Kaskus

News

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Pemberian Pelayanan oleh Negara kepada Penghayat Kepercayaan Dirasa Kurang Maksimal
Pemberian Pelayanan oleh Negara kepada Penghayat Kepercayaan Dirasa Kurang Maksimal

Selasa, 27 Februari 2018 19:58

 

Pemberian Pelayanan oleh Negara kepada Penghayat Kepercayaan Dirasa Kurang Maksimal

TRIBUNJOGJA.COM / Siti Umaiyah

Diskusi publik "Menakar Masa Depan Status Kewarganegaraan Penghayat Kepercayaan di Fakultas Hukum UGM, Selasa (27/2/2018). 

Laporan Calon Reporter Tribun Jogja – Siti Umaiyah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Pasca dibacakannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  97/PPU-XIV/2016 pada tanggal 7 November 2017 berkaitan dengan pemberian pelayanan terhadap warga negara penghayat kepercayaan, dirasa masih kurang maksimal dalam penerapannya.

Berbagai kendala dan keambiguan, baik ditingkat pusat maupun pemerintah daerah masih banyak yang perlu diselesaikan.

Hal tersebut disampaikan oleh Sandra Hamid dari The Asia Foundation dalam diskusi publik yang dilangsungkan di Fakultas Hukum UGM.

Diskusi yang diadakan oleh Satunama ini, mengambil tema Menakar Masa Depan Status Kewarganegaraan Penghayat Kepercayaan, Selasa, (27/2/2018).

Tiga narasumber utama dihadirkan dalam diskusi ini, diantaranya Abdul Mu’ti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Rikardo Simarmata Dosen Fakultas Hukum UGM, serta Harjo Sudaryono selaku Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia.

Mu’ti mengatakan dengan ditetapkannya putusan ini, terdapat tiga perbedaan respon publik.

Diantaranya ada kelompok yang mendukung, kelompok yang menentang, serta kelompok yang menerima dengan syarat.

Ketiga kelompok ini memiliki pertimbangan-pertimbangan tersendiri.

Di antaranya, kelompok yang mendukung memiliki pendapat bahwa penghayat kepercayaan memiliki status dan kedudukan yang sama dengan penganut agama.

Maka sudah seharusnya status identitas penghayat kepercayaan juga ditulis dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan yang lainnya.

“Menurut kelompok ini, penghayat kepercayaan juga memiliki hak sipil yang sama sebagai warga negara. Ada ibu-ibu yang sudah 63 tahun menikah, namun baru dapat akta nikah setelah putusan ini. Terdapat pula ibu yang memiliki anak, sudah 4 kali mencoba masuk TNI namun selalu gagal. Mereka terkendala dengan adanya kolom agama,” ungkapnya.

Sedangkan kelompok yang menentang menurut Mu’ti, mereka berpendapat bahwa tidak bolehnya penyetaraan penghayat kepercayaan karena dianggap bukan sebagai agama.

Mereka menganggap penghayat kepercayaan sesat dan merusak agama.

“Sedangkan untuk kelompok yang menerima dengan catatan, mereka menganggap putusan MK itu final, namun masih banyak yang harus dipikirkan lagi mengenai kerancuan dalam hal teknis,” terang Mu’ti

Oleh karenanya, Mu’ti menilai masih banyak yang perlu diselesaikan pasca putusan tersebut, di antaranya persoalan internal diantara kelompok penghayat kepercayaan, harus adanya dorongan oleh negara mengenai definisi agama, serta tidak memaksakan kehendak dan bersikap konfrontatif dengan tokoh, ormas, dan membangun komunikasi dengan berbagai pihak.

Sedangkan Rikardo, yang juga dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodiegoeno, FH UGM mengatakan jika masih banyaknya kendala sistem hukum dalam implementasi Putusan MK 97.

Yakni adanya kendala internal dan eksternal.

Kendala-kendala internal tersebut diantaranya dalam aspek administrasi pembuatan peraturan pelaksana, harmoni disharmoni antara Putusan MK dengan perundang-undangan tinggi maupun yang sederajat, serta ketersediaannya lembaga yang melaksanakan Putusan MK 97.

“Untuk kendala eksternal yakni sangat terbatasnya kemampuan sumber daya pemerintah dalam pelaksanaannya. Selain itu juga adanya pengaruh budaya hukum yang membentuk pemahaman masyarakat atas Putusan MK 97,” ungkap Rikardo.

Sedangkan Harjo, mengatakan terdapat dua jenis penghayat kepercayaan.

Ada yang menyatakan bahwa dirinya penghayat murni.

Namun, banyak juga penghayat yang menganut salah satu agama resmi.

“Untuk penghayat yang menganut agama resmi, dalam sikap dan kesehariannya terutama dalam laku batinnya adalah menjalankan proses diri dalam penghayatan terhadap Tuhan yang Maha Esa, dan dalam pergaulan bermasyarakatnya menjalankannya syariat agama,” ungkapnya.

Harjo juga mengatakan bahwa antara penghayat murni dan penghayat beragama walaupun ada perbedaan pemahaman, namun keduanya tetap dalam kerukunan sesama penghayat kepercayaan.

“Mereka sepakat untuk mempertahankan nilai kearifan lokal sebagai pondasi pembangunan budi luhur dan tetap dalam kebersamaan,” terang Harjo (TRIBUNJOGJA.COM).

http://jogja.tribunnews.com/2018/02/...aksimal?page=3

Sudah saatnya maksimalkan pelayanan kepada Penghayat kepercayaan bahkan kalo perlu hapus kolom agama di ktp
0
1.1K
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan