- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Peluang Gatot, Mahfud MD dan Sri Mulyani Jadi Cawapres Jokowi


TS
annisaputrie
Peluang Gatot, Mahfud MD dan Sri Mulyani Jadi Cawapres Jokowi
Peluang Gatot, Mahfud MD dan Sri Mulyani Jadi Cawapres Jokowi
Ihsan Dalimunthe, CNN Indonesia | Jumat, 16/03/2018 07:54 WIB
Bagikan :
Nama cawapres Jokowi dari kalangan non parpol menguat (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Joko Widodo dituntut jeli memilih pendampingnya sebagai calon wakil presiden di Pemilu Presiden 2019. Dia juga harus pandai mengelola kepentingan partai pendukungnya.
Pengamat politik Siti Zuhro mengatakan Jokowi harus belajar dari peristiwa politik yang terjadi saat Pilkada DKI 2017. Beberapa parpol membatalkan dukungan karena ada unsur cemburu dan tidak puas dengan komposisi pilihan pasangan calon.
Untuk itu, Siti Zuhro mengatakan cawapres yang dipilih Jokowi nanti harus bisa diterima oleh partai pendukung. Apalagi jika Jokowi mengambil calon wakil presidennya dari kalangan nonpartai.
Sejauh ini, ada beberapa nama tokoh nonparpol yang sudah beredar. Beberapa nama yang menguat dan kerap muncul dalam hasil survei sejumlah lembaga adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Kepala Badan Intelijen (BIN) Budi Gunawan (BG), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.
Peneliti senior di Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) itu mengakui dari keempat tokoh tersebut, tidak semuanya bisa diterima oleh partai-partai yang sudah resmi mendukung Jokowi.
Sri Mulyani misalnya, menurut Siti belum tentu akan diterima oleh partai Golkar. Sementara Golkar merupakan pemilik suara terbanyak di antara partai pendukung lain.
Tak hanya dengan Golkar, Sri Mulyani juga bisa memicu perlawanan dari partai utama pendukung Jokowi, PDIP.
Siti menyebut Sri Mulyani punya sejarah yang tidak baik dengan mantan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Sementara dengan PDIP, meskipun tidak seganas menyerang Menteri Rini Soemarno, Sri Mulyani kerap dianggap tidak pro dengan ekonomi kerakyatan.
"Sri Mulyani dicap sebagai neolib," kata Siti kepada CNNIndonesia.com, Kamis (15/3).
Ditambah lagi, menurut Siti, Sri Mulyani tidak memiliki basis massa akar rumput yang teruji. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu hanya memilik loyalis dari kalangan akademisi, khususnya Universitas Indonesia (UI).
Siti Zuhro mengatakan Jokowi memang terlihat senang dengan Sri Mulyani, terlebih ia baru mendapat penghargaan menteri terbaik dunia.
Tapi parpol pendukung bisa menyerang Sri Mulyani dengan mempertanyakan kapasitasnya di lapangan. Sebab, menurut Siti, di bawah komando Sri Mulyani ekonomi Indonesia saat ini mendapat sorotan tajam terutama dari masyarakat bawah.
"Menteri ini diagungkan dunia internasional, tapi nyatanya mana prestasi Kemenkeu? Ini malah yang lagi ramai dana zakat diambilin. Itu aja jadi list pertanyaan panjang mempertanyakan Sri Mulyani," urai Siti Zuhro.
Menteri Keuangan Sri Mulyani. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Terkait nama Budi Gunawan yang belakangan juga muncul, Siti Zuhro menyebut publik sudah mengetahui Kepala BIN itu mengantongi dukungan besar dari PDIP terutama dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Adapun soal faktor penerimaan dari parpol pendukung, peta politik dukungan terhadap Budi Gunawan belum terbaca dengan baik. Siti menurutkan satu-satunya indikasi bisa terbaca dari jejak rekam Budi Gunawan saat melakukan fit and proper test calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Saat itu semua parpol di DPR mendukungnya.
Menimbang Gatot Nurmantyo, Siti menduga kuat akan ada resistensi dari parpol jika Jokowi memilih mantan Panglima TNI itu.
Menurut Siti Zuhro, partai-partai pendukung pasangan Ahok-Djarot di pilkada DKI Jakarta, terutama PDIP dan Nasdem punya 'dendam' tersendiri terhadap Gatot Nurmantyo yang dinilai cukup aktif dalam aksi bela Islam 2 Desember 2017 (Aksi 212).
"PDIP dan Nasdem kelihatan kurang asyik dengan Gatot Nurmantyo," urai Siti Zuhro.Bicara masalah massa akar rumput, Gatot Nurmantyo memang terbilang semakin kuat di segmen pemilih Islam. Tapi sifat pemilih muslimnya, kata Siti, tidak menyeluruh.
Pemilih Islam justru lebih bisa menerima Mahfud MD yang notabene adalah figur yang dihormati di Nahdlatul Ulama (NU) dan juga segmen pemilih Islam yang moderat, terutama pecinta mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Siti pun tak meragukan basis Mahfud di akar rumput. Faktor ini yang diyakini Siti bisa menjadi modal Mahfud untuk bisa diterima oleh seluruh parpol pendukung Jokowi.

Nilai tambah lain dari sosok Mahfud adalah pengalaman yang mumpuni di tiga lembaga politik yakni yudikatif (Ketua MK), eksekutif (sebagai menteri) dan legislatif (sebagai anggota DPR).
Adapun rekam jejak rekam Mahfud sebagai bagian dari tim sukses Prabowo-Hatta di Pilpres 2014, dinilai Siti bukan hal signifikan. Kesan itu sudah memudar. Mahfud tidak pernah diidentikan sebagai pendukung setia Prabowo Subianto maupun Hatta Rajasa.
Mahfud juga sudah lepas dari PKB. Namun Mahfud diyakini Siti Zuhro bisa mengambil hati ulama dan Kiyai, khususnya di pulau Jawa.
Dengan berbagai hal tersebut, Siti yakin Mahfud bisa diterima mayoritas partai pendukung Jokowi.
"Pengalaman-pengalaman dia itu yang membuat dekat dengan Megawati, Luhut, Oesman Sapata dan elit parpol pendukung Jokowi," ujarnya.
Langkah politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memilih kader non parpol Boediono di Pilpres 2009 tanpa ada resistensi dari parpol pendukung sebetulnya bisa ditiru oleh Jokowi di Pilpres 2019.
Tapi menurut Siti, yang syarat utamanya adalah memastikan elektabilitas Jokowi di atas 60 hingga 80 persen sebelum Agustus 2018 atau sebelum penetapan capres oleh KPU.
"Kalau elektabilitas di bawah 50 persen terus, tidak bisa seperti SBY. Jokowi pasti bakal tersandera dan tidak bebas pilih cawapresnya," kata dia.
Siti melihat saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk memilih calon yang menurut mereka memang punya kapabilitas.
Masyarakat juga ingin agar pertarungan pilpres nanti murni sebagai kontestasi yang jernih,bukan karena sang calon kuat secara finansial.
Jokowi, kata Siti Zuhro harus sadar saat dirinya bersanding dengan Jusuf Kalla di pilpres 2014 saja hanya menang tipis dengan pasangan Prabowo-Hatta.
Posisi petahana ini harus betul-betul bisa dimanfaatkan Jokowi untuk melakukan perbaikan, terutama tingkat elektabillitasnya jika ingin mengikuti strategi SBY di Pilpres 2009 lalu.
"Ditambah publik demand dan interupsi politik sekarang berbeda. Siapapun yang akan dipasangkan dengan Jokowi akan disorot tajam," tutur Siti Zuhro.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180315143539-32-283280/peluang-gatot-mahfud-md-dan-sri-mulyani-jadi-cawapres-jokowi
Ada 20 Nama Bakal Cawapres Jokowi, dari AHY Hingga Mahfud MD
Abi Sarwanto, CNN Indonesia | Sabtu, 10/03/2018 08:10 WIB
Bagikan :
Ketua DPP Bidang Kehormatan PDIP Komarudin Watubun menyebutkan ada sekitar 20 nama bakal calon wakil presiden yang diprediksi mendampingi Joko Widodo. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso).
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua DPP Bidang Kehormatan PDIP, Komarudin Watubun menyebutkan ada sekitar 20 nama bakal calon wakil presiden yang diprediksi mendampingi Joko Widodo di Pemilu 2019.
Nama-nama tersebut disebut merupakan daftar panjang (long list) dari tim penjaringan yang telah dibentuk Jokowi. Selain long list, nantinya ada pula daftar pendek (short list) hingga daftar prioritas (priorty list).
"Nama-nama yang dijaring ada dari TNI, Polri, politisi, profesional, saya kira semua itu mewakili," kata Komarudin saat dikonfirmasi, Jumat (9/3).
Menurut Komarudin, wakil yang mendampingi Jokowi bakal menentukan pemerintahan di 2024. Meski tidak otomatis terpilih menjadi presiden, namun peluang itu disebut tetap terbuka.
"Kalau wakil-wakil dari segi semangat dan segi usia atau kapasitas dalam menjawab kedepannya itu bisa menjadi pertimbangan. Supaya pembangunan nasional bisa berkelanjutan, regenerasi bangsa bisa diwujudkan dalam kepemimpinan Pak Jokowi," katanya.
Dari 20 nama yang ada, kata Komarudin, disebut telah beredar di publik seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, mantan Panglima Jenderal Gatot Nurmantyo hingga Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
"Saya kira semua mungkin, politik itu kan bicara kemungkinan. Ada Gatot, AHY juga bisa masuk nama-nama itu. Bisa Mahfud MD, Moeldoko, Tito Karnavian, Budi Gunawan. Itu kan tokoh-tokoh yang disebutkan sekarang," ujarnya.
Presiden Joko Widodo sebelumnya disebut-sebut memiliki tim internal untuk menjaring calon wakil presiden yang bakal mendampinginya dalam proses Pilpres 2019.
Sekjen PPP Arsul Sani mengungkapkan tim itu terdiri dari para tokoh independen yang ditunjuk langsung oleh Jokowi.
"Hal yang saya tahu tim internalnya Pak Jokowi untuk jaring cawapres itu tokoh independen," ujar Arsul di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/3).
Arsul menerangkan tim internal Jokowi bekerja mengolah masukan cawapres yang diajukan oleh partai pendukung yang mendeklarasikan Jokowi sebagai capres.
Masukan itu nantinya diolah dan hasilnya diserahkan kepada Jokowi untuk kemudian disimpulkan bersama partai politik pendukung.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180310070853-20-281921/ada-20-nama-bakal-cawapres-jokowi-dari-ahy-hingga-mahfud-md
Dampak Putusan MK Soal President Threshold, Pilpres 2019 Hanya Dua Capres
Jumat, 12 Januari 2018 — 11:40 WIB
SETELAH MK menolak gugatan terkait uji materi terkait president threshold (ambang batas pengajuan calon presiden), maka diprediksi dalam Pilpres 2019 hanya akan muncul dua koalisi, atau paling banter tiga koalisi.
Hal ini bisa dilihat dari aturan president threshold dan kondisi politik sekarang. Aturan yang akan diberlakukan, calon presiden harus diajukan parpol atau gabungan parpol, yang minimal harus ada 10 kursi di DPR.
Sedangkan, gambaran kondisi politik sekarang, tujuh parpol sudah berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi, yakni PDIP, Golkar Nasdem, PKB, Hanura, PPP, PAN. Selebihnya, empat parpol yang punya kursi di DPR dan berada di luar pemerintahan hanya ada tiga saja parpol, yakni Gerindra, Demokrat, PKS.
Kalau tujuh parpol tersebut masih tetap mendukung Jokowi, maka jelas sudah lebih dari cukup syarat ambang batas tersebut. Sebab, total kursi anggota DPR 560, 20 persennya adalah 112 kursi.
Sedangkan, tiga parpol yang tersisa hanya cukup untuk mengajukan satu calon Presiden. Katakanlah, ini kecenderungannya mengusung Prabowo Subianto, dengan catatan yang erat hubungannya sekarang adalah Gerindra dan PKS. Untuk Demokrat, sejauh ini di tingkat pusat sulit berkoalisi dengan Gerindra.
Total kursi di DPR kedua parpol sebanyak 113, dalam hal ini Gerindra memiliki 73 anggota DPR, dan PKS 40 anggota. Koalisi ini cukup untuk mengajukan calon presiden.
Tinggal satu parpol, yakni Demokrat yang memiliki 61 kursi di DPR. Ini masih jauh untuk memenuhi ambang batas 20 persen (112 kursi). Kalau memang Demokrat ada minat untuk mengajukan capres, mau tidak mau harus merayu partai lain, paling tidak satu parpol yang bisa menggenapi ke minimal ambang batas 20 persen tersebut.
Sejauh ini yang akrab dengan Demokrat adalah PAN, yang kursinya di DPR ada 49. Demokrat (61) dan PAN 49 kursi, digabung menjadi 110 kursi, jelas masih kurang 2 kursi lagi. Kalau ingin membuat koalisi, perlu tambahan dua kursi, namun tampaknya sulit menggaet parpol-parpol lain yang masih bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi.
Ambil contoh misalnya, PPP dan PKB yang pernah berkoalisi dengan Demokrat di era Presiden SBY, kini akan sulit ditarik keluar dari koalisi tersebut, karena akan lebih nyaman dan kans lebih besar dapat menteri di kabinet apabila tetap setia dengan koalisi pendukung Jokowi.
Maka, apabila tidak terjadi hal-hal luar biasa, atau politik yang tak terduga laiinya, koalisi dalam Pilpres 2019 hanya akan muncul dua koalisi dan dua calon presiden. Terlebih lagi, dalam UUD 1945 hasil amandemen, capres hanya diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Tidak ada calon presiden dari jalur independen. Mungkinkah, Jokowi akan duel ulang dengan Prabowo? (
http://poskotanews.com/2018/01/12/dampak-putusan-mk-soal-president-threshold-pilpres-2019-hanya-dua-capres/
---------------------------
Ada 15 partai yang bertanding ikut Pilpres dan Pemilu 2019. Sementara pemilih di Pemilu 2019 mencapai 196 juta orang/suara. Sistemnya demokrasi penuh sebab menerapkan model "öne man, one vote' dengan teknis pilihan langsung. Lalu duit rakyat yang diambilkan dari pajak untuk hajatan Pemilu dan Pilpres itu mencapai angka cukup fantastis yaitu mencapai Rp 16 triliun. Itu belum termasuk "duit pribadi" si kontentan baik peserta Pemilu Legislatif maupun Pilpres.
Dengan fakta-fakta demikian ini, masa sih yang berani maju sebagai Calon Presiden RI 2019-2024 hanya 2 orang saja? Yang populer malahan rebutan jadi Wapres sehingga diperkirakan akan ada 20 nama yang akan masuk dan menjadi pertimbangan parpol yang akan mengusungnya.
Ihsan Dalimunthe, CNN Indonesia | Jumat, 16/03/2018 07:54 WIB
Bagikan :

Jakarta, CNN Indonesia -- Joko Widodo dituntut jeli memilih pendampingnya sebagai calon wakil presiden di Pemilu Presiden 2019. Dia juga harus pandai mengelola kepentingan partai pendukungnya.
Pengamat politik Siti Zuhro mengatakan Jokowi harus belajar dari peristiwa politik yang terjadi saat Pilkada DKI 2017. Beberapa parpol membatalkan dukungan karena ada unsur cemburu dan tidak puas dengan komposisi pilihan pasangan calon.
Untuk itu, Siti Zuhro mengatakan cawapres yang dipilih Jokowi nanti harus bisa diterima oleh partai pendukung. Apalagi jika Jokowi mengambil calon wakil presidennya dari kalangan nonpartai.
Sejauh ini, ada beberapa nama tokoh nonparpol yang sudah beredar. Beberapa nama yang menguat dan kerap muncul dalam hasil survei sejumlah lembaga adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Kepala Badan Intelijen (BIN) Budi Gunawan (BG), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.
Peneliti senior di Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) itu mengakui dari keempat tokoh tersebut, tidak semuanya bisa diterima oleh partai-partai yang sudah resmi mendukung Jokowi.
Sri Mulyani misalnya, menurut Siti belum tentu akan diterima oleh partai Golkar. Sementara Golkar merupakan pemilik suara terbanyak di antara partai pendukung lain.
Tak hanya dengan Golkar, Sri Mulyani juga bisa memicu perlawanan dari partai utama pendukung Jokowi, PDIP.
Siti menyebut Sri Mulyani punya sejarah yang tidak baik dengan mantan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Sementara dengan PDIP, meskipun tidak seganas menyerang Menteri Rini Soemarno, Sri Mulyani kerap dianggap tidak pro dengan ekonomi kerakyatan.
"Sri Mulyani dicap sebagai neolib," kata Siti kepada CNNIndonesia.com, Kamis (15/3).
Ditambah lagi, menurut Siti, Sri Mulyani tidak memiliki basis massa akar rumput yang teruji. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu hanya memilik loyalis dari kalangan akademisi, khususnya Universitas Indonesia (UI).
Siti Zuhro mengatakan Jokowi memang terlihat senang dengan Sri Mulyani, terlebih ia baru mendapat penghargaan menteri terbaik dunia.
Tapi parpol pendukung bisa menyerang Sri Mulyani dengan mempertanyakan kapasitasnya di lapangan. Sebab, menurut Siti, di bawah komando Sri Mulyani ekonomi Indonesia saat ini mendapat sorotan tajam terutama dari masyarakat bawah.
"Menteri ini diagungkan dunia internasional, tapi nyatanya mana prestasi Kemenkeu? Ini malah yang lagi ramai dana zakat diambilin. Itu aja jadi list pertanyaan panjang mempertanyakan Sri Mulyani," urai Siti Zuhro.

Terkait nama Budi Gunawan yang belakangan juga muncul, Siti Zuhro menyebut publik sudah mengetahui Kepala BIN itu mengantongi dukungan besar dari PDIP terutama dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Adapun soal faktor penerimaan dari parpol pendukung, peta politik dukungan terhadap Budi Gunawan belum terbaca dengan baik. Siti menurutkan satu-satunya indikasi bisa terbaca dari jejak rekam Budi Gunawan saat melakukan fit and proper test calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Saat itu semua parpol di DPR mendukungnya.
Menimbang Gatot Nurmantyo, Siti menduga kuat akan ada resistensi dari parpol jika Jokowi memilih mantan Panglima TNI itu.
Menurut Siti Zuhro, partai-partai pendukung pasangan Ahok-Djarot di pilkada DKI Jakarta, terutama PDIP dan Nasdem punya 'dendam' tersendiri terhadap Gatot Nurmantyo yang dinilai cukup aktif dalam aksi bela Islam 2 Desember 2017 (Aksi 212).
"PDIP dan Nasdem kelihatan kurang asyik dengan Gatot Nurmantyo," urai Siti Zuhro.Bicara masalah massa akar rumput, Gatot Nurmantyo memang terbilang semakin kuat di segmen pemilih Islam. Tapi sifat pemilih muslimnya, kata Siti, tidak menyeluruh.
Pemilih Islam justru lebih bisa menerima Mahfud MD yang notabene adalah figur yang dihormati di Nahdlatul Ulama (NU) dan juga segmen pemilih Islam yang moderat, terutama pecinta mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Siti pun tak meragukan basis Mahfud di akar rumput. Faktor ini yang diyakini Siti bisa menjadi modal Mahfud untuk bisa diterima oleh seluruh parpol pendukung Jokowi.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Nilai tambah lain dari sosok Mahfud adalah pengalaman yang mumpuni di tiga lembaga politik yakni yudikatif (Ketua MK), eksekutif (sebagai menteri) dan legislatif (sebagai anggota DPR).
Adapun rekam jejak rekam Mahfud sebagai bagian dari tim sukses Prabowo-Hatta di Pilpres 2014, dinilai Siti bukan hal signifikan. Kesan itu sudah memudar. Mahfud tidak pernah diidentikan sebagai pendukung setia Prabowo Subianto maupun Hatta Rajasa.
Mahfud juga sudah lepas dari PKB. Namun Mahfud diyakini Siti Zuhro bisa mengambil hati ulama dan Kiyai, khususnya di pulau Jawa.
Dengan berbagai hal tersebut, Siti yakin Mahfud bisa diterima mayoritas partai pendukung Jokowi.
"Pengalaman-pengalaman dia itu yang membuat dekat dengan Megawati, Luhut, Oesman Sapata dan elit parpol pendukung Jokowi," ujarnya.
Langkah politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memilih kader non parpol Boediono di Pilpres 2009 tanpa ada resistensi dari parpol pendukung sebetulnya bisa ditiru oleh Jokowi di Pilpres 2019.
Tapi menurut Siti, yang syarat utamanya adalah memastikan elektabilitas Jokowi di atas 60 hingga 80 persen sebelum Agustus 2018 atau sebelum penetapan capres oleh KPU.
"Kalau elektabilitas di bawah 50 persen terus, tidak bisa seperti SBY. Jokowi pasti bakal tersandera dan tidak bebas pilih cawapresnya," kata dia.
Siti melihat saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk memilih calon yang menurut mereka memang punya kapabilitas.
Masyarakat juga ingin agar pertarungan pilpres nanti murni sebagai kontestasi yang jernih,bukan karena sang calon kuat secara finansial.
Jokowi, kata Siti Zuhro harus sadar saat dirinya bersanding dengan Jusuf Kalla di pilpres 2014 saja hanya menang tipis dengan pasangan Prabowo-Hatta.
Posisi petahana ini harus betul-betul bisa dimanfaatkan Jokowi untuk melakukan perbaikan, terutama tingkat elektabillitasnya jika ingin mengikuti strategi SBY di Pilpres 2009 lalu.
"Ditambah publik demand dan interupsi politik sekarang berbeda. Siapapun yang akan dipasangkan dengan Jokowi akan disorot tajam," tutur Siti Zuhro.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180315143539-32-283280/peluang-gatot-mahfud-md-dan-sri-mulyani-jadi-cawapres-jokowi
Ada 20 Nama Bakal Cawapres Jokowi, dari AHY Hingga Mahfud MD
Abi Sarwanto, CNN Indonesia | Sabtu, 10/03/2018 08:10 WIB
Bagikan :

Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua DPP Bidang Kehormatan PDIP, Komarudin Watubun menyebutkan ada sekitar 20 nama bakal calon wakil presiden yang diprediksi mendampingi Joko Widodo di Pemilu 2019.
Nama-nama tersebut disebut merupakan daftar panjang (long list) dari tim penjaringan yang telah dibentuk Jokowi. Selain long list, nantinya ada pula daftar pendek (short list) hingga daftar prioritas (priorty list).
"Nama-nama yang dijaring ada dari TNI, Polri, politisi, profesional, saya kira semua itu mewakili," kata Komarudin saat dikonfirmasi, Jumat (9/3).
Menurut Komarudin, wakil yang mendampingi Jokowi bakal menentukan pemerintahan di 2024. Meski tidak otomatis terpilih menjadi presiden, namun peluang itu disebut tetap terbuka.
"Kalau wakil-wakil dari segi semangat dan segi usia atau kapasitas dalam menjawab kedepannya itu bisa menjadi pertimbangan. Supaya pembangunan nasional bisa berkelanjutan, regenerasi bangsa bisa diwujudkan dalam kepemimpinan Pak Jokowi," katanya.
Dari 20 nama yang ada, kata Komarudin, disebut telah beredar di publik seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, mantan Panglima Jenderal Gatot Nurmantyo hingga Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
"Saya kira semua mungkin, politik itu kan bicara kemungkinan. Ada Gatot, AHY juga bisa masuk nama-nama itu. Bisa Mahfud MD, Moeldoko, Tito Karnavian, Budi Gunawan. Itu kan tokoh-tokoh yang disebutkan sekarang," ujarnya.
Presiden Joko Widodo sebelumnya disebut-sebut memiliki tim internal untuk menjaring calon wakil presiden yang bakal mendampinginya dalam proses Pilpres 2019.
Sekjen PPP Arsul Sani mengungkapkan tim itu terdiri dari para tokoh independen yang ditunjuk langsung oleh Jokowi.
"Hal yang saya tahu tim internalnya Pak Jokowi untuk jaring cawapres itu tokoh independen," ujar Arsul di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/3).
Arsul menerangkan tim internal Jokowi bekerja mengolah masukan cawapres yang diajukan oleh partai pendukung yang mendeklarasikan Jokowi sebagai capres.
Masukan itu nantinya diolah dan hasilnya diserahkan kepada Jokowi untuk kemudian disimpulkan bersama partai politik pendukung.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180310070853-20-281921/ada-20-nama-bakal-cawapres-jokowi-dari-ahy-hingga-mahfud-md
Dampak Putusan MK Soal President Threshold, Pilpres 2019 Hanya Dua Capres
Jumat, 12 Januari 2018 — 11:40 WIB
SETELAH MK menolak gugatan terkait uji materi terkait president threshold (ambang batas pengajuan calon presiden), maka diprediksi dalam Pilpres 2019 hanya akan muncul dua koalisi, atau paling banter tiga koalisi.
Hal ini bisa dilihat dari aturan president threshold dan kondisi politik sekarang. Aturan yang akan diberlakukan, calon presiden harus diajukan parpol atau gabungan parpol, yang minimal harus ada 10 kursi di DPR.
Sedangkan, gambaran kondisi politik sekarang, tujuh parpol sudah berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi, yakni PDIP, Golkar Nasdem, PKB, Hanura, PPP, PAN. Selebihnya, empat parpol yang punya kursi di DPR dan berada di luar pemerintahan hanya ada tiga saja parpol, yakni Gerindra, Demokrat, PKS.
Kalau tujuh parpol tersebut masih tetap mendukung Jokowi, maka jelas sudah lebih dari cukup syarat ambang batas tersebut. Sebab, total kursi anggota DPR 560, 20 persennya adalah 112 kursi.
Sedangkan, tiga parpol yang tersisa hanya cukup untuk mengajukan satu calon Presiden. Katakanlah, ini kecenderungannya mengusung Prabowo Subianto, dengan catatan yang erat hubungannya sekarang adalah Gerindra dan PKS. Untuk Demokrat, sejauh ini di tingkat pusat sulit berkoalisi dengan Gerindra.
Total kursi di DPR kedua parpol sebanyak 113, dalam hal ini Gerindra memiliki 73 anggota DPR, dan PKS 40 anggota. Koalisi ini cukup untuk mengajukan calon presiden.
Tinggal satu parpol, yakni Demokrat yang memiliki 61 kursi di DPR. Ini masih jauh untuk memenuhi ambang batas 20 persen (112 kursi). Kalau memang Demokrat ada minat untuk mengajukan capres, mau tidak mau harus merayu partai lain, paling tidak satu parpol yang bisa menggenapi ke minimal ambang batas 20 persen tersebut.
Sejauh ini yang akrab dengan Demokrat adalah PAN, yang kursinya di DPR ada 49. Demokrat (61) dan PAN 49 kursi, digabung menjadi 110 kursi, jelas masih kurang 2 kursi lagi. Kalau ingin membuat koalisi, perlu tambahan dua kursi, namun tampaknya sulit menggaet parpol-parpol lain yang masih bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi.
Ambil contoh misalnya, PPP dan PKB yang pernah berkoalisi dengan Demokrat di era Presiden SBY, kini akan sulit ditarik keluar dari koalisi tersebut, karena akan lebih nyaman dan kans lebih besar dapat menteri di kabinet apabila tetap setia dengan koalisi pendukung Jokowi.
Maka, apabila tidak terjadi hal-hal luar biasa, atau politik yang tak terduga laiinya, koalisi dalam Pilpres 2019 hanya akan muncul dua koalisi dan dua calon presiden. Terlebih lagi, dalam UUD 1945 hasil amandemen, capres hanya diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Tidak ada calon presiden dari jalur independen. Mungkinkah, Jokowi akan duel ulang dengan Prabowo? (
http://poskotanews.com/2018/01/12/dampak-putusan-mk-soal-president-threshold-pilpres-2019-hanya-dua-capres/
---------------------------
Ada 15 partai yang bertanding ikut Pilpres dan Pemilu 2019. Sementara pemilih di Pemilu 2019 mencapai 196 juta orang/suara. Sistemnya demokrasi penuh sebab menerapkan model "öne man, one vote' dengan teknis pilihan langsung. Lalu duit rakyat yang diambilkan dari pajak untuk hajatan Pemilu dan Pilpres itu mencapai angka cukup fantastis yaitu mencapai Rp 16 triliun. Itu belum termasuk "duit pribadi" si kontentan baik peserta Pemilu Legislatif maupun Pilpres.
Dengan fakta-fakta demikian ini, masa sih yang berani maju sebagai Calon Presiden RI 2019-2024 hanya 2 orang saja? Yang populer malahan rebutan jadi Wapres sehingga diperkirakan akan ada 20 nama yang akan masuk dan menjadi pertimbangan parpol yang akan mengusungnya.


tien212700 memberi reputasi
1
2.2K
16


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan