Kaskus

News

kabar.kaburAvatar border
TS
kabar.kabur
Mahathir Pun Menuai Badai
SEMENANJUNG Malaysia rupanya menjadi pangkalan operasi yang nyaman bagi aksi teror Imam Samudra di Indonesia. Dari Johor Bahru, Imam Samudra alias Kudama alias Abdul Azis suka menyeberang ke Batam, lalu melenggang ke Jakarta, untuk kemudian kembali ke Johor. Begitulah rute "perjalanan dinas" putra Banten itu. Agendanya kadang sekadar survei lokasi. Kalau sudah siap, digelarlah aksi. Akhir tahun 2000, misalnya, timnya meledakkan sejumlah gereja di Batam. Juli 2001, giliran Gereja Santa Ana dan Gereja HKBP di Jakarta Timur yang dibom.


Usai ngebom , ia kembali ke Johor, untuk bersembunyi, istirahat, sekaligus merancang aksi lanjutan yang ia percayai sebagai jihad. Begitulah cerita Imam Samudra saat ditemui Kapolri, Jenderal Da'i Bachtiar, di Markas Kepolisian Resor Cilegon, Banten, Jumat sore pekan lalu.


Sejumlah warga Indonesia yang menjadi tersangka aksi kekerasan bom belakangan terbukti sering terkait ke negeri jiran Malaysia. Selain Imam Samudra, ada Amrozi, tersangka bom Bali yang pernah bekerja dan nyantri di Johor. Amrozi yang semula anak bandel pun mengalami pendalaman militansi agama setelah berguru kepada kakaknya, Muchlas, di Madrasah Luqmanul Hakiem, Johor (lihat Gatra, 23 November 2002). Fathur Rohman Al-Ghozi, arek Madiun, Jawa Timur, yang kini dipidana di Filipina karena terlibat rangkaian peledakan bom di Manila, juga pernah bermukim di Malaysia.


Begitu pula si misterius Hambali alias Encep Nurjaman. Lelaki yang digambarkan berewokan, asal Cianjur, Jawa Barat, itu kini diburu polisi Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ia dituding sebagai otak sejumlah teror bom di Indonesia dan pimpinan Jamaah Islamiyah Malaysia dan Singapura. Hambali merantau ke Malaysia pada 1983. Di tanah semenanjung itu, Hambali berkawan dekat dengan Abu Bakar Ba'asyir, yang kini ditahan sebagai tersangka pemboman beberapa gereja di Jakarta.


Keduanya menyewa rumah berdampingan. Pekan lalu, Gatra menyambangi "mantan" rumah sewaan terakhir mereka di Sungai Manggis, Selangor, yang kini dihuni tenaga kerja Indonesia asal Kediri, Jawa Timur. Tak sampai 1.000 meter dari rumah sewaan Hambali-Ba'asyir itu, berdiri rumah mapan milik Muhammad Iqbal Abdul Rahman alias Fikiruddin alis Abu Jibril, yang juga kolega dekat Ba'asyir. Rumah necis itu milik Abu Jibril yang sudah berstatus permanent resident di sana.


Istri Abu Jibril, Fatimah Zahra, membenarkan hubungan dekat antara suaminya, Ba'asyir, dan Hambali. Abu Jibril yang asli Lombok, Nusa Tenggara Barat, sejak 30 Juni 2001 ditangkap polisi Malaysia. Ia dituduh sebagai anggota Kumpulan Militan Malaysia yang dianggap membahayakan negara. Abu Jibril termasuk anggota rombongan Ba'asyir yang pada 1985 hijrah dari Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, ke Johor, untuk kemudian ke Selangor. Dalam rombongan itu ada pula Abdullah Sungkar, yang kini almarhum.


Waktu itu, Malaysia menjadi tempat aman bagi korban represi Presiden Soeharto. Ba'asyir dan Sungkar, seperti dimaklumi, adalah korban Undang-Undang Antisubversif. Saat perkara subversinya bergulir di tingkat kasasi, mereka lari ke Malaysia. Pelarian ini mereka maknai sebagai hijrah, menghindari musuh-musuh Islam ke tempat yang aman, seperti hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah.


"Saya dan Pak Abdullah Sungkar dikejar-kejar Benny Moerdani. Kami menjadi target operasinya. Karena itu, kami lari ke Malaysia,"kata Ba'asyir kepada Gatra, suatu ketika. Sungkar dan Ba'asyir, yang belakangan disebut-sebut sebagai pendiri Jamaah Islamiyah, waktu itu dituduh terlibat Komando Jihad dan berencana mendirikan Negara Islam Indonesia. Tokoh lain yang bernasib serupa ialah Abdullah Hehamahua. Ia terancam karena menolak asas tunggal Pancasila.


Selama di Malaysia, Hehamahua merasa nyaman. Waktu itu, katanya, keberadaan aktivis Islam Indonesia diterima hangat di Malaysia. Islamisasi kala itu cukup bergairah dengan sokongan Wakil Perdana Menteri Malaysia, saat itu Anwar Ibrahim. Menurut anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara itu, tak semua aktivis muslim Indonesia bergaris keras. "Ada yang menganut garis keras, banyak juga yang memperjuangkan Islam lewat jalur konstitusi," kata Hehamahua kepada Gatra, beberapa waktu lalu.


Indikasi lain dukungan Pemerintah Malaysia pada aktivis Islam dituturkan istri Abu Jibril, Fatimah Zahra, kepada Gatra. Menurut wanita bercadar asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ini, Pemerintah Malaysia pernah menggalakkan dan mendukung pengiriman tenaga mujahid dari Malaysia ke Afghanistan. "Dulu Mahathir mengizinkan, malah semacam digalakkan," katanya. Makanya, Fatimah merasa heran bila kini suaminya ditahan, dan di antara alasannya adalah pernah ikut latihan militer di Afghanistan.


Sidney Jones, Direktur International Crisis Group di Indonesia, punya penjelasan menarik tentang peningkatan radikalisasi jaringan Ba'asyir yang disebutnya "Ngruki Network" itu. Dalam paper-nya, "Al-Qaeda in Southeast Asia", Jones menyebut peningkatan itu terjadi pada pertengahan 1990-an, lewat perantara Abdul Wahid Kadungga, menantu tokoh Darul Islam, Kahar Muzzakar. Kadungga-lah yang menjemput kedatangan Sungkar dan Ba'asyir di Malaysia, dan membantu mereka memperoleh tempat tinggal.


Sejak 1970-an, Kadungga merantau ke Eropa dan menjadi mahasiswa di Jerman. Ia ikut mendirikan Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa, sehingga bisa berkenalan dengan aktivis muslim asal Timur Tengah, termasuk dengan Usama Rushdi, dari Gamaat Islami, sempalan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pada 1995, Ba'asyir dan Sungkar diperkenalkan Kadungga dengan para aktivis Gamaat Islami. Dari sini, komitmen keislaman Sungkar dan Ba'asyir pelan-pelan berubah lebih radikal dan lebih berskala internasional. Bukan lagi Negara Islam Indonesia yang diperjuangkan, melainkan sistem khilafah Islam.


Bila Ba'asyir, Sungkar, dan Abu Jibril membentuk semacam poros para aktivis muslim yang berkiprah di sekitar Selangor dan Kuala Lumpur, belakangan muncul poros lain di Negeri Johor, yang menjadi sentra tersendiri gerakan Islam militan asal Indonesia. Nama-nama tersangka kasus peledakan bom Bali, seperti Imam Samudra, Amrozi, Dulmatin, dan Idris, belakangan dikaitkan pejabat dan pers Malaysia dengan sebuah pesantren bernama Madrasah Luqmanul Hakiem di Ulu Tiram, Johor (lihat: Santri Jangan Takut Mati).


Koran Singapura, Strait Times, menyebut madrasah itu "Sekolah Tempat Persemaian Terorisme Islam". Imam Samudra, menurut The Malay Mail , pernah mengajar di madrasah itu. Idris dan Dulmatin dikabarkan sempat pula tinggal di sana. Sementara Amrozi, seperti diakui adiknya, Sumiyah, pernah berguru pada kakaknya, Muchlas, di pesanten itu. Muchlas pernah menjadi kepala madrasah tersebut. Sejak Januari 2002, madrasah ini dibubarkan Pemerintah Malaysia.


Dalam dua tahun terakhir, sikap pemerintahan Mahathir terhadap kelompok Islam militan tampak lebih keras. Pembubaran pesantren itu adalah satu contoh. Beberapa penceramah agama dijebloskan ke penjara dengan senjata Internal Security Act . Mereka dituduh dengan cap Kumpulan Militan Malaysia. Represi pemerintahan Mahathir ini terutama setelah terjadi konflik antara dirinya dan mantan wakilnya, Anwar Ibrahim.


Solidaritas pendukung Anwar, yang umumnya dari kalangan militan, makin terkonsolidasi. Berbagai aksi kekerasan di Malaysia merebak. Pada Oktober 2000, terjadi pemboman kuil Hindu di Pudu Raya, Kuala Lumpur. Sekelompok orang bersenjata menyerang gereja di Klang Lama, Selangor, menjelang Natal 2000. Pada waktu hampir bersamaan, anggota parlemen, Dr. Joe Fenandez, ditembak mati. Rentetan aksi kekerasan ini mendorong Kepala Kepolisian Malaysia saat itu, Inspektur Jenderal Tan Sri Norian, meneriakkan adanya poros kejahatan Kuala Lumpur-Jakarta.


Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, Azyumardi Azra, dalam kolomnya di Gatra beberapa waktu lalu, menilai pemerintahan Mahathir saat ini sedang "menuai badai" dari "angin" yang semula dianggap tak mengancam Malaysia. "Sejak 1980-an, pemerintah dan aparat keamanan Malaysia cenderung tidak memedulikan potensi kumpulan radikal. Malah membiarkan wilayah semenanjung menjadi safe heaven bagi kumpulan militan-radikal yang datang dari luar yang mengalami represi di negara mereka sendiri, seperti Indonesia," tulis Azyumardi.


Eksodus kalangan garis keras Indonesia ke Malaysia, kata Azyumardi, meningkat ketika Soeharto memberlakukan asas tunggal Pancasila, menjelang 1985. Eksponen Gerakan Aceh Merdeka juga banyak hijrah ke Malaysia setelah pemberlakuan Daerah Operasi Militer. Jaringan internasional mereka terbina. Namun, lambat laun kehadiran mereka menimbulkan masalah sosial dan keamanan. Akhirnya, pemerintahan Mahathir bertindak represif.

Asrori S. Karni (Johor) dan Taufik Abriansyah



Santri Jangan Takut Mati

SALAT subuh berjamaah belum lama berlalu. Suasana pesantren yang dikitari perkebunan kelapa sawit itu masih berembun dibalut keremangan pagi. Jamaah tak sebanyak biasanya, karena para santri sedang menikmati liburan Idul Fitri. Suasana tenang itu tiba-tiba berubah menjadi hiruk-pikuk oleh kedatangan belasan mobil yang membawa puluhan aparat polisi. Jalan ke pesantren yang hanya selebar mobil sedan itu pun tersumbat.


Aparat berseragam itu sigap mengepung. Penghuni pondok dan rumah-rumah di sekitarnya dilarang keluar. Petugas memeriksa semua bangunan. Walhasil, pimpinan pesantren yang tersisa, Ustad Syahril Had, ditangkap. Pagi itu juga, orang-orang berseragam yang ternyata satuan keamanan Kerajaan Malaysia menutup kegiatan pesantren. Papan biru bertulisan "Dilarang Masuk, Hartanah Persendirian" terpampang di gerbang pondok.


Begitulah kisah pemberangusan Madrasah At-Tarbiyah Al-Islamiyah Luqmanul Hakiem yang berada di tengah hutan sawit Johor, Malaysia, Januari 2002. Kepala Jawatan Kuasa Hal Ehwal Agama Negeri Johor, Hamzah Ramli, pekan silam menjelaskan, penutupan madrasah itu karena seorang gurunya dicurigai terlibat Kumpulan Militan Malaysia. Madrasah itu terletak di Kampung Sungai Tiram, Ulu Tiram, 30 kilometer di utara kota Johor Bahru.


Saat Gatra berkunjung, Selasa pekan lalu, papan larangan masuk masih terpampang. Syahril Had sebenarnya bukan sasaran utama. Insinyur lulusan Universiti Teknologi Malaysia ini cuma sial karena berlaku sebagai pejabat sementara mudir (kepala madrasah). Target polisi sebenarnya mudir yang asli, Noor Din Mohd. Top, dan Abdul Razak, seorang staf. Keduanya lolos karena sedang bepergian.


Di madrasah itulah kakak kandung Amrozi, Muchlas alias Ghufron, pernah menjabat sebagai mudir . Di situ pula Amrozi berubah jadi "anak saleh". Sumiyah, adik Amrozi, seayah tapi beda ibu, yang kini bermukim di Selangor, mengatakan bahwa Muchlas masih mengajar di sana saat pesantren dibubarkan. Namun, menurut Abdul Latief, pegawai madrasah yang tetap tinggal di kompleks pondok, Muchlas meninggalkan madrasah sejak empat tahun lalu sebelumnya. "Jabatan mudir -nya sudah digantikan Ustad Noor Din," kata Latief.


Pesantren itu kini dipandang pers Malaysia seperti Pesantren Ngruki di Indonesia. Para tokoh militan dan aktor teror sering dikaitkan dengan pesantren ini. Di antaranya Muchlas, yang kebetulan lulusan Ngruki. Selain Amrozi dan Muchlas, nama-nama aktor bom Bali lainnya, seperti Idris, Imam Samudra, dan Dulmatin, disebut-sebut pers setempat pernah bermukim di pesantren ini. Tapi, ketika Gatra bertanya kepada Sumiyah dan suaminya, Abu Hasan, yang anaknya nyantri di madrasah itu, nama Imam Samudra alias Abdul Azis tak pernah mereka dengar.


Lokasi pondok yang tersembunyi memang gampang mengundang kecurigaan sebagai tempat gerakan bawah tanah. Tak mudah menemukan lokasi ini. Warga sekitar kini enggan menyebut nama pesantren berlabel ekstrem itu. Beruntung, masih ada papan petunjuk jalan yang terpampang pada jarak 3 kilometer.


Apa alasan pembubaran pesantren yang berdiri pada 1992 ini? Menteri Pendidikan, Tan Sri Musa Muhammad, mengatakan bahwa pesantren ini tak terdaftar di kementeriannya. Namun, papan nama pesantren masih mencantumkan kalimat: madrasah ini terdaftar di Kementerian Pendidikan Malaysia dengan nomor rujukan SRJ-823.


Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, punya alasan lebih lugas. Ia menilai pesantren ini tak mengajarkan agama, tapi cuma menyerukan tindak kekerasan. "Sejak dini, para murid diajari cara kekerasan untuk menggulingkan pemerintah," katanya kepada koran Utusan Melayu. Abdul Latief, yang anaknya sempat berguru di pondok itu, menilai apa yang diajarkan di sana tak berbeda dari madrasah lain. Sumiyah malah merasa pesantren ini berhasil memperbaiki akidah dan akhlak anak sulungnya.


Saat dibubarkan, pesantren ini punya 115 santri putra-putri. Mereka tinggal dalam kompleks yang terdiri dari tiga unit asrama siswa berlantai dua, dua gedung sekolah, enam unit rumah guru dan staf, serta musala. Bangunan itu berada di atas lahan 4,5 hektare. Kini, semua fasilitas itu telantar, rumput ilalang tumbuh liar, cat mengelupas, sebagian atap bocor. Telepon tidak lagi berfungsi.


Menurut Afif, putra Latief, pelajaran ekstra di madrasahnya itu cuma olahraga, lomba pidato, serta kemping. Cerita unik datang dari Sumiyah. Di antara cara pondok menanamkan mental tangguh pada santrinya ialah memendam santri sampai batas leher di tengah hutan. Seolah mereka hendak dikubur. Dengan cara ini, santri diharapkan tak takut mati.

Asrori S. Karni (Johor)




http://arsip.gatra.com/2002-11-26/ma...il=23&id=36542






"Cadas" juga nich mahathir emoticon-army
Diubah oleh kabar.kabur 11-05-2018 18:38
0
1.6K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan