Kaskus

News

azizm795Avatar border
TS
azizm795
Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg, Apa Salahnya?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sedang menyusun peraturan KPU (PKPU) mengenai larangan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon legislatif untuk DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di Pemilu 2019. 
Baca juga : Pengenalan Pemilu Kepada Murid SD
Selain  soal larangan tersebut, caleg juga diminta menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai salah syaratnya. 
"Nanti akan kami masukkan juga aturan, yang sebenarnya di undang-undang tidak ada, mantan narapidana kasus korupsi dilarang nyaleg, di PKPU pencalonan caleg mau kita masukkan," tutur Komisioner KPU RI, Hasyim Ashari, Kamis (29/3/2018) di Jakarta.
Baca juga : Uji Publik Rancangan Peraturan KPU
Menimbulkan Pro dan Kontra
Seperti biasanya, kebijakan yang akan dikeluarkan itu menyulut sikap pro dan kontra. Ada yang setuju ada juga yang menentangnya. Mereka menyampaikan pandangan dan alasan masing masing kenapa harus menerima dan kenapa pula harus menolaknya.  Pihak KPU sendiri yang berencana mengeluarkan ketentuan tersebut menjelaskan alasan kenapa harus keluar peraturan yang melarang mantan narapidana  korupsi menjadi caleg atau pejabat negara. 
Baca juga : Polri Memastikan Operasi Politik Uang di Pilkada Akan Terus Berlanjut
Pengaturan mantan narapidana kasus korupsi tidak diperbolehkan nyaleg, tujuannya adalah supaya masyarakat bisa mendapatkan pemimpin dan wakil yang bersih dari penyalahgunaan kekuasaannya.  
“Itu akan kita atur, koruptor itu pasti menyalahgunakan wewenang. Orang yang sudah menyalahgunakan wewenang itu mengkhianati, orang yang sudah berkhianat kepada jabatan, kepada negara, kepada sumpah jabatannya," kata Komisioner KPU RI, Hasyim Ashari,di Jakarta.
Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hadar Nafis Gumay menyambut baik rencana KPU melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislatif (caleg) dalam rancangan Peraturan KPU. 
"Baik itu, dan perlu diapresiasi," ujarnya di Jakarta, Minggu (1/4/2018).  
Hadar berharap gagasan itu tidak hanya menjadi bahan diskusi yang pada akhirnya tidak diterapkan. "Baik itu laksanakan saja," ujarnya.
Sementara itu Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, juga sepakat tidak dibolehkannya mantan napi korupsi menjadi caleg. Menurut Ray, menjadi aneh kalau mereka yang telah berbuat jahat terhadap negara namun, masih diberikan peluang untuk kembali dapat menempati posisi-posisi penting di negara. Sebab, politik merupakan hajat besar dan titik pertemuan kepentingan setiap warga negara untuk berbagai kebaikan sosial. Sedangkan korupsi adalah penghianatan atas komitmen sosial tersebut. 
"Oleh karena itu, pelakunya sudah selayaknya diasingkan dari komunitas politik itu," ungkapnya.
Senada dengan Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan usulan KPU yang ingin melarang mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon legislatif (caleg) sebaiknya jangan hanya sekadar wacana.
KPU diminta konsisten mengawal usulan tersebut sehingga bisa diterapkan dalam Pemilihan anggota legislatif (pileg) 2019. 
"Kami harap KPU benar-benar berkomitmen dalam mewujudkan peraturan ini. Sebab, kami berpendapat bahwa pengaturan ini tidak bertentangan dengan UU Pemilu, juga tidak bertentangan dengan konstitusi,” ujar Titi kepada wartawan usai mengisi diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (31/3).
Namun rencana untuk melarang mantan nadapidana korupsi maju sebagai caleg legislatif pemilu 2019 ini juga mendapatkan tantangan dari berbagai pihak. Kalangan legislator di DPR RI pada umumnya menolak rencana untuk melarang mantan napi korupsi  mendaftar sebagai caleg. 
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menilai mantan narapidana telah mengalami proses pembinaan, sehingga tidak perlu lagi Hak Asasi politik dicabut. Termasuk bagi mantan Napi Korupsi.
"Manusia itu kalau sudah menyelesaikan masa hukumannya di penjara harusnya dianggap sudah mengalami perbaikan bahkan bisa lebih baik daripada kita," jelas Fahri di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (2/4).
Fahri menambahakan rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terhadap para mantan narapidana korupsi yang dilarang maju sebagai Caleg dalam Pemilu 2019 mendatang sebagai norma aturan yang tidak adil. Menurutnya dalam menciptakan norma seharusnya berlandaskan HAM dan tidak boleh seenaknya.
Senada dengan Fahri, Ketua Bidang Komunikasi dan Opini Publik Partai Bulan Bintang (PBB) Alexander David Pranata Boer menilai rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) memasukkan larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislatif (caleg) dalam Peraturan KPU (PKPU) itu kejam. 
"Itu kejam, lebih kejam dari malaikat pencabut nyawa itu," kata Alexander kepada Tempo, Ahad, 1 April 2018.
Alasannya, Alexander mengatakan para bekas terpidana korupsi sejatinya telah menjalani masa hukuman. Karena itu, menurut dia, setelah bebas, mantan narapidana seharusnya diperbolehkan jika akan mencalonkan diri sebagai legislator. 
"Di mana salahnya dia? Boleh dong nyalon, dia kan sudah menjalani hukuman," tutur dia.
Senada dengan Alexander, Anggota Komisi II DPR RI Zainudin Amali menilai wacana Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan narapidana mengikuti pemilihan legislatif tak tepat. Aturan itu perlu menunggu perubahan undang-undang pemilu.  
"Soal kondisi di lapangan seperti sekarang ya nanti pada saat perubahan UU-nya silakan itu diusulkan untuk diakomodasi," kata Zainuddin di Komisi II DPR RI kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 2 April 2018.
Jasmerah (Jangan Lupakan Sejarah)
Sesuai dengan ketentuan  Pasal 240  UU No. 7 tahun 2017  tentang Pemilu maka  mantan napi korupsi  dibolehkan mencalonkan diri dengan syarat telah  lima tahun bebas dari penjara dan keharusan mengumumkan kepada publik sebagai mantan narapidana.  Jadi menurut UU Pemilu pasal 240 menyebutkan seorang mantan narapidana yang dipidana lima tahun penjara tetap bisa mendaftar sebagai calon legislatif (caleg) selama dia mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana.

Lahirnya ketentuan diatas kalau kita telusuri sejarahnya berawal dari keputusan Panja Pemilu yang merumuskan ketentuan tersebut dengan  mengadopsi putusan MK pada tahun 2009 terkait uji materi 3 pasal di UU Pemilu dan Pemda yang yang membolehkan mantan terpidana dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara atau lebih dapat penjadi peserta pemilu. Uji materi itu diajukan oleh Robertus, eks terpidana kasus pembunuhan di Pagar Alam, Sumsel. 
Hakim MK saat itu Akil Mochtar menjelaskan dasar pemikiran MK memutuskan untuk membolehkan mantan narapida ikut jadi caleg karena kita tidak boleh mematikan hak politik warga negara. Misalnya ada seseorang yang pada masa remajanya pernah terlibat tawuran sehingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Lalu remaja itu divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Jika kelak saat dewasa dia sudah insyaf dan menjalani hidup sebagai orang baik-baik, kemudian berniat menjadi caleg, masa iya seumur hidup vonis yang pernah diterimanya itu menjadi kartu mati bagi hak politiknya untuk mencalonkan diri. Hal tersebut juga untuk mengakomodir mantan napi yang melakukan sesuatu di luar kesengajaannya. Misalnya pelaku tabrakan lalin yang divonis 5 tahun karena korbannya meninggal dunia. 
Tapi bagaimana dengan napi kasus korupsi? Bukankah negara kita sudah sepakat bahwa korupsi adalah extra ordinary crime alias kejahatan yang luar biasa? Korupsi tentu harus dibedakan dari perilaku tawuran, tabrak lari atau perkara hutang piutang yang kemudian berlanjut ke pidana misalnya. Tentang hal ini MK pada waktu itu beralasan bahwa mantan napi korupsi sekalipun  boleh menjadi caleg dengan pemikiran pengajuan caleg dilakukan oleh parpol, sehingga diharapkan parpol-lah yang melakukan filtering terhadap caleg yang akan diajukan. Parpol yang baik tentunya memiliki kriteria seperti apa caleg yang akan mereka ajukan dan diharapkan parpol bisa memberikan pendidikan politik kepada konstituennya.
Langkah Progresif ?
Rencana KPU melarang mantan narapidana kasus korupsi ikut dalam Pemilihan Legislatif 2019 pada dasarnya merupakan sebuah langkah progresif. Sebab, rencana ini bisa mewujudkan pemilu yang demokratis sekaligus berintegritas. Jika aturan itu jadi dibuat, tentu menjadi sebuah terobosan besar dalam pesta demokrasi Pemilu 2019.  Dengan dilarangnya eks koruptor menjadi calon legislator akan memaksa partai politik benar-benar menjaring calon wakil rakyat yang jejak rekamnya tak bermasalah. Setidaknya, partai dipaksa untuk tak asal menyorongkan calon wakil rakyat. Diharapkan dengan adanya pelarangan itu, para pemilih mendapat pilihan yang berkualitas.

Nantinya akan menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik untuk menyeleksi calon wakil rakyat yang bener-bener bersih. Dengan demikian adanya peraturan untuk tidak membolehkan mantan napi korupsi maju menjadi caleg merupakan langkah KPU yang cukup baik untuk memberikan batasan kepada mantan koruptor untuk maju dalam pemilihan legislatif.  Dengan adanya pembatasan itu, tentu akan melindungi pemilih dari calon yang cacat jejak rekamnya bermasalah, apalagi kasus korupsi. Karena seorang yang sudah terbukti secara sah dan meyakinkan menyalahgunakan wewenang, menerima suap, dan melakukan tindak pidana korupsi lainnya tidak patut kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, maupun jabatan politik lainnya.  Hak mereka seyogyanya memang dicabut untuk memberikan efek jera kepada yang lainnya. 
Memang diharapkan parpol yang menerima caleg mantan napi, harus bisa memberikan pendidikan politik kepada calon pemilih dengan terus terang mempublikasikan masa lalu sang caleg. Bila perlu, dapat dilakukan kampanye untuk tidak memilih caleg tersebut. Tapi prakteknya mana mungkin itu terjadi?
Seorang caleg yang mengajukan dirinya untuk ikut dalam kontestasi pemilu, pasti sudah memiliki perjanjian dan kesepakatan tersendiri dengan parpol. Termasuk apa yang sering disebut “mahar” dan “gizi”.  Jadi sangatlah sulit diterima akal jika parpol sudah menerima caleg yang bisa membayar “mahar” yang besar dan memberikan “gizi” yang cukup untuk parpol, lalu parpol akan melakukan kampanye untuk tidak memilih calegnya yang pernah bermasalah di masa lalu. Ini sungguh tak masuk akal sama sekali dan tak mungkin terjadi sebuah parpol mengajukan seorang caleg lalu mengkampanyekan keburukan orang tersebut dan mengajak untuk tidak memilihnya.
Selama ini sudah jamak bahwa parpol-parpol justru tidak melakukan pemberdayaan atau pendidikan politik kepada masyarakat pemilih. Bahkan kondisi pemilih di level akar rumput yang masih lugu dan mudah diarahkan, justru merupakan potensi besar bagi parpol untuk mendulang suara. Dalam suatu komunitas masyarakat yang kurang mendapatkan akses informasi publik, karena berbagai keterbatasan, maka makin mudah mengarahkan pemilih saat ajang pemilu atau pilkada. Cukup “pegang” tokoh masyarakat setempat, bisa dijamin sekampung, sekecamatan, akan ikut nurut dan manut pilihan si tokoh.
Menyadari kondisi ini maka  pada umumnya pihak-pihak yang menolak larangan mantan napi korupsi menjadi caleg beralasan karena bertentangan dengan ketentuan yang ada bukan berkaitan dengan substansi masalahnya. Sebagai contoh Partai Golkar (PG) mendukung rencana dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat Peraturan KPU (PKPU) yang melarang mantan narapidana bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg). ‎Namun aturan itu tidak boleh melanggar undang-undang (UU) yang berlaku. 
"Kami prinsipnya tidak masalah. Golkar mendukung. Tapi harus lihat aturannya, apa memang bisa atau tidak," kata Ketua Fraksi PG di DPR Melkias Marcus Mekeng di Jakarta, Senin (2/4).
Pendapat yang hampir sama juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Taufik Kurniawan meminta Komisi Pemilihan Umum ( KPU) menaati Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam membuat Peraturan KPU (PKPU). Karena dalam Pasal 240 UU Pemilu, seorang mantan terpidana yang dipidana lima tahun penjara tetap bisa mendaftar sebagai caleg selama ia mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana. 
"Undang-Undang Pemilu-nya sudah jelas. Artinya, jangan kemudian PKPU itu bertentangan dengan undang-undang,” kata Taufik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/4/2018).
Hal senada juga diungkapkan pimpinan DPR lainnya, Fadli Zon. Menurutnya peraturan yang berlaku saat ini sudah punya mekanisme dan aturan yang disepakati dan sudah berlaku. 
"Jadi menurut saya memang perlu mengacu pada UU tersebut," ujar politikus Partai Gerindra tersebut. 
Fadli menambahkan perlu ada kajian yang mendalam terkait wacana tersebut. Sebab, sebelum menjadi UU perlu melewati proses yang panjang. Selain itu ia juga menilai jangan sampai larangan tersebut merugikan mereka yang ingin mencalonkan.

Jelas kiranya bahwa alasan penolakan larangan mantan napi korupsi menjadi caleg pada umumnya karena alassan yuridis yaitu bertentangan dengan ketentuan yang sudah ada bukan terkait dengan substansi yang diaturnya.  
Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial
Social Engineering atau Rekayasa sosial merupakan buah dari pemikiran Roscoe Pound, pemikiran ini memfokuskan bahwa hukum harus berorientasi pada masa depan, maka tugas hukum dalam hal ini adalah untuk mempersiapkan norma-norma baru yang dapat mengubah suatu masyarakat yang lama menjadi masyarakat baru.

Dibentuknya norma-norma hukum yang berorientasi pada masa depan dengan memanfaatkan masyarakat, masyarakat dipaksa untuk menaati aturan-aturan yang bertentangan dengan kebiasaan mereka sehingga dengan sendirinya kebiasaan lama yang mereka miliki tertekan dan tidak dilakukan lagi karena bertentangan dengan hukum yang diberlakukan melalui penerapan suatu ketentuan Udang Undang.  Ini merupakan salah satu contoh dari social engineering dalam meningkatkan pembangunan masyarakat khususnya pembangunan demokrasi  yang berkualitas  atau bisa juga dikatakan sebagai sebuah jalan untuk mencapai sebuah tujuan yang terencana. 
Dalam bahasa sederhananya adalah bahwa rekayasa sosial dalam hukum merupakan rancangan pemberlakuan  pasal-pasal maupun ketentuan  undang-undang demi terwujudnya tatanan masyarakat di masa depan menjadi lebih baik. Dalam penerapan fungsi ini kepentingan utama adalah kepentingan sosial, kepentingan untuk orang banyak pada umumnya.
Terkait dengan masalah pencalegan yang melarang mantan napi korupsi untuk maju menjadi anggota legislatif, kiranya bisa dimunculkan argumentasi hukum sebagai alat rekayasa sosial ini. Bahwa korupsi saat ini di Indonesia sudah merajalela sehingga perlu berbagai upaya untuk mencegahnya terjadinya Salah satunya instrumen penecegahan adalah lewat ketentuan pencalegan bagi setiap warga negara yang ingin menjadi anggota legislatif atau pejabat negara lainnya. 
Antisipasi pencegahan  penting sebagai katup pengaman agar korupsi tidak terjadi lagi oleh orang yang sama yang berpotensi melakukannya. Kalau kemudian aturan yang baru ini bertentangan dengan ketentuan atau undang-undang yang masih berlaku maka bisa diupayakan untuk dilakukanya amandemen atau upaya yang lainnya.  Karena peraturan yang berlaku sekarang tidak selamanya sejalan dengan aspirasi dan kenginan masyarakat pada umumnya. Undang Undang bukanlah Al Qur’an yang tidak bisa diubah melainkan hasil karya manusia yang bisa mengandung sisi kelemahan di dalamnya.
Oleh karena itu adanya rencana peraturan KPU yang akan melarang mantan napi korupsi untuk mengajukan diri sebagai caleg perlu dimaknai sebagai upaya rekayasa sosial untuk mendapatkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas . Hal ini tentumya demi kepentingan umum, kepentingan bersama. Kalau kemudian Peraturan KPU yang akan dibuat itu bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang ada maka yang dibutuhkan perlu mencari solusi atau jalan keluarnya.  
Kiranya pemerintah bisa mencarikan formula bagaimana mengupayakan ketentuan hukum yang lebih baik demi kemaslahatan bersama tanpa melanggar ketentuan yang sudah ada. Itulah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para penyelenggara negara , mampukan mereka mencari jalan keluarnya?

Sumber: www.law-justice.co
0
2.2K
13
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan