- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mereka Mentertawai Kita
TS
alanwalker991
Mereka Mentertawai Kita


Quote:
Di negerinya yang tenang dan dingin, di lembah Cibeo, mereka hidup damai. Dalam aturan yang di wariskan turun temurun, tutur tinular.
Di sana, tak ada sengketa. Karena Puun sang kepala adat dan Jaro si kepala pemerintahan menjalankan fungsinya, tanpa embel-embel kepentingan. Amanah leluhur yang tak dapat didustakan.
Di sana, bentuk rumah sama semua, ukurannya sama, desain interiornya sama pula, bahkan mangkuk keramik putih untuk makan dan minum pun sama di semua rumah tangga. Bentuk pakaian yang dikenakan, corak dan warna sama saja. Jadi, apalagi yang bisa.menjadi pemicu iri dengki di antara mereka?
Satu rumah rusak, seluruh kampung perbaiki bersama. Betul-betul bersama, tanpa bicara strata dan pangkat. Berangkat ke kebun bersama pula. Bertetangga akrab saja. Tak ada perkelahian anak muda berebut pasangan, karena sudah dijodohkan antar orangtua. Tak ada penolakan, karena dipercaya tanpa bertanya, pasti itu baik adanya.
Jika melanggar aturan, keluar dari Baduy dalam adalah keniscayaan. Itu sebabnya, jujur jadi pegangan, tak perlu mencari-cari akal mengelabui sesama karena diri bakal menghukum sendiri.
Berempat mereka kerap berkelompok, berjalan kaki, ya, hanya berjalan tanpa alas kaki dari kampung Baduy dalam, aspal dan tanah keras mereka jejak. Panas? "Ya, iyalah pak," katanya. Kami terbahak. "Kaki pegal-pegal? Capek?" tanyaku. Berempat menjawab serempak. "Ya, iya." Menurut mereka, obatnya hanya satu. Jangan dirasakan panas, capek dan pegal itu kalau mau sampai tujuan.
Dua hari untuk sampai menginjakkan kaki di Ibukota. Bukan tamasya, bukan cuci mata, bukan pula ambisi menyebarkan nilai-nilainya, jika ditanya untuk apa jauh-jauh jalan kaki ke Jakarta, mereka akan menjawab, hanya berkunjung ke saudara. Seperti yang dilakukan Sanip, Sarip, Ayah Zakri dan si Zakri anaknya kemarin itu di rumah kami. Begitu pula Pak Narja, Sardi, Sangsang, Ralim dan lainnya yang kerap bertandang pula.
Berjalan bukan bersisian, pasti berbaris berempat. Biasanya yang didepan penunjuk jalan, dua di tengah yang membawa barang dan yang paling belakang mengawasi. Saling jaga, saling setia kawan.Jika ditanya, akan menjawab, kalau tidak berbaris akan menghabiskan jalan dan mengganggu orang lewat lainnya.
Banyak cerita sejak hampir 15 tahun kami kenal mereka. Berkali-kali berkunjung ke kampungnya, membalas pula ia berkunjung ke rumah kami. Meski semalam saja. Karena begitu aturannya. Tak usah ditanya. Karena mereka akan menjawab, cukuplah semalam bertemu tanda ingat, tanda bersaudara.
Percayakah ada manusia yang selalu tertawa dan tersenyum setiap saat tanpa motivator dan konsultan yang mengharuskannya? Ada! Orang-orang Baduy dalam ini bentuknya. Pertanyaan apapun akan mereka jawab dengan sederhana dan mengena. Sambil tertawa. Sambil tersenyum. Atau seakan tak penting yang dikatakannya. Tapi renungkanlah, maka filosofinya bakal menggedor hatimu.
Satu kali aku pernah bertanya, bagaimana kematian menurut mereka. Jawabnya, mati ya mati. Kalau dia baik maka jalannya akan baik pula. Dimandikan, dibungkus kain putih, dikuburkan. Tak ada penanda kecuali sebatang pohon hanjuang yang ditancapkan. Jika pohon itu mulai tumbuh daun, maka kuburan itu bisa dijadikan ladang. Lantas, bagaimana kita akan mengingat dan ziarah kerabat dan tercinta yang tiada? Mereka akan menjawab pula, tak perlu semua itu karena bukankah mereka ada selalu dalam pikiran dan hati kita. Tanah menjadi ladang, akan lebih bermanfaat buat yang hidup.
Bagaimana hidup tanpa ambisi berlebihan, dan tak berkelahi antar sesama? Mereka menjawab, memangnya kita akan hidup selamanya? Jika kita baik harusnya orang akan baik pula kepada kita. Berkelahi pun rugi semua, satu sakit, satu masuk penjara, atau satu dikubur, dikubur juga lainnya. Padahal keluarga masih membutuhkannya. Lalu apa gunanya hidup jika tidak bisa membahagiakan sesama manusia?
Jika mereka meninggalkan rumah, berhari-hari ke Jakarta, maka istri di sana selalu menyediakan semangkuk makanan saat makan tiba, berharap kepala keluarganya tak kelaparan di perjalanannya.
Salah jika orang-orang Baduy dalam ini unjuk kesaktian. Bisa menceplok telor di atas kepala mereka, keluar kelelawar dari mulutnya, tahan bacok, tahan pukul. Itu bukan mereka. Mereka orang bersih berhati lurus, berpikir sahaja, memaknai hidup apa adanya. Kalau alam semesta dekat padanya, itu karena mereka pada tingkat lebur bersama alam raya.
Mereka mempercayai, bukan pelarian Padjajaran saat Islam masuk Sunda. Mereka mengaku jauh sudah lama ada di sana, di tepian Sungai Ciujung sejak nenek moyangnya. Mereka hanya memastikan, bahwa orang-orang Baduy dalam keturunan Adam. Sama seperti lainnya.
Banyak orang-orang menertawai mereka, terbelakang, ketinggalan zaman, dan akan tergilas kemajuan.
Mereka pun menertawai kita, orang kota yang rumit, segala dipikir, dan seolah hidup akan selamanya.
Kami tertawa bersama saat mereka bercerita tersasar ke Taman Lawang. Bukan lelaki bukan pula perempuan, apa itu namanya? Karena di kampungnya tak ada semacam itu.
Orang Jakarta ada-ada saja, selalu menolak takdir penciptaannya, selalu ingin melebihi kemampuannya. Mereka geleng-geleng kepala. Aku mengangguk setuju saja.
Di lembah Cibeo, mereka bisa jadi manusia-manusia akhir zaman ahli surga. Karena kegelapan duniawi jauh di belakang mereka.
Spoiler for sumur:
Diubah oleh alanwalker991 05-03-2018 18:53
0
1.7K
Kutip
15
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan