Kaskus

News

shahrah018Avatar border
TS
shahrah018
Waspadai Bahaya Pelemahan Rupiah Berujung Krisis di Tahun Politik
Waspadai Bahaya Pelemahan Rupiah Berujung Krisis di Tahun Politik

April 26, 2018 

SIBERKLIK.COM – Pelemahan nilai tukar mata uang sejumlah negara terhadap US dollar (boardbased) termasuk mata uang rupiah, menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Bayang-bayang krisis moneter tahun 1997-1998 silam yang pernah melanda bangsa ini mulai menghantui.

Dalam beberapa hari terakhir nilai tukar rupiah melemah terhadap US dollar. Bahkan disebut- sebut sudah menyentuh diangka psikologis yakni Rp 14 ribu per US dollar.

Bank Indonesia (BI) sendiri sudah melakukan ragam upaya terbaiknya sehingga pelemahan tersebut tidak terdepresiasi terlalu jauh. Bahkan jika dibandingkan pelemahan mata uang di beberapa emerging market, pelemahan nilai tukar rupiah masih relatif tergolong kecil.

Lantas, bagaimana dengan potensi krisis moneter terkait pelemahan rupiah ini? Menurut pakar ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unib, Prof Dr Kamaludin SE MM berharap hal itu jangan sampai terjadi. “Kalau bisa jangan sampailah (Krismon),” katanya.

Dikatakannya, ada perbedaan situasi antara pelemahan rupiah saat ini dengan dengan pelemahan rupiah pada tahun 1997-1998 lalu yang berdampak pada terjadinya krisis moneter.

“Kondisi waktu itu fundamental ekonomi kita rapuh. Selain itu diperparah dengan situasi politik yang tidak menentu. Saat ini walau fundamental ekonomi juga relatif tidak begitu baik namun situasi politiknya relatif,” jelasnya.

Kendati demikian Kamal memberi catatan sendiri terkait tahun politik di Indonesia. Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini harus diwaspadai agar tidak berujung pada terulangnya krisis moneter.

“Tahun 1997-1998 lalu kebencian masyarakat terhadap rezim orde baru yang memuncak dipicu juga kondisi ekonomi yang kurang bagus membuat krisis menjadi pecah. Nah, jangan sampai gonjang-ganjing politik di tahun ini akan membuat roda perekonomian kita menjadi terganggu. Untuk itu perlu kewaspadaan,” katanya.

Ia meminta pemerintah bisa membuat kebijakan stabilitas ekonomi dan mata uang secara baik. Ini mengingat hutang luar negeri pemerintah dan swasta yang cukup besar akan berdampak pada keterpurukan ekonomi jika pelemahan rupiah terus berlanjut.

“Yang paling berat yang bisa memicu kondisi ekonomi kita makin memburuk jika janji-janji pemerintah selama ini tidak terealisasi,” ujarnya.

Menurut pengamatannya, Kamaludin mengatakan bahwa selama 3 tahun terakhir ini masyarakat mungkin merasa tidak ada perbaikan ekonomi yang terjadi baik di tingkat mikro maupun makro. Hal-hal seperti ini membuat atau bisa memicu kebencian terhadap pemerintah seperti yang terjadi pada krisis moneter 1997-1998 silam. 
http://siberklik.com/waspadai-bahaya...tahun-politik/


Fuad Bawazier: 
Kecenderungan Jangka Panjangnya, Nilai Rupiah Pasti Akan Melemah
SENIN, 30 APRIL 2018 , 10:12:00 WIB


RMOL. Fuad Bawazier memang cuma sebentar menempati kursi Menteri Keuangan di era Orde Baru. Namun pengalamannya sebagai Menkeu boleh dibilangkhas. Sebab saat menjabat Menkeu pada 16 Maret 1998-21 Mei 1998, saat itu krisis ekonomi di Indonesia sedang hebat-hebatnya. Nilai tukar ru­piah terhadap dolar AS saat itu anjlok demikian dalam.

Kini nilai tukar rupiah sedang terpuruk. Pada akhir pekan bah­kan sempat menyentuh level Rp 14.000 per dolar AS. Gubernur BI Agus Martowardojo menya­takan, saat ini nilai rupiah sudah di bawah nilai wajar atau under­valued. Menurut dia, pelema­han itu terjadi karena berbagai faktor, mulai dari ketidakpas­tian ekonomi global, perbaikan ekonomi Amerika Serikat (AS), dan adanya ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) tahun ini. 

Kepada Rakyat Merdeka Fuad membagikan pendangan sekali­gus sarannya kepada pemerintah terkait pelemahan rupiah yang terjadi saat ini.

Bagaimana Anda melihat sikap pemerintah dalam menangani fenomena pelemahan rupiah yang terjadi baru-baru ini?


Soal rupiah itu pemerintah sudah punya jurus untuk jawab. Kalau lagi melemah selalu bi­lang faktor eksternal. Kalau lagi menguat bilang itu berkat kebijakan pemerintah. Itu sudah standar. Jadi (persoalan) ekonomi, tapi dijawabnya politik. Hal itu dilakukan untuk menjaga image-nya tetap bagus, untuk menunjukkan kalau ekonomi Indonesia itu bagus. Jadi ka­lau lagi menguat bilang ini karena kebijakan pemerintah berjalan dengan baik, dan efek­tif. Padahal paket-paket kebi­jakan saja banyak yang masuk keranjang sampah, enggak ada yang jalan. Contohnya izin saja kan enggak ada perubahan. Mahal izin-izin itu kan. Padahal Darmin Nasution pernah bilang, tiga jam...enam jam izin beres. Nyatanya enggak ada yang jalan tuh. 

Lalu kalau menurut Anda, apa persoalan utama dari kondisi pelemahan nilai tukar rupiah ini?


Jadi memang banyak faktor yang tidak mendukung. Satu faktor neraca perdagangan kita yang memang berat. Neraca kita itu sering defisit. Misalnya ekspor yang tiga bulan berturut-turut turun, yaitu Desember, Januari, dan Februari. Kemudian Maret surplus tetapi kecil. Tiga bulan yang turun berturut-turut itu defisit sampai 1,1 miliar dolar AS. Berarti itu kan mengurangi cadangan, karena dapatnya cuma sedikit jika dibandingkan den­gan hasil impornya. 

Jadi industri manufaktur kita yang pada waktu Orde Baru mencapai 40 persen, sekarang di bawah 20 persen. Jadi menyusut. Padahal andalan ekspor kita dari manufaktur. Ekspor andalan dulu ada, kalau sekarang kita belum ada ekspor andalan lagi. Sekarang paling kalau ekspor cuma komoditas, tambang digali dari tanah, kemudian batu bara dijual. Kalau dulu pakai manu­faktur kan.

Manufaktur itu dulu menyumbang 30 persen dari PDB (Produk Domestik Brutto) kita. Sekarang di bawah 20 persen, makanya berat. Pertumbuhannya juga hanya 5 persen, enggak cukup untuk menyerap tenaga kerja setiap tahunnya. Apalagi tingkat pertumbuhan itu banyak yang karena kapital intensif. Jadi jelas pertumbuhannya tidak bisa me­nyerap sebanyak yang dulu. Kita butuh pertumbuhan sebanyak 8 persen, untuk bisa seimbang dengan jumlah pengangguran. Karena itu meski mata uang lain juga menurun, tapi tidak setajam rupiah.

Berarti anjloknya nilai rupiahyang terjadi saat ini karena neraca perdagangan Indonesia sedang negatif dong?
Iya, negatif. Tambah satu lagi, impor kita itu sekarang kan lagi tinggi. Kalau dulu pemerintah memang betul, impor tinggi itu karena naiknya bahan baku yang akan diproses untuk ekspor. Jadi memang ada impor barang-barang modal. Nah, alasan itu enggak bisa dipakai lagi sama pemerintah sekarang. Alasan itu gombal, data BPS (Badan Pusat Statistik) enggak ngomong begitu.

Lho kenapa enggak bisa?


Sekarang itu tinggi karena barang konsumsi. Sekarang kan inflasi sudah bagus ya. Tapi sebentar lagi akan tertekan, karena kita kan banyak konsumsi barang impor, sementara dolar menguat, sementara rupiah melorot. Dengan begitu harg­anya akan mahal. Harga barang impor sebentar lagi bakal naik nih di pasaran, dan inflasi akan terpangaruh. Jadi pemerintah pakai lagu lama untuk sekarang enggak cocok. Kalau dulu betul. Toh dulu juga tingginya impor enggak pernah lebih tinggi dari ekspor. Itu pun impornya barang-barang modal dan bahan baku ekspor, bukan barang kon­sumsi seperti sekarang.

Sekarang Indonesia sedang mengalami tahun politik. Kalau menurut Anda hal itu berpengaruh enggak sih?
Iya, makanya sekarang orang akan berpikir-pikir kalau mau berinvestasi. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung saja itu misalnya. Banyak investor dari Cina yang berhenti untuk menanamkan modalnya. Dia takut juga, apakah Jokowi itu akan langgeng, dia enggak ya­kin Jokowi akan bertahan lagi. Jadi barang-barang investasi ke Indonesia itu akan berhenti, karena kalau nanti ada peruba­han pemerintahan berarti kan ada perubahan policy, jadi pada nahan.

Berarti kalau tahun politik sudah selesai, kondisi rupiah bisa jadi akan membaik lagi dong?
Belum tentu berpengaruh kalau enggak ada policy baru. Karena paket kebijakan pemer­intah kemarin itu banyak yang nyebur laut semuanya, 15 paket itu nyebur laut semuanya itu. Karena memang enggak efektif, cuma di atas kertas. Jadi seka­rang dia (pemerintah) enggak berani mengeluarkan paket lagi, yang ada malah yang kontrover­sial, soal tenaga kerja asing.

Tenaga kerja asing itu yang dipersoalkan adalah karena yang masuk itu yang bisa dikerjakan orang kita. Orang kita banyak yang nganggur kok. 

Tenaga kerja kasar harusnya jangan impor, itu satu. Kedua, mereka banyak yang datang pakai visa turis kok dibiarkan. Enggak sportiflah. Saya eng­gak yakin benar-benar ditindak itu. Itu kan juga menyebabkan banyak pengangguran. Jadi pe­merintah jangan terlalu banyak membela diri, orang-orang kritik dimarahi.

Menurut anda sampai ka­pan pelemahan rupiah ini akan terjadi?


Menurut saya sepanjang tahun ini boleh saja naik-turun, tapi kecenderungan jangka pan­jangnya pasti akan melemah. Karena ancamannya banyak. Selain tadi yang saya bilang, ada juga ancaman dolar yang akan menguat, karena Pemerintah AS akan menaikkan suku bunga dua kali lagi tahun ini. Itu kan sudah diumumkan. Nilai tukar yang hampir menyentuh Rp 14.000 itu sangat memprihatinkan, karena itu akan mendorong inflasi da­lam negeri.

Bisa diceritakan perbedaan­nya kondisi sekarang dengan jaman Anda dulu?


Dulu pemerintah itu mem­punyai andalan untuk ekspor. Sehingga selama pemerintah Orde Baru dan setelahnya ek­spor kita itu selalu surplus. Artinya neraca perdagangannya surplus, karena ekspor itu lebih besar dari impor. Dan surplusnya itu jumlahnya signifikan selama Orde Baru. 

Kalau sekarang kan gantian, setelah surplus, lalu defisit, setelah itu surplus lagi begitu terus. Cadangan dolar kita yang ada di BI itu kan dari uang utang, sama orang yang berspekulasi (hot money). Dia investasinya minim sekali.

Lalu apa yang harus dilaku­kan BI dan pemerintah?


BI kan cuma mengelola uang negara saja, yang harus bertindak adalah pemerintah. Pemerintah harus punya policy yang mampu menciptakan produk-produk unggulan untuk ekspor. Dulu kan banyak unggulan untuk ekspor, seperti kayu, tekstil, dan lain-lain. Itu pun sudah pada hil­ang, kayu hilang, tekstil hilang, enggak punya produk unggulan untuk ekspor. Jadi harus dibuat lagi dong produknya.

Kemudian impor barang-barang konsumsi itu sudah harus disetop. Masa garam sekarang impor. Dulu mana ada garam impor? Sekarang kan semuanya impor, bahkan bawang kadang juga impor. Jadi pemerintah juga harus melakukan langkah yang riil, jangan hanya mendebat saja. Semua orang yang mengkritik dimarahi, jangan.

http://rmol.co/read/2018/04/30/337741/Fuad-Bawazier:-Kecenderungan-Jangka-Panjangnya,-Nilai-Rupiah-Pasti-Akan-Melemah-

BANK INDONESIA:
Pelemahan Rupiah tidak Sesuai Fundamental
Jumat, 02 Mar 2018, 09:20 WIB 

BANK Indonesia (BI) menyampaikan per­gerakan nilai tukar rupiah yang kemarin sempat menyentuh Rp13.800 per dolar AS sudah tidak sesuai fundamental perekonomian.

Bank Sentral pun mengaku telah melakukan intervensi pasar kemarin (Kamis, 1/3/2018) pagi sehingga membuat kurs rupiah sedikit menguat di perdagangan siang harinya.

Kemarin pagi, menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang diumumkan BI, menunjukkan kurs rupiah 13.793 per dolar AS, melemah 86 poin dibandingkan Rabu (28/2) sebesar Rp13.707/per dolar AS.

Pergerakan nilai tukar rupiah bahkan sempat menyentuh 13.800 per dolar AS. Setelah ada intervensi oleh Bank Sentral, pada perdagangan siang hari nilai tukar rupiah bergerak di kisaran 13.755 per dolar AS. Pada penutupan sore harinya, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta mencapai 13.761 per dolar AS.

Angka 13.800 per dolar AS merupakan level terendah sejak Juni 2016, atau dalam 20 bulan terakhir. Adapun sepanjang tahun berjalan sejak 1 Januari hingga 1 Maret 2018, volatilitas rupiah mencapai 8,3%.

“Angka 13.800 per dolar AS berlebihan jika melihat perbaik­an kondisi ekonomi domestik. Seperti, inflasi membaik, neraca pembayaran surplus, pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Jadi seharusnya rupiah bisa lebih kuat. Artinya, pelemahan tadi lantaran faktor global,” ungkap Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi, di Jakarta, kemarin.

Sebagaimana dikutip dari Antara, Doddy menyampaikan pelemahan rupiah, di antaranya, karena dua faktor yakni pertama data perbaikan ekonomi AS dan pidato Gubernur The Fed Jerome Powell di depan Kongres AS yang mengindikasikan ekonomi AS ke depan akan membaik dan inflasi akan naik. Sebagai antisipasi mencegah overheating ekonomi, pemerintah AS pun berencana menaikkan suku bunga acuan atau fed fund rate (FFR).

Namun, menurut Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo, pelemahan rupiah tidak akan terlalu dalam mengingat kondisi ekonomi domestik yang membaik, terutama karena sasaran inflasi yang terjaga pada jangkar Bank Sentral serta proyeksi pertumbuhan yang lebih baik pada tahun ini.

“Tidak ada alasan rupiah melemah jika melihat faktor domestik,” ujar Budi.

Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menambahkan pelaku pasar menerjemahkan pidato Powell di depan Kongres AS tersebut sebagai sikap yang hawkish. “Sikap yang hawkishThe Fed itu kemudian direspons pelaku pasar dengan melepas sebagian aset pada mata uang di negara berkembang, termasuk Indonesia sehingga rupiah mengalami tekanan,” tuturnya.
Bunga acuan naik

Sementara itu, Deputi Komisioner Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi OJK Yohannes Santoso Wibowo menyampaikan akibat rencana pemerintah AS yang berencana menaikkan suku bunga acuan atau FFR, ada kemungkinan suku bunga acuan Bank Indonesia atau Seven Days Repo Rate akan dinaikkan.

Jika tidak, yield dari surat berharga Indonesia akan turun dan itu akan terjadi capital outflow ke Amerika Serikat. Kecuali, inflasi bisa tetap rendah, mungkin Indonesia tidak perlu menaikkan suku bunga acuan.

“Kalau inflasi juga sulit untuk tidak merangkak naik, tentu salah satunya jalan ialah menaikkan seven days repo rate,” ungkap Yohannes saat media briefing Bronis (Ngobrol Manis) di Jakarta, kemarin
http://mediaindonesia.com/read/detai...ai-fundamental

-----------------------------------------

Yang menarik justru pernyataan Bank Indonesia itu, fundamental ekonomi Indonesia cukup baik tapi kok rupiah terus melemah? 

Jadi ingat krismon 1997 lalu, dimana para pejabat otoritas moneter Indonesia menyampaikan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat sehingga nggak mungkin kena imbas dari krisis finansial (yang waktu itu) sedang menimpa Thailand. Ternyata optimisme itu punah. Kenapa? karena ternyata ada faktor non-politik yang ikut bermain. George Soros kayaknya sengaja dapat "pesanan" dari Bossnya di Washington sana untuk menggoyang rezim Soeharto via rekayasa menjatuhkan rupiah. Setahun kemudian goyangan George Soros itu memang berhasil memaksa Presiden Soeharto untuk lengser keprabon.

Akan halnya nasib rupiah di tahun politik ini, memang nggak salah kalau semua pihak harus berhati-hati. Kuncinya memang kepercayaan kalangan Internasional terhadap suksesi di negeri ini pada tahun 2019 yad. Bila mereka yakin dan merasa "aman" dengan figur Calon Presiden yang akan naik tahun depan, itu pertanda baik dan positip bahwa suksesi Presiden dan Wakilnya tahun depan  itu akan berjalan lancar dan baik bagi pelaku investor (baca: pemilik Duit), baik dari dalam maupun luar negeri.

Beberapa tanda-tanda yang terjadi di pasar modal dan pasar keuangan terakhir ini memang mencemaskan banyak orang. Misalnya keluarnya miliaran dolar dari BEJ.  Lalu melemahnya rupiah padahal fndamental ekonomi kuat. Dan, tidak cair-cairnya janji utang dari China untuk infrastruktur di Indonesia (kayaknya China kok nggak yakin dan nggak percaya kalau Jokowi pasti kepilih lagi. Kecuali mereka memang .... tebak sendirilah!


0
1.1K
12
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan