- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jepang Sebagai Penjajah yang Jahat


TS
ntapzzz
Jepang Sebagai Penjajah yang Jahat

ULAMA BEDA GENERASI: Gubernur NTB TGB HM Zainul Majdi disambut KH Sholeh Qosim, pendiri Ponpes Bahauddin Al Ismailiyah, Sepanjang, Sidoarjo, Ahad (11/2). HUMAS FOR LOMBOK POST
Quote:
WAKTU perjumpaan Gubernur NTB TGB HM Zainul Majdi dengan pengasuh Ponpes Progresif Bumi Shalawat KH Agoes Ali Masyhuri, Ahad (11/2) berlangsung singkat. Kiai yang akrab disapa Abah Ali harus segera berangkat mengisi pengajian di luar daerah. Sebelum TGB beranjak, Abah Ali menyampaikan dalam waktu dekat ingin segera berkunjung ke Lombok. Bahkan Abah Ali pun menitipkan beberapa pesan untuk TGB.
“Le sampekno TGB. Ben engko paham. (Nak sampaikan TGB, supaya nanti paham),” ucapnya sembari menitip pesan penuh makna.
Selepas itu, TGB bersama rombongan kembali memecah jalur tol Sidoarjo. Kawasan Sepanjang, Sidoarjo menjadi tujuan. Setelah melaju sekitar 30 menit, akhirnya tiba. Deretan bangunan bertingkat bercat hijau menyambut. Pada gapura kecil bertuliskan Ponpes Bahauddin Al Ismailiyah.
Cucu Pahlawan Nasional Maulanasyeikh TGH Zainuddin Abdul Madjid ini langsung turun dari kendaraanya. Dengan langkah tegap ia melangkah menyusuri gang. Setelah berjalan beberapa ratus meter, akhirnya tiba di rumah bercat cokelat. Lelaki sepuh dengan tongkat menyambut TGB, dengan sigap TGB langsung mencium tangannya. Lelaki sepuh ini pun dipeluknya.
“Ayo, ayo ke sini,” ajak kakek ini kepada TGB.
“Kok iso kenal aku iki piye ceritane. Aku iki tukang sapu masjid. (Kok bisa kenal aku ini bagaimana ceritanya. Saya ini tukang sapu masjid),” sambungnya.
Sejatinya bagi warga Nahdlatul Ulama, sosok kakek sepuh ini cukup dikenal. Cukup banyak pejabat yang datang untuk meminta nasehat ataupun doa. Bahkan saat HUT TNI tahun lalu, kakek ini mendapat potongan tumpeng pertama dari Panglima TNI saat itu. Presiden Joko Widodo pun menghampiri dan mencium tangannya. Ya, itulah sosok KH Sholeh Qosim.
TGB mengatakan, kedatangannya meminta doa selamat dunia dan akhirat. Menjadi keberkahan sendiri bisa datang ke Ponpes Bahauddin Al Ismailiyah. Lagi-lagi kakek sepuh ini hanya melempar senyum. Dan manggut-manggut.
“Berapa usianya kiai,” tanya TGB.
“Kalau tahun hijriah saya ini 90 tahun,” sahutnya.
Hal ini sepertinya yang kemudian membuat TGB bertanya, apakah dahulu terlibat dalam perang di zaman kemerdekaan.
Mbah Sholeh bercerita, kalau terlibat dalam barisan Sabilillah dan ikut berperang melawan penjajah. Saat itu usianya sekitar 15 tahun.
“Tapi bagian saya bukan yang bawa bambu runcing, itu Hizbulloh,” katanya.
Mbah Sholeh melanjutkan, di era penjajahan, menurutnya Jepang adalah paling jahat. Meski hanya beberapa tahun menjajah Indonesia, namun perlakuannya pada rakyat Indonesia begitu jahat.
Dalam perjuangan melawan penjajah kala itu, tugasnya bersama kiai lain ikut mendoakan mereka yang tengah bertempur. Kiai dalam barisan Sabilillah ini yang meminta bantuan dari Sang Pencipta. Menggelar manaqib (doa bersama), kemudian melihat secara batin kekuatan musuh.
“Nanti ada nasi di kuaron (wadah tanah liat) di tengahnya ada ayam. Setelah doa nanti dilihat,” ceritanya.
“Saat itu waktu dibedah, hati ayamnya tinggal separuh. Tanda kekuatan lawan tinggal setengah,” lanjutnya.
Dengan serius TGB mendengarkan kisah Mbah Sholeh. Tak berapa lama, TGB pun ditanya apa makna bila diberi sorban oleh seseorang. Pertanyaan ini disertai arah telunjuk tangan ke foto Syekh Muhammad Alawi Al Maliki Al Hasani.
“Itu artinya Mbah menjadi satu dan akan terus bersama-sama,” jawab TGB.
Mbah Sholeh kemudian mengambilkan pigura bertuliskan arab. Ada foto Habib Umar bin Hafid. Ia pun memberikan pada TGB untuk dibaca. Tak berapa lama, kiai sepuh ini mengajak masuk TGB untuk menikmati jamuan yang disiapkan. Di sela-sela makan, sesekali dua ulama beda generasi ini saling bertanya.
Hadirnya TGB rupanya mendapat sambutan hangat dari keluarga Mbah Sholeh. Anak maupun cucu silih berganti meminta foto. Salah satu cucunya pun tahu jika sebelum datang ke kediaman Mbah Sholeh, TGB mengisi pengajian di Masjid Al Falah, Surabaya. Sebelum TGB pamit, gubernur santri ini sempat meminta didoakan. Sumber
“Le sampekno TGB. Ben engko paham. (Nak sampaikan TGB, supaya nanti paham),” ucapnya sembari menitip pesan penuh makna.
Selepas itu, TGB bersama rombongan kembali memecah jalur tol Sidoarjo. Kawasan Sepanjang, Sidoarjo menjadi tujuan. Setelah melaju sekitar 30 menit, akhirnya tiba. Deretan bangunan bertingkat bercat hijau menyambut. Pada gapura kecil bertuliskan Ponpes Bahauddin Al Ismailiyah.
Cucu Pahlawan Nasional Maulanasyeikh TGH Zainuddin Abdul Madjid ini langsung turun dari kendaraanya. Dengan langkah tegap ia melangkah menyusuri gang. Setelah berjalan beberapa ratus meter, akhirnya tiba di rumah bercat cokelat. Lelaki sepuh dengan tongkat menyambut TGB, dengan sigap TGB langsung mencium tangannya. Lelaki sepuh ini pun dipeluknya.
“Ayo, ayo ke sini,” ajak kakek ini kepada TGB.
“Kok iso kenal aku iki piye ceritane. Aku iki tukang sapu masjid. (Kok bisa kenal aku ini bagaimana ceritanya. Saya ini tukang sapu masjid),” sambungnya.
Sejatinya bagi warga Nahdlatul Ulama, sosok kakek sepuh ini cukup dikenal. Cukup banyak pejabat yang datang untuk meminta nasehat ataupun doa. Bahkan saat HUT TNI tahun lalu, kakek ini mendapat potongan tumpeng pertama dari Panglima TNI saat itu. Presiden Joko Widodo pun menghampiri dan mencium tangannya. Ya, itulah sosok KH Sholeh Qosim.
TGB mengatakan, kedatangannya meminta doa selamat dunia dan akhirat. Menjadi keberkahan sendiri bisa datang ke Ponpes Bahauddin Al Ismailiyah. Lagi-lagi kakek sepuh ini hanya melempar senyum. Dan manggut-manggut.
“Berapa usianya kiai,” tanya TGB.
“Kalau tahun hijriah saya ini 90 tahun,” sahutnya.
Hal ini sepertinya yang kemudian membuat TGB bertanya, apakah dahulu terlibat dalam perang di zaman kemerdekaan.
Mbah Sholeh bercerita, kalau terlibat dalam barisan Sabilillah dan ikut berperang melawan penjajah. Saat itu usianya sekitar 15 tahun.
“Tapi bagian saya bukan yang bawa bambu runcing, itu Hizbulloh,” katanya.
Mbah Sholeh melanjutkan, di era penjajahan, menurutnya Jepang adalah paling jahat. Meski hanya beberapa tahun menjajah Indonesia, namun perlakuannya pada rakyat Indonesia begitu jahat.
Dalam perjuangan melawan penjajah kala itu, tugasnya bersama kiai lain ikut mendoakan mereka yang tengah bertempur. Kiai dalam barisan Sabilillah ini yang meminta bantuan dari Sang Pencipta. Menggelar manaqib (doa bersama), kemudian melihat secara batin kekuatan musuh.
“Nanti ada nasi di kuaron (wadah tanah liat) di tengahnya ada ayam. Setelah doa nanti dilihat,” ceritanya.
“Saat itu waktu dibedah, hati ayamnya tinggal separuh. Tanda kekuatan lawan tinggal setengah,” lanjutnya.
Dengan serius TGB mendengarkan kisah Mbah Sholeh. Tak berapa lama, TGB pun ditanya apa makna bila diberi sorban oleh seseorang. Pertanyaan ini disertai arah telunjuk tangan ke foto Syekh Muhammad Alawi Al Maliki Al Hasani.
“Itu artinya Mbah menjadi satu dan akan terus bersama-sama,” jawab TGB.
Mbah Sholeh kemudian mengambilkan pigura bertuliskan arab. Ada foto Habib Umar bin Hafid. Ia pun memberikan pada TGB untuk dibaca. Tak berapa lama, kiai sepuh ini mengajak masuk TGB untuk menikmati jamuan yang disiapkan. Di sela-sela makan, sesekali dua ulama beda generasi ini saling bertanya.
Hadirnya TGB rupanya mendapat sambutan hangat dari keluarga Mbah Sholeh. Anak maupun cucu silih berganti meminta foto. Salah satu cucunya pun tahu jika sebelum datang ke kediaman Mbah Sholeh, TGB mengisi pengajian di Masjid Al Falah, Surabaya. Sebelum TGB pamit, gubernur santri ini sempat meminta didoakan. Sumber
Panjang umur si mbah

Diubah oleh ntapzzz 21-02-2018 07:03
0
3.4K
Kutip
36
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan