Merdeka.com - Penyebaran berita bohong alias hoax di media sosial masih terus terjadi. Dan ternyata, penyebar kabar hoax itu sebagian besar dilakukan warga dengan pendidikan tinggi.
Hal tersebut disampaikan CEO Selasar.com Miftah Sabri mengutip hasil penelitian di Amerika Serikat (AS). "Saya nggak tahu kalau di sini (Indonesia), kalau penelitian di Amerika penyebar hoax paling banyak adalah orang berpendidikan tinggi," ucap Miftah, di Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta, Rabu (25/4).
Menurutnya, untuk meredam informasi hoax, Indonesia perlu memiliki portal pengecekan cepat yang berfungsi memeriksa kebenaran informasi yang diutarakan baik pejabat negara maupun masyarakat.
"Kan ada juga pejabat yang mengeluarkan statement misalkan angka kemiskinan jumlahnya sekian, padahal angka nyatanya enggak segitu. Nah di fact check portal ini nantinya akan ngecek 'bener enggak nih'," kata dia.
Penyebaran hoax itu, lanjut Miftah, sebenarnya juga secara tidak langsung didukung algoritma dari media sosial itu sendiri. Sebab, algoritma yang dikembangkan media sosial, kerap mengidentifikasi kebiasaan pengguna dalam menggunakan media sosial. Cara inilah yang dapat mengumpulkan pengguna dalam kesamaan aktivitas.
"Algoritma oleh platform besar ini disusun untuk mengumpulkan orang yang memiliki kesamaan aktivitas," ujar Miftah.
Sementara itu, Dosen Ilmu Komunikasi UI, Pinckey Triputra menuturkan sebaran informasi hoax sudah lama terjadi.
Hanya saja, sebaran itu meningkat semakin cepat karena masyarakat sudah saling terhubung satu sama lain menggunakan media sosial. "Hoax ini enggak akan hilang," ujar Pinckey.
Sumber