- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ada dugaan campur tangan Cambridge Analytica dalam Brexit


TS
annisaputrie
Ada dugaan campur tangan Cambridge Analytica dalam Brexit
Ada dugaan campur tangan Cambridge Analytica dalam Brexit
Pro-Uni Eropa berunjuk rasa di depan Downing Street, London, Inggris, Senin (26/3/2018). | Andy Rain /EPA-EFE
Terungkapnya skandal pencatutan data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica seperti membuka kotak pandora praktik penyalahgunaan informasi privasi untuk kepentingan politik.
Seorang bekas pegawai Cambridge Analytica, Chris Wylie, mengatakan hasil referendum pemisahan Inggris dari Uni Eropa (Brexit), pada Juni 2016, bisa saja berbeda jika tidak ada kecurangan di dalamnya.
Dalam pengakuannya di hadapan parlemen Inggris, Selasa (27/3/2018), Wylie mengungkapkan SCL Group, induk usaha Cambridge Analytica, diduga menyediakan analisis kampanye yang berasal dari data pengguna Facebook untuk kelompok pro-Brexit, Vote Leave.
"Selama ini media menyebut data dari 50 juta pengguna--karena dokumennya berbicara demikian--, tapi seingatku, data yang dijaring lebih dari itu," sebut Wylie, merujuk lansiran Tech Crunch.
Christopher Wylie, seorang 'whistleblower' yang sebelumnya bekerja di Cambridge Analytica perusahaan konsultan yang diduga mengambil informasi pribadi dari lebih dari 50 juta pengguna Facebook, berbicara di Frontline Club di London, Inggris, Selasa (20/3/2018). | Henry Nicholls /ANTARAFOTO/REUTERS
Wylie turut memaparkan sejumlah bukti-bukti dalam pengakuannya selama empat jam itu. Ada empat kelompok pro-Brexit yang disebutnya bersekongkol dalam skandal ini. Keempatnya adalah Vote Leave, BeLeave (mengincar pelajar), Veterans for Britain, dan Northern Ireland's Democratic Unionist Party.
Keempatnya memanfaatkan salah satu layanan yang dimiliki Aggregate IQ (AIQ), sebuah firma yang diduga kuat memiliki ikatan dengan Cambridge Analytica dan SQL, untuk membantu menjaring profil calon pemilih dalam jaringan (daring).
"Ini membuatku sangat marah. Banyak orang mendukung berpisah karena mereka percaya kepada kedaulatan hukum Inggris," ujar pria yang pernah bekerja dengan SQL Group, induk usaha Cambridge Analytica, selama satu setengah tahun ini.
Mengutip Politico, layanan AIQ sudah pernah digunakan Cambridge Analytica untuk menggagalkan kampanye salah satu kandidat presiden Nigeria, Muhammadu Buhari, melalui peretasan surelnya dan penyebaran informasi palsu melalui sebuah video berbau Islamophobic yang menampilkan gambar sekelompok orang dipenggal.
Untungnya kampanye gelap itu gagal, lantaran Buhari berhasil meraih suara terbanyak dalam pemilihan yang digelar 2015 lalu.
Tudingan Wylie semakin mengerucut manakala muncul tudingan Vote Leave melanggar UU Pemilu Inggris karena mendonasikan sekitar 625.000 Poundsterling kepada BeLeave. Kuat dugaan uang yang didonasikan itu digunakan untuk layanan AIQ.
"Pertanyaan pertama yang muncul di benakku adalah: mengapa? Mengapa perusahaan yang tidak pernah muncul di publik, dan kerap mengerjakan proyek-proyek Cambridge Analytica, menjadi penyedia layanan utama bagi para kelompok-kelompok yang seharusnya independen itu?" tanya Wylie dalam kutipan yang dilansir VICE.
Vote Leave sudah menolak tudingan tersebut. "Vote Leave menang dengan adil dan legal. Kami meninggalkan Uni Eropa dalam waktu satu tahun dan langsung mengglobal," sebut Boris Johnson, salah satu tokoh frontal dalam organisasi itu.
Terkait dengan aliran uang ke BeLeave, Vote Leave menegaskan uang itu adalah murni donasi yang lazim diberikan kepada kelompok-kelompok yang memiliki misi yang sama namun menjalankan misi itu dengan caranya masing-masing.
Senada dengan Vote Leave, AIQ juga menolak tudingan memiliki keterkaitan dengan Cambridge Analytica. COO AIQ, Jeff Silvester kepada Times Colonist mengatakan, AIQ tidak pernah, dan bukan, bagian dari Cambridge Analytica atau pun induk perusahaannya, SCL.
"AIQ juga tidak pernah menandatangani kontrak apapun dengan Cambridge Analytica," tegasnya.
Di sisi lain, Perdana Menteri Inggris, Theresa May, kini dibanjiri desakan untuk membongkar skandal ini.
Mengutip The Guardian, dalam sebuah surat yang dilayangkan kelompok pro-Uni Eropa, Best for Britain, kepada Downing Street, May dituntut untuk mengungkap, salah satunya, keterlibatan Michael Gove dan Boris Johnson dalam skandal ini.
Mereka juga menanyakan apakah kedua sosok yang kini menempati posisi penting dalam parlemen itu "diberhentikan sementara" selama proses penyelidikan berlangsung?
May belum memberi jawaban perihal desakan ini.
Bukan hanya membocorkan dugaan kecurangan dalam Brexit, pada kesempatan itu Wylie juga membeberkan bagaimana awalnya Cambridge Analytica terbentuk pada 2013.
Adalah Robert Mercer, seorang milyuner AS; Steve Bannon, mantan manajer kampanye Trump; dan Alexander Nix, Direktur Utama Cambridge Analytica--saat ini sudah diberhentikan sementara--, yang menjadi penggagasnya terbentuknya firma ini.
Agar terlihat kredibel, sambung Wylie, para penggagas itu kemudian menjalin kerja sama dengan seorang profesor dari Cambridge University, Aleksandr Kogan, untuk membuat sebuah aplikasi ponsel pintar yang menyediakan data dari sekitar 50 juta pengguna Facebook.
https://beritagar.id/artikel/berita/...a-dalam-brexit
Begini Cara Kotor Cambridge Analytica Menangkan Trump
20 Maret 2018
Ilustrasi
Nusantara.news, London – Perusahaan konsultan politik – Cambridge Analytica – ini diduga terlibat dalam pemenangan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald J Trump dengan cara-cara kotor. Kini polisi Inggris sedang mengusahakan surat perintah dari pengadilan agar bisa mengakses database dan server yang digunakan Cambridge Analytica.
Perusahaan konsultan politik yang berbasis di London itu dituduh menggunakan data pribadi dari 50 juta akun Facebook tanpa sepengetahuan pemiliknya. Pembajakan akun Facebook itu bertujuan mempengaruhi pemilih dalam Pemilu Presiden AS pada 2016.
Dijebak Penyamar
Perilaku kotor Cambridge Analytica terbongkar dalam tayangan hasil liputan investigasi Channel 4 News yang diam-diam merekam jajaran eksekutifnya. Dalam pernyataan seorang eksekutifnya – Cambridge Analytica menawarkan pembunuhan karakter, suap dan cara-cara mendiskriditkan lawan politik. Namun perusahaan membantah tayangan investigasi itu.
Sebagaimana ditayangkan Channel 4 News pada Senin (19/3) kemarin, kamera tersembunyi merekam Direktur Eksekutif Cambridge Analytica Alexander Nix menyarankan taktik yang dapat digunakan perusahaannya untuk mendiskriditkan lawan politik secara online.
Reporter yang mengaku sedang ditugaskan klien memenangkan kandidat dari Sri Langka itu selanjutnya bertanya,
“apa maksud penggalian mendalam?”
Tanpa menyadari kalau dirinya sedang direkam Nix mengatakan, “Oh, kami melakukan lebih dari itu.”
Selanjutnya Nix menyarankan satu cara untuk mentarget seseorang adalah “menawarkan kesepakatan yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan dan memastikan video itu direkam”.
Untuk itu dia bisa “mengirim beberapa gadis ke rumah kandidat … “ bahkan menambahkan bahwa gadis Ukraina “sangat cantik, saya merasa itu bekerja sangat baik”.
Tak lupa pula Nix menandaskan, “ Saya hanya memberi contoh Anda tentang apa yang bisa dilakukan dan apa yang telah dilakukan.”
Channel 4 News menjelaskan – reporternya telah bertindak sebagai pemecah masalah bagi klien kaya yang berharap mendapatkan kandidat politik yang akan dimenangkannya di Sri Langka.
Namun Cambridge Analytica dalam bantahannya menyebutkan reportase itu “terlalu salah mengartikan” percakapan yang terekam pada kamera. “Sesuai alur percakapan, dan sebagian untuk meluangkan ‘klien’ kami karena malu, kami menghibur dengan serangkaian scenario hipotetis yang menggelikan,” bantah Nix dalam sebuah pernyataan.
Nix juga menegaskan, “Cambridge Analytica tidak memaafkan atau terlibat dalam jebakan, sogokan atau yang disebut honey-traps”. Kepada program “Berita Malam” BBC Nix mengatakan laporan itu sebagai “keliru fakta” dan merasa perusahaan yang dikelolanya itu sengaja dijebak.
https://nusantara.news/begini-cara-k...nangkan-trump/
-------------------------
Selagi INGGRIS saja bisa dikerjai sehingga saat dilakukan referendum tentang BREXIT akhirnya yang menang adalah suara kalangan muda yang banyak "dikerjai" tim akhli 'Cambridge Analytical' via medsos tentunya. Inggris memang termasuk negara medsos facebook nomor 6 di Dunia, dimana hampir separuh penduduknya aktif memakai media ini.
Hal sama kemudian berulang di pemilu AS tahun 2016 lalu. Trumph di duga bisa merebut suara para kaula muda di negeri itu dengan sentimen nasionalisme, rasialis, dan sejenisnya. Dan semua juga mereka lakukan secara efektif via medsos, khususnya facebook. Facebook di AS memang merupakan medsos npaliing populer dimana sekitar 160 juta warha menggunakan media sosial ini atau sekitar separuh penduduknya. Pengguna facebook di berbagai dunia juga telah diketahui bahwa umumnya kalangan muda, bukan orang tua yang sudah punya pegangan ideologi atau keyakian yang jelas.
Di Indonesia?
Usia 20-29 tahun adalah pendominasi pengguna Facebook di Indonesia. Jumlah mereka sekitar 44% dari jumlah penduduk Indonesia saat ini. Jadi bisa dibayangkan, betapa dahsyatnya pengaruh medsos muntuk menggiring opini seseorang itu.
Termasuk dalam pemilu dan pilpres 2019 kelak tentunya. Makanya tak mengherankan bila parpol besar seperti Golkar misalnya, pagi-pagi mereka sudah bikin tim pemenanngan pemilunya dengan membangun jaringan medsos untuk kampanye politiknya menyongsong tahun 2019 itu
- 12:12 WIB - Rabu, 28 Maret 2018

Pro-Uni Eropa berunjuk rasa di depan Downing Street, London, Inggris, Senin (26/3/2018). | Andy Rain /EPA-EFE
Terungkapnya skandal pencatutan data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica seperti membuka kotak pandora praktik penyalahgunaan informasi privasi untuk kepentingan politik.
Seorang bekas pegawai Cambridge Analytica, Chris Wylie, mengatakan hasil referendum pemisahan Inggris dari Uni Eropa (Brexit), pada Juni 2016, bisa saja berbeda jika tidak ada kecurangan di dalamnya.
Dalam pengakuannya di hadapan parlemen Inggris, Selasa (27/3/2018), Wylie mengungkapkan SCL Group, induk usaha Cambridge Analytica, diduga menyediakan analisis kampanye yang berasal dari data pengguna Facebook untuk kelompok pro-Brexit, Vote Leave.
"Selama ini media menyebut data dari 50 juta pengguna--karena dokumennya berbicara demikian--, tapi seingatku, data yang dijaring lebih dari itu," sebut Wylie, merujuk lansiran Tech Crunch.

Christopher Wylie, seorang 'whistleblower' yang sebelumnya bekerja di Cambridge Analytica perusahaan konsultan yang diduga mengambil informasi pribadi dari lebih dari 50 juta pengguna Facebook, berbicara di Frontline Club di London, Inggris, Selasa (20/3/2018). | Henry Nicholls /ANTARAFOTO/REUTERS
Wylie turut memaparkan sejumlah bukti-bukti dalam pengakuannya selama empat jam itu. Ada empat kelompok pro-Brexit yang disebutnya bersekongkol dalam skandal ini. Keempatnya adalah Vote Leave, BeLeave (mengincar pelajar), Veterans for Britain, dan Northern Ireland's Democratic Unionist Party.
Keempatnya memanfaatkan salah satu layanan yang dimiliki Aggregate IQ (AIQ), sebuah firma yang diduga kuat memiliki ikatan dengan Cambridge Analytica dan SQL, untuk membantu menjaring profil calon pemilih dalam jaringan (daring).
"Ini membuatku sangat marah. Banyak orang mendukung berpisah karena mereka percaya kepada kedaulatan hukum Inggris," ujar pria yang pernah bekerja dengan SQL Group, induk usaha Cambridge Analytica, selama satu setengah tahun ini.
Mengutip Politico, layanan AIQ sudah pernah digunakan Cambridge Analytica untuk menggagalkan kampanye salah satu kandidat presiden Nigeria, Muhammadu Buhari, melalui peretasan surelnya dan penyebaran informasi palsu melalui sebuah video berbau Islamophobic yang menampilkan gambar sekelompok orang dipenggal.
Untungnya kampanye gelap itu gagal, lantaran Buhari berhasil meraih suara terbanyak dalam pemilihan yang digelar 2015 lalu.
Tudingan Wylie semakin mengerucut manakala muncul tudingan Vote Leave melanggar UU Pemilu Inggris karena mendonasikan sekitar 625.000 Poundsterling kepada BeLeave. Kuat dugaan uang yang didonasikan itu digunakan untuk layanan AIQ.
"Pertanyaan pertama yang muncul di benakku adalah: mengapa? Mengapa perusahaan yang tidak pernah muncul di publik, dan kerap mengerjakan proyek-proyek Cambridge Analytica, menjadi penyedia layanan utama bagi para kelompok-kelompok yang seharusnya independen itu?" tanya Wylie dalam kutipan yang dilansir VICE.
Vote Leave sudah menolak tudingan tersebut. "Vote Leave menang dengan adil dan legal. Kami meninggalkan Uni Eropa dalam waktu satu tahun dan langsung mengglobal," sebut Boris Johnson, salah satu tokoh frontal dalam organisasi itu.
Terkait dengan aliran uang ke BeLeave, Vote Leave menegaskan uang itu adalah murni donasi yang lazim diberikan kepada kelompok-kelompok yang memiliki misi yang sama namun menjalankan misi itu dengan caranya masing-masing.
Senada dengan Vote Leave, AIQ juga menolak tudingan memiliki keterkaitan dengan Cambridge Analytica. COO AIQ, Jeff Silvester kepada Times Colonist mengatakan, AIQ tidak pernah, dan bukan, bagian dari Cambridge Analytica atau pun induk perusahaannya, SCL.
"AIQ juga tidak pernah menandatangani kontrak apapun dengan Cambridge Analytica," tegasnya.
Di sisi lain, Perdana Menteri Inggris, Theresa May, kini dibanjiri desakan untuk membongkar skandal ini.
Mengutip The Guardian, dalam sebuah surat yang dilayangkan kelompok pro-Uni Eropa, Best for Britain, kepada Downing Street, May dituntut untuk mengungkap, salah satunya, keterlibatan Michael Gove dan Boris Johnson dalam skandal ini.
Mereka juga menanyakan apakah kedua sosok yang kini menempati posisi penting dalam parlemen itu "diberhentikan sementara" selama proses penyelidikan berlangsung?
May belum memberi jawaban perihal desakan ini.
Bukan hanya membocorkan dugaan kecurangan dalam Brexit, pada kesempatan itu Wylie juga membeberkan bagaimana awalnya Cambridge Analytica terbentuk pada 2013.
Adalah Robert Mercer, seorang milyuner AS; Steve Bannon, mantan manajer kampanye Trump; dan Alexander Nix, Direktur Utama Cambridge Analytica--saat ini sudah diberhentikan sementara--, yang menjadi penggagasnya terbentuknya firma ini.
Agar terlihat kredibel, sambung Wylie, para penggagas itu kemudian menjalin kerja sama dengan seorang profesor dari Cambridge University, Aleksandr Kogan, untuk membuat sebuah aplikasi ponsel pintar yang menyediakan data dari sekitar 50 juta pengguna Facebook.
https://beritagar.id/artikel/berita/...a-dalam-brexit
Begini Cara Kotor Cambridge Analytica Menangkan Trump
20 Maret 2018

Nusantara.news, London – Perusahaan konsultan politik – Cambridge Analytica – ini diduga terlibat dalam pemenangan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald J Trump dengan cara-cara kotor. Kini polisi Inggris sedang mengusahakan surat perintah dari pengadilan agar bisa mengakses database dan server yang digunakan Cambridge Analytica.
Perusahaan konsultan politik yang berbasis di London itu dituduh menggunakan data pribadi dari 50 juta akun Facebook tanpa sepengetahuan pemiliknya. Pembajakan akun Facebook itu bertujuan mempengaruhi pemilih dalam Pemilu Presiden AS pada 2016.
Dijebak Penyamar
Perilaku kotor Cambridge Analytica terbongkar dalam tayangan hasil liputan investigasi Channel 4 News yang diam-diam merekam jajaran eksekutifnya. Dalam pernyataan seorang eksekutifnya – Cambridge Analytica menawarkan pembunuhan karakter, suap dan cara-cara mendiskriditkan lawan politik. Namun perusahaan membantah tayangan investigasi itu.
Sebagaimana ditayangkan Channel 4 News pada Senin (19/3) kemarin, kamera tersembunyi merekam Direktur Eksekutif Cambridge Analytica Alexander Nix menyarankan taktik yang dapat digunakan perusahaannya untuk mendiskriditkan lawan politik secara online.
Reporter yang mengaku sedang ditugaskan klien memenangkan kandidat dari Sri Langka itu selanjutnya bertanya,
“apa maksud penggalian mendalam?”
Tanpa menyadari kalau dirinya sedang direkam Nix mengatakan, “Oh, kami melakukan lebih dari itu.”
Selanjutnya Nix menyarankan satu cara untuk mentarget seseorang adalah “menawarkan kesepakatan yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan dan memastikan video itu direkam”.
Untuk itu dia bisa “mengirim beberapa gadis ke rumah kandidat … “ bahkan menambahkan bahwa gadis Ukraina “sangat cantik, saya merasa itu bekerja sangat baik”.
Tak lupa pula Nix menandaskan, “ Saya hanya memberi contoh Anda tentang apa yang bisa dilakukan dan apa yang telah dilakukan.”
Channel 4 News menjelaskan – reporternya telah bertindak sebagai pemecah masalah bagi klien kaya yang berharap mendapatkan kandidat politik yang akan dimenangkannya di Sri Langka.
Namun Cambridge Analytica dalam bantahannya menyebutkan reportase itu “terlalu salah mengartikan” percakapan yang terekam pada kamera. “Sesuai alur percakapan, dan sebagian untuk meluangkan ‘klien’ kami karena malu, kami menghibur dengan serangkaian scenario hipotetis yang menggelikan,” bantah Nix dalam sebuah pernyataan.
Nix juga menegaskan, “Cambridge Analytica tidak memaafkan atau terlibat dalam jebakan, sogokan atau yang disebut honey-traps”. Kepada program “Berita Malam” BBC Nix mengatakan laporan itu sebagai “keliru fakta” dan merasa perusahaan yang dikelolanya itu sengaja dijebak.
https://nusantara.news/begini-cara-k...nangkan-trump/
-------------------------
Selagi INGGRIS saja bisa dikerjai sehingga saat dilakukan referendum tentang BREXIT akhirnya yang menang adalah suara kalangan muda yang banyak "dikerjai" tim akhli 'Cambridge Analytical' via medsos tentunya. Inggris memang termasuk negara medsos facebook nomor 6 di Dunia, dimana hampir separuh penduduknya aktif memakai media ini.
Hal sama kemudian berulang di pemilu AS tahun 2016 lalu. Trumph di duga bisa merebut suara para kaula muda di negeri itu dengan sentimen nasionalisme, rasialis, dan sejenisnya. Dan semua juga mereka lakukan secara efektif via medsos, khususnya facebook. Facebook di AS memang merupakan medsos npaliing populer dimana sekitar 160 juta warha menggunakan media sosial ini atau sekitar separuh penduduknya. Pengguna facebook di berbagai dunia juga telah diketahui bahwa umumnya kalangan muda, bukan orang tua yang sudah punya pegangan ideologi atau keyakian yang jelas.
Di Indonesia?
Usia 20-29 tahun adalah pendominasi pengguna Facebook di Indonesia. Jumlah mereka sekitar 44% dari jumlah penduduk Indonesia saat ini. Jadi bisa dibayangkan, betapa dahsyatnya pengaruh medsos muntuk menggiring opini seseorang itu.
Termasuk dalam pemilu dan pilpres 2019 kelak tentunya. Makanya tak mengherankan bila parpol besar seperti Golkar misalnya, pagi-pagi mereka sudah bikin tim pemenanngan pemilunya dengan membangun jaringan medsos untuk kampanye politiknya menyongsong tahun 2019 itu
0
932
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan