- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[#SFTH Challenge] My Little Brother


TS
yura25
[#SFTH Challenge] My Little Brother
[#SFTH Challenge] My Little Brother
![[#SFTH Challenge] My Little Brother](https://s.kaskus.id/images/2018/02/07/8780264_20180207053228.jpg)
Quote:
My Little Brother
![[#SFTH Challenge] My Little Brother](https://s.kaskus.id/images/2018/02/07/8780264_20180207054412.jpg)
Quote:
Pagi itu, cuaca sangat bersahabat dengan udara segarnya beserta embun yang menetes di setiap sudut dedaunan. Burung-burung sudah berterbangan kesana-kemari. Matahari mulai mengintip siap untuk menghangatkan semesta hingga penghujung senja nanti. Jalan yang berkerikil tak menghentikanku berjalan meski tanpa alas kaki. Dari kecil aku sudah terbiasa keliling perumahan bersama Mama, sekedar jalan santai menyambut pagi.
Biasanya aku dan Mama jalan santai setiap hari Minggu atau ketika aku liburan semester, selebihnya Mama jalan santai sendirian. Bapak lebih memilih berselimut mimpi daripada jalan santai seperti ini.Kata Mama, udara pagi itu sehat karena orang-orang belum beraktivitas. Aroma embun pagi terasa menyegarkan, belum bercampur aroma keringat, aroma panas matahari dan sebagainya. Itulah kenapa Mama lebih suka jalan pagi daripada sore. Mama juga selalu mengajarkanku berjalan tanpa alas kaki, katanya mencegah rematik. Aku tak paham, hanya menurut, karena Mama juga melakukannya.
Hari itu, tentu hari yang berbeda dari biasanya, wajahku berseri-seri melihat perut Mama yang semakin hari semakin membesar. Di dalam perut Mama ada calon adikku, adik pertamaku. Sebagai anak pertama sebenarnya aku tidak begitu kesepian karena selalu bersama sepupuku. Tapi aku yakin pasti lebih menyenangkan memiliki adik yang lahir dari rahim yang sama denganku. Aku sangat bahagia dan bersemangat menyambutnya jika dia sudah dilahirkan nanti.
“Ma, kapan adenya keluar?” kataku dengan polosnya.
“Kata Bidannya sebentar lagi,” jawab Mama dengar wajah yang tak kalah berseri dariku.
“Sebentar lagi? Habis kita jalan-jalan? Selesai kita sarapan?” aku memburu Mama dengan banyak tanya.
“Kamu ini, yah Mama juga gak tau. Kalo nanti perut Mama sudah sakit mungkin aja sudah mau keluar adenya,” jawab Mama sambil mengelus pelan rambutku.
Aku hanya diam menatap Mama, aku berangan-angan bagaimana jika adikku nanti sudah lahir? Lucu kah? Aku boleh gendong? Ah, aku kan masih kecil mana boleh gendong sembarangan. Aku bergegas pulang dengan Mama karena hari sudah mulai panas, aku juga mulai merasa lapar. Hari itu adalah hari libur, jadi sesampai di rumah aku menonton tayangan Televisi kesukaanku, Doraemon. Jika aku bosan, Mama biasanya memutarkan lagu anak-anak di VCD Player. Kadang, jika sepupuku datang ke rumah, dia meminta menonton film Power Rangers, Digimon, atau Pikachu. Aku tak begitu suka film perang-perangan seperti itu. Bertolak belakang sama sepupuku yang lebih suka film untuk anak laki-laki. Padahal dia perempuan.
Dalam hal bermain pun dia lebih suka main ke hutan belakang rumahku, main layang-layang, manjat pohon belimbing di halaman rumahku dan yang paling parah keliling sungai jika aku main di kontrakannya atau keliling parit jika dia main ke rumahku hanya untuk mencari ikan. Sesampainya di rumah aku yang selalu kena marah karena badanku bau parit.
Kata Mama, adikku laki-laki. Sedikit kecewa karena merasa apa bedanya dengan sepupuku ini? Meskipun perempuan dia lebih mirip laki-laki. Tapi tak masalah, aku tetap antusias dengan kehadiran adikku. Saat aku masih sibuk menonton, perutku semakin lapar mencium aroma masakan Mama. Setelah Bapak selesai mandi, kami sarapan bareng. Ah, masakan Mama tak pernah ada tandingannya.
“Ma, mau tambah,” kataku.
“Enak ya masakan Mama?” tanya Bapak.
“Iya enak,” jawabku.
Mama mengambilkan aku makanan lagi dan aku kembali menyantap sarapanku. Mama dan Bapak mengobrol perihal perut Mama yang terkadang muncul rasa sakit. Aku hanya mendengarkan obrolan orangtuaku, tak baik memotong pembicaraan orang tua, itu yang selalu diajarkan Bapak.
“Nanti siang periksa aja ke Bidan, mungkin sudah mau melahirkan. Tapi Bapak kerja dulu gak apa-apa ya. Nanti siang pulang.” kata Bapak.
“Iya kerja aja dulu, nanti bisa aja periksa bareng Nita. Sama panggilkan Mamanya Pipit ya ke rumah, bilangin mungkin aja sudah mau melahirkan.” kata Mama.
Bapak hanya mengangguk dan langsung berangkat kerja, Mama membersihkan peralatan makan. Aku tak bisa banyak membantu. Oh iya, Pipit itu sepupuku yang mirip laki-laki itu. Mamanya adalah adiknya Mamaku, Bibiku. Aku dan Pipit keluarga yang lebih dekat dibanding keluarga yang lainnya. Keluarga orangtuaku lebih banyak yang tinggal di tempat asal mereka, di Jawa.
![[#SFTH Challenge] My Little Brother](https://s.kaskus.id/images/2018/02/07/8780264_20180207054515.jpg)
Aku kembali menonton Televisi, sesekali pandanganku tertuju pada Mama yang sedang melakukan olahraga ringan. Hingga akhirnya aku jadi ikut-ikutan Mama berolahraga. Aku memegang perut Mama, lucu, ada yang keras-keras, kata Mama itu badan adikku. Aku jadi ingat Mama pernah mengatakan dulu waktu aku masih bayi badanku sangat kecil karena lahir prematur. Kira-kira badan adikku seberapa ya? Pasti mungil sekali.
“Assalamu’alaikum,” salam suara dari luar.
“Wa’alaikumussalam, nah cepatnya datang jam segini,” kata Mama.
“Iya, takutnya ada apa-apa cuma berdua sama Nita di rumah.”
Saat itu, daerah rumahku masih minim penduduk, di daerah Perumahan pun meskipun banyak dibangun rumah dinas tetapi jarang dihuni. Wajar jika Bibi khawatir dengan keadaan Mama yang hamil besar dan hanya berdua di rumah denganku. Bapak pun tak bisa bolos kerja sembarangan, kerja serabutan jika tidak hadir ya tidak akan mendapat penghasilan.
“Mba Ita ada kaset baru gak?”
Aku kenal sekali suara itu, iya benar sekali ini sepupuku.
“Ada, aku ambil punya Mas Adi,” jawabku
“Pinjam punya Mas Adi, bukan ambil ya,” kata Mama.
“Iya iya pinjam nanti dikembalikan,” kataku ngambek.
“Ayok Mba kita nonton, apa judulnya?”
“Mojacko, aku belum nonton, habis itu nonton P-Man ya.”
“Gak mau, habis itu aku mau nonton Digimon.”
“Aku juga gak mau, aku mau nonton P-Man.”
“Nonton P-Man nya habis Digimon aja.”
“Iya sudah.”
Aku selalu mengalah sama sepupuku ini, yang penting aku bisa menonton film yang aku mau. Tapi, memang dasarnya masih anak-anak, jadi suka labil pemikirannya. Selesai menonton Digimon, selanjutnya Pikachu dan akhirnya batal menonton P-Man karena kami berdua ketiduran. Ya, aku masih bisa putar filmnya lain kali. Kami terbangun saat mendengar adzan ashar, Bapak mungkin sudah kembali kerja setelah pulang untuk makan siang dan ternyata Mama sudah ke Bidan diantar Bibi. Kebetulan rumah Bidannya tidak jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Kata Bidan, Mama harus bersiap-siap karena bisa saja hari ini melahirkannya. Aku loncat-loncat di ruang tamu karena merasa senang adikku akan segera lahir.
Malamnya kami hanya berkumpul, mengobrol ringan, aku tak henti-hentinya menatap perut Mama. Bapak sudah menyiapkan segala keperluan Mama saat melahirkan nanti. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, Mama menyuruhku tidur tetapi aku menolak. Aku ingin melihat adikku, kami sudah lama menunggu kehadirannya. Pukul 1 malam Mama merasa perutnya sangat sakit, Bapak langsung menjemput Bidan. Aku yang masih kecil tak tahu bangaimana pengorbanan seorang Ibu melahirkan anaknya, hanya memikirkan bahwa adikku akan segera lahir, aku akan memiliki adik kecil yang mungil dan aku akan menjadi seorang Kakak.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana Mama menahan sakit, memperjuangkan dua nyawa, bertaruh antara hidup dan mati bahkan mungkin malaikat pencabut nyawa sudah berdiri di samping Mama andai saja ada salah satu yang akan tiada atau bahkan keduanya. Aku tak berfikir sejauh itu. Aku tertidur tetapi masih bisa kudengar samar-samar suara di sekitarku, aku mendengar tangisan, aku berfikir itu suara tangisan adikku. Aku bahagia, aku sudah mendengar suara tangisannya. Adikku sudah lahir. Setidaknya, itulah yang aku fikirkan malam itu. Aku ingin melihat Mama, tapi aku sudah terlalu lelah dan aku sudah terlelap bersama mimpiku.
Aku terbangun, setengah sadar, saat aku mendengar kegaduhan yang mengganggu tidurku. Samar-samar terdengar suara Imam shalat Subuh di Masjid dekat rumahku. Ah, sudah subuh, aku ingin bangun tetapi mataku terasa berat. Aku hanya melihat sekilas Mama digotong-gotong keluar rumah. Keesokan harinya, aku bersiap-siap ke sekolah bersama sepupuku. Kami satu sekolah hanya berbeda kelas. Bapak memberitahu padaku bahwa Mama dibawa ke Rumah Sakit setelah aku bertanya dimana Mama. Aku tidak melihat seorang bayi di dalam rumahku, kenapa adik juga dibawa ke Rumah Sakit?
Sekitar pukul 10 pagi aku sudah dijemput Pakdhe Mun, Pakdhe ini orangtua angkatku sewaktu aku bayi. Mama bekerja saat aku masih kecil sebelum terkena PHK. Aku bingung, belum waktunya pulang sekolah kenapa aku di suruh pulang. Aku bertanya pada Pakdhe tetapi suaranya tenggelam bersama angin, yang kudengar hanya kata “meninggal”. Meskipun aku masih kecil, aku sudah paham betul apa itu meninggal. Sepanjang jalan aku hanya diam mematung, memikirkan siapa yang telah berpulang. Semalam aku mendengar tangisan adikku, lalu Mama digotong orang banyak keluar rumah. Kata Bapak, Mama dibawa ke Rumah Sakit. Apakah Mama meninggal?
Sesampainya di rumah aku melihat banyak orang, sangat ramai, aku menerobos masuk ke dalam rumah. Aku melihat Mama, Mama masih hidup, tersenyum menatapku. Aku yakin sekali mataku masih normal, aku melihat Mama dengan raut wajah yang sedih meskipun senyumnya tetap merekah. Tetapi bodohnya aku tidak menghampiri Mama, entah kenapa saat itu aku langsung mendekap Pakdhe. Aku memeluk erat, airmataku tak dapat dibendung lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Dalam hidup, pertama kalinya aku menanggung sedih sedalam itu. Menumpahkan airmata yang lebih deras dari biasanya, merasakan dada yang lebih sesak dari biasanya.
Aku masih duduk di pangkuan Pakdhe, dipeluk Pakdhe dan aku masih teringat jelas bagaimana sakitnya. Sakit yang benar-benar baru kurasakan. Kehilangan yang baru pertama kali aku alami. Aku tak pernah kehilangan. Aku berhenti menangis sesaat kemudian menangis lagi, begitu berulang-ulang.
“Ta, masuk dulu sini. Sudah mau dikafani, sini cium dulu pipi adenya.” Mama memanggilku.
Aku masih di pelukan Pakdhe, kemudian di tuntun Pakdhe masuk ke dalam rumah, aku tatap lamat-lamat wajah adikku, aku ingin mencium tetapi adikku sudah diberi serbuk-serbuk yang aku tak tahu itu apa. Aku menolak menciumnya, aku hanya memegang tangannya yang dingin memucat. Mungil sekali, bathinku.
Hal terbodoh yang masih kusesali hingga detik ini, mengapa aku tidak menciumnya hanya karena ada serbuk di sekujur badannya. Aku menyayanginya meski hanya sesaat melihatnya. Dari kejadian ini aku sangat sadar, jika terlalu mengharapkan sesuatu dan akhirnya tak didapatkan, sakitnya sangat menyiksa meski sudah melangkah maju, ceritanya akan tetap menjadi memori yang membekas.
![[#SFTH Challenge] My Little Brother](https://s.kaskus.id/images/2018/02/07/8780264_20180207054640.jpg)
Setahun setelah kejadian itu, Mama hamil lagi dan melahirkan di Rumah Sakit. Selain trauma melahirkan di Bidan, sebenarnya Mama termasuk salah satu orang yang susah melahirkan normal. Oleh sebab itu, saat kelahiran adikku yang ke dua, tanpa pikir panjang Bapak menandatangani persetujuan untuk operasi caesar. Adikku laki-laki, tapi aku tak seantusias seperti kelahiran adikku sebelumnya. Bahkan, aku lebih menyayangi adikku yang telah tiada. Mungkin karena aku tak begitu berharap seperti sebelumnya aku bersikap biasa saja saat mendapat kabar bahwa Mama sudah melahirkan adikku dengan selamat.
Setelah aku sudah cukup paham, aku menyinggung peristiwa adikku yang sudah meninggal. Aku bertanya mengapa adik meninggal padahal sangat jelas kudengar suara tangisan, mengapa Mama sampai dibawa ke Rumah Sakit dan kenapa Mama tidak melahirkan dengan Bidan yang dulu mengurus Mama.
“Ma, waktu itu aku dengar suara adeku nangis. Kok tiba-tiba bisa meninggal?”
“Itu Mama yang nangis, melahirkan itu gak segampang yang kamu kira, Mama gak bisa melahirkan normal jadi susah keluar adenya makanya dibawa ke Rumah Sakit karena kalau di Bidan peralatannya gak selengkap di Rumah Sakit. Sebenernya, kalau di bawa ke Rumah Sakit lebih cepat mungkin ade masih hidup. Waktu Mama dibawa ke Rumah Sakit, Bapak dimarahi sama Dokter Samuel,” jawab Mama yang kemudian terdiam.
“Kenapa Dokternya marah Ma? Kan Bapak juga lagi panik kok malah dimarahi?” tanyaku tak sabar.
“Dokternya marah soalnya Mama ke sana dalam keadaan ademu sudah meninggal di dalam perut dan vagina Mama bengkak. Suster yang rawat Mama aja kaget waktu lihat. Bapak ditanya siapa yang nangani Mama waktu melahirkan, Bapak jawab, Dokternya marah lagi ke Bapak,” Mama menghembuskan nafas kemudian melanjutkan lagi ceritanya.
“Kata Dokter Samuel, Bidan itu, Bidan dekat rumah kita itu sebelumnya sudah pernah kena kasus yang serupa dengan kejadian Mama. Sebenarnya malam itu Mama sudah gak kuat dan Bapak minta Mama dibawa ke Rumah Sakit aja, tapi Bidannya nolak dan melanjutkan perawatannya. Vagina Mama dikasih minyak makan terus-menerus. Mungkin kalau ga dibawa ke Rumah Sakit, Mama juga bakal ikut ademu meninggal.”
“Sampai di Rumah Sakit enak, cuma disedot pake peralatan medis ademu langsung keluar. Tau gitu kan langsung melahirkan di Rumah Sakit aja,” Mama menjelaskan penuh sabar.
Aku tahu waktu itu Mbah sudah ingin melaporkan Bidan itu ke Polisi atas kasus tersebut tapi Bapak melarang. Kata Bapak, kematian itu sudah digariskan Tuhan, bagaimanapun caranya seseorang itu menghembuskan nafas terakhirnya harus kita terima. Kita yang masih hidup di dunia ini hanya perlu belajar dari puing-puing kisah yang sudah berlalu.
Bidan tersebut juga manusia, mungkin dia paham menangani orang melahirkan. Dia paham teori-teorinya, dia paham bagaimana tata caranya. Hanya saja, bisa jadi mentalnya yang belum siap, merasa gugup setiap kali menangani pasiennya. Semua orang pasti pernah mengalami kesalahan sekalipun itu menyangkut nyawa seseorang.
Lagipula Mama juga sebenarnya tidak bisa melahirkan secara normal. Bapak juga belajar dari kesalahan itu, saat Mama melahirkan adik keduaku, Bapak mengambil keputusan untuk operasi saja. Aku juga belajar tidak mengharapkan sesuatu secara berlebihan dan aku belajar mengikhlaskan apa yang telah pergi dari hidupku.
Biasanya aku dan Mama jalan santai setiap hari Minggu atau ketika aku liburan semester, selebihnya Mama jalan santai sendirian. Bapak lebih memilih berselimut mimpi daripada jalan santai seperti ini.Kata Mama, udara pagi itu sehat karena orang-orang belum beraktivitas. Aroma embun pagi terasa menyegarkan, belum bercampur aroma keringat, aroma panas matahari dan sebagainya. Itulah kenapa Mama lebih suka jalan pagi daripada sore. Mama juga selalu mengajarkanku berjalan tanpa alas kaki, katanya mencegah rematik. Aku tak paham, hanya menurut, karena Mama juga melakukannya.
Hari itu, tentu hari yang berbeda dari biasanya, wajahku berseri-seri melihat perut Mama yang semakin hari semakin membesar. Di dalam perut Mama ada calon adikku, adik pertamaku. Sebagai anak pertama sebenarnya aku tidak begitu kesepian karena selalu bersama sepupuku. Tapi aku yakin pasti lebih menyenangkan memiliki adik yang lahir dari rahim yang sama denganku. Aku sangat bahagia dan bersemangat menyambutnya jika dia sudah dilahirkan nanti.
“Ma, kapan adenya keluar?” kataku dengan polosnya.
“Kata Bidannya sebentar lagi,” jawab Mama dengar wajah yang tak kalah berseri dariku.
“Sebentar lagi? Habis kita jalan-jalan? Selesai kita sarapan?” aku memburu Mama dengan banyak tanya.
“Kamu ini, yah Mama juga gak tau. Kalo nanti perut Mama sudah sakit mungkin aja sudah mau keluar adenya,” jawab Mama sambil mengelus pelan rambutku.
Aku hanya diam menatap Mama, aku berangan-angan bagaimana jika adikku nanti sudah lahir? Lucu kah? Aku boleh gendong? Ah, aku kan masih kecil mana boleh gendong sembarangan. Aku bergegas pulang dengan Mama karena hari sudah mulai panas, aku juga mulai merasa lapar. Hari itu adalah hari libur, jadi sesampai di rumah aku menonton tayangan Televisi kesukaanku, Doraemon. Jika aku bosan, Mama biasanya memutarkan lagu anak-anak di VCD Player. Kadang, jika sepupuku datang ke rumah, dia meminta menonton film Power Rangers, Digimon, atau Pikachu. Aku tak begitu suka film perang-perangan seperti itu. Bertolak belakang sama sepupuku yang lebih suka film untuk anak laki-laki. Padahal dia perempuan.
Dalam hal bermain pun dia lebih suka main ke hutan belakang rumahku, main layang-layang, manjat pohon belimbing di halaman rumahku dan yang paling parah keliling sungai jika aku main di kontrakannya atau keliling parit jika dia main ke rumahku hanya untuk mencari ikan. Sesampainya di rumah aku yang selalu kena marah karena badanku bau parit.
Kata Mama, adikku laki-laki. Sedikit kecewa karena merasa apa bedanya dengan sepupuku ini? Meskipun perempuan dia lebih mirip laki-laki. Tapi tak masalah, aku tetap antusias dengan kehadiran adikku. Saat aku masih sibuk menonton, perutku semakin lapar mencium aroma masakan Mama. Setelah Bapak selesai mandi, kami sarapan bareng. Ah, masakan Mama tak pernah ada tandingannya.
“Ma, mau tambah,” kataku.
“Enak ya masakan Mama?” tanya Bapak.
“Iya enak,” jawabku.
Mama mengambilkan aku makanan lagi dan aku kembali menyantap sarapanku. Mama dan Bapak mengobrol perihal perut Mama yang terkadang muncul rasa sakit. Aku hanya mendengarkan obrolan orangtuaku, tak baik memotong pembicaraan orang tua, itu yang selalu diajarkan Bapak.
“Nanti siang periksa aja ke Bidan, mungkin sudah mau melahirkan. Tapi Bapak kerja dulu gak apa-apa ya. Nanti siang pulang.” kata Bapak.
“Iya kerja aja dulu, nanti bisa aja periksa bareng Nita. Sama panggilkan Mamanya Pipit ya ke rumah, bilangin mungkin aja sudah mau melahirkan.” kata Mama.
Bapak hanya mengangguk dan langsung berangkat kerja, Mama membersihkan peralatan makan. Aku tak bisa banyak membantu. Oh iya, Pipit itu sepupuku yang mirip laki-laki itu. Mamanya adalah adiknya Mamaku, Bibiku. Aku dan Pipit keluarga yang lebih dekat dibanding keluarga yang lainnya. Keluarga orangtuaku lebih banyak yang tinggal di tempat asal mereka, di Jawa.
![[#SFTH Challenge] My Little Brother](https://s.kaskus.id/images/2018/02/07/8780264_20180207054515.jpg)
Aku kembali menonton Televisi, sesekali pandanganku tertuju pada Mama yang sedang melakukan olahraga ringan. Hingga akhirnya aku jadi ikut-ikutan Mama berolahraga. Aku memegang perut Mama, lucu, ada yang keras-keras, kata Mama itu badan adikku. Aku jadi ingat Mama pernah mengatakan dulu waktu aku masih bayi badanku sangat kecil karena lahir prematur. Kira-kira badan adikku seberapa ya? Pasti mungil sekali.
“Assalamu’alaikum,” salam suara dari luar.
“Wa’alaikumussalam, nah cepatnya datang jam segini,” kata Mama.
“Iya, takutnya ada apa-apa cuma berdua sama Nita di rumah.”
Saat itu, daerah rumahku masih minim penduduk, di daerah Perumahan pun meskipun banyak dibangun rumah dinas tetapi jarang dihuni. Wajar jika Bibi khawatir dengan keadaan Mama yang hamil besar dan hanya berdua di rumah denganku. Bapak pun tak bisa bolos kerja sembarangan, kerja serabutan jika tidak hadir ya tidak akan mendapat penghasilan.
“Mba Ita ada kaset baru gak?”
Aku kenal sekali suara itu, iya benar sekali ini sepupuku.
“Ada, aku ambil punya Mas Adi,” jawabku
“Pinjam punya Mas Adi, bukan ambil ya,” kata Mama.
“Iya iya pinjam nanti dikembalikan,” kataku ngambek.
“Ayok Mba kita nonton, apa judulnya?”
“Mojacko, aku belum nonton, habis itu nonton P-Man ya.”
“Gak mau, habis itu aku mau nonton Digimon.”
“Aku juga gak mau, aku mau nonton P-Man.”
“Nonton P-Man nya habis Digimon aja.”
“Iya sudah.”
Aku selalu mengalah sama sepupuku ini, yang penting aku bisa menonton film yang aku mau. Tapi, memang dasarnya masih anak-anak, jadi suka labil pemikirannya. Selesai menonton Digimon, selanjutnya Pikachu dan akhirnya batal menonton P-Man karena kami berdua ketiduran. Ya, aku masih bisa putar filmnya lain kali. Kami terbangun saat mendengar adzan ashar, Bapak mungkin sudah kembali kerja setelah pulang untuk makan siang dan ternyata Mama sudah ke Bidan diantar Bibi. Kebetulan rumah Bidannya tidak jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Kata Bidan, Mama harus bersiap-siap karena bisa saja hari ini melahirkannya. Aku loncat-loncat di ruang tamu karena merasa senang adikku akan segera lahir.
Malamnya kami hanya berkumpul, mengobrol ringan, aku tak henti-hentinya menatap perut Mama. Bapak sudah menyiapkan segala keperluan Mama saat melahirkan nanti. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, Mama menyuruhku tidur tetapi aku menolak. Aku ingin melihat adikku, kami sudah lama menunggu kehadirannya. Pukul 1 malam Mama merasa perutnya sangat sakit, Bapak langsung menjemput Bidan. Aku yang masih kecil tak tahu bangaimana pengorbanan seorang Ibu melahirkan anaknya, hanya memikirkan bahwa adikku akan segera lahir, aku akan memiliki adik kecil yang mungil dan aku akan menjadi seorang Kakak.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana Mama menahan sakit, memperjuangkan dua nyawa, bertaruh antara hidup dan mati bahkan mungkin malaikat pencabut nyawa sudah berdiri di samping Mama andai saja ada salah satu yang akan tiada atau bahkan keduanya. Aku tak berfikir sejauh itu. Aku tertidur tetapi masih bisa kudengar samar-samar suara di sekitarku, aku mendengar tangisan, aku berfikir itu suara tangisan adikku. Aku bahagia, aku sudah mendengar suara tangisannya. Adikku sudah lahir. Setidaknya, itulah yang aku fikirkan malam itu. Aku ingin melihat Mama, tapi aku sudah terlalu lelah dan aku sudah terlelap bersama mimpiku.
Aku terbangun, setengah sadar, saat aku mendengar kegaduhan yang mengganggu tidurku. Samar-samar terdengar suara Imam shalat Subuh di Masjid dekat rumahku. Ah, sudah subuh, aku ingin bangun tetapi mataku terasa berat. Aku hanya melihat sekilas Mama digotong-gotong keluar rumah. Keesokan harinya, aku bersiap-siap ke sekolah bersama sepupuku. Kami satu sekolah hanya berbeda kelas. Bapak memberitahu padaku bahwa Mama dibawa ke Rumah Sakit setelah aku bertanya dimana Mama. Aku tidak melihat seorang bayi di dalam rumahku, kenapa adik juga dibawa ke Rumah Sakit?
Sekitar pukul 10 pagi aku sudah dijemput Pakdhe Mun, Pakdhe ini orangtua angkatku sewaktu aku bayi. Mama bekerja saat aku masih kecil sebelum terkena PHK. Aku bingung, belum waktunya pulang sekolah kenapa aku di suruh pulang. Aku bertanya pada Pakdhe tetapi suaranya tenggelam bersama angin, yang kudengar hanya kata “meninggal”. Meskipun aku masih kecil, aku sudah paham betul apa itu meninggal. Sepanjang jalan aku hanya diam mematung, memikirkan siapa yang telah berpulang. Semalam aku mendengar tangisan adikku, lalu Mama digotong orang banyak keluar rumah. Kata Bapak, Mama dibawa ke Rumah Sakit. Apakah Mama meninggal?
Sesampainya di rumah aku melihat banyak orang, sangat ramai, aku menerobos masuk ke dalam rumah. Aku melihat Mama, Mama masih hidup, tersenyum menatapku. Aku yakin sekali mataku masih normal, aku melihat Mama dengan raut wajah yang sedih meskipun senyumnya tetap merekah. Tetapi bodohnya aku tidak menghampiri Mama, entah kenapa saat itu aku langsung mendekap Pakdhe. Aku memeluk erat, airmataku tak dapat dibendung lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Dalam hidup, pertama kalinya aku menanggung sedih sedalam itu. Menumpahkan airmata yang lebih deras dari biasanya, merasakan dada yang lebih sesak dari biasanya.
Aku masih duduk di pangkuan Pakdhe, dipeluk Pakdhe dan aku masih teringat jelas bagaimana sakitnya. Sakit yang benar-benar baru kurasakan. Kehilangan yang baru pertama kali aku alami. Aku tak pernah kehilangan. Aku berhenti menangis sesaat kemudian menangis lagi, begitu berulang-ulang.
“Ta, masuk dulu sini. Sudah mau dikafani, sini cium dulu pipi adenya.” Mama memanggilku.
Aku masih di pelukan Pakdhe, kemudian di tuntun Pakdhe masuk ke dalam rumah, aku tatap lamat-lamat wajah adikku, aku ingin mencium tetapi adikku sudah diberi serbuk-serbuk yang aku tak tahu itu apa. Aku menolak menciumnya, aku hanya memegang tangannya yang dingin memucat. Mungil sekali, bathinku.
Hal terbodoh yang masih kusesali hingga detik ini, mengapa aku tidak menciumnya hanya karena ada serbuk di sekujur badannya. Aku menyayanginya meski hanya sesaat melihatnya. Dari kejadian ini aku sangat sadar, jika terlalu mengharapkan sesuatu dan akhirnya tak didapatkan, sakitnya sangat menyiksa meski sudah melangkah maju, ceritanya akan tetap menjadi memori yang membekas.
![[#SFTH Challenge] My Little Brother](https://s.kaskus.id/images/2018/02/07/8780264_20180207054640.jpg)
***
Setahun setelah kejadian itu, Mama hamil lagi dan melahirkan di Rumah Sakit. Selain trauma melahirkan di Bidan, sebenarnya Mama termasuk salah satu orang yang susah melahirkan normal. Oleh sebab itu, saat kelahiran adikku yang ke dua, tanpa pikir panjang Bapak menandatangani persetujuan untuk operasi caesar. Adikku laki-laki, tapi aku tak seantusias seperti kelahiran adikku sebelumnya. Bahkan, aku lebih menyayangi adikku yang telah tiada. Mungkin karena aku tak begitu berharap seperti sebelumnya aku bersikap biasa saja saat mendapat kabar bahwa Mama sudah melahirkan adikku dengan selamat.
Setelah aku sudah cukup paham, aku menyinggung peristiwa adikku yang sudah meninggal. Aku bertanya mengapa adik meninggal padahal sangat jelas kudengar suara tangisan, mengapa Mama sampai dibawa ke Rumah Sakit dan kenapa Mama tidak melahirkan dengan Bidan yang dulu mengurus Mama.
“Ma, waktu itu aku dengar suara adeku nangis. Kok tiba-tiba bisa meninggal?”
“Itu Mama yang nangis, melahirkan itu gak segampang yang kamu kira, Mama gak bisa melahirkan normal jadi susah keluar adenya makanya dibawa ke Rumah Sakit karena kalau di Bidan peralatannya gak selengkap di Rumah Sakit. Sebenernya, kalau di bawa ke Rumah Sakit lebih cepat mungkin ade masih hidup. Waktu Mama dibawa ke Rumah Sakit, Bapak dimarahi sama Dokter Samuel,” jawab Mama yang kemudian terdiam.
“Kenapa Dokternya marah Ma? Kan Bapak juga lagi panik kok malah dimarahi?” tanyaku tak sabar.
“Dokternya marah soalnya Mama ke sana dalam keadaan ademu sudah meninggal di dalam perut dan vagina Mama bengkak. Suster yang rawat Mama aja kaget waktu lihat. Bapak ditanya siapa yang nangani Mama waktu melahirkan, Bapak jawab, Dokternya marah lagi ke Bapak,” Mama menghembuskan nafas kemudian melanjutkan lagi ceritanya.
“Kata Dokter Samuel, Bidan itu, Bidan dekat rumah kita itu sebelumnya sudah pernah kena kasus yang serupa dengan kejadian Mama. Sebenarnya malam itu Mama sudah gak kuat dan Bapak minta Mama dibawa ke Rumah Sakit aja, tapi Bidannya nolak dan melanjutkan perawatannya. Vagina Mama dikasih minyak makan terus-menerus. Mungkin kalau ga dibawa ke Rumah Sakit, Mama juga bakal ikut ademu meninggal.”
“Sampai di Rumah Sakit enak, cuma disedot pake peralatan medis ademu langsung keluar. Tau gitu kan langsung melahirkan di Rumah Sakit aja,” Mama menjelaskan penuh sabar.
Aku tahu waktu itu Mbah sudah ingin melaporkan Bidan itu ke Polisi atas kasus tersebut tapi Bapak melarang. Kata Bapak, kematian itu sudah digariskan Tuhan, bagaimanapun caranya seseorang itu menghembuskan nafas terakhirnya harus kita terima. Kita yang masih hidup di dunia ini hanya perlu belajar dari puing-puing kisah yang sudah berlalu.
Bidan tersebut juga manusia, mungkin dia paham menangani orang melahirkan. Dia paham teori-teorinya, dia paham bagaimana tata caranya. Hanya saja, bisa jadi mentalnya yang belum siap, merasa gugup setiap kali menangani pasiennya. Semua orang pasti pernah mengalami kesalahan sekalipun itu menyangkut nyawa seseorang.
Lagipula Mama juga sebenarnya tidak bisa melahirkan secara normal. Bapak juga belajar dari kesalahan itu, saat Mama melahirkan adik keduaku, Bapak mengambil keputusan untuk operasi saja. Aku juga belajar tidak mengharapkan sesuatu secara berlebihan dan aku belajar mengikhlaskan apa yang telah pergi dari hidupku.
Diubah oleh yura25 11-03-2018 16:04


anasabila memberi reputasi
1
2K
Kutip
11
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan