

TS
gatra.com
Barnabas Suebu Disarankan Ajukan Grasi

Jakarta, Gatra.com - Dekan Fakultas Hukum Universitas Borobudur (Unbor), Prof Dr. Faisal Santiago, menyarankan agar mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, menempuh langkah hukum mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Faisal menyampaikan pandangan tersebut dalam diskusi tentang hasil eksaminasi putusan Barnabas Suebu yang dilakukan tim panel dari Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) di Jakarta, Jumat malam (22/12).Menurutnya, hasil eksaminasi atas Putusan Perkara Nomor 7/Pid.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PST dan Putusan Perkara Nomor 01/PID/TPK/2016/PT.DKI terpidana Barnabas Suebu terdapat ketidakadilan dan sejumlah kelemahan sebagaimana hasil eksaminasi."Kita harusnya hormat kepada hakim karena kita berada di negara hukum. Pasti untuk selesaikan hukum di pengailan, tapi begitu di pengadilan tidak menciptakan keadilan, inilah yang terjadi," ujarnya.Santiago menilai Presiden Jokowi mempunyai hati nurani karena betapa beratnya membangun Papua. Jokowi bisa merasakan hal tersebut karena saat ini sedang membangun di sana dan pernah meninjau langsung."Artinya, dia [Jokowi] tahu kondisi rakyat di Papua. Jadi langkah berikutnya untuk mendapat keadilan yaitu melalu grasi. Saya yakin presiden kita ini punya hati nurani," ujarnya.Pembicara lainnya adalah aktivis HAM, HS Dilon. Menurutnya, Barnabas Suebu merupakan pejuang HAM karena ingin mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua. Dia melakukannya dengan membangun Papua."Dari saya sebagai aktivis HAM, Barnabas Suebu itu pejuang HAM karena ingin mengangkat harkat rakyat yang selama ini terpinggirkan," katanya.Seperti pendapat Hakim Agung Prof. Dr. Gayus Lumbuun, lanjut Dilon, seorang atau pihak yang merasa tidak mendapat keadilan, maka bisa mengajukan langkah hukum di antaranya Peninjauan Kembali (PK) dan grasi.Menurut Gayus, putusan hakim itu merupakan mahkota keadilan sehingga harus mencerminkan keadilan. Namun faktanya, banyak hakim yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) karena menerima suap untuk mengatur putusan.Selain itu, hakim juga manusia yang tidak luput dari kesalahan sehingga eksaminasi harusnya merupakan upaya untuk mengoreksi putusan. Namun sampai hari ini, eksaminasi tidak menghasilkan perubahan."Harusnya hasil eksaminasi ini mengubah putusan yang salah, ini mesti targetnya. Hakim manusia biasa, saya juga manusia biasa, mungkin saya salah," katanya.Adapun eksaminasi putusan Barnabas dilakukan APPTHI oleh tim panel terdiri dari 5 orang dari 5 universitas yakni Dr Anton F Susanto, Dr M Syamsudin, Abdul Fickar Hadjar SH, MH, Dr Farhana Rasjidi, dan Dr Iur Asmin Fransiska.Tim panel eksaminasi menilai terdapat sejumlah kekeliruan di antaranya penerapan pasal yang didakwakan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kurang tepat. Sebab, Barnabas didakwa melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) Tipikor.Pasal 3 ditujukan untuk yang tergolong pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2. Sedangkan ketentuan Pasal 2 diperuntukkan bagi mereka yang tergolong bukan pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3. Karena itu penggunaan Pasal 2 UU Tipikor kepada Barnabas adalah kurang tepat.Menurut tim panel, putusan hakim juga lebih berorientasi pada asas legalitas formal. Sedangkan asas legalitas formal banyak mendapat kritikan dan kurang sesuai dengan semangat yang dibangun dalam UUD NRI 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman yang melengkapi asas legalitas yang tercantum dalam KUHP.Hakim kurang memperhatikan faktor jasa atau pengabdian Barnabas kepada negara atau pemerintah saat menjabat gubernur Papua selama dua periode. Barnabas selaku gubernur, membangun PLTA dalam rangka melaksanakan kebijakan nasional.Pembangunan PLTA juga sangat positif yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah. Selain itu, pembangunan PLTA juga memperhatikan lingkungan dengan kebijakan tentang perlindungan hutan di mana 70% dari total hutan di Papua harus dilindungi, sehingga sungai-sungai dapat dimanfaatkan untuk membangun PLTA.Barnabas awalnya divonis 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Kemudian diperberat oleh PT DKI Jakarta menjadi 8,5 tahun penjara serta hak politiknya jga dicabut selama 5 tahun setelah menjalani masa pidana.Tak terima vonis yang menjadi lebih berat, Barnabas kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Namun majelis PK yang diketuai Artidjo Alkostar dengan anggota MS Lumme dan Salam Luthan menguatkan putusan PT Jakarta.Barnabas divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan proyek Detailing Engineering Design PLTA Sungai Memberamo, Papua sehingga merugikan keuangan negara.
Reporter: Iwan Sutiawan
Sumber : http://www.gatra.com/hukum/300771-ba...n-ajukan-grasi
---


anasabila memberi reputasi
1
468
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan