Quote:
Prolog
Sabtu Malam, 7 September 20xx
21.45 UTC +7
Dengan touchpad di netbook kesayanganku, aku klik icon "Send" di kolom penulisan email yang tengah aku buka. Menutup netbook, menuju meja kasir, membayar 2 cangkir kopi yang telah aku habiskan, dan berjalan menuju tempat dimana aku memarkirkan motorku. Ditemani malam yang gelap, aku membelah keheningan malam di kota kelahiranku ini. Perlahan, gerimis membasahi jalan, dan membasahi tubuhku. Juga, membasahi hatiku yang hampa.
Kosong, jiwaku tak sepenuhnya mengisi ragaku. Aku tengah berada disini, namun tidak dengan pikiranku. Membelah dimensi waktu, melayang dalam ingatanku, meraba masa-masa putih abu-abu yang indah. Wajah itu, poni itu, senyuman manisnya. Ah, kalian benar. Aku masih teringat padanya. Pada dia, yang beberapa saat lalu masih aku harapkan menjadi masa depanku. Sebelum semuanya berubah dan menghempaskanku disini.
Sejenak aku tersadar dari lamunanku. Aku beruntung, jalanan malam ini lengang, tak terlalu banyak kendaraan berlalu lalang. Bahkan bisa dikatakan sepi. Andai saja ramai, tentu aku sudah berada dalam bahaya. Mengedarai motor, sambil melamun, dan memutar kenangan yang tak seharusnya masih aku ingat. Sesaat aku percepat laju kendaraan ini, agar lebih cepat aku mencapa rumahku.
Namun, tetap jiwaku terbang padanya. Kali ini bukan masa SMA, ini baru beberapa saat yang lalu. Sebuah kejutan, yang aku persiapkan saat aku menemui dirinya. Sebuah kalung beserta liontin yang begitu menarik perhatiannya dua bulan lalu, terbungkus rapi didalam box. Sebuah kado, yang telah aku persiapkan dengan rapi. Ah, aku sangat berdebar kala itu. Membayangkan apa reaksinya saat aku tiba-tiba datang dirumahnya, dengan sebuah kotak yang berisi perhiasan yang membuat ia berbinar-binar melihatnya.
Namun, saat aku sampai di dekat rumahnya, sesaat terfikir untuk tak melanjutkan jalanku. Ah, mungkin hanya nervous, pikirku. Kuparkirkan sedan setengah tua dengan loggo tiga berlian itu, lalu keluar dan memasuki pekarangan rumahnya. Hmm, sejak kapan Indra, calon adik iparku itu memiliki motor berisik dengan label super kips? Ah, biarlah, aku tak peduli. Aku terus melangkah menuju pintu depan rumah itu. Pintu itu terbuka, baguslah, aku tak perlu terlalu lama menunggu pemilik rumah membukakan pintu untukku.
Aku terdiam, seperti kabel dengan ribuan volt tegangan menyentuh kulitku. Aku tak mampu bergerak. Aku tak percaya, ah, pasti aku salah lihat. Ini pasti ilusi. Tak mungkin, tak mungkin dia, yang tengah bersandar mesra dan dibelai cowo asing itu. berulangkali aku meyakinkan, namun gagal. Kepanikannya saat melihatku berdiri di ambang pintu, meruntuhkan semua keyakinaku.
"Teeennnnnnnnn"
Cahaya lampu truck itu begitu menyilaukan mataku. Sejenak aku sadar masih di lajur yang tepat. Sesaat kemudian, aku hanya bisa pasrah. Pipa besi yang terjalin rapi menutup chassis, menghantamku. Entah bagaimana helm yang aku pakai terlepas. Beberapa saat aku masih merasakan perih saat terseret motorku, aku bahkan masih ingat saat kaki kiri terbentur sesuatu. Segera, saat benturan di kepala terjadi, saat itulah semua semakin gelap. Dan, entah apa yang terjadi selanjutnya.
Hai, salam kenal reader SFTH. Aku ingin sedikit berbagi cerita. Ini bukan tentang horror, dan, tak seperti yang kalian bayangkan saat membaca prolog, cerita ini bukan sekedar cerita cinta-cintaan. Untuk lebih nyaman, anggap saja ini cerita fiksi. Maaf karena aku tak pintar basa basi. Yang pasti, silahkan menikmati cerita ini.
Oh ya, aku orang kampung, jadi tolong dimaafkan kalau tidak terbiasa pakai bahasa "Elo Gue".