- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jokowi Terancam Batal Nyapres?


TS
soekirmandia
Jokowi Terancam Batal Nyapres?

Artikel
Jokowi Terancam Batal Nyapres?
Minggu, 29 Apr 2018
Oleh : Hersubeno Arief
[size={defaultattr}]

[/size]
[size={defaultattr}]Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pernah menyampaikan sebuah statemen yang aneh bin ajaib. “Jokowi terancam tidak mendapat tiket Pilpres 2019. Bagaimana mungkin seorang incumbent dengan elektabilitas tertinggi, dan didukung oleh hampir semua partai, bisa tidak mendapat tiket?[/size]
[size={defaultattr}]
Dinamika politik akhir-akhir ini menunjukkan apa yang disampaikan oleh Fahri bukan sekedar pernyataan konyol, yang tak layak ditanggapi. Sebagai politisi yang menempati posisi cukup penting, Fahri tentu punya akses ke banyak kalangan, terutama para petinggi parpol.[/size]
[size={defaultattr}]
Kendati tidak seekstrem yang dikatakan Fahri, namun dinamika politik saat ini berjalan menuju arah sebaliknya dari keinginan Jokowi. Alih-alih menjadi calon tunggal melawan kotak kosong –atau Jokowi paling banter head to head melawan Prabowo— ada tanda-tanda Pilpres 2019 akan diikuti oleh tiga, bahkan mungkin saja empat kandidat. Skenarionya kira-kira model Pilkada Jabar 2018 yang diikuti empat pasang kandidat.[/size]
[size={defaultattr}]
Skenario pertama, keinginan Jokowi untuk menggandeng Prabowo sebagai cawapres terwujud. Seperti dikatakan Jokowi dalam Mata Najwa, komunikasinya dengan Prabowo masih terus berlanjut. Apa artinya? Opsi menjadikan ketua umum Partai Gerindra itu sebagai pasangannya masih tetap terbuka, kendati Prabowo telah menyatakan menerima mandat sebagai capres. Jokowi tampaknya termasuk penganut, “sebelum janur kuning melengkung,” tak ada kata menyerah untuk meminang seorang tambatan hati.[/size]
[size={defaultattr}]
Skenario kedua, komposisi koalisi tetap seperti saat ini. PDIP, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, plus PKB. Jokowi memutuskan untuk mengusung cawapres dari PDIP. Pilihannya bisa Puan Maharani atau Kepala BIN Budi Gunawan (BG).[/size]
[size={defaultattr}]
Skenario ketiga, Jokowi memilih salah satu cawapres dari partai pendukung, di luar PDIP. Pilihannya bisa Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, atau Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Rommy). Atau kalau Demokrat bergabung, menggandeng Agus Harimurti.
Skenario keempat, Jokowi memilih calon diluar semua partai pendukung. Dia menggandeng cawapres yang dekat dengan umat Islam. Pilihannya bisa Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj, Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua MK Mahfud MD, atau Gubernur NTB Tuan Guru Bajang.[/size]
Bisa tiga sampai empat poros
[size={defaultattr}]
Skenario manapun yang dipilih oleh Jokowi, apakah skenario pertama, kedua, ketiga, dan keempat semuanya membuka peluang terbentuknya poros baru.[/size]
[size={defaultattr}]
Bila skenario pertama yang terjadi –Prabowo bergabung dengan Jokowi– partai-partai lain di dalam koalisi, akan berhitung ulang cost and benefit untuk tetap bertahan. Keberhasilan meminang Prabowo bisa menjadi pintu awal pecahnya soliditas partai-partai pendukung Jokowi. Seperti dikatakan oleh Rommy, kecuali dirinya, tidak ada ketua umum partai pendukung yang setuju.[/size]
[size={defaultattr}]
Kalkulasinya sangat jelas. Selain banyak ketua umum partai yang diam-diam mengincar posisi sebagai cawapres, hampir dapat dipastikan jatah kementrian juga akan berkurang. Apalagi bila persyaratan Prabowo untuk mengontrol militer dan mendapat jatah 7 kementrian disepakati.[/size]
[size={defaultattr}]
Dalam kabinet Jokowi saat ini ada 34 menteri dan 8 orang pejabat setingkat menteri. Yang terbanyak mendapat jatah PDIP sebanyak 5 kursi. Yang lainnya ada yang mendapat 4 kursi (PKB), 3 kursi (Golkar, dan Nasdem), 2 kursi (Hanura). Sementara yang mendapat jatah 1 kursi (PPP, PAN). Sisanya diisi oleh profesional.[/size]
[size={defaultattr}]
Berapa jatah kursi-kursi partai pendukung bila Gerindra saja mendapat jatah 8 kursi kementrian? Belum lagi bila Demokrat bergabung. Agak sulit membayangkan bagi-baginya.[/size]
[size={defaultattr}]
Bagi partai-partai tersebut, jatah kursi yang memadai bisa menjadi kompensasi atas kemungkinan rendahnya elektabilitas, karena tidak mengusung capres dari kalangan internal. Gerindra misalnya dari sejumlah survei menunjukkan bahwa pemilihnya yang akan memilih Jokowi sangat kecil. Jadi hampir dipastikan bila Prabowo bergabung dengan Jokowi, elektabilitasnya akan jeblok. Namun dengan mendapat jatah wapres dan 7 pos kementrian, imbalannya cukup sepadan.[/size]
[size={defaultattr}]
Bagaimana dengan partai lain, seperti PAN, Demokrat, atau PKB? Apakah mereka bersedia menukar jebloknya elektabilitas partai hanya dengan satu atau dua kursi kementrian?[/size]
[size={defaultattr}]
Selain partai koalisi, dampak pilihan Jokowi juga akan berimbas pada koalisi PKS dengan Gerindra. PKS akan kehilangan jodoh. Skenario Pilkada Jabar, dimana cagub Deddy Mizwar ditinggalkan Ahmad Syaichu terulang kembali. Hanya saja bila di Jabar PKS meninggalkan Demokrat untuk bergabung dengan Gerindra, maka kali ini PKS yang ditinggalkan Gerindra, kemungkinan terbesar PKS akan bergabung dengan Demokrat. Déjà vu.[/size]
[size={defaultattr}]
Skenario larinya “pasangan pengantin” seperti cerita film Runaway Bride (1999) yang dibintangi oleh Julia Robert dan Richard Gere ini tampaknya sudah dibaca oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Melalui Syarif Hasan, SBY sudah minta bertemu dengan Presiden PKS Sohibul Iman untuk membahas kemungkinan pembentukan poros ketiga. Agar memenuhi syarat presidential threshold, mereka harus menggandeng PAN, atau PKB.[/size]
[size={defaultattr}]
Bila skenario kedua yang dipilih, apakah partai pendukung bisa menerima capres-cawapres yang semuanya berasal dari PDIP. Mereka hanya akan menjadi dayang-dayang pengiring mempelai PDIP. Golkar, PKB, PPP, yang selama ini sudah mengincar posisi cawapres besar kemungkinan akan angkat kaki.[/size]
[size={defaultattr}]
Yang paling besar berpeluang hengkang adalah PKB. PKB misalnya, menjadikan tiket cawapres bagi Ketua Umum Muhaimin Iskandar (Cak Imin), sebagai persyaratan mereka bergabung dengan poros Jokowi (Join), maupun poros Prabowo (Poin). Sementara Ketua Umum PPP Rommy menunggu bola muntah.[/size]
[size={defaultattr}]
Kalau toh akhirnya mereka bisa menerima cawapres dari PDIP siapa yang akan diusung? Puan atau BG? Salah satu yang dipilih juga akan mengundang persoalan. Faksi para pendukungnya tidak akan puas, dan soliditas internal PDIP bisa terganggu.
Bila Megawati memilih menyodorkan Puan dengan pertimbangan kelanjutan trah Soekarno, BG pasti akan sangat kecewa. Padahal pengaruhnya di PDIP juga cukup besar. Sementara bila BG yang dipilih, bagaimana dengan kelanjutan dan masa depan politik trah Soekarno?[/size]
[size={defaultattr}]
Skenario ketiga, Jokowi memilih cawapres dari partai pendukung di luar PDIP? Bila opsi itu yang dipilih Jokowi, besar kemungkinan yang akan pertamakali hengkang adalah PDIP. Bagi PDIP terutama Megawati, periode kedua Jokowi ini merupakan momentum yang sangat krusial. Siapapun yang dipilih Jokowi sebagai cawapres, apalagi bila dia masih berusia muda, berpeluang menjadi penerusnya.[/size]
[size={defaultattr}]
Mega tentu tidak ingin, Puan yang dipersiapkannya sebagai putri mahkota dan penerus dinasti Soekarno berhadapan dengan seorang incumbent pada Pilpres 2024. Karena itu bila Jokowi memilih cawapres dari luar Puan atau PDIP, maka tidak ada pilihan lain dia harus menantang Jokowi dengan membentuk poros tersendiri.[/size]
[size={defaultattr}]
Di Jabar PDIP akhirnya menunjuk pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan menantang calon yang didukung Jokowi pasangan Ridwan Kamil- Uu Ruzhanul Haq (Nasdem, PPP, PKB, Hanura), Deddy-Mizwar-Deddy Mulyadi (Demokrat-Golkar), dan Sudradjat Syaichu (Gerindra-PKS).[/size]
[size={defaultattr}]
PDIP pada Pileg 2014 memperoleh 109 kursi di parlemen. Hanya kurang tiga kursi untuk memenuhi syarat presidential threshold. Dia cukup menggandeng Hanura (16 kursi), atau Nasdem (35 kursi).[/size]
[size={defaultattr}]
Bila Jokowi memilih skenario keempat, hampir sama dengan skenario ketiga, PDIP hengkang plus sejumlah partai pendukung lainnya. Skenario keempat inilah yang membuka peluang kemungkinan akan terbentuk poros keempat, yang dibentuk oleh sempalan pendukung Jokowi di luar PDIP. Elektabilitas Jokowi yang tidak cukup tinggi, membuat banyak kandidat berani dan cukup percaya diri untuk menantang Jokowi.[/size]
[size={defaultattr}]
Nah bagaimana dengan kemungkinan Jokowi tidak mendapat tiket? Skenario ini bisa terjadi bila rupiah terus terpuruk, utang terus menggunung, para investor menarik dananya dari Indonesia, dan ekonomi Indonesia terpuruk. Elektabilitas Jokowi bisa terjun bebas. Saat itu partai pendukung akan segera berkemas menyelamatkan diri masing-masing.[/size]
[size={defaultattr}]
Tanda-tanda itu mulai membayang seiring melemahnya rupiah terhadap dolar, rontoknya IHSG dan tidak lakunya surat utang negara yang diterbitkan pemerintah. Rupiah sampai akhir pekan ini sudah menyentuh level Rp 14.000/USD, sementara dari lima seri surat utang negara yang ditargetkan bakal meraup Rp 17.02 triliun, baru terjual Rp 6.5 triliun.[/size]
[size={defaultattr}]
Agar skenario terburuk itu tidak terjadi, Jokowi harus bekerja sangat-sangat keras. Dia tengah menghadapi ancaman sangat serius dari internal, dan eksternal. Kalau hanya dengan naik motor besar, dan bagi-bagi sembako, semua persoalan tersebut tidak akan teratasi. End[/size]
https://www.hersubenoarief.com/artik...batal-nyapres/
Presiden 2019, Siapa Saja Asal Bukan Jokowi
MINGGU, 29 APRIL 2018 , 10:43:00 WIB
RMOL. Koordinator Rumah Pejuang Indonesia (RPI) asal Bojonegoro Edi Susilo berharap pada Pilpres 2019 terpilih presiden baru.
"Siapa saja asal bukan Jokowi. Dia berpihak kepada umat Islam, ulama, bangsa dan negara. Tidak mengkriminalisasi ulama dan menjual negara," ujarnya dengan lantang di acara CFD di sekitaran Bunderan HI, Jakarta Pusat, Minggu (29/4).
Edi yang datang jauh-jauh dari Bojonegoro, Jawa Timur bergabung dengan relawan lainnya lintas organisasi yang mengusung #2019GantiPresiden siap mengawal siapa saja yang berpotensi menggantikan Jokowi.
"Bisa Pak Prabowo, bisa Pak Gatot, bisa TGB, yang penting dia berpihak sama umat," tandasnya.
Pengusung #2019GantiPresiden ini komitmen tetap berada di jalur konstitusi dalam proses pergantian itu. Edi menginginkan pergantian yang sah dan penuh kedamaian, caranya dengan memberikan dukungan kepada calon selain Jokowi.
"Kami akan mengawal siapa pun itu pengganti Jokowi, tapi kalau dicurangi kita akan melawan," pungkasnya.
http://politik.rmol.co/read/2018/04/...-Bukan-Jokowi-
Gerakan #2019GantiPresiden, Simbol Perubahan?
April 26, 2018 15:47

Jakarta, aktual.com – “Becik ketitik ala ketara” (Berbuat baik maupun buruk akhirnya akan terlihat juga) pribahasa Jawa ini mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua sifat makhluk dalam memainkan perannya di dunia, yakni baik ataupun buruk.
Ketika seorang makhluk memainkan sifat baiknya maka serapat apapun ia menutupi akan ketahuan juga, begitu pula dengan makhluk yang berbuat buruk, selama masih di atas muka bumi ini tidak akan bisa menutup sifatnya.
Dan setiap apa yang dikerjakan, tentunya akan dimintakan pertanggungjawabannya dan menuai balasannya. Apakah itu balasan langsung di dunia atau nanti di akhirat, dan semua balasan yang diberikan tuhan pasti akan setimpal dengan apa yang dikerjakan.
Lalu, apa hubungannya pribahasa Jawa tersebut dengan #2019GantiPresiden?
Gerakan bertagar #2019GantiPresiden yang terus ramai menjadi perbincangan publik, dari yang berawal di media sosial, kini gerakan yang diklaim sebagai bentuk kekecewaan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut kian meluas secara massif di setiap lapisan masyarakat melalui sejumlah pernak perniknya. Baik itu berupa kaus, gelang tangan yang bertuliskan tagar tersebut.
Tagar yang kini didengungkan itu tidak lepas dari kaitannya menjelang pemilihan umum (Pemilu) serentak 2019 yakni pemilihan presiden dan legislatif nanti. Hastage #2019GantiPresiden pun suka tidak suka membuat jurang pemisah yang diperkirakan akan sangat lebar, sebab tidak terlepas dari pro dan kontra. Ya, pada bagian pro-kontra ini lah, pribahasa Jawa tersebut menemui konektivitasnya, dimana seseorang melihat sifat orang lain, yang berujung pada like or dislike.
Bagi mereka yang Pro tentunya hanya memiliki argumentasi agar mengembalikan kondisi Indonesia dalam keadaan stabil dengan mengganti presiden baru alias asal jangan Jokowi lagi.
Sejumlah alasan pemaparan juga diberikan bagi para pendukung gerakan ini, diantaranya. Pemerintahaan di bawah kepemimpinan mantan Walikota Solo tersebut sudah tidak sejalan dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945, dimana setiap kebijakannya dinilai sudah tidak lagi berpihak pada nasib rakyat, dan tidak ada satupun Visi Misi yang diperkenalkan Jokowi dalam bentuk Nawacita dan Trisakti yang dijalankan. Tidak hanya itu, setidaknya ada 66 janji yang disampaikan Jokowi pada Pemilu 2014 lalu, dinilai tidak terlaksana sama sekali alias gagal total.
Merasa dibohongi secara terang-terangan, mungkin ini juga yang membuat gerakan yang diinisiasi Wakil Seketaris Jenderal (Wasekjen) DPP PKS Mardani Ali Sera kian mendapat simpati. Bahkan, pernak-pernik itu kini menjadi trendsetter di kalangan “Anak Muda Jaman Now” atau anak milenial.
Semenatara itu, bagi mereka yang kontra pada gerakan bertagar ini juga memiliki pandangannya terhadap pemerintahan yang dipimpin Jokowi dan Jusuf Kalla. Mereka menilai, gerakan ini hanya sekedar pemuas nafsu politik untuk mengganti atau bahkan sekedar mengganti presiden saja, tiap menjelang lima tahunan yakni Pemilu. Akan tetapi, tidak ada usulan nama calon presiden pengganti yang dinilai mampu menggeser posisi mantan Gubernur DKI itu.
http://www.aktual.com/gerakan-2019ga...bol-perubahan/
------------------------------------
Yaa sudah ... lihat saja tahun depan, 2019, jangan mendahului karsa Gusti Allah.

0
2.3K
30


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan