- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jawab Tantangan Luhut, Elit PAN Beberkan Data Ini


TS
nyairara
Jawab Tantangan Luhut, Elit PAN Beberkan Data Ini
Jakarta - Wakil Ketua Dewan Kehormatan (Wanhor) Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo menjawab tantangan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan untuk 'berkelahi' dengan data. Meski sebenarnya Dradjad tak sepakat dengan kata 'berkelahi' untuk adu data dengan Luhut.
Data yang diperdebatkan adalah soal ketimpangan soal kepemilikan lahan. Debat bermula dari pernyataan Ketua Wanhor PAN Amien Rais yang menyebut 72 persen lahan dikuasai oleh kelompok tertentu dan pembagian sertifikat adalah pengibulan. Luhut menegaskan bahwa pembagian sertifikat bukan ngibul dan mengajak 'berkelahi' dengan data.
"Saya tidak sepakat dengan kata "berkelahi". Tapi saya setuju dengan Pak Menko (Luhut) soal data," kata Dradjad saat berbincang dengan detikcom, Rabu (28/3/2018).
Mantan anggota Komisi XI DPR RI itu menyodorkan data terkait program sertifikasi tanah yang menjadi kebijakan andalan Presiden Jokowi. "Untuk mudahnya, saya sebut Bagi-Bagi Sertifikat (BBS)," kata Dradjad.
Pertama, kata dia, pemerintah menyatakan berhasil mencapai target BBS sejumlah 5 juta bidang tanah pada 2017. Berita ini termuat dalam situs Seketariat Kabinet (Setkab), dan disampaikan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan.
Padahal menurut dia, selama 32 bulan (2015-Agustus 2017), yang selesai sertifikasinya baru 2.889.993 bidang atau rata-rata sekitar 90.300 bidang/bulan. Namun selama 4 bulan berikutnya, ada 2,1 juta yang diselesaikan atau 527.500 bidang/bulan. "Sebuah lonjakan 5,8 kali lipat!" kata Dradjad.
Data Kementerian Agraria yang dilihat pengamat ekonomi dari Indef itu menunjukkan perbedaan dengan yang dirilis di situs Setkab. Menurut data Kementerian Agraria jumlah bidang yang selesai baru 4,23 juta.
"Jadi realitasnya, BBS meleset 15,4% dari target! Itupun dengan capaian per bulan yang naik 3,7 kali lipat, tapi pemberitaan yang muncul, BBS berhasil 5 juta," paparnya.
Kedua, lanjut Dradjad salah satu komponen penting Reforma Agraria (RA) adalah redistribusi tanah. Ternyata kontribusi redistribusi ini sangat kecil. Misalnya, selama periode 2015-Agustus 2017 terdapat 245.097 bidang tanah redistribusi yang mendapat sertifikat. Angka tersebut hanya 8,5% dari jumlah sertifikat. "Itupun belum jelas, apakah ada redistribusi dari korporasi besar?" tanya Dradjad.
Menurut dia, esensi kritik Amien Rais soal ketimpangan pengusaan lahan adalah agar pemerintah menjalankan program reformasi agraria dengan benar. Reformasi agraria harus bisa mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah, dan sekaligus ketimpangan aliran manfaat dari tanah. Jika tidak tepat konsep dan implementasinya, RA bisa kontra-produktif, bahkan menghancurkan perekonomian.
Contohnya, Presiden Zimbabwe Mugabe pada 2000, mempercepat reformasi agraria. Namun efeknya, Zimbabwe dihantam hyper-inflation dan kekurangan pangan yang parah, akibat ambruknya sektor pertanian.
"Itulah sebenarnya esensi kritik Pak Amien. Yaitu, jangan sibuk dengan BBS saja, tapi jalankan reformasi agraria secara benar. Jangan sampai bernasib sama dengan Zimbabwe," kata Dradjad.
Dia juga menyoroti soal Rasio Gini Lahan (RGL). Hasil Riset Oligarki Ekonomi yang dirilis 27 Desember 2017 oleh Megawati Institute disebutkan bahwa RGL pada 1973 adalah 0,55; 1983 (0,5), 1993 (0,64), 2003 (0,72), dan 2013 sebesar 0,68.
Hingga kini Dradjad belum melihat program pembagian sertifikat oleh Jokowi bisa menurunkan RGL. Padahal program itu bisa membantu menurunkan RGL jika porsi sertifikat tanah hasil redistribusi itu besar dan redistribusinya berasal dari tanah eks izin korporasi yang tidak tergarap.
"Jika sumber redistribusinya dari pelepasan kawasan hutan, BBS masih bisa mengurangi sedikit, tapi kalah efektif dibanding yang sumbernya eks ijin korporasi," kata dia. Masalahnya, Dradjad melanjutkan, porsi redistribusi ini kecil sekali, hanya 8,5%. Datanya pun belum jelas apakah ada yang bersumber dari eks ijin korporasi.
Dia pun mengusulkan agar dilakukan rembug nasional tentang reformasi agraria. Di situ nanti pemerintah menyajikan kajian komprehensif tentang opsi-opsi reformasi agraria untuk dibahas bersama. Pembahasan melibatkan DPR, akademisi, LSM, pelaku bisnis, media, dan semua pihak terkait.
Nantinya program yang dijalankan adalah langkah yang disepakati bersama. Jadi tidak gegabah seperti yang dilakukan di Zimbabwe. "Tapi saya wanti-wanti, jangan pasang target harus selesai 2019 karena mengejar pilpres. Reformasi agraria ini sangat pelik dan kompleks. Tidak bisa grasa-grusu. Bahaya kalau grasa-grusu," kata Dradjad.
sibuk kutak katik data, berupaya membela diri, tapi tetap saja sumber tanah yang lebih baik adalah eks izin korporasi, kalo tau begitu kenapa dulu dikasih izin????? kenapa dulu bapak tidak protes seperti ini??? kenapa pak... ohhh kenapa????
Data yang diperdebatkan adalah soal ketimpangan soal kepemilikan lahan. Debat bermula dari pernyataan Ketua Wanhor PAN Amien Rais yang menyebut 72 persen lahan dikuasai oleh kelompok tertentu dan pembagian sertifikat adalah pengibulan. Luhut menegaskan bahwa pembagian sertifikat bukan ngibul dan mengajak 'berkelahi' dengan data.
"Saya tidak sepakat dengan kata "berkelahi". Tapi saya setuju dengan Pak Menko (Luhut) soal data," kata Dradjad saat berbincang dengan detikcom, Rabu (28/3/2018).
Mantan anggota Komisi XI DPR RI itu menyodorkan data terkait program sertifikasi tanah yang menjadi kebijakan andalan Presiden Jokowi. "Untuk mudahnya, saya sebut Bagi-Bagi Sertifikat (BBS)," kata Dradjad.
Pertama, kata dia, pemerintah menyatakan berhasil mencapai target BBS sejumlah 5 juta bidang tanah pada 2017. Berita ini termuat dalam situs Seketariat Kabinet (Setkab), dan disampaikan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan.
Padahal menurut dia, selama 32 bulan (2015-Agustus 2017), yang selesai sertifikasinya baru 2.889.993 bidang atau rata-rata sekitar 90.300 bidang/bulan. Namun selama 4 bulan berikutnya, ada 2,1 juta yang diselesaikan atau 527.500 bidang/bulan. "Sebuah lonjakan 5,8 kali lipat!" kata Dradjad.
Data Kementerian Agraria yang dilihat pengamat ekonomi dari Indef itu menunjukkan perbedaan dengan yang dirilis di situs Setkab. Menurut data Kementerian Agraria jumlah bidang yang selesai baru 4,23 juta.
"Jadi realitasnya, BBS meleset 15,4% dari target! Itupun dengan capaian per bulan yang naik 3,7 kali lipat, tapi pemberitaan yang muncul, BBS berhasil 5 juta," paparnya.
Kedua, lanjut Dradjad salah satu komponen penting Reforma Agraria (RA) adalah redistribusi tanah. Ternyata kontribusi redistribusi ini sangat kecil. Misalnya, selama periode 2015-Agustus 2017 terdapat 245.097 bidang tanah redistribusi yang mendapat sertifikat. Angka tersebut hanya 8,5% dari jumlah sertifikat. "Itupun belum jelas, apakah ada redistribusi dari korporasi besar?" tanya Dradjad.
Menurut dia, esensi kritik Amien Rais soal ketimpangan pengusaan lahan adalah agar pemerintah menjalankan program reformasi agraria dengan benar. Reformasi agraria harus bisa mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah, dan sekaligus ketimpangan aliran manfaat dari tanah. Jika tidak tepat konsep dan implementasinya, RA bisa kontra-produktif, bahkan menghancurkan perekonomian.
Contohnya, Presiden Zimbabwe Mugabe pada 2000, mempercepat reformasi agraria. Namun efeknya, Zimbabwe dihantam hyper-inflation dan kekurangan pangan yang parah, akibat ambruknya sektor pertanian.
"Itulah sebenarnya esensi kritik Pak Amien. Yaitu, jangan sibuk dengan BBS saja, tapi jalankan reformasi agraria secara benar. Jangan sampai bernasib sama dengan Zimbabwe," kata Dradjad.
Dia juga menyoroti soal Rasio Gini Lahan (RGL). Hasil Riset Oligarki Ekonomi yang dirilis 27 Desember 2017 oleh Megawati Institute disebutkan bahwa RGL pada 1973 adalah 0,55; 1983 (0,5), 1993 (0,64), 2003 (0,72), dan 2013 sebesar 0,68.
Hingga kini Dradjad belum melihat program pembagian sertifikat oleh Jokowi bisa menurunkan RGL. Padahal program itu bisa membantu menurunkan RGL jika porsi sertifikat tanah hasil redistribusi itu besar dan redistribusinya berasal dari tanah eks izin korporasi yang tidak tergarap.
"Jika sumber redistribusinya dari pelepasan kawasan hutan, BBS masih bisa mengurangi sedikit, tapi kalah efektif dibanding yang sumbernya eks ijin korporasi," kata dia. Masalahnya, Dradjad melanjutkan, porsi redistribusi ini kecil sekali, hanya 8,5%. Datanya pun belum jelas apakah ada yang bersumber dari eks ijin korporasi.
Dia pun mengusulkan agar dilakukan rembug nasional tentang reformasi agraria. Di situ nanti pemerintah menyajikan kajian komprehensif tentang opsi-opsi reformasi agraria untuk dibahas bersama. Pembahasan melibatkan DPR, akademisi, LSM, pelaku bisnis, media, dan semua pihak terkait.
Nantinya program yang dijalankan adalah langkah yang disepakati bersama. Jadi tidak gegabah seperti yang dilakukan di Zimbabwe. "Tapi saya wanti-wanti, jangan pasang target harus selesai 2019 karena mengejar pilpres. Reformasi agraria ini sangat pelik dan kompleks. Tidak bisa grasa-grusu. Bahaya kalau grasa-grusu," kata Dradjad.



sibuk kutak katik data, berupaya membela diri, tapi tetap saja sumber tanah yang lebih baik adalah eks izin korporasi, kalo tau begitu kenapa dulu dikasih izin????? kenapa dulu bapak tidak protes seperti ini??? kenapa pak... ohhh kenapa????

Diubah oleh nyairara 28-03-2018 17:30
0
2.8K
28


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan