- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
#CerpenReligi Untukmu Yang Akan Berdiri Satu Shaf Didepanku..


TS
vitawulandari
#CerpenReligi Untukmu Yang Akan Berdiri Satu Shaf Didepanku..



Spoiler for :
Aku duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat depan dada. Mataku menatap lekat-lekat sepasang pengantin yang duduk di pelaminan. Senyum terus mengembang di bibir kedua mempelai yang sibuk bersalaman dengan para tamu.
“Hey Nad, sebentar lagi kita perform, udah siap kan?”
Aku mengangkat wajah dan menoleh. Haikal yang baru masuk ke ruangan tersenyum kepadaku. Haikal yang manis, berperawakan tinggi, dua tahun lebih tua dariku.
Kami berdua tergabung dalam band religi As-Salwah. Haikal sebagai gitarist, aku sendiri sebagai vocalist. Band kami sering di undang dalam berbagai acara keagamanan maupun pernikahan, seperti kali ini.
“Kamu kapan nyusul, Nad?"
Aku tersenyum muram. Fiuuuuhh, lagi-lagi kapan nyusul yang ditanyakan. Udah dua bulan ini nggak ada topik yang lebih trend selain itu. Mulai dari Papa yang selalu nyindir, udah pengen menimang cucu. Mama yang berulang-ulang menasihatiku agar jangan terlalu pilih-pilih tebu.
"Hadirin sekalian, mari kita sambut As-Salwah!", terdengar suara MC yang disambut riuh tepuk tangan. Haikal memberi isyarat padaku untuk segera menuju panggung. Kami membuka performance kali ini dengan sholawat bernuansa gambus, Ya Rasulullah.
sumber: smule pribadi
”Nadya…!”
Kudengar panggilan Mama dari depan. Pelan aku bangkit dari meja belajar. Setelah merapikan jilbab, aku keluar.
”Ada apa, Ma?”tanyaku lunak.
Sekilas sempat kulihat sosok seorang lelaki, duduk di sudut ruangan. Kedua bola mata Mama tampak bersinar-sinar. Pasti ada yang nggak beres, gumamku dalam hati. Iiih..su’udzon!
Tapi…. Benar saja.
“Nadya, kenalin. Ini tangan kanan Papa di kantor. Hebat ya! Masih muda sudah jadi kepala cabang. Ayo, kenalin dulu. Ini Nak Bui….”
”Boy, Tante!”
"Eh iya, Boy"
Aku hanya bisa menahan geli. Tapi rasa geliku mendadak hilang, ketika selama dua jam berikutnya aku harus mendengarkan obrolan Mama dengan Si Boy tadi.
Bukan main lagaknya. Batinku menggerutu sendiri, mendengar cerita-ceritanya yang berbau luar negeri.
”Jadi, Tante, selama belajar di Harvard, saya sudah coba-coba berbisnis sendiri. Hasilnya lumayan. Saya bisa jalan-jalan keliling Amerika, bahkan Eropa setiap kali holiday!”
Hihhh, gemes deh! Terlebih melihat pancaran kagum di wajah Mama. Kupanjatkan syukur yang tak terkira ketika akhirnya Si Boy pulang. Alhamdulillah..
Di ruang tengah, kulihat Noval tertawa nakal. Kesal, kulemparkan bantal ke arahnya.
”Dek serius, dong! Pokoknya kalau nanti Mama nanyain kamu soal Boy, awass kalau kamu setuju!”ancamku serius kepada adikku satu-satunya.
”Kakak gimana, sih? Biasanya kakak yang nyuruh aku sabar menghadapi segala sesuatu. Lah kok sekarang malah panasan gini? Tenang aja kak, sabar! Innallaha ma’ashshabirin!” balasnya sambil mengutip salah satu ayat di Al-Quran.
Iya, ya. Kenapa aku jadi nggak sabaran gini. Baru juga ngadepin si Boy. Astagfirullah..
”Kakak bingung dek. Abisnya serumah pada mojokin semua. Kamu ngerti kan, milih suami itu nggak mudah. Nyari yang shalih, nyari yang setia sekarang susah. Kalau salah pilih, resikonya dunia akhirat!”
Sekejap kulihat keseriusan di matanya. Cuma sekejap, sebelum ia kembali menggodaku.
”Apa perlu Noval yang nyariin???!”
Lemparan bantalku kembali melayang.
Kriiiiing…!!!
Ups, kumatikan bunyi alarm yang membangunkanku. Jam tiga lebih seperempat. Aku bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Kuperhatikan lampu kamar Noval masih menyala. Sayup-sayup suara mp3 murattal terdengar. Tercapai juga niatnya untuk begadang ngerjain tugas.
Cepat kuhapuskan pikiran tentang Noval dan tugasnya. Mataku nanar menyaksikan pantulan wajahku di cermin. Kuhapus tetesan air wudhu yang tersisa dengan handuk kecil.
Kuperhatikan bentuk wajahku yang makin tirus. Baru kusadari, betapa pucatnya wajah itu. Entah kemana perginya rona merah yang biasa hadir di sana. Mungkin hilang termakan usia.
”dr. Nadya Izami Maulania”Kueja namaku sendiri.
Bagaimana pun aku harus tetap tawakkal pada Allah. Jodoh, rejeki, dan maut Dia yang menentukan. Berjodoh di dunia bukanlah satu kepastian yang akan kita raih dalam hidup. Ada hal lain yang lebih penting. Ada kematian, maut yang pasti kita hadapi.
Tanganku masih menengadah, saat kudengar azan Subuh berkumandang. Hari baru kembali hadir. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, untuk satu hari lagi kesempatan bernafas yang masih Engkau berikan.
Selesai berurusan dengan Mama untuk masalah Boy, gantian aku harus menghadapi Tante Leni yang siap mempromosikan calonnya. Duhh! Lagi-lagi aku cuma bisa manggut-manggut.
"Nah, ini Nadya udah pulang kuliah. Nadya, sini sayang. Kenalkan, Soleh. Putra Ustadz Fikri yang baru lulus dari pondok pesantren di Gontor. Kalian pasti bisa bekerja sama mengelola kegiatan remaja masjid di sini”
Kali ini Tante Leni membiarkanku berdua dengan tamunya itu. Risih, kuminta Noval mendampingiku.
Selama Soleh berbicara, aku menunduk terus. Bisa kurasakan pandangannya yang jelalatan ke arahku. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Soleh bercerita tentang berbagai kitab berbahasa Arab yang telah dia kuasai. Lalu ia mulai membahas satu persatu perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Soal doa qunut, perbedaan doa iftitah, masalah posisi telunjuk ketika tahiyat, dan lain-lain yang senada.
Honestly, aku nggak setuju dengan caranya. Betul bahwa semuanya harus kita ketahui. Tapi bagiku, dengan makin meributkannya, hanya akan memperuncing perbedaan yang ada. Cukuplah bahwa masing-masing berpegang pada sunnah Rasulullah.
”Kalau menurut Kak Soleh, kasus Bosnia itu bagaimana?”tanyaku mengalihkan topik.
”Oooh, itu. Ana sangat tidak setuju. Menurut pendapat dan analisa ana, tidak seharusnya masalah bosnia itu digembar-gemborkan. Sudah saatnya penghargaan masyarakat terhadap orang-orang yang punya kedudukan, diarahkan sewajarnya” ulasnya panjang lebar.
Gantian aku yang bingung.
”Saya…saya tidak paham apa yang Kak Soleh maksudkan.” ujarku sedikit gagap.
”Kenapa? Apa karena bahasa yang ana gunakan terlalu tinggi atau bagaimana?”
Aku tambah melongo.
”Bukan itu. Ini Bosnia yang mana, yang Kak Soleh maksudkan?” tanyaku makin bingung.
”Lha, yang nanya kok malah bingung? Yang ane bicarakan tadi ya tentang Bosnia, Boss-Mania, itu kan maksud Nadya?”
Kutahan tawa yang nyaris meledak. Dari sudut mataku, kulihat Noval pringas-pringis menahan geli, sambil mempermainkan ponselnya.
”Bukan, yang Nadya maksudkan adalah penindasan yang terjadi pada saudara-saudara muslim kita di Negara Bosnia” aku berusaha menjelaskan dengan sabar.
Tampak Soleh manggut-manggut.
”Ooooh, yang itu. Ya jelas penindasan itu tidak bisa dibenarkan. Tidak sesuai dengan perikemanusiaan yang adil dan beradab,” ujar Soleh optimis, lalu….
”Ngomong-ngomong, Bosnia itu di mana, sih?”
Tawa Noval meledak.
Malamnya, waktu aku protes ke Mama soal calon-calon itu, tanpa diduga, malah beliau yang marah.
”Lho, kamu itu gimana toh? Kata Noval kamu maunya sama soleh. Pas Mama temuin, kamu bilang bukan yang seperti itu yang kamu inginkan. Jadi sebenarnya, soleh yang mana calon kamu itu?”suara Mama meninggi.
Aku terhenyak. Noval yang duduk di kursi makan tersenyum simpul.
”Bukan yang namanya Soleh, Ma. Nadya pingin orang yang soleh, yang taat beribadah, yang bisa melawan hawa nafsunya. Yang Islamnya nggak cuman KTP. Yang nggak jelalatan memandang Nadya terus-terusan dari ujung kepala sampai ujung kaki, seperti hendak menawar barang dagangan. Nadya tau, usia Nadya sudah lebih dari cukup. Nadya juga pengen segera menikah. Perempuan mana sih, yang nggak ingin berkeluarga dan punya anak?” lanjutku hampir menangis.
Kusaksikan mata Mama berkaca-kaca. Diraihnya aku ke dalam pelukannya. Berdua kami berisakan. Papa turut menghampiri, menepuk-nepuk pundakku.
”Maafin Mama, sayang….” suaranya lirih, memelukku makin erat.
Kesibukanku menulis blog terhenti.
”Kak Nadya…ada telepon tuh!”pekik Noval dari ruang tengah.
”Dari siapa? Kalau dari Anto, Boy, atau Soleh kakak nggak mau terima!” balasku agak keras.
Hening, nggak ada panggilan lanjutan. Alhamdulillah, sejak kejadian malam itu perlahan topik trend kami bergeser. Mama nggak lagi menyodorkan calon-calonnya, sebelum menanyakan kesediaanku.
Pandanganku kembali ke notebook ungu didepanku. Dengan hati seringan kapas, aku mulai menulis:
”Alif… Nama saya Alif Alfarizi Ramdhani.”
Deg! Aku tersentak. Rasa-rasanya kudengar satu suara. Sedikit berjingkat, aku melangkah ke depan. Sebelum aku sempat menyibak tirai yang membatasi ruang tengah dengan ruang tamu, kudengar suara Papa memanggilku.
”Nadya…!”
Sekilas mataku menyapu bayangan seorang lelaki berkulit putih dan berkacamata, dengan wajah tertunduk. Di belakangnya, Noval berdiri dengan senyum khasnya.
”Nah, Nak Alif, kenalkan, ini yang namanya Nadya. Putri sulung om”
Aku menoleh sesaat, yang dipanggil Alif tetap menunduk.
”Ini lho, Nad. Putranya Pak Iwan, sahabat Papa sejak jaman sekolah dulu. Nak Alif ini Sarjana Informatika, sekarang bekerja jadi dosen di Stikom. Baru lulus master dari ITB, ya Nak?”
Alif mengangguk. Tapi tetap tak ada uluran tangan.
”Assalamu’alaikum, momod Nadya.”
Masya Allah! Aku masih melongo.
"Aa.."jawabku seakan tak percaya.
"Lho kalian sudah saling mengenal?", tanya Papa agak kaget.
"Iya, om. Kami kenal lewat forum KASKUS sejak enam bulan yang lalu", ujar Alif sambil tersenyum tipis.
Papa mengangguk, lalu mempersilahkan tamunya duduk.
"Nadya, insya Allah, hari ini kita akan berta’aruf. Kalau Nadya setuju, khitbahnya bisa dilaksanakan minggu depan"
Agak samar kudengar kalimat Alif yang terakhir. Aku mengangguk pendek, tersipu. Senyum Papa makin lebar.
Masya Allah, calon imamku…eng…engng…ups, apakah…apakah…ini??
Hari ini adalah hari yang paling bersejarah bagiku. Semua orang penting dalam hidupku hadir dalam akad nikah ini. Mama dan Papa berpenampilan sangat rapi. Di sudut lainnya, terlihat keluarga dan teman-teman sekolah hingga para pejabat dan rekan bisnis Papa.
Di sisi depan, terlihat Aa' Alif duduk dengan tegang. Dia begitu tampan dengan jas pengantin putih, lengkap dengan ronce bunga melati di lehernya. Pipinya sedikit mengkilat, mungkin ada air mata yang menetes dari sudut matanya. Apakah dia pernah menangis sebelumnya?
"Baiklah para hadirin dan saksi, selanjutnya saudara Alif akan membacakan surat Ar-Rahman, sebagai mahar pernikahan untuk saudari Nadya. Waktu dan tempat dipersilahkan", suara penghulu membuyarkan lamunanku.
"Bismillahirrohmanirrohim. Ar Rahmaan. 'Allamal Quran. Khalaqal insaan. 'Allamahul bayaan....."
Allahuakbar! Tak terasa embun bening menyelimuti bola mataku, mulai mengancam untuk keluar.
"I love you, Aa...."
“Hey Nad, sebentar lagi kita perform, udah siap kan?”
Aku mengangkat wajah dan menoleh. Haikal yang baru masuk ke ruangan tersenyum kepadaku. Haikal yang manis, berperawakan tinggi, dua tahun lebih tua dariku.
Kami berdua tergabung dalam band religi As-Salwah. Haikal sebagai gitarist, aku sendiri sebagai vocalist. Band kami sering di undang dalam berbagai acara keagamanan maupun pernikahan, seperti kali ini.
“Kamu kapan nyusul, Nad?"
Aku tersenyum muram. Fiuuuuhh, lagi-lagi kapan nyusul yang ditanyakan. Udah dua bulan ini nggak ada topik yang lebih trend selain itu. Mulai dari Papa yang selalu nyindir, udah pengen menimang cucu. Mama yang berulang-ulang menasihatiku agar jangan terlalu pilih-pilih tebu.
"Hadirin sekalian, mari kita sambut As-Salwah!", terdengar suara MC yang disambut riuh tepuk tangan. Haikal memberi isyarat padaku untuk segera menuju panggung. Kami membuka performance kali ini dengan sholawat bernuansa gambus, Ya Rasulullah.
sumber: smule pribadi
***
”Nadya…!”
Kudengar panggilan Mama dari depan. Pelan aku bangkit dari meja belajar. Setelah merapikan jilbab, aku keluar.
”Ada apa, Ma?”tanyaku lunak.
Sekilas sempat kulihat sosok seorang lelaki, duduk di sudut ruangan. Kedua bola mata Mama tampak bersinar-sinar. Pasti ada yang nggak beres, gumamku dalam hati. Iiih..su’udzon!
Tapi…. Benar saja.
“Nadya, kenalin. Ini tangan kanan Papa di kantor. Hebat ya! Masih muda sudah jadi kepala cabang. Ayo, kenalin dulu. Ini Nak Bui….”
”Boy, Tante!”
"Eh iya, Boy"
Aku hanya bisa menahan geli. Tapi rasa geliku mendadak hilang, ketika selama dua jam berikutnya aku harus mendengarkan obrolan Mama dengan Si Boy tadi.
Bukan main lagaknya. Batinku menggerutu sendiri, mendengar cerita-ceritanya yang berbau luar negeri.
”Jadi, Tante, selama belajar di Harvard, saya sudah coba-coba berbisnis sendiri. Hasilnya lumayan. Saya bisa jalan-jalan keliling Amerika, bahkan Eropa setiap kali holiday!”
Hihhh, gemes deh! Terlebih melihat pancaran kagum di wajah Mama. Kupanjatkan syukur yang tak terkira ketika akhirnya Si Boy pulang. Alhamdulillah..
***
Di ruang tengah, kulihat Noval tertawa nakal. Kesal, kulemparkan bantal ke arahnya.
”Dek serius, dong! Pokoknya kalau nanti Mama nanyain kamu soal Boy, awass kalau kamu setuju!”ancamku serius kepada adikku satu-satunya.
”Kakak gimana, sih? Biasanya kakak yang nyuruh aku sabar menghadapi segala sesuatu. Lah kok sekarang malah panasan gini? Tenang aja kak, sabar! Innallaha ma’ashshabirin!” balasnya sambil mengutip salah satu ayat di Al-Quran.
Iya, ya. Kenapa aku jadi nggak sabaran gini. Baru juga ngadepin si Boy. Astagfirullah..
”Kakak bingung dek. Abisnya serumah pada mojokin semua. Kamu ngerti kan, milih suami itu nggak mudah. Nyari yang shalih, nyari yang setia sekarang susah. Kalau salah pilih, resikonya dunia akhirat!”
Sekejap kulihat keseriusan di matanya. Cuma sekejap, sebelum ia kembali menggodaku.
”Apa perlu Noval yang nyariin???!”
Lemparan bantalku kembali melayang.
***
Kriiiiing…!!!
Ups, kumatikan bunyi alarm yang membangunkanku. Jam tiga lebih seperempat. Aku bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Kuperhatikan lampu kamar Noval masih menyala. Sayup-sayup suara mp3 murattal terdengar. Tercapai juga niatnya untuk begadang ngerjain tugas.
Cepat kuhapuskan pikiran tentang Noval dan tugasnya. Mataku nanar menyaksikan pantulan wajahku di cermin. Kuhapus tetesan air wudhu yang tersisa dengan handuk kecil.
Kuperhatikan bentuk wajahku yang makin tirus. Baru kusadari, betapa pucatnya wajah itu. Entah kemana perginya rona merah yang biasa hadir di sana. Mungkin hilang termakan usia.
”dr. Nadya Izami Maulania”Kueja namaku sendiri.
Bagaimana pun aku harus tetap tawakkal pada Allah. Jodoh, rejeki, dan maut Dia yang menentukan. Berjodoh di dunia bukanlah satu kepastian yang akan kita raih dalam hidup. Ada hal lain yang lebih penting. Ada kematian, maut yang pasti kita hadapi.
Tanganku masih menengadah, saat kudengar azan Subuh berkumandang. Hari baru kembali hadir. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, untuk satu hari lagi kesempatan bernafas yang masih Engkau berikan.
***
Selesai berurusan dengan Mama untuk masalah Boy, gantian aku harus menghadapi Tante Leni yang siap mempromosikan calonnya. Duhh! Lagi-lagi aku cuma bisa manggut-manggut.
"Nah, ini Nadya udah pulang kuliah. Nadya, sini sayang. Kenalkan, Soleh. Putra Ustadz Fikri yang baru lulus dari pondok pesantren di Gontor. Kalian pasti bisa bekerja sama mengelola kegiatan remaja masjid di sini”
Kali ini Tante Leni membiarkanku berdua dengan tamunya itu. Risih, kuminta Noval mendampingiku.
Selama Soleh berbicara, aku menunduk terus. Bisa kurasakan pandangannya yang jelalatan ke arahku. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Soleh bercerita tentang berbagai kitab berbahasa Arab yang telah dia kuasai. Lalu ia mulai membahas satu persatu perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Soal doa qunut, perbedaan doa iftitah, masalah posisi telunjuk ketika tahiyat, dan lain-lain yang senada.
Honestly, aku nggak setuju dengan caranya. Betul bahwa semuanya harus kita ketahui. Tapi bagiku, dengan makin meributkannya, hanya akan memperuncing perbedaan yang ada. Cukuplah bahwa masing-masing berpegang pada sunnah Rasulullah.
”Kalau menurut Kak Soleh, kasus Bosnia itu bagaimana?”tanyaku mengalihkan topik.
”Oooh, itu. Ana sangat tidak setuju. Menurut pendapat dan analisa ana, tidak seharusnya masalah bosnia itu digembar-gemborkan. Sudah saatnya penghargaan masyarakat terhadap orang-orang yang punya kedudukan, diarahkan sewajarnya” ulasnya panjang lebar.
Gantian aku yang bingung.
”Saya…saya tidak paham apa yang Kak Soleh maksudkan.” ujarku sedikit gagap.
”Kenapa? Apa karena bahasa yang ana gunakan terlalu tinggi atau bagaimana?”
Aku tambah melongo.
”Bukan itu. Ini Bosnia yang mana, yang Kak Soleh maksudkan?” tanyaku makin bingung.
”Lha, yang nanya kok malah bingung? Yang ane bicarakan tadi ya tentang Bosnia, Boss-Mania, itu kan maksud Nadya?”
Kutahan tawa yang nyaris meledak. Dari sudut mataku, kulihat Noval pringas-pringis menahan geli, sambil mempermainkan ponselnya.
”Bukan, yang Nadya maksudkan adalah penindasan yang terjadi pada saudara-saudara muslim kita di Negara Bosnia” aku berusaha menjelaskan dengan sabar.
Tampak Soleh manggut-manggut.
”Ooooh, yang itu. Ya jelas penindasan itu tidak bisa dibenarkan. Tidak sesuai dengan perikemanusiaan yang adil dan beradab,” ujar Soleh optimis, lalu….
”Ngomong-ngomong, Bosnia itu di mana, sih?”
Tawa Noval meledak.
***
Malamnya, waktu aku protes ke Mama soal calon-calon itu, tanpa diduga, malah beliau yang marah.
”Lho, kamu itu gimana toh? Kata Noval kamu maunya sama soleh. Pas Mama temuin, kamu bilang bukan yang seperti itu yang kamu inginkan. Jadi sebenarnya, soleh yang mana calon kamu itu?”suara Mama meninggi.
Aku terhenyak. Noval yang duduk di kursi makan tersenyum simpul.
”Bukan yang namanya Soleh, Ma. Nadya pingin orang yang soleh, yang taat beribadah, yang bisa melawan hawa nafsunya. Yang Islamnya nggak cuman KTP. Yang nggak jelalatan memandang Nadya terus-terusan dari ujung kepala sampai ujung kaki, seperti hendak menawar barang dagangan. Nadya tau, usia Nadya sudah lebih dari cukup. Nadya juga pengen segera menikah. Perempuan mana sih, yang nggak ingin berkeluarga dan punya anak?” lanjutku hampir menangis.
Kusaksikan mata Mama berkaca-kaca. Diraihnya aku ke dalam pelukannya. Berdua kami berisakan. Papa turut menghampiri, menepuk-nepuk pundakku.
”Maafin Mama, sayang….” suaranya lirih, memelukku makin erat.
***
Kesibukanku menulis blog terhenti.
”Kak Nadya…ada telepon tuh!”pekik Noval dari ruang tengah.
”Dari siapa? Kalau dari Anto, Boy, atau Soleh kakak nggak mau terima!” balasku agak keras.
Hening, nggak ada panggilan lanjutan. Alhamdulillah, sejak kejadian malam itu perlahan topik trend kami bergeser. Mama nggak lagi menyodorkan calon-calonnya, sebelum menanyakan kesediaanku.
Pandanganku kembali ke notebook ungu didepanku. Dengan hati seringan kapas, aku mulai menulis:
Quote:
Kepada Calon Suamiku….
Hari ini usiaku bertambah setahun,
Dua puluh lima sudah.
Alhamdulillah.
Kuharap, tahun-tahun yang berlalu,
Meski memudarkan keremajaanku,
Namun tidak akan pernah memudarkan semangatku
Mudah-mudahan aku bisa tetap istiqamah di jalan-Nya.
Kuliah spesialisku sudah mulai jalan
Sebentar lagi, satu embel-embel gelar kembali menghiasi namaku
Belum lama ini aku juga mengambil kursus memasak
Dengan besar hati pula, Mama mesti mengakui, kemahirannya di dapur kini mulai tersaingi.
Kepada engkau yang masih menjadi rahasia,
Aku percaya,
Bahkan sangat percaya,
Sudah ada kamu yang Allah siapkan untukku,
Sudah tercatat di lauhul mahfudz.
Namun aku sadar,
Untuk menjemputmu aku harus terlebih dahulu memantaskan diri,
Menjadi insan yang sepenuhnya menyerahkan urusan takdir hanya kepada kuasa Allah.
Kepada engkau yang masih menjadi tanda tanya untukku,
Semoga kelak kau memahami,
Bahwa dibalik hijab ini bukanlah seorang bidadari,
Bukan pula sesosok Khadijah,
Aku hanyalah wanita biasa yang membutuhkan bimbinganmu agar selamat dunia akhirat.
Sayang,
Jika engkau memang disediakan untukku di dunia ini,
Bila kau sudah siap untuk menambah satu amanah lagi dalam kehidupanmu,
Amalan sunnah yang akan menyempurnakan separuh agama kita,
Maka datanglah.
Mungkin hari ini,
Mungkin besok,
Mungkin lusa,
Atau masih bertahun-tahun lagi,
Garis hidup akan mempertemukan kau dan aku, bersatu pada batas takdir.
Wassalam
Nadya,
wanita yang akan berdiri satu shaf dibelakangmu.
NB: Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, sih?
Hari ini usiaku bertambah setahun,
Dua puluh lima sudah.
Alhamdulillah.
Kuharap, tahun-tahun yang berlalu,
Meski memudarkan keremajaanku,
Namun tidak akan pernah memudarkan semangatku
Mudah-mudahan aku bisa tetap istiqamah di jalan-Nya.
Kuliah spesialisku sudah mulai jalan
Sebentar lagi, satu embel-embel gelar kembali menghiasi namaku
Belum lama ini aku juga mengambil kursus memasak
Dengan besar hati pula, Mama mesti mengakui, kemahirannya di dapur kini mulai tersaingi.
Kepada engkau yang masih menjadi rahasia,
Aku percaya,
Bahkan sangat percaya,
Sudah ada kamu yang Allah siapkan untukku,
Sudah tercatat di lauhul mahfudz.
Namun aku sadar,
Untuk menjemputmu aku harus terlebih dahulu memantaskan diri,
Menjadi insan yang sepenuhnya menyerahkan urusan takdir hanya kepada kuasa Allah.
Kepada engkau yang masih menjadi tanda tanya untukku,
Semoga kelak kau memahami,
Bahwa dibalik hijab ini bukanlah seorang bidadari,
Bukan pula sesosok Khadijah,
Aku hanyalah wanita biasa yang membutuhkan bimbinganmu agar selamat dunia akhirat.
Sayang,
Jika engkau memang disediakan untukku di dunia ini,
Bila kau sudah siap untuk menambah satu amanah lagi dalam kehidupanmu,
Amalan sunnah yang akan menyempurnakan separuh agama kita,
Maka datanglah.
Mungkin hari ini,
Mungkin besok,
Mungkin lusa,
Atau masih bertahun-tahun lagi,
Garis hidup akan mempertemukan kau dan aku, bersatu pada batas takdir.
Wassalam
Nadya,
wanita yang akan berdiri satu shaf dibelakangmu.
NB: Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, sih?
”Alif… Nama saya Alif Alfarizi Ramdhani.”
Deg! Aku tersentak. Rasa-rasanya kudengar satu suara. Sedikit berjingkat, aku melangkah ke depan. Sebelum aku sempat menyibak tirai yang membatasi ruang tengah dengan ruang tamu, kudengar suara Papa memanggilku.
”Nadya…!”
Sekilas mataku menyapu bayangan seorang lelaki berkulit putih dan berkacamata, dengan wajah tertunduk. Di belakangnya, Noval berdiri dengan senyum khasnya.
”Nah, Nak Alif, kenalkan, ini yang namanya Nadya. Putri sulung om”
Aku menoleh sesaat, yang dipanggil Alif tetap menunduk.
”Ini lho, Nad. Putranya Pak Iwan, sahabat Papa sejak jaman sekolah dulu. Nak Alif ini Sarjana Informatika, sekarang bekerja jadi dosen di Stikom. Baru lulus master dari ITB, ya Nak?”
Alif mengangguk. Tapi tetap tak ada uluran tangan.
”Assalamu’alaikum, momod Nadya.”
Masya Allah! Aku masih melongo.
"Aa.."jawabku seakan tak percaya.
"Lho kalian sudah saling mengenal?", tanya Papa agak kaget.
"Iya, om. Kami kenal lewat forum KASKUS sejak enam bulan yang lalu", ujar Alif sambil tersenyum tipis.
Papa mengangguk, lalu mempersilahkan tamunya duduk.
"Nadya, insya Allah, hari ini kita akan berta’aruf. Kalau Nadya setuju, khitbahnya bisa dilaksanakan minggu depan"
Agak samar kudengar kalimat Alif yang terakhir. Aku mengangguk pendek, tersipu. Senyum Papa makin lebar.
Masya Allah, calon imamku…eng…engng…ups, apakah…apakah…ini??
***
Hari ini adalah hari yang paling bersejarah bagiku. Semua orang penting dalam hidupku hadir dalam akad nikah ini. Mama dan Papa berpenampilan sangat rapi. Di sudut lainnya, terlihat keluarga dan teman-teman sekolah hingga para pejabat dan rekan bisnis Papa.
Di sisi depan, terlihat Aa' Alif duduk dengan tegang. Dia begitu tampan dengan jas pengantin putih, lengkap dengan ronce bunga melati di lehernya. Pipinya sedikit mengkilat, mungkin ada air mata yang menetes dari sudut matanya. Apakah dia pernah menangis sebelumnya?
"Baiklah para hadirin dan saksi, selanjutnya saudara Alif akan membacakan surat Ar-Rahman, sebagai mahar pernikahan untuk saudari Nadya. Waktu dan tempat dipersilahkan", suara penghulu membuyarkan lamunanku.

"Bismillahirrohmanirrohim. Ar Rahmaan. 'Allamal Quran. Khalaqal insaan. 'Allamahul bayaan....."
Allahuakbar! Tak terasa embun bening menyelimuti bola mataku, mulai mengancam untuk keluar.
"I love you, Aa...."
- THE END -

- (HR. Al-Baihaqi)


Originally stories by vitawulandari
Video & Pic by Dodi Hidayatullah
Video & Pic by Dodi Hidayatullah
Diubah oleh vitawulandari 16-08-2018 11:24






swiitdebby dan 7 lainnya memberi reputasi
8
25.8K
Kutip
296
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan