harapan korban dan keluarga korban.
Suciwati mengingatkan selama menjabat sebagai Presiden Jokowi memiliki performa sangat lamban dalam menyelesaikan atau setidak-tidaknya memberi respons terhadap masalah-masalah terkait pelanggaran HAM. Padahal agenda penyelesaian pelanggaran HAM sudah tertuang dalam dokumen Nawa Cita Jokowi-JK.
Ia juga menyayangkan Presiden membiarkan Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM. Dan termasuk Presiden menolak mengumumkan dokumen Hasil Penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) meninggalnya Munir. Bahkan, lanjut dia, dokumen sempat disebutkan tidak diketahui keberadaannya.
Hingga perihal Rekomendasi DPR RI kepada Presiden dan pemerintah untuk mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc, membentuk tim pencarian korban yang masih hilang, memulihkan korban dan keluarga korban termasuk meratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penghilangan Paksa, semuanya juga tidak dilakukan.
Dalam momentum inilah, Suciwati secara khusus mempertanyakan sejauh mana Presiden memiliki komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini masih menggantung. Seperti upaya mengakui telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Indonesia dan pemerintah belum mampu menyelesaiakannya dan akan menyelesaikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Menindaklanjuti empat rekomendasi DPR untuk kasus Penghilangan Paksa (Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Membentuk Tim Pencarian korban. Memulihkan korban dan keluarga, meratifikasi Konvensi Menentang Penghilangan Paksa), dan Memastikan Jaksa Agung melakukan penyidikan terhadap 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM.
"Kami juga mendesak agar Presiden segera mengumumkan dokumen laporan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF-KMM) sebagai mana mandat yang tertuang dalam Keppres 111/2004," katanya.
Menurut Suciwati, ide langkah Presiden Jokowi membentuk sebuah Komite Kepresidenan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu juga merupakan sebuah parameter yang sahih bahwa Presiden Jokowi mempunyai perspektif HAM dan keadilan.
"Alih-alih hanya datang menemui massa Aksi Kamisan yang cenderung kuat nuansa pencitraannya, seharusnya Presiden Jokowi lebih memprioritaskan agenda pembentukan Komite Kepresidenan tersebut di atas dan melakukan tindakan yang konkret daripada hanya sekadar tindakan populis saja," jelas dia.
Hal-hal di ataslah yang harus menjadi parameter kesungguhan Presiden Jokowi untuk memastikan bahwa kunjungan atau pertemuan yang dilakukannya bagian dari komitmennya sebagai Kepala Negara.
"Jadi bukan `tampil` membawa kepentingan politik pragmatis di tengah tahun politik ini. Komitmen Presiden Jokowi ini, diharapkan juga diikuti dengan langkah Presiden Jokowi membersihkan kabinetnya dari para figur yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM."
Aksi Kamisan ke depan akan tetap berlangsung baik dikunjungi, ditemui ataupun tidak oleh Presiden. "Adapun jika hingga akhir masa Pemerintahan Presiden Jokowi ini, tak kunjung ada langkah konkret penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, maka upaya hukum dapat ditempuh oleh korban, keluarga korban dan segenap masyarakat sipil," katanya.
`Aksi Kamisan `adalah aksi damai sejak 18 Januari 2007 yang dilakukan oleh para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia seperti korban peristiwa 1965, Tragedi Trisakti dan Semanggi 1998, korban Tragedi Wasior-Wamena, dan lainnya.
Aksi tersebut dilakukan di dekat Taman Aspirasi yang menghadap ke Istana Merdeka dengan membawa atribut payung hitam setiap Kamis pukul 16.00-17.00 WIB tanpa melakukan orasi dan lebih banyak diam.
metro tv
Aktivis hak azasi manusia (HAM), Haris Azhar menilai, pertemuan itu hanya dagelan karena dilakukan menjelang tahun politik. Ia mengatakan pertemuan itu bukan inisiatif langsung dari Jokowi. Menurutnya, ada `aktor` yang mendorong Jokowi agar menerima para peserta aksi Kamisan.
"Jokowi bukan yang memanggil langsung. Bukan niat Jokowi. Ada pemain tengah yang saya lihat mau cari muka dan seolah-olah menunjukkan punya kemampuan atau akses, baik buat korban atau Presiden. Tapi ini bukan insiatif Jokowi," kata Haris, Jumat (1/6/2018).
Dia mengungkap, sebelum para peserta aksi bertemu Jokowi, mereka harus melalui proses screening. Dalam proses itu, para peserta ditanyakan apa saja pertanyaan yang akan diajukan kepada Presiden. Pertanyaan ini kemudian disaring. "Enggak genuine ketemu Presiden. Di-screening dulu oleh Moeldoko. Jadi menurut saya cuma dagelan saja," kata dia.
Haris juga mengkritik pertemuan tersebut yang sarat muatan politis. Sebabnya pertemuan dilakukan mendekati Pilpres 2019. Dia menilai ini dilakukan Jokowi hanya untuk mendongkrak popularitasnya. Seperti dikutip merdeka.com, apalagi belakangan ini Jokowi dinilai tak lagi populis, hasil survei menurun dan memiliki cataran buruk dalam hal penegakan hukum dan HAM.
Popularitas Jokowi juga menurutnya turun drastis belakangan ini. Presiden banyak diserang soal Perpres yang mengatur tingginya gaji Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), mantan napi korupsi yang boleh mencalonkan diri sebagai caleg atau kepada daerah, dan juga Istana yang tak jadi sentral pemberitaan peringatan 20 tahun reformasi.
Pertemuan peserta aksi Kamisan dengan Presiden juga tak membuahkan hasil menjanjikan. Presiden, kata Haris, hanya mengatakan akan mempelajari apa yang menjadi harapan dan keinginan para korban.
"Statement Presiden lucu dan katanya akan dipelajari dulu. Kemana saja selama ini? Itu kan ada dijanji kampanyenya. Berarti dia sendiri gagal memenuhi janjinya. Janganlan ngomong hak konstitusional korban, secara personal dia sudah berjanji pada Nawacita itu," kritik mantan Koordinator KontraS ini.
"Kalau dia enggak paham dengan isi Nawacita waktu dia jadi capres, dia dibohongin dong dengan orang yang susun Nawacita. Dia enggak ngerti dengan Nawacita," katanya.
Pernyataan Haris ditepis, Tenaga Ahli Utama Kedeputian bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin. Dikatakan, Pertemuan Presiden Jokowi dengan peserta `Aksi Kamisan` jauh dari kata pencitraan. "Kalau sekadar pencitraan, enggak. Bukan musimnya sekarang," kata Ngabalin, dalam acara refleksi 20 tahun reformasi di kantor DPD Golkar DKI Jakarta, Jumat (1/6/2018).
Ngabalin menegaskan keputusan yang terkesan mendadak itu sebagai karakter Jokowi yang terjadi tidak sekali saja. Ia pun menyebut pihak yang mengatur pertemuan tersebut bukan dari Jokowi sendiri.
"Apalagi, kan, bukan kami yang mengatur jadwalnya ke sana ke mari. Jadi jauh lah dari gerakan-gerakan presiden untuk sekadar pencitraan," ujar politikus Golkar tersebut.
Diketahui, sekitar 20 anggota keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) diterima Jokowi di Istana setelah menggelar `Aksi Kamisan` sebanyak 540 kali, dalam pertemuan yang dilakukan secara tertutup.
Usai pertemuan, ibu korban Tragedi Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih berharap, Presiden Jokowi dapat memenuhi janjinya untuk segera menyelesaikan pengusutan kasus HAM.
"Saya berharap Pak Jokowi memenuhi komitmennya untuk mewujudkan visi misi dan program aksi yaitu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Sumarsih yang merupakan ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan di Kompleks Istana Kepresidenan.
Sumarsih berharap, Kepala Negara memerintahkan Jaksa Agung M Prasetyo menindaklanjuti hasil temuan Komisi Nasional (Komnas) HAM. "Nanti kita lihat saja perkembangannya," ucap dia.
Tercatat ada enam agenda reformasi pascalengsernya Presiden Soeharto pada 1998 yakni adili Soeharto dan kroni-kroninya, amendemen UUD 1945, hapuskan dwifungsi ABRI, hapuskan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), otonomi daerah seluas-luasnya, dan tegakkan supremasi hukum. "Ini harapan saya Pak Jokowi bisa mewujudkan visi misi nawacita dan itu bentuk dari pelaksanaan reformasi," ucap Sumarsih.
Dalam kesempatan yang sama, juru bicara kepresidenan, Johan Budi, mengatakan "Presiden memerintahkan pada jaksa agung untuk berkoordinasi dengan Komnas HAM."
Pernyataan tersebut disambut baik Sandyawan Sumardi, figur yang senantiasa mendampingi para keluarga korban pelanggaran HAM dalam setiap `Aksi Kamisan`. Seperti dikutip BBCIndonesia, Sandyawan menilai pernyataan presiden adalah langkah maju menuju penyidikan atas berbagai pelanggaran HAM berat. "Memang secara eksplisit belum, tapi bahwa presiden memerintahkan jaksa agung, itu ke arah sana," kata Sandyawan.
Bagaimanapun, sebelum penyidikan terwujud, pria yang aktif dalam sejumlah kegiatan kemanusiaan itu menekankan pentingnya pengakuan presiden bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam sejumlah insiden di masa lalu.
Gimmick di Tahun Politik
Sebelum pertemuan antara Jokowi dan anggota keluarga korban pelanggaran HAM dilakukan, aktivis HAM, Suciwati dalam keterangan pers mengatakan, kedatangan Jokowi ke `Aksi Kamisan` bukanlah sesuatu yang istimewa.
Ia menegaskan, sejak awal digelar `Aksi Kamisan` bukan hanya untuk dikunjungi atau bertemu Presiden, melainkan untuk mendesak pertanggungjawaban negara atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Dikatakannya, kedatangan Jokowi ke `Aksi Kamisan` di penghujung bulan Mei 2018 ini, justru menimbulkan pertanyaan. Karena sejak jauh-jauh hari `Aksi Kamisan` telah berlangsung selama 11 tahun lamanya atau telah dilakukan sebanyak 540 kali di depan Istana Negara, dan telah mengirimkan ratusan surat kepada Presiden, termasuk di era kepemimpinan Jokowi. Namun tidak pernah satupun diantaranya mendapatkan respons yang berarti.
"Kami mengkhawatirkan bahwa kedatangan Presiden Jokowi atau pertemuan yang akan dilakukan hari ini hanyalah sesuatu yang bersifat simbolis atau merupakan sebuah gimmick di tengah tahun politik yang sedang berlangsung," kata Suciwati dalam keterangan persnya.
Istri aktivis HAM almarhum Munir itu menyayangkan jika kunjungan atau pertemuan ini tidak dilandasi oleh tekad dan komitmen kuat dari Kepala Negara untuk bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sebab menurut dia, hal tersebut justru akan menghina rasa keadilan dan kemanusiaan itu sendiri, serta semakin memupus harapan korban dan keluarga korban.
Suciwati mengingatkan selama menjabat sebagai Presiden Jokowi memiliki performa sangat lamban dalam menyelesaikan atau setidak-tidaknya memberi respons terhadap masalah-masalah terkait pelanggaran HAM. Padahal agenda penyelesaian pelanggaran HAM sudah tertuang dalam dokumen Nawa Cita Jokowi-JK.
Ia juga menyayangkan Presiden membiarkan Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM. Dan termasuk Presiden menolak mengumumkan dokumen Hasil Penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) meninggalnya Munir. Bahkan, lanjut dia, dokumen sempat disebutkan tidak diketahui keberadaannya.
Hingga perihal Rekomendasi DPR RI kepada Presiden dan pemerintah untuk mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc, membentuk tim pencarian korban yang masih hilang, memulihkan korban dan keluarga korban termasuk meratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penghilangan Paksa, semuanya juga tidak dilakukan.
Dalam momentum inilah, Suciwati secara khusus mempertanyakan sejauh mana Presiden memiliki komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini masih menggantung. Seperti upaya mengakui telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Indonesia dan pemerintah belum mampu menyelesaiakannya dan akan menyelesaikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Menindaklanjuti empat rekomendasi DPR untuk kasus Penghilangan Paksa (Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Membentuk Tim Pencarian korban. Memulihkan korban dan keluarga, meratifikasi Konvensi Menentang Penghilangan Paksa), dan Memastikan Jaksa Agung melakukan penyidikan terhadap 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM.
"Kami juga mendesak agar Presiden segera mengumumkan dokumen laporan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF-KMM) sebagai mana mandat yang tertuang dalam Keppres 111/2004," katanya.
Menurut Suciwati, ide langkah Presiden Jokowi membentuk sebuah Komite Kepresidenan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu juga merupakan sebuah parameter yang sahih bahwa Presiden Jokowi mempunyai perspektif HAM dan keadilan.
"Alih-alih hanya datang menemui massa Aksi Kamisan yang cenderung kuat nuansa pencitraannya, seharusnya Presiden Jokowi lebih memprioritaskan agenda pembentukan Komite Kepresidenan tersebut di atas dan melakukan tindakan yang konkret daripada hanya sekadar tindakan populis saja," jelas dia.
Hal-hal di ataslah yang harus menjadi parameter kesungguhan Presiden Jokowi untuk memastikan bahwa kunjungan atau pertemuan yang dilakukannya bagian dari komitmennya sebagai Kepala Negara.
"Jadi bukan `tampil` membawa kepentingan politik pragmatis di tengah tahun politik ini. Komitmen Presiden Jokowi ini, diharapkan juga diikuti dengan langkah Presiden Jokowi membersihkan kabinetnya dari para figur yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM."
Aksi Kamisan ke depan akan tetap berlangsung baik dikunjungi, ditemui ataupun tidak oleh Presiden. "Adapun jika hingga akhir masa Pemerintahan Presiden Jokowi ini, tak kunjung ada langkah konkret penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, maka upaya hukum dapat ditempuh oleh korban, keluarga korban dan segenap masyarakat sipil," katanya.
`Aksi Kamisan `adalah aksi damai sejak 18 Januari 2007 yang dilakukan oleh para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia seperti korban peristiwa 1965, Tragedi Trisakti dan Semanggi 1998, korban Tragedi Wasior-Wamena, dan lainnya.
Aksi tersebut dilakukan di dekat Taman Aspirasi yang menghadap ke Istana Merdeka dengan membawa atribut payung hitam setiap Kamis pukul 16.00-17.00 WIB tanpa melakukan orasi dan lebih banyak diam.
metro tv
Carmuk.. Btw itu ditanyaain dulu apa pertanyaan buat presiden, mungkin biar tim bisa ngasih contekan buat wiwi pas ditanya..takutnya kalo ga dikasih contekan keluar kata2 legend 'ai won tu tes mai minister'



0
2.1K
Kutip
28
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan