Kaskus

News

azizm795Avatar border
TS
azizm795
Menanti Putusan Mahkamah Konstitusi, Berpihak Kepada Rakyat atau DPR?
 Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memutuskan tidak mau menandatangani UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Ada dua implikasi politik terkait keputusan tersebut. Implikasi pertama, menguatnya pencitraan ganda Presiden. 
Baca juga : MK akan Proses Semua Permohonan Uji Materi UU MD3
Keputusan tersebut menguatkan citra positif karena pro terhadap keinginan publik yang menolak pasal 73, 122 dan 245. “Saat yang sama mendapat citra negatif karena terkesan gagal koordinasi dan komunikasi antara Presiden dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dan partai penguasa saat proses pembuatan UU MD3.
Seharusnya kalau benar-benar serius menolak UU MD3, seharusnya saat rapat-rapat dengan DPR di awal pembahasan UU, pemerintah sudah berani menolak pasal-pasal yang bermasalah. Ini tidak dilakukan karena pemerintah tahu, walau mereka tolak secara hukum UU MD3 tetap berlaku setelah satu bulan diundangkan.
Baca juga : UU MD3 Jadikan Anggota Dewan Makin Berjarak dengan Rakyat
Implikasi kedua, DPR mendapatkan jalan legal untuk melakukan tindakan represif dengan menggunakan pasal 73, 122, dan 245. "Mulai hari ini pun DPR dapat jalan legal untuk menunjukkan kekuatannya dan bertindak represif. Artinya, DPR akan berhadap-hadapan dengan rakyat secara represif. Dalam beberapa hal, DPR juga akan berhadapan dengan pemerintah. 
Ruang kemungkinan DPR akan berhadap-hadapan secara represif dengan rakyat dan dalam hal tertentu dengan pemerintah, itu akan terjadi yang memungkinkan memperkeruh tahun politik 2019, dimana banyak kepentingan bermain.
Baca juga : DPR Siapkan Aturan Turunan UU MD3
Sampai batas waktu 30 hari setelah UU MD3 disahkan bulan lalu, berdasarkan UUD 1945 pasal 20 dan UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 73, UU MD3 tetap diundangkan dan berlaku, meski presiden tidak menandatanganinya.
Keresahan atas UU MD3 ini muncul lantaran banyak pihak menyebut pengesahan UU MD3 sebagai ancaman bagi proses demokrasi. Beberapa pasalnya membuat DPR seakan menjadi lembaga super power yang anti kritik. Berikut diantaranya:
Pasal 122 huruf K
Pasal ini menyatakan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai pasal tersebut telah merampas wewenang hukum yang selama ini berjalan. Padahal, soal kasus penghinaan hingga pencemaran nama baik kepada pejabat publik selama ini sudah diatur melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Namun ketentuan ini justru dimasukkan lagi dalam UU MD3. Sehingga UU MD3 ini jadi bentuk perampasan hukum dan melanggar wewenang lembaga penegak hukum.
Pasal 73
Pasal ini menyatakan bahwa DPR dapat memanggil paksa seseorang menggunakan Kepolisian Republik Indonesia jika tidak hadir dalam rapat DPR. Pemanggilan paksa dapat dilakukan setelah DPR melayangkan tiga kali panggilan berturut-turut.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, mengatakan aturan yang dibuat DPR bersama pemerintah ini dibuat hanya karena dewan ingin melindungi segala kelemahannya, termasuk dari kritikan masyarakat. Ini reaksi temporal dari DPR yang kerap dikritik, dan membuat aturannya tidak berpikir untuk jangka panjang.
Pasal 245
Pasal ini menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR terkait suatu tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Pasal 15
Pasal ini mengamanatkan penambahan pimpinan MPR, bahwa pimpinan MPR terdiri dari satu orang ketua dan tujuh orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.

Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan akan ada tiga wakil ketua MPR yang baru. Mereka adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani dan Ketua Fraksi PDI Perjuangan di MPR, Ahmad Basarah.
Pasal 84
Pasal ini mengamanatkan penambahan pimpinan DPR. Komposisi pimpinan DPR bertambah menjadi enam orang yang terdiri atas satu orang ketua dan lima orang wakil ketua. Kursi pimpinan DPR yang baru akan diisi oleh perwakilan dari PDIP sebagai partai pemenang pemilu 2014.

Setelah dinyatakan berlaku secara sah, Presiden Jokowi pun mempersilakan masyarakat untuk mendaftarkan uji materi UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi. Jokowi berjanji tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Ia menyarankan masyarakat menguji materi UU MD3 dan menunggu putusan Mahkamah Konstitusi.
Sekarang bola berada di tangan hakim Mahkamah Konstitusi. DPR yang takut didahului oleh putusan MK, hari ini (Selasa, 20/3/2018) telah secara resmi melantik pecatur yang juga anggota DPR, Utut Adianto sebagai Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi PDIP.
Kalau nanti putusan MK menyatakan pasal 84 dicabut, bisa jadi Utut memecahkan rekor dunia sebagai Wakil Ketua parlemen suatu negara yang paling pendek masa jabatannya. Mari kita tunggu bersama hakim MK akan berpihak kepada rakyat atau kepada penguasa parlemen?. 

Sumber: www.law-justice.co
https://law-justice.co/menanti-putusan-mahkamah-konstitusi-berpihak-kepada-rakyat-atau-dpr-.html
0
692
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan