markitonjAvatar border
TS
markitonj
MARBANJO
Kalau kamu tahu, di tepi sana, di salah satu belahan Jawa, ada sebuah Kampung Asin. Kampung kecil yang dihuni oleh mayoritas  nelayan dan juga pengolahan ikan asin. Sebuah kampung kecil yang orang-orang dan rumah-rumah dan jalan-jalan dan angin-anginnya pada bau oleh amis ikan. Termasuk ikan asin.

Kalau kamu kenal, di kampung sana, itu dia seorang anak laki yang baru saja remaja. Mestinya hari ini dia kelas dua di sekolah menengah pertama, namun jadi sekolah menengah pailit, karena dia sudah tidak. Sudah tidak lagi sekolah. Kalau ada tanya kenapa, "Kepengen aku sendiri kok berhenti. Mau cari uang saja untuk jajan, sekalian berbantu orangtua," begitu jawabnya.

Kalau kamu kenal, dialah itu orang yang punya nama Atok. Aslinya bernama Rudiyanto, tapi dibuat kecil jadi Atok oleh ibunya biar mudah. Atok, katanya, seingat dia, umurnya sekarang mungkin empat belas atau lima belas. Berkakak empat dan beradik dua. Sementara ayahnya telah tiada, Atok bersama ibu dan dua abangnya menjalankan usaha ikan asin yang diterima dari nelayan. Diolahnya itu ikan-ikan biar mati dan jadi ikan asin, lalu dijual ke luar kampung. Ke pasar ikan.

Kalau kamu kenal Atok lebih dalam, maka akhirnya kamu akan tahu kalau Atok dan keluarganya ternyata berasal dari Indramayu dulunya. "Tapi aku dan keluarga sudah tak pernah lagi pulang ke Indramayu. Keluarga di kampung sana sudah habis," itu maksudnya habis karena beberapa sudah memang habis jatah hidupnya, selebihnya habis karena semua pada pergi jauh dari kampung dengan niat mulia ingin mencari sukses ke ibu kota, atau ke bapak kota.

Selepas subuh, Atok dan abangnya yang muda bertugas memakai sandal untuk sudi pergi menyambut nelayan favorit mereka. Jadi favorit karena dialah pemasok asin untuk perserikatan maha akbar pengolahan ikan asin keluarga mereka. Nah, itu dia, Bang Naim si pelaut, yang sedang asik merokok kretek sudah menunggu Atok dan abangnya -yang bernama Robin, aslinya Robiyanto. Mengepul-ngepulkan asap rokok Bang Naim sambil telanjang dada, bersama beberapa pelaut lain yang juga membawa tangkapannya dalam pesiar-pesiar mini.

Tapi sebelum sampai dekat ke Bang Naim, si Atok yang usil mengajak abangnya untuk ikut usil bersamanya. Melancarkan sebuah misi kecil tolol yang buang waktu, tapi Atok suka, "Supaya tidak bosan hidup rutin begini teruss! Variasi sedikit dongg!"

"Ah, gila kau, Tok. Ngapain sih? Kau sajalah! Aku tunggu dekat kerat-kerat itu sampai kau usai. Masih ngantuk begini. Mau merokok saja," begitu Robin kalau diajak usil oleh Atok.

"Ah, pengecut kau, Bang! Hahaha," sambil lari Atok meledek.

"Kau yang sinting!" sambil melempar Atok dengan angin lalu nyengir kuda geleng-geleng.

Nah, lihat itu Atok yang katanya sinting. Belum genap jam lima pagi tapi dia memutar sedikit mengitari jalur ke perahu Bang Naim yang tertambat. Turun masuk ke dalam air di tepian dermaga kampung, menyelam di bawah permukaan dan perlahan mendatangi perahu Bang Naim si pelaut dari arah belakang. Dengan beberapa helai rumput mati sseolah rambut panjang tergerai berkilau indah di kepalanya, Atok mulai muncul perlahan dan bertengger ketiak ke bibir perahu Bang Naim seraya berucap manja seolah duyung padahal banci kaleng :

"Bwaaank, minta asin, Bwank..."

Bang Naim menoleh dan langsung terperanjat serta merta sampai berguncang perahunya, hampir terjengkang dari duduknya pula. "Wualaahh! Jiancuuuk! Dasar dedemit sialan! Ada saja ulahmu ini, ah, Tok!" sambil melempar Atok dengan rokoknya tapi tidak kena.

"Hahaha. Katanya pelaut, tapi mosok takut sama putri duyung!"

"Mana ada putri duyung macam kamu ini, bahkan lebih jelek dari banci-banci di Taman Ria. Haha. Kurang ajar betul!"

Robin yang ikut melihat terkekeh-kekeh sambil menghampiri juga, "Haha. Loh, Bang Naim, sekarang tangkap putri duyung juga?"

"Sinting adikmu ini, Bin, jual sajalah dia, haha."

"Hahaha," tertawa saja begitu mereka.

Masing-masing Atok dan Robin akhirnya pulang mengangkut sekarung ikan hasil Bang Naim berlayar, bedanya, Atok pulang dengan badan yang basah lagi asin. Ikan-ikan itu kemudian dibawa ke 'workshop' ikan asin mereka yang telah ditunggui Bang Rubi dan Mbok Nani sang ibu. Dibersihkannya isi perut ikan-ikan biar pada mati dan dibelek juga. Lalu semua ikan yang sudah, dimasukkan ke dalam sebuah bak besar berisi air yang kemudian dicampuri garam yang kelewatan. Diaduknya bak itu bergantian selama kurang lebih dua jam lamanya, katanya supaya asinnya meresap sampai ke daging. Meski seumur hidupnya ikan-ikan itu di air asin. Selepas dua jam direndam, akhirnya ikan-ikan asin itu dijemur di bawah matahari panas selama dua hari, kurang lebih, sebelum akhirnya dijual ke pasar ikan, dibeli oleh ibumu, lalu kamu makan bersama nasi dan lainnya.

Tak banyak sebetulnya Atok dapat dari ia berhenti sekolah begitu, lebih kurang cuma sekitar sepuluh ribu satu harinya, tapi buat Atok cukup. Sekitaran pukul satu atau dua, biasanya mereka selesai hari itu, kemudian pulang ke rumah untuk pada sama-sama santap makan siang.

"Mbok, Atok mau main dulu, ya?"

"Sama siapa, Tok? Sama Banjo?" tanya simbok. Sebenarnya itu pertanyaan retoris simbok saja karena kalau kamu juga tahu, seperti sombok yang juga tahu, bahwa Atok pasti main dengan si Banjo itu, sobatnya si Atok semenjak kecil. Banjo itu bukanlah banjo yang alat musik. Banjo yang ini adalah anak baru gede, sama seperti si Atok juga. Yang sudah tidak lagi sekolah, seperti si Atok yang juga. Tapi berhenti terpaksa karena ayahnya yang almarhum tiga tahun lalu tak lagi bisa membiayai sekolahmya. Maka terpaksalah Banjo berhenti sekolah dan jadi ikut bersama pamannya mencari kerang hijau di laut. Karena dia anak pertama di keluarganya.

"Iya, Mbok. Biasa, sama Marbanjo yang hitam seperti cukil nasi kita itu, hehe."

"Hush! Jangan gitu kamu, kayak kamu nggak hitam saja."

"Aku hitam, Mbok. Tapi hitam seperti karang di lautan. Kokoh dihantam dan disegani. Hehe."

"Halah, ngawur, ah. Ngeles aja seperti bajaj di Jakarta. Mau main ke mana, Tok?"

"Ke Ostraliya, Mbok, dekat kok," sembarangan Atok.

"He? Ostarliya? Di mana itu? Ngawur, ah!"

"Haha. Iya, Mbok. Mau ke Ostraliya, nyalon jadi presiden nggantiin Kaka Slank. Aku pergi ya, Mbok," pamit dia sambil mencium tangan mboknya yang tipis.

"Iya, hati-hati. Pulang sebelum malam ya!" teriak simbok pada anak lakinya yang sudah loncat keluar, ke jalanan Kampung Asin yang bau ikan.

Atok pergi ke Kampung Hijau untuk menjemput si Banjo di rumahnya karena tidak punya handphone. Adalah sebuah kampung kecil juga di sebelah Kampung Asin. Menjemput Banjo yang juga baru saja pulang mencari kerang di lautan yang berbuah lima belas ribuan rupiah. Keduanya lalu membeli beberapa batang rokok ketengan dan main rental playstation di warung yang jual rokok keparat itu juga. Main playstation sampai pukul setengah empat sore.

Setelah merasa puas, mereka lantas pergi menuju tepi laut Kampung Hijau. Untuk bertelanjang dada lalu menceburkan diri di tepian laut yang cukup tenang. Di perairan yang tak bersih karena tak jarang ada sampah dan juga lainnya, namu mereka cukup senang. Itu saja. Melakukan aneka gaya salto dari atas perahu-perahu yang ditambat. Beradu kontes 'siapa paling lama dalam air.' Beradu cepat ke sana dan kemari berenang. Lalu lagi, aneka salto dipertunjukkan.

Di ujung petang, Atok dan Banjo biasa duduk di dahan-dahan sebuah pohon rindang sambil menikmati matahari senja. Untuk sekedar obral-obrol saja, tukar cerita ini itu, dan tentu untuk beberapa batang rokok yang tersisa. Menutup hari yang terasa sama sepanjang tahun dan mungkin selamanya.

"Tok...," itu suara Banjo kalau kamu belum tahu.

"Oy," itu Atok sambil menghembuskan asap rokok.

"Lanjut ceritanya," itu aku, iseng saja menulis ini pada kamu yang membaca. Mari kita kembali ke Atok dan Banjo.

"Aku? Hmm... Jadi, itu, apa namanya, jadi mentri. Tapi yang khusus urusan laut dan pantai sajalah."

"Ha. Ha. Ha." Memang begitu Banjo kalau tertawa, "Ngapain kau mau jadi mentri urus-urus laut dan pantai?"

"Supaya aku bisa bikin rental PS yang lebih bagus! Haha."

"Ha. Ha. Ha."

"Supaya rumah-rumah kita di pantai jadi bagus-bagus dan besar!"

"Jadi makin sempit dong? Ha. Ha. Ha."

"Yang penting bagus, Jo! Haha."

"Terus?"

"Nanti semua sekolah di pantai kubuat gratis, Jo. Lalu gaji orang-orang macam kita kubuat jadi dua batang emas per hari!"

"Wah! Benar, Tok? Ha. Ha. Ha." Banjo bertepuk tangan memanas-manasi Atok yang sedang berapi-api. Sinting. Sungguh sinting!

"Oh, ya tentu benar, Jo! Gak cuma itu. Dua batang emas plus sebungkus rokok gratis!"

"Ha. Ha. Ha."

"Filter! No kretek-kretek lah!!"

"Ha! Ha! Ha! Ha!" Banjo terdengar sangat puas, "Aku diajak kerja sama kamu gak, Tok??"

"Nggak! Jangan, Jo! Kamu orang hebat dan pintar lagi jujur. Orang sepertimu akan kusekolahkan lagi. Ke luar negeri!"

"Ha. Ha. Untuk apa toh, Tok?"

"Untuk nanti sekolah tentang laut, Marbanjo."

"Loh. Buat apa?"

"Buat nanti balik ke sini dan bantu aku mikirin laut. Dari tadi kan aku baru soal yang pantai saja. Padahal aku Menupal. Mentri Urusan Pantai dan Laut! Hahaha."

"Ha. Ha. Ha. Ha. Ha. Sinting!"

"Gila ya? Haha."

"Miring, Tok! Ha. Ha. Ha."

Begitulah Atok dan Banjo sore itu di atas sebuah pohon yang jadi emas ketika disiram senja. Betapa bahagia yang cuma sederhana. Jauh sangat lebih sederhana dibanding 'bahagia itu sederhana' orang-orang kota millenia yang jauh dilengkapi, dipenuhi, dilebihkan dari cukup, oleh berbagai macam ini dan itu, tapi masih juga berkeluh tentang ini dan itu. Tapi sungguh, kebahagiaan, pada dasarnya bersifat relatif ukurannya, begitu juga dengan ujian, yang sama, dalam satuan ukurannya bersifat relatif. Dan sungguh, sama seperti kebahagiaan, ujian dan kesedihan pun akan datang mengambil jatah perannya. Bahkan terkadang terasa berat, karena seringkali juga datang, langsung menggantikan kebahagiaan yang tengah ada. Sama persis seperti hari ini. Saat genap sudah empat hari Atok tak juga datang ke Kampung Hijau, ke rumah Banjo. Ke muka Banjo yang menunggu karibnya datang sepulang kerja seperti hari-hari yang biasa. Melainkan abangnya, si Robin, yang datang dengan raut duka, juga kabar duka. Tentang Atok kawan karibnya yang telah tinggal nama. Dibuat hilang tak bernyawa. Membuat hilang semua tawa.

Menurut cerita, Atok meninggal di jalan pulang malam itu sepulang senja dari bersama Banjo. Tewas dipukuli dua orang pemuda Kampung Asin yang sedang dimabuk. Atok dipalaki uang oleh keduanya, namun Atok melawan, Atok melawan untuk mempertahankan seribu rupiah di kantong celananya. Dua keping logam limaratusan yang mesti pulang bersamanya seperti hari-hari biasanya. Dua keping yang selalu begitu, disisakan untuk masuk ke dalam dua celengan pribadinya. Yang satu bertuliskan : 'Untuk Simbok Haji.' Dan yang satunya : 'Untuk Marbanjo Sekolah Lagi.'

Untuk. Marbanjo. Sekolah. Lagi.

Robin datang memberitahu kabar duka. Juga untuk meberikan celengan yang 'Untuk Marbanjo Sekolah Lagi.' Kemudian Robin pulang, meninggalkan Banjo, yang terduduk lesu di muka pintu, yang meleleh air matanya begitu. Hingga menjelang senja Banjo keluar dari rumahnya, membawa sebuah botol tertutup berisi gulungan kertas. Menuju ke tepi pantai dan matahari senja. Kemudian menggali sebuah lubang di bawah pohon karibnya, lalu mengubur botol tersebut ke dalamnya. Lalu disiraminya gundukan tanah tersebut dengan air mata lara. Duka. Dan nestapa.

-

Surat untukmu,
Atok, sahabat Banjo :

Atok.

Atok. Sahabatku. Mentri urusan pantai dan lautku.
Rupanya Allah lebih sayang padamu, begitu kata simbokku. Aamiin.

Atok. Karibku yang pinter. Yang lebih lama kuat di air.
Rupanya guyonmu soal menyekolahkanku bukan omong kosong. Aku tahu kau tahu aku masih ingin sekolah. Tapi guyonmu bukan cuma omong. Kosong. Oleh karena itu, kawanku sayang, aku bersumpah akan berusaha kembali ke sekolah.

Atok. Atok usil yang berbahagia.
Aku bersyukur dan berterimakasih boleh berkawan dengan yang sepertimu. Sungguh aku merasa senang sekali karenanya. Semoga Atok ada di surga Allah. Aamiin.




Sahabat Atok selalu,

Marbanjo

-


Catatan penulis:

Cerita ini diadaptasi dan dikembangkan setelah saya, sebagai penulis, menonton siaran televisi tengah malam yang tidak tuntas karena siaran tersebut rupanya hanya sebagai pengisi slot kosong saja, dan langsung dipotong oleh acara persiapan menuju waktu subuh. Penulis merasa bingung karena cerita dari siaran dokumentasi tersebut ceritanya jadi terpotonf dan tergantung. Menyebabkan penulis merasa perlu untuk membuat cerita tersebut selesai dengan versinya sendiri, demi tidak tergantungnya nasib hidup tokoh pada cerita yang ada. Sekian.

Terimakasih sudah baca.

Regards,
Markitonj.
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
980
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan