Kaskus

News

indahairaAvatar border
TS
indahaira
Pajak E-Commerce Haruskah Berlaku Sekarang?
Pajak E-Commerce Haruskah Berlaku Sekarang?
Foto Ilustrasi online: Shutterstock

GanSist, sekarang transaksi jual beli via internet sangat pesat. Transaksi e-commerce di Indonesia saja pada tahun 2020 nanti ditargetkan mencapai USD 130 miliar.

Kalo melihat grafik pertumbuhan yang terus meningkat, target nilai transaksi tersebut dianggap cukup realistis bisa dicapai.

Karenanya, pemerintah tampaknya merasa perlu menyusun aturan terkait e-commerce, setidaknya terlihat dari dua sisi: kepabeanan dan pajak.

Sebagaimana yang dilansir Beritagar, dari segi kepabeanan pemerintah berencana mengenakan bea masuk agar ada kesetaraan dengan barang dari dalam dan luar negeri.

Sedangkan dari segi pajak, pemerintah memberlakukan prinsip yang sama antara perdagangan konvensional dan e-commerce. Para pelaku e-commerce akan dikenakan pajak, baik bagi penyedia jasa di dalam negeri maupun lintas negara di luar negeri.

Tapi apakah negara dan masyarakat sudah siap?

Mengatur pajak atas transaksi e-commerce yang dilakukan penyedia jasa lintas negara cukup sulit. Terutama kalau belum ada skema pemajakan ekonomi digital pada tingkat antar negara. Oleh karena itu, pemerintah tampaknya akan mendahulukan pengaturan e-commerce domestik.

Jika penyetoran pajak dilakukan oleh pihak marketplace, ada sejumlah hambatan yang jelas terlibat.

Pertama, model bisnis platform marketplace itu beragam. Ada yang menyediakan platform transaksi sehingga nilai transaksi tercatat -dan bahkan nominalnya tersimpan untuk sementara di pihak penyedia platform. Namun ada juga marketplace yang hanya menyediakan platform serupa forum penawaran produk saja, yang tidak mencatat secara persis jumlah barang dan uang yang ditransaksikan.

Kedua, IdEA -asosiasi e-commerce Indonesia- telah menyatakan keberatannya jika diwajibkan menjadi penyetor pajak yang berasal dari para pelaku e-commerce di marketplace mereka. Kenapa?

"Semua beban ada di pundak marketplace. Kami yang mengumpulkan datanya, kami yang memungut uangnya, dan kita pula yang menyetorkan datanya," kata Ketua Bidang Pajak Cybersecurity Infrastruktur idEA Bima Laga sambil mengingatkan bahwa hal itu juga mengandung biaya.

Ketiga, seperti juga diingatkan oleh IdEA, e-commerce tidak hanya berlangsung di marketplace. Jual beli secara online juga dilakukan di platform media sosial. Padahal, menurut catatan IdEA, 59 persen penjual online di Indonesia menjajakan barangnya di Facebook dan Instragram -yang adalah platform media sosial.

Keempat, tidak semua orang yang menjual barangnya di marketplace adalah mereka yang berniat berwirausaha. Tidak sedikit orang memanfaatkan marketplace semata-mata sebagai tempat untuk meloakkan barang-barang bekasnya -tanpa bermaksud menjadi pebisnis barang bekas. Apakah meloakkan barang bekasnya sendiri harus berhadapan dengan aturan pajak yang rumit juga?

Bila pemerintah memang ingin memberlakukan perlakuan yang sama, pemerintah tampaknya tidak perlu tergesa-gesa menerbitkan (PMK Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tata Cara Perpajakan Pelaku Usaha Perdagangan Berbasis Elektronik).

Dilansir dari dailysocial, dijelaskan bahwa hingga kini, asosiasi mengaku belum menerima draft soal isi RPMK tersebut.

“Yang kita dengar RPMK [Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tata Cara Perpajakan Pelaku Usaha Perdagangan Berbasis Elektronik] ini mau keluar, tapi sampai sekarang kita belum terima draftnya. Kalau kami sudah terima [draft], kami bisa beri masukan lebih lanjut.”

Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, dan Infrastruktur idEA Bima Laga menambahkan pihaknya mendengar isu PMK pajak e-commerce akan diterbitkan pada akhir bulan ini atau awal Februari 2018.

“Katanya [PMK] akan terbit 31 Januari atau 1 Februari 2018. Makanya kami minta diuji publik, dengan mengadakan ini [konferensi pers],” terang Bima.

Bima melanjutkan, pihaknya juga meminta jaminan pemerintah untuk menjaga level playing of field (perlakuan sama), tak hanya antar pelaku UKM online dan offline, tapi juga antar marketplace informal (media sosial) dan marketplace formal (sudah berbadan hukum).

Disebutkan marketplace mendapat tugas agar turut berperan dalam memfasilitasi dan membantu DJP dalam meningkatkan jumlah wajib pajak baru, termasuk di dalamnya menyetorkan pajak dan memberikan data transaksi secara online ke Badan Pusat Statistik (BPS).

“Mereka sendiri mengaku masih mencari cara [mengutip pajak dari media sosial]. Kalau memang belum menemukan cara, kami siap beri masukan. Daripada aturan diterbitkan jadi memberatkan sepihak, harga yang harus dibayar terlalu mahal dikorbankan,” pungkas Bima.

Spoiler for Sumber::


0
954
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan