Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

john.pantawAvatar border
TS
john.pantaw
Lelang Tas Sembako Jokowi Rp3 Miliar yang Kontroversi



Pengadaan tas untuk program bagi-bagi sembako ke masyarakat sebagai bagian bantuan sosial yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai kritik. Pengadaan tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang diatur dalam undang-undang.

“Program ini secara angka saja sudah jauh dari efisien dan bertentangan dengan amanat UU 17/2003 yang harusnya diperhatikan pemerintah,” kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia Transparansi Anggaran (FITRA) Yenni Sucipto kepada Tirto, Selasa (24/4).

Yenni mengatakan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengharuskan keuangan negara dikelola secara tertib, taat peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Ia memandang nilai pagu Rp3 miliar dengan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp600 juta untuk pengadaan tas sembako tidak memenuhi prinsip efisiensi.


Menurut Yenni pengadaan tas sembako cukup menggunakan kantong plastik yang harganya murah. Selama ini, yang terjadi kantong dalam pembagian sembako bukan dari plastik.

Pada gambar-gambar saat pembagian sembako tahun lalu misalnya, kantong sembako berwarna merah dan putih yang bertuliskan "Istana Kepresidenan Republik Indonesia" dan "Bantuan Presiden Republik Indonesia" dengan perpaduan lambang Istana Negara di tengahnya.

“Daripada 3M (Rp3 miliar) dipakai untuk tas, lebih baik ditambah penerima manfaatnya. Itu prinsip efektivitas, berkeadilan dan efisiensinya,” ujar Yenny.





Program bagi-bagi sembako yang dilakukan Jokowi dengan nama Bantuan Lempar Langsung (BLL) menurut Yenny tidak berbeda dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Program ini menurutnya hanya bersifat karitatif dan politis tanpa menyelesaikan persoalan kemiskinan.

“Karena pembelian tas ini jelang Pemilu,” kata Yenni.

Alih-alih menyediakan anggaran Rp3 miliar untuk pengadaan tas, Yenni mengatakan anggaran sebesar itu lebih baik digunakan untuk program pengentasan kemiskinan berkelanjutan. Misalnya menciptakan lapangan kerja.

“Tiga miliar saya kira cukup untuk memberi bantuan modal UMKM di beberapa daerah atau membuat sentra pelatihan kerja, meskipun jumlahnya sedikit,” ujarnya.

“Tapi yang penting pengelolaan keuangan lebih berkeadilan daripada sekadar tas sembako.”

Yenni mengatakan pengadaan tas sembako Jokowi menggunakan dana operasional tidak lazim. Menurutnya program pembagian sembako ada dalam proyek Bantuan Langsung Lempar (BLL) Kementerian Sosial. Sehingga mestinya antara sembako dan tas sebagai pembungkusnya dilelang secara bersamaan.

“Kalau pengadaan tasnya saja diambil dari dana operasional sayang sampai Rp3 miliar. Oke ini diskresi presiden tapi tidak serta merta begitu saja,” katanya.

Program bagi-bagi sembako menurut Yenni tak jauh berbeda dengan program bagi-bagi sertifikat tanah oleh Jokowi. Ia mengatakan pembagian sertifikat tanah tak berarti mengentaskan kemiskinan masyarakat dan petani. Sebab mestinya program bagi-bagi sertifikat tanah dibarengi program penguatan petani miskin, seperti mempermudah alur distribusi, dan menaikkan harga pembelian gabah dan beras petani oleh Perum Bulog.

“Tapi kalau tidak ada penguatan bagi petani ya tanahnya akan hilang saja. Tanahnya akan dijual lagi. Karena tidak ada bantuan dari pemerintah,” kata Yenni.

Apalagi, kata Yenny, pada sampul sertifikat tanah yang dibagikan ke masyarakat terdapat foto Jokowi. Pada foto-foto pembagian sertifikat memang nampak foto Jokowi dalam sampul luar. Ia menilai program pembagian sertifikat bersifat politis untuk menaikkan elektabilitas Jokowi menjelang Pilpres 2019. Namun, pemerintah memang punya alasan, dengan memiliki sertifikat, masyarakat bisa menganggunkan surat tanah ke jasa keuangan untuk kegiatan produktif.

Yenni mendesak DPR lebih proaktif mengawasi usulan anggaran dari pemerintah yang bersifat karikatif dan bersifat politis. Karena, menurutnya, anggaran tersebut tidak akan lolos dan dicairkan oleh Kemenkeu jika DPR tidak menyetujui.

“Kan DPR lebih tinggi dari presiden. Presiden hanya kuasa pengguna anggaran. Dia mengusulkan lalu dibahas dan disetujui DPR,” kata Yenni.


Sumber










tien212700
tien212700 memberi reputasi
1
1.4K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan