- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
MAPPURONDO Perjuangan panjang penghayat dari Mamasa


TS
dewaagni
MAPPURONDO Perjuangan panjang penghayat dari Mamasa

Gambar: Daeng Manangkan menjadi to puppu' alias sanro (dukun) utama bagi penghayat kepercayaan Aluk Mappurondo di Mamasa, Sulawesi Barat| © Hariandi Hafid/Beritagar.id /MAPPURONDO
Perjuangan panjang penghayat dari Mamasa
Penganut aliran ini sempat menjadi mayoritas tapi sekarang minoritas. Punya tradisi penggal kepala untuk mematahkan kutukan Tuhan.
Mengenakan kemeja dan kain putih melilit kepala, Daeng Manangkan (54) menyambut kedatangan Beritagar.id di teras rumahnya, Kamis (8/2/2018).
Dengan kain tenun berbentuk sarung melintang dari bahu kiri ke kanan dan sepu'(tas tradisional) di sisi lainnya, ia melempar senyum ramah.
"Anak ketiga saya akan menikah dua hari lagi," menjelaskan ihwal banyak tetamu di rumahnya saat itu.
Kami bertemu dengan Daeng Manangkan setelah menempuh perjalanan kurang lebih 32 kilometer dari Ibu Kota Mamasa ke Desa Salumokanan Utara, Kecamatan Rantebulahan Timur.
Tidak mudah menggapai daerah yang dimaksud. Rumah-rumah warga berdiri terpisah di antara lereng-lereng bukit. Untuk mengunjungi satu rumah ke rumah lainnya pun harus berjalan kaki.
Di desa itu, Daeng Manangkan ditunjuk sebagai to puppu', sanro alias dukun utama yang dahulu kala bergelar panglima perang.
Mereka dulunya memiliki tradisi pangae atau keluar kampung untuk berperang dan berburu kepala manusia. Kepala ini dijadikan persembahan untuk mematahkan kutukan Dewata (Tuhan).
Konon kutukan itu ada karena Pongka Padang sebagai penerima wahyu pertama dari langit melakukan incest (hubungan seksual dengan anggota keluarga dekat).
Akibatnya tidak ada hasil pertanian yang memuaskan. Sejumlah persembahan telah dilakukan, namun hasilnya nihil belaka. Kutukan baru sirna setelah menjadikan kepala manusia sebagai tumbal.
"Tapi sejak ada aturan membunuh itu dilarang, kepala manusia diganti dengan batok kelapa," terang Daeng Manangkan.
Aluk Mappurondo atau juga biasa disebut Ada' Pappurondo merupakan tipikal ajaran pitutur yang tidak meninggalkan kitab berisi catatan.
Para penghayat kepercayaan ini beralaskan pada Pemali Appa' Randanna yang berisi empat aturan dengan empat siklus kehidupan yang harus ditaati.
Dua aturan pertama adalah patotibojongan(masa bekerja dan bercocok tanam) dan patomatean atau politomate (segala urusan tentang kematian).
Berikutnya peraturan yang mengatur beragam ritual untuk berbagai hajatan (pa'bisuan). Biasanya sebagai perayaan mengembalikan semangat setelah bercocok tanam. Yang terakhir pa'bannetauan yang mengurusi soal pernikahan.
Setiap pemali itu ada tokoh yang dituakan sebagai pemimpinnya. Seperti tomatua tondayang menangani aturan pertama, patotibojongan. Pallawa (57) dinobatkan menduduki posisi tersebut. Sementara istrinya, Yuliana (56) mempimpin perkara pa'bannetauan.

Prasasti To' Pao di pusat Kota Mamasa, Sulawesi Barat, yang memuat sejumlah aturan, pedoman hidup, dan kesepakatan leluhur orang Mamasa yang hingga kini masih dipegang teguh keturunannya© Hariandi Hafid /Beritagar.id
Ancha Hardiansya dan Hariandi Hafid dari Beritagar.id menemui Pallawa di rumahnya yang tidak jauh dari kediaman Daeng Manangkan.
Secara silsilah, mereka masih satu keturunan. Dalam sistem adat, hanya keturunan murni yang bisa menduduki posisi-posisi tersebut. Sehingga kelak jika mereka meninggal jabatan tersebut akan diwariskan ke anak cucunya.
Ketika pertama kali bertemu dengan Pallawa, tatapannya penuh curiga. Anak-anaknya pun demikian.
Lama-kelamaan sikap itu berubah. Mereka menjamu kami dengan satu cerek kopi. Di Mamasa yang berarti 'lembah kasih' dalam bahasa lokal, kopi tanpa kemasan tak akan sulit ditemui.
Pallawa banyak menceritakan detail ritual dalam Pemali Appa' Randanna. Ia juga mengisahkan kalau tanah yang mereka tinggali, termasuk Toraja disebut pula "pitu ulunna salu karua tiparitti'na uai" yang artinya tujuh hulu sungai dengan delapan muara.
Warga penghayat kepercayaan Aluk Mappurondo sejak dahulu mendiami tanah merdeka yang dalam bahasa lokal disebut tabulahan.
Ada tujuh kawasan tabulahan di kawasan ini, yaitu Aralle, Mambie, Bambang, Matanga, Tu'bi, Tabang, dan Rantebulahan yang jadi domisili Pallawa.
"Di desa ini (Salumokanan Utara, red.), penganut Aluk Mappurondo tidak banyak, hanya 90 orang, tapi dari keseluruhan wilayah ada 10 ribuan jiwa," kata Pallawa.
Data ini sama yang diucapkan Bupati Mamasa Ramlan Badawi. Ia merujuk pada data saat pemilih umum sebelumnya. Total pemilih sebanyak 7 ribu orang.
"Semuanya berdasarkan rujukan agama di KTP yang bertulis Hindu, tapi sebenarnya penghayat Mappurondo yang berjumlah sekitar 10 ribuan," kata Ramlan.
Sebagian penganut kepercayaan ini menuliskan Hindu pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) meskipun sebenarnya tidak menganut ajaran Dharma.
Hal tersebut terpaksa dilakukan agar tidak mendapat diskriminasi lantaran kolom agama kosong.
Pun demikian, beberapa penganut Aluk Mappurondo memilih tetap mengosongkan kolom agama pada KTP. Seperti yang dilakukan Pallawa dan istrinya, setidaknya dalam tiga tahun belakangan.
Yuliana baru saja meletakkan beberapa helai bulu ayam pada anyaman bambu yang juga diikatkan pada sebatang bambu, ketika kami berkunjung ke rumahnya.
Pallawa bergegas menghampiri setibanya dari sawah. Keduanya melakukan ritual di tangga kediaman mereka.
Hari itu Yuliana melakukan ritual papa'silahasan tomate anna to tawau. Artinya memisahkan arwah orang meninggal dengan yang masih hidup.
Ritual tersebut bermakna ungkapan syukur. Sesajen diletakkan di semak-semak rimbun dengan harapan hasil tanaman tumbuh sama suburnya.
"Ada banyak ritual dalam Aluk Mappurondo, beberapa di antaranya bisa dilakukan kapan saja," jelas Pallawa.
Meski begitu ada beberapa ritual besar Aluk Mappurondo yang tidak pernah dilakukan lagi. Misalnya ritual pelambeam dan kamalangisam.
Pelambeam merupakan syukuran atas melimpahnya rezeki. Terakhir dilakukan tahun 1967. Sementara kamalangisam yang merupakan syukuran tertinggi berlangsung terakhir kali pada 1952.
Kedua ritual itu penuh dengan beragam agenda. Salah satunya menampilkan tarian legendaris yang mereka sebut tarian bisu.
Praktiknya puluhan orang akan melakukan sejumlah tarian dalam keadaan diam seperti terhipnotis di atas pohon beringin tua. Di Salumokanan Utara terdapat satu pohon beringin besar yang konon usianya telah genap 700 tahun.
Ada beberapa alasan mengapa ritual kuno itu tidak pernah dilakukan lagi. Selain membutuhkan dana besar lantaran dirayakan dua hari dua malam, juga karena dipengaruhi semakin berkurangnya penganut Aluk Mappurondo yang memilih memeluk agama lain.
Dahulu kala, seluruh daratan di Mamasa berisi penghayat kepercayaan Aluk Mappurondo. Namun saat Belanda datang menyebarkan agama Kristen, banyak yang dipaksa untuk berpindah. Sebagian memilih bertahan selama beberapa generasi, lainnya ada pula yang memilih kembali di kemudian hari.

Pallawa (57) dan Yuliana (56) di foto di kediamannya di Kecamatan Rantebulahan Timur, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Kamis (08/02/2018). Mereka merupakan salah satu keluarga penganut Aluk Mappurondo yang menetap di Mamasa.© Hariandi Hafid /Beritagar.id

Sarana ritual dan berdoa penghayat kepercayaan Aluk Mappurondo di Kecamatan Rantebulahan Timur, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat© Hariandi Hafid /Beritagar.id
Berkurangnya penganut Aluk Mappurondo turut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, khususnya di bidang pendidikan.
Hal ini dialami oleh keluarga Daeng Manangkan. Meski ia merupakan tetua adat, namun hanya sisa tiga dari enam orang anaknya yang masih menganut Aluk Mappurondo.
Anak pertamanya menjadi muslim karena saat masuk sekolah diharuskan memilih agama. Kata Daeng Manangkan, anaknya kemudian memilih Islam, lalu menikahi perempuan dari Suku Bugis.
Anak kedua dan ketiga setali tiga uang. Masuk sekolah teologi membuat mereka harus memeluk Kristen agar bisa lulus.
"Mereka tetap meminta izin, katanya harus beragama kalau ingin lulus. Karena sudah dewasa, saya bebaskan mereka untuk memilih," kata Daeng Manangkan.
Walau cenderung terbuka dengan perbedaan keyakinan dalam keluarga, ia berharap ketiga anaknya yang lain tetap menganut Aluk Mappurondo. Karena ada harapan besar negara akan mengakuinya sebagai agama resmi.
"Dulu memang orang Mappurondo tidak bisa sekolah, karena dianggap tidak beragama. Tapi sekarang kami sudah bebas bersekolah dan bahkan daftar jadi pegawai negeri."
Ia kemudian menceritakan beberapa orang yang akhirnya jadi Pegawai Negeri Sipil dan mewakafkan dirinya menjadi guru. Khususnya yang mengajari warga penghayat tentang Aluk Mappurondo.
Beberapa sekolah di Mamasa memang sudah memiliki guru dari kalangan Aluk Mappurondo. Hanya saja keberadaanya masih dihitung jari. Guru untuk tingkat sekolah dasar bahkan belum tersedia.
Pun demikian, Daeng Manangkan tetap menyimpan harapan besar. Terbukanya harapan itu pertama kali datang empat tahun silam.
Beberapa utusan negara mengumpulkan sekitar 500-an penghayat Aluk Mappurondo di Mamasa dan menjelaskan bahwa keyakinan mereka sudah diakui.
Meski kala itu sebatas penganut kepercayaan, belum jadi agama, mereka diberi pilihan menggunakan tanda setrip di KTP tanpa terpaksa memilih agama lain.
Alhasil banyak penghayat kepercayaan yang saat itu bergegas ke Catatan Sipil untuk memperbaharui data.
Hanya saja mereka tetap dihadapkan pada beragam permasalahan, salah satunya karena tidak semua orang paham alasan mereka memilih mengosongkan kolom agama.
Masalah lain adalah keputusan Pemkab Mamasa menjadikan Gandang Dewata sebagai Taman Nasional tanpa melibatkan lebih jauh komunitas Aluk Mappurondo.
"Ketika satu wilayah telah jadi taman nasional, sudah tentu seisi hutan akan jadi terbatas bagi masyarakat, sementara masih banyak masyarakat adat dari komunitas penghayat Mappurondo yang mengandalkan penghasilan dari hutan," kata Andi Karaeng dari Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Mamasa.
Bupati Mamasa Ramlan Badawi berjanji tidak akan mengusir penghayat Aluk Mappurondo keluar dari kawasan hutan lindung.
Menurut Ramlan, penganut Aluk Mappurondo punya posisi istimewa. Kepatuhan terhadap Pemali Appa' Randannamembawa banyak dampak positif.
Salah satunya takut melakukan kejahatan sehingga tingkat kriminalitas di lingkungan mereka nyaris tak ada. Pun kalau ada, pemangku adat akan memberi hukuman yang sangat berat.
https://beritagar.id/artikel/laporan...yat-mappurondo
0
1.5K
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan