Kaskus

Story

rahmilfAvatar border
TS
rahmilf
FATWA NEGERI
Siang itu begitu terik. Peluh mengucur sekujur badan dua centeng nakal negeri ini. Dia adalah Bonar dan Sutardjo. Kali ini ulah mereka sangat ramai diperbincangkan warga. Belagak artis, mereka tak hiraukan semua ocehan gamblang, yang mereka tahu hanya berjuang demi sesuap nasi di rantau orang. Keluar masuk penjara sudah bukan problema lagi bagi mereka. Menjadi bulan- bulanan masa adalah tantangan terbesar mereka. Tapi itu semua tak cukup membuat Bonar dan Sutardjo jera.

Muadzin mengumandangkan lantunan azannya. Di sudut luar gerbang mesjid, nampak lah Bonar dan Sutardjo tengah duduk di bawah sebuah pohon mangga. Kulit cokelat pekat, kilatan peluh, kalung dan gelang rantai, pakaian sobek- sobek, hingga bau asam dari mereka berdua telak membuat orang yang melintasi jalan itu mengerutkan kening menahan jijik dan takut.

Seolah tak hiraukan orang yang melintas, mereka tetap asyik mengota perihal negara dan setiap permasalahannya.

“Bonar, apa yang kau tahu tentang negeri ini?” Oceh Sutardjo sambil sesekali mengipas- ngipas dengan sebuah koran bekas.

“Aku tahu, negeri ini miskin.” Sangkal Bonar yang sedang mengurut- urut tapak kakinya.

“Walah dalah, Kau salah besar Bonar. Aku baru saja membaca koran bekas dari keranjang sampah depan rumah Tuan Besar itu bahwa ada yang baru tertangkap karena memakan uang rakyat. Jika uang rakyat dicuri berarti rakyatnya kaya, benar tidak?” Ungkap Sutardjo menghentikan aksi mengipasnya.

Sutardjo menyodorkan koran bacaannya kepada Bonar. Bonar langsung mendekati Sutardjo ingin melihat apa yang sedang dibaca Sutardjo.

“Benar juga, ya?” Seraya mengangguk, Bonar yang sebenarnya tidak bisa membaca bisa mengerti apa permasalahan di dalam koran tersebut dari gambar orang yang diborgol tangannya.

“Alaah. Apa kau bisa baca ini, Bonar?” Sutardjo mendecak tak percaya jika Bonar mengerti apa yang disampaikan oleh koran bekas itu.

“Tidak. Tapi aku paham dari gambarnya. Kau kan tahu Tardjo, aku tidak pernah belajar membaca sebelumnya. Apalagi harus menandingimu yang sudah sarjana. Tapi, mengapa kau tidak bekerja, Tardjo?” Dengan kening berkerut, Bonar mempertanyakan status Sutardjo yang tidak semestinya ikut maling dengannya.

“Mencari kerja di negeri kita ini sulit, Bonar. Semua perusahaan dikuasai oleh bangsa asing. Biarlah tidak bekerja kalau harus mengabdi bukan untuk bangsa sendiri. Jika bekerja di pemerintahan, rasanya aku tidak sanggup melihat mereka yang selalu mengkhianati keberadaan rakyat.” Sutardjo melihat nanar ke depan seolah membayangkan betapa naasnya kehidupan negeri kala ini. Dengan mata berkaca- kaca ia tetap membayangkan kemelaratan, anak- anak jalanan, kriminalitas, onggokan sampah, bencana, kesenjangan sosial. Kaya semakin kaya, miskin semakin miskin.

“Apa yang mereka lakukan dengan rakyat, Tardjo?” lontaran kata dari mulut Bonar menyadarkan cenungannya.

“Seperti orang itu, Bonar. Memakan uang rakyat. Alih- alih mengabdi, mereka hanya bergumam untuk kepentingan pribadi. O, iya ngomong- ngomong tentang orang yang mencuri uang rakyat itu, apa kau mau tahu kelanjutannya?” Sutardjo beralih menatap Bonar.

“Tentu. Lalu Tardjo, dibawa kemana orang itu? Apakah dimarahi seperti kita saat mencuri sepatu berkilat milik Tuan Besar itu?” Bonar kian penasaran dengan lanjutan cerita pencuri uang rakyat.

“Tentu tidak, Bonar. Kabarnya mereka diasingkan ke sebuah rumah mewah.” Sutardjo yang sebenarnya tahu tentang nasib negeri ini, tentang tikus berdasi yang sering ia ceritakan sebagai pencuri uang rakyat itu kepada Bonar mengerti bahwa temannya itu sulit untuk paham jika harus terang- terangan mengatakan identitas tikus berdasi itu. Oleh sebab itu, ia perlahan menceritakan dengan cara lain.

“Tardjo, mengapa orang itu tidak dimarahi seperti kita? Kalau begitu lebih baik kita tidak mencuri sepatu Tuan Besar waktu itu. Kalau aku tahu akan seperti ini akhirnya, lebih baik kucuri saja uang rakyat. Biar diasingkan ke rumah mewah. Tidak malah dimarahi seperti waktu itu.” Bonar menatap ke langit gelap membayangkan jika ia diasingkan ke tempat orang yang mencuri uang rakyat itu diasingkan.

***

Di tengah ketegangan ruangan yang kini berada di hadapan mereka, Bonar dan Sutardjo bersiap- siap untuk menjalankan aksi mereka selanjutnya.

“Apa kau yakin Tardjo?“ Seraya berbisik, Bonar mengungkap keraguannya kepada Sutardjo.

Dari tempat persembunyian mereka, Bonar dan Sutardjo mengintip ke dalam ruangan, melihat situasi yang tepat untuk menggencarkan aksinya.

“Yakin, jika tidak seperti ini, lalu dengan apa kita harus makan?” Sutardjo mentoyol kepala Bonar yang dianggapnya terlalu banyak berpikir.

“Bukankah kita bisa mencuri uang rakyat, Tardjo?” berlagak lugu, Bonar tetap teringat tentang pencuri uang rakyat yang lebih beruntung dibanding mereka.

“Jangan banyak omong kau. Cepat ambil sepatu itu kalau mau diceritakan kembali tentang orang yang mencuri uang rakyat itu.” Sedikit mendorong Bonar untuk mengambil sepatu yang berjejer manis di depan ruangan.

Secepat kilat, Bonar menyelesaikan aksinya, dan secepat itu pula ia berbalik dan lari.

“Lari, Tardjo.” Sambil kesusahan menggamit tiga pasang sepatu berkilat, Bonar terus berlari sekencang- kencangnya diikuti oleh Sutardjo di belakangnya.

***

Kebisingan ibukota telah jadi saksi aksi Bonar dan Sutardjo. Pencuri sepatu yang sudah menjadi rahasia umum. Keluar masuk penjara jadi kebiasaan yang menyenangkan bagi mereka. Masuk sel, berarti mereka pensiun sebentar untuk beristirahat dari kejar- kejaran itu.

“Wah, lumayan untuk hari ini, ya? Ngomong- ngomong dari mana kau tahu cara menghitung duit, Bonar?” ungkap Sutardjo seraya melihat Bonar yang sedang menghitung duit yang mereka dapat dari menjual sepatu curian mereka. Pasalnya, Bonar tidak pernah sekolah, dan tidak tahu baca tulis.

“Sialan kau Tardjo, kau kira aku bengak- bengak kali? Baca tulis aku tak bisa, tapi kalau persoalan duit, aku lebih mahir daripada kau.” Setelah berhenti sebentar menghitung duit itu, lalu Bonar melanjutkan kembali kerjaannya.

“Ini lah ciri- ciri manusia yang sudah punya modal menjadi tikus berdasi. Mata duitan juga kau ya, Bonar? Tapi kurasa lumayan juga lah untuk hasil hari ini.” Seraya merebahkan badannya di onggokan karton, Sutardjo sejenak memejamkan matanya.

“Iya. Tapi kurasa jika kita mencuri uang rakyat, hasilnya akan lebih banyak.” ungkap Bonar agak sedikit meninggi dan emosi.

“Jika kau curi uang rakyat, maka tuan- tuan di gedung itu akan melarat. Musuh kita akan bertambah banyak, Bonar.” tetap dengan mata terpejam.

“Mengapa seperti itu, Tardjo?”
Bonar semakin penasaran dengan cerita lanjutan dari kisah ini. Ia memasukkan duit yang dihitungnya ke dalam sebuah toples wafer bekas. Lalu ia ikut rebahan di sebelah Sutardjo dengan kemudian memejamkan matanya.

“Tentulah seperti itu. Tuan- tuan besar itu akan kehilangan pekerjaannya. Mereka akan marah kepada kita. Rakyat juga pasti marah kepada kita.”

Terlihat sekali lelah dua centeng nakal ini. Mereka tetap berbincang perihal negeri dengan mata terpejam.

“Apakah pekerjaan mereka hanya sebatas mencuri uang rakyat,Tardjo?” Dengan sedikit lebih tenang Bonar menimpali perkataan Sutardjo.

“Tidak. Mereka bertugas melindungi uang rakyat.” Ungkap Sutardjo tetap tenang.

“Maksudnya, Tardjo?” Bonar mengernyitkan keningnya. Sebab ia tidak paham betul apa yang tengah dikatakan Sutardjo.

“Ya, mereka mengkhianati rakyat. Apa kau tahu Bonar, bahwa rakyat adalah kita. Kau dan aku. Kita dikhianati oleh Tuan Besar itu. Mereka mencuri uang kita. Jika kita curi sepatu mereka, apakah kita salah? Bukankah itu tidak seberapa dibandingkan uang kita yang mereka curi?”

Bonar masih memikirkan kata- demi kata yang keluar dari tuturan Sutardjo. Beberapa menit kemudian suasana hening. Sutardjo sudah bermimpi tentang negeri yang makmur. Suara lirik burung- burung. Gemerincing kereta api senja dengan tawa canda orang- orang berwisata di akhir pekan. Anak- anak dengan seragam sekolah. Gadis- gadis belia yang mempesona. Panen yang menuai senyum bahagia dari petani- petani negeri. Keindahan ibu pertiwi yang tak bisa terlukiskan dengan jari- jemari. Tenang.

Di samping itu, Bonar masih saja memaknai tiap kalimat yang ia dengar dari Suatardjo tentang yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Tentang pencurian, Kemalingan, Penghianatan, otak- otak begal, tanah gersang, kebanjiran, kelaparan, kemelaratan, jajahan atas aset negeri, dan kesenjangan. Semua itu adalah fatwa negeri.

***

Note: Bagaimana pendapat agan dan sistahh semua tentang kondisi terkini negeri kita? coment yaa !! emoticon-I Love Indonesia

Usahakan dengan coment yang membangun ya gaannnemoticon-Hansipemoticon-Big Kiss
anasabilaAvatar border
suekethosAvatar border
suekethos dan anasabila memberi reputasi
2
1K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan