Kaskus

News

annisaputrieAvatar border
TS
annisaputrie
Utang besar bikin Indonesia bubar?
Utang besar bikin Indonesia bubar?
March 28, 2018

Utang besar bikin Indonesia bubar?

Pidato Prabowo yang antara lain meramalkan Indonesia bakal bubar pada 2030 menjadi viral dan menuai komentar pro-kontra. Kalangan Istana dan para pendukungnya tentu saja menampik ramalan tersebut. Bahkan tidak sedikit dari kelompok ini yang cenderung nyinyir dalam menanggapi.


Sebaliknya, mereka yang merasa khawatir atas perkembangan negeri tak urung ikut merasa ngeri. Jangan salah, mereka tidak melulu kelompok pro dan pendukung Prabowo. Saya adalah salah satu di antaranya.


Saya belum membaca novel Ghost Fleet karya PW Singer dan August Cole yang jadi referensi ramalan Prabowo.  Tapi saya tahu, bahwa ramalan Prabowo bisa jadi kenyataan. Faktanya, memang sudah ada beberapa negara yang bubar, kok. 


Jumlahnya tidak kurang dari 10 negara yang bubar. Yang terbaru, Soviet dan negara-negara Balkan lainnya. Kalau kita tarik mundur lagi, banyak kerajaan, kesultanan, kesunanan, dan kekhalifahan yang bubar.

Jadi, kalau Indonesia pun akhirnya  jadi bubar (semoga tidak), tentu bukan mustahil. Secara geografis, Indonesia tetap masih di titik koordinatnya. Secara pemerintahan, Presiden dan para pejabatnya masih para WNI. Tapi, semua itu hanya lambang. Kekuasaan sejati ada di tangan asing, yang memberi utang dalam jumlah superjumbo dan berbagai iming-iming kemudahan lainnya.

Srilanka, Tibet, Zimbabwe, dan Angola adalah beberapa contoh negara yang kini tidak lagi berdaulat. Penyebabnya sama, mereka terjerat utang amat besar kepada Cina. Umumnya utang itu digunakan untuk membangun proyek infrastruktur. Namun karena tidak mampu membayar, mereka akhirnya menyerahkan kepada Cina.  

Utang menjulang

Utang luar negeri yang menjulang adalah pintu masuk tergadainya kemerdekaan sebuah bangsa. Pemerintah, terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) selalu menepis anggapan Indonesia darurat utang. Penjelasan yang senantiasa diulang-ulang, rasio utang Indonesia terhdap PDB masih di bawah 30%. Angka ini, jauh dari rasio yang diizinkan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, yaitu 60%.


Sebetulnya capek mendengar bantahan Ani yang isinya mengulang-ulang belaka. Soal rasio utang dan PDB, misalnya. Sudah banyak tulisan yang menyebut menjadikan PDB sebagai nisbah dengan utang jelas salah, keliru, sesat dan menyesatkan. Sri juga sering membandingkan utang Indonesia dengan jumlah utang negara-negara maju lain yang jauh lebih besar. Tidak tanggung-tanggung, dia menyebut Jepang, Amerika, dan sejumlah negara lain sebagai pembanding.


Di sinilah kesalahan mendasar Menkeu idaman ‘pasar’ itu. Dalam membuat perbandingan, Sri selalu hanya menyodorkan nominal utang Jepang dan rasionya dengan PDB. Nominal utang Jepang memang jauh lebih tinggi daripada Indonesia. Begitu juga dengan rasio utang Jepang terhadap PDB yang lebih dari 250%. Tertinggi di dunia. Hal serupa pun terjadi pada Amerika, yang per Januari 2018 juga utangnya mencapai US$19.947 miliar. Angka ini jauh melampuai PDB mereka


Sepertinya Sri sengaja menyembunyikan fakta bahwa mayoritas surat utang Jepang dimiliki dalam negeri. Bank of Japan memegang hampir 50%. Selain itu, jangan lupa, bunga utang Jepang sangat murah, hanya berkisar 1%. Bandingkan dengan bunga obligasi yang diobral Sri hingga belasan persen, njomplang sekali bukan?


Belum lagi kalau dikaitkan dengan net international investment positions (NIIP). Jepang menyandang status sebagai negara dengan NIIP positif. Artinya, Jepang memiliki net external Assets, bukan net external liabilities. Dengan kata lain, Jepang adalah adalah negara kreditor. Bukan itu saja, Jepang tercatat punya NIIP tertinggi di dunia. Angkanya mencapai US$2.813 triliun. Bandingkan dengan Indonesia, yang minus US$413,106,000,000. Artinya, Indonesia termasuk negara debitur.


Jepang dan AS memang punya utang jauh di atas PDB masing-masing. Namun utang keduanya masuk kategori aman. Pasalnya, rasio pajak mereka terhadap PDB masing-masing Jepang sekitar 36% dan AS 26%. Sedangkan Indonesia, angkanya dari dulu sulit bergeser dari 11-12%. Ini jadi yang terendah di antara negara anggota G20, bahkan di dunia. Sebaliknya, pajak penghasilan di Indonesia tergolong tinggi di dunia dan cukup memberatkan perusahaan mau pun orang pribadi.


Banyak ekonom mengkritik perbandingan utang dan PDB karena dianggap bukan perbandingan yang logis. Rasio utang terhadap PDB tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari kemampuan negara dalam membayar utang-utangnya. Padahal ukuran sehat tidaknya utang terletak pada kemampuan pemerintah melunasi kewajibannya.


Ada parameter yang lebih adil untuk digunakan mengukur utang, yaitu nisbah utang dan kemampuan ekspor alias debt to service ratio (DSR). OECD mendefinisikan DSR adalah perbandingan (persentase) dari total pembayaran cicilan pokok utang dan bunga utang yang dibayar suatu negara pada akhir tahun dibandingkan dengan total ekspor barang dan jasa negara.


Sejak 2011 utang luar negeri Indonesia terus naik. Bank Indonesia (BI) menatat, sampai Januari 2018, jumlahnya US$357,5 miliar. Dengan kurs BI hari ini (Senin, 26/03/18) yang Rp13.776/US$, angkanya setara Rp4.925 triliun, hampir Rp5.000 triliun! Sebaliknya, ekspor justru terus melorot. Sampai akhir 2017, hanya US$145 miliar. Maka tak heran kalau rasio utang luar negeri terhadap ekspor terus menanjak mencapai 176,19%. Padahal rasio yang normal ada 125%. Sementara itu, Thailand mencapai US$231 miliar, Malaysia US$ miliar, dan Vietnam US$160 miliar.


Tidak peduli


Pada  2017 saja, APBN kita mengalokasikan anggaran Rp486 triliun hanya untuk membayar utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp416 triliun dan infrastruktur yang 'cuma' Rp387 triliun.


Jumlah kewajiban kita terhadap utang tahun 2018 makin mengerikan saja. Di APBN 2018 ada duit sebanyak Rp399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang. Jumlah itu di luar Rp247,6 triliun yang hanya untuk membayar bunga utang. Untuk urusan utang ini, Indonesia harus merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp646,8 triliun!


Dengan kondisi seperti ini, tidakkah ramalan Indonesia bakal bubar pada 2030 bisa menjadi kenyataan? Bubar atau tidak, yang pasti saat ini kedaulatan negara memang terasa jadi barang mewah.  Tengok saja, bagaimana kontrak-kontrak utang yang dibuat untuk pembangunan infrastruktur kita. Sistem turn key project mengharuskan kita mengimpor bahan baku, bahan penolong, teknologi, perlengkapan, peralatan sampai tenaga kerja dari asing si pemberi utang. 


Begitu lunglainya Indonesia, hingga tidak berdaya menerima banjir tenaga kerja asing dengan semua kategori, termasuk kelas kuli. Ironisnya, kuli-kuli asing itu dibayar sangat tinggi. Untuk seorang tukang asing dibayar Rp15 juta/bulan. Sedangkan tenaga tukang yang sama dari dalam negeri harus puas dengan bayaran sesuai upah minimum regional yang sekitar Rp3 jutaan.


Soekarno puluhan tahun silam mengatakan, Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Para penjajah memang tidak mungkin masuk kecuali atas bantuan para pengkhianat.


Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi dalam cuitannya di @AdhieMassardi menulis, Kenapa Belanda bisa kuasa lama di negeri ini? Karena piara anjing-anjing lokal yang diberi makan tulang saudaranya sendiri.
Jika ini terjadi, bubarlah Indonesia tercinta! Na’udzu billahi mindzalik!
Penulis: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and democracy Studies (CEDeS)

http://rimanews.com/opinion/politics/read/20180328/328276/Utang-besar-bikin-Indonesia-bubar-


Inilah 10 Negara Pemasok Utang Indonesia
17/01/2017


Utang besar bikin Indonesia bubar?

Utang pemerintah pusat Indonesia kembali tercatat mengalami kenaikan menjadi Rp 3.323,36 triliun di periode Mei 2016. Sebelumnya di posisi akhir April lalu, total jumlah utang pemerintah pusat senilai Rp 3.279,28 triliun.
Dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu), Jakarta, Selasa (21/6/2016), total utang pemerintah pusat Indonesia membengkak Rp 44,08 triliun menjadi Rp 3.323,36 triliun per Mei 2016 dibanding realisasi bulan sebelumnya Rp 3.279,28 triliun.

Sementara di periode Januari 2016, total utang pemerintah pusat sebesar Rp 3.220,98 triliun. Dan nilai utang tersebut sempat turun tipis menjadi Rp 3.196,61 triliun pada posisi hingga akhir Februari ini. Utang pemerintah kembali naik pada Maret 2016 sebesar Rp 3.271,82 triliun.


Apabila dilihat dari nominal mata uang dolar Amerika Serikat (AS), utang senilai US$ 244,10 miliar turun dibanding realisasi April lalu US$ 248,36 miliar.


Rasio utang pemerintah pusat ini masih berada di angka 27 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang senilai Rp 12.705 triliun. Lebih rendah bila dibandingkan rasio utang pemerintah di negara berkembang maupun negara maju lainnya, diantaranya Turki, Filipina, Australia, Thailand, Malaysia, India, Brazil, bahkan Jepang.


Dirinci lebih detil, utang pemerintah pusat Indonesia hingga Mei ini Rp 3.323,36 triliun atau setara US$ 244,10 miliar berasal dari pinjaman senilai Rp 760,06 triliun atau US$ 55,83 miliar dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 2.563,29 triliun atau setara US$ 188,27 miliar.


Data DJPPR menyebutkan, pinjaman senilai Rp 760,06 triliun, terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 755,64 triliun (bilateral Rp 347,18 triliun, multilateral Rp 358,23 triliun, komersial bank Rp 50,08 triliun dan suppliers Rp 0,15 triliun) serta pinjaman dalam negeri Rp 4,42 triliun.



Quote:


----------------------

Utang besar bikin Indonesia bubar?

Utang besar bikin Indonesia bubar?Utang besar bikin Indonesia bubar?



Apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan jalan berutang untuk menutupi defisit pembelajaan Negara di dalam negeri, sebenarnya hanya meneruskan saja tradisi presiden-presiden yang terdahulu, bahkan sejak bapaknnya Megawati jadi presiden dulu. Bagaimana dengan nominalnya? kalau memperhitungkan tingkat inflasi, maka hutang riel antar Prsien itu sebenarnya nggak jauh-jauh amatlah! 

Coba aja lihat tingkat inflasi Dunia sejak tahun 1950 hingga 2018 saat ini. Ada publikasi dari Bank Dunia untuk hal ini, misalnya GDP Deflator tiap nNegara yang sesungguhnya menggambarkan tingkat index tingkat inflasi di negara itu dengan tahun dasar tertentu. Pada ganbar dibawah ini, perbandingan harga-harga (inflasi di tahun 1960-an misalnya, ternyata berlipat-lipat kali dibanding inflasi tahun 2015). 

Itu bisa dimaknai sbb: Utang rezim Soekarno yang 'hanya' US$ 2 miliar di akhir rezimnya, itu utang sebsar hanya US$ 2 miliar tahun 1965 itu, bila dikonversi ke nilai sekarangnya (present value), bisa jadi 100 kali lipatnya, yang bisa kita hitung dengan tepat dengan mengkalkulasi dari besara nilai GDP deflator tersebut.

Utang besar bikin Indonesia bubar?
source:
https://data.worldbank.org/indicator...960&view=chart
0
3.2K
20
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan