- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pemerintah Nyatakan Tak Turunkan Hukuman Koruptor di RKUHP


TS
fitsa..hats
Pemerintah Nyatakan Tak Turunkan Hukuman Koruptor di RKUHP
Quote:
Jakarta - Tim Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Panja RKUHP) dari pemerintah menepis anggapan bahwa pihaknya menurunkan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi di RKUHP. Anggota tim Panja RKUHP dari pemerintah Harkristuti Harkrisnowo menuturkan, pihaknya hanya menyamakan hukuman antara pejabat negara dengan warga biasa.
"Pasal 2 dan 3 (dalam UU Tipikor) tadinya 4 tahun, kami samakan setiap orang (yang bukan pejabat negara) dengan pejabat. Jadi tidak benar ketika ada yang bilang diturunkan," kata Tuti di Kantor Kemenkumham, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (6/6/2018).
Perubahan sanksi terhadap dua pasal tersebut, dikatakan oleh Tuti, berangkat dari hasil cermatan tim Panja RKUHP Pemerintah terhadap sanksi yang dinilai tidak rasional dan proporsional. Contohnya perbedaan sanksi bagi pejabat negara dan warga biasa.
"Tim kami mempergunakan satu sistem yang kami kembangkan sendiri. Ketika kami melakukan penelaahan terhadap sanksi-sanksi, kita mendapati sanksi-sanksi yang kami anggap tidak rasional dan proposional," ungkap Tuti.
"Misalnya, mengapa terjadi pengurangan tindak pidana di satu sisi. Jadi ini berkaitan dengan pasal 2 dan 3 dari UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal dua itu ditujukan untuk setiap orang artinya dia bukan pejabat negara. Ternyata kita mendapati bukan pejabat sanksi minimal 4 tahun, tapi kalau dia PNS, pejabat, itu kok 1 tahun? Kami anggap tidak rasional," sambungnya.
Tuti juga meluruskan bahwa tim Panja RKUHP Pemerintah tak melakukan penghapusan terhadap hukuman mati yang tertera di dalam Pasal 2 ayat 2 Tipikor. Ia menjelaskan, pihaknya hanya mengganti hukuman mati pada Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor dengan KUHP.
"Kemudian dikatakan bahwa sekarang tidak ada pidana mati dalam KUHP. Dalam pasal 2 ayat 2 dirumuskan bahwa tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 yaitu korupsi apabila dia melanggar tertentu akan dijatuhkan pidana mati, ayat itu tidak dihapuskan, saudara-saudara, dari UU Korupsi," sebutnya.
"Yang dihapuskan dan diganti dengan KUHP hanya pasal 2 ayat 1, karena kekurangan pahaman jadi dianggap kami menghilangkan sanksi pidana mati dalam UU Korupsi. Kita tidak melakukan karena ayat itu tetap berlaku," tutupnya.
Sebelumnya, ICW membikin petisi di laman change.org dalam rangka mendukung agar pasal-pasal mengenai tindak pidana korupsi atau tipikor dicabut dari RKUHP. Soalnya, mereka menilai pasal-pasal tipikor itu bisa mengancam eksistensi KPK.
Dilihat detikcom pada Senin (4/6), ICW menyebut setidaknya 2 alasan RKUHP tersebut membahayakan KPK, apa saja?
1. KPK Tak Lagi Bisa Usut Kasus Korupsi
KPK terancam tidak bisa lagi melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terkait kasus tipikor apabila RKUHP disahkan. Dalam petisi itu disebutkan, kewenangan KPK tercantum dalam UU KPK yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor (dan bukan dalam KUHP). Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka hanya kejaksaan dan kepolisian yang dapat menangani kasus korupsi. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.
Tidak hanya KPK, akan tetapi Pengadilan Tipikor pun terancam keberadaannya. Selama ini Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili kejahatan yang diatur dalam UU Tipikor. Maka jika R-KUHP ini disahkan kejahatan korupsi akan kembali diperiksa dan diadili Pengadilan Negeri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada masa lalu Pengadilan Negeri kerap memberikan vonis ringan bahkan tidak jarang membebaskan pelaku korupsi.
2. RKUHP Untungkan Koruptor
Dalam petisi itu disebutkan, ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RKUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor. Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum dan dihukum bersalah tidak diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya kepada negara karena RKUHP tidak mengatur hal ini. Selain itu pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara agar tidak diproses oleh penegak hukum.
"Pasal 2 dan 3 (dalam UU Tipikor) tadinya 4 tahun, kami samakan setiap orang (yang bukan pejabat negara) dengan pejabat. Jadi tidak benar ketika ada yang bilang diturunkan," kata Tuti di Kantor Kemenkumham, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (6/6/2018).
Perubahan sanksi terhadap dua pasal tersebut, dikatakan oleh Tuti, berangkat dari hasil cermatan tim Panja RKUHP Pemerintah terhadap sanksi yang dinilai tidak rasional dan proporsional. Contohnya perbedaan sanksi bagi pejabat negara dan warga biasa.
"Tim kami mempergunakan satu sistem yang kami kembangkan sendiri. Ketika kami melakukan penelaahan terhadap sanksi-sanksi, kita mendapati sanksi-sanksi yang kami anggap tidak rasional dan proposional," ungkap Tuti.
"Misalnya, mengapa terjadi pengurangan tindak pidana di satu sisi. Jadi ini berkaitan dengan pasal 2 dan 3 dari UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal dua itu ditujukan untuk setiap orang artinya dia bukan pejabat negara. Ternyata kita mendapati bukan pejabat sanksi minimal 4 tahun, tapi kalau dia PNS, pejabat, itu kok 1 tahun? Kami anggap tidak rasional," sambungnya.
Tuti juga meluruskan bahwa tim Panja RKUHP Pemerintah tak melakukan penghapusan terhadap hukuman mati yang tertera di dalam Pasal 2 ayat 2 Tipikor. Ia menjelaskan, pihaknya hanya mengganti hukuman mati pada Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor dengan KUHP.
"Kemudian dikatakan bahwa sekarang tidak ada pidana mati dalam KUHP. Dalam pasal 2 ayat 2 dirumuskan bahwa tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 yaitu korupsi apabila dia melanggar tertentu akan dijatuhkan pidana mati, ayat itu tidak dihapuskan, saudara-saudara, dari UU Korupsi," sebutnya.
"Yang dihapuskan dan diganti dengan KUHP hanya pasal 2 ayat 1, karena kekurangan pahaman jadi dianggap kami menghilangkan sanksi pidana mati dalam UU Korupsi. Kita tidak melakukan karena ayat itu tetap berlaku," tutupnya.
Sebelumnya, ICW membikin petisi di laman change.org dalam rangka mendukung agar pasal-pasal mengenai tindak pidana korupsi atau tipikor dicabut dari RKUHP. Soalnya, mereka menilai pasal-pasal tipikor itu bisa mengancam eksistensi KPK.
Dilihat detikcom pada Senin (4/6), ICW menyebut setidaknya 2 alasan RKUHP tersebut membahayakan KPK, apa saja?
1. KPK Tak Lagi Bisa Usut Kasus Korupsi
KPK terancam tidak bisa lagi melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terkait kasus tipikor apabila RKUHP disahkan. Dalam petisi itu disebutkan, kewenangan KPK tercantum dalam UU KPK yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor (dan bukan dalam KUHP). Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka hanya kejaksaan dan kepolisian yang dapat menangani kasus korupsi. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.
Tidak hanya KPK, akan tetapi Pengadilan Tipikor pun terancam keberadaannya. Selama ini Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili kejahatan yang diatur dalam UU Tipikor. Maka jika R-KUHP ini disahkan kejahatan korupsi akan kembali diperiksa dan diadili Pengadilan Negeri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada masa lalu Pengadilan Negeri kerap memberikan vonis ringan bahkan tidak jarang membebaskan pelaku korupsi.
2. RKUHP Untungkan Koruptor
Dalam petisi itu disebutkan, ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RKUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor. Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum dan dihukum bersalah tidak diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya kepada negara karena RKUHP tidak mengatur hal ini. Selain itu pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara agar tidak diproses oleh penegak hukum.
jadi hanya salah paham ya
apalagi hukuman mati pada koruptor tetap masih ada

tapi lengkapnya si juga pada lom tau
mari pantau bersama RKUHP yang merupakan hukum untuk melindungi seluruh rakyat indonesia ini




0
865
Kutip
14
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan