matthysse76Avatar border
TS
matthysse76
Pemuda Semakin Langka, Perempuan di Suriah Mulai Khawatir Jadi 'Perawan Tua'


Perang yang melanda Suriah berdampak terhadap kehidupan kaum perempuan muda di negara tersebut.

Seorang mahasiswi Universitas Damaskus, Suriah, bernama Nour dengan sedih mengamati jari manisnya yang "telanjang" karena tak dihiasi cincin pernikahan.

Nasib yang sama menimpa banyak mahasiswi lain di kampus itu karena meski begitu banyak gadis yang masih sendiri, nyaris tak ada pria di kampus tersebut.

Dalam usia yang sudah 30 tahun, Nour sebenarnya sudah siap menikah.

Namun, perang yang masih melanda Suriah membuat para pria pindah ke negara lain, masuk militer, atau tewas di medan pertempuran.

"Saya harap cincin pernikahan bisa menghiasi jari manis saya satu hari nanti," kata Nour yang menolak memberikan nama lengkapnya.

"Namun, tak ada lagi pemuda di sini. Mereka sudah lama pergi. Saya memperhatikan setiap tahun jumlah pria semakin berkurang," tambahnya.

Konflik Suriah pecah pada 2011 yang diawali unjuk rasa menentang pemerintahan Presiden Bashar al-Assad, tepat di saat Nour akan mendapat gelar sarjana ekonomi.

Nour mengingat, setiap pekan dia selalu mendapatkan lamaran dari para pemuda, kini hal serupa tak dialaminya lagi.

"Kini nyaris tak ada pria yang melamar saya. Meski ada yang melamar, mereka tak sesuai untuk pernikahan normal karena jika pria itu sudah berusia lanjut, dia sudah beristri," tambah Nour.


Untuk mengisi waktu, akhirnya Nour memilih kembali kuliah di Universitas Damaskus kali ini di Fakultas Sastra.

"Saya terlalu banyak punya waktu luang. Tak ada teman, tak ada kekasih, tak ada suami," ujar perempuan berambut pirang itu.

"Saya khawatir usia saya akan beranjak tua dan belum kunjung menikah. Untuk masalah ini, saya sudah putus asa," lanjutnya.

Di tengah masyarakat Suriah yang masih konservatif, perempuan biasanya sudah menikah dalam usia 20-an.

Namun, kurangnya "stok" perjaka membuat norma itu kini diabaikan.

"Kini, karena krisis, seorang perempuan bisa menikah dalam usia 32 tahun tanpa mendapat julukan perawan tua," kata Salam Qassem, seorang guru besar psikologi di Damaskus.

Selain mengakibatkan lebih dari 340.000 orang tewas akibat konflik yang sudah memasuki tahun ketujuh ini, ribuan pria kini berada di garis depan pertempuran.

Selain itu, dari populasi 23 juta jiwa sebelum perang pecah, 5 juta orang kini telah meninggalkan negeri itu.

Kondisi itu menghancurkan jaringan sosial warga, terutama para orangtua, yang dulu dengan mudah menemukan jodoh yang tepat bagi putra dan putri mereka.

"Warga dulu saling mengenal atau bisa dengan mudah saling kenal. Kini, keluarga tercerai-berai di banyak tempat," tambah Qassem.

Sejumlah warga Suriah kemudian mencoba mengatasi masalah ini dengan menggelar "pernikahan lewat Skype".

Mereka memberikan otorita kepada pihak ketiga untuk menerbitkan dokumen pernikahan saat mereka saling mengucap janji pernikahan secara daring.

Yusra (31) juga belum menikah dan hal tersebut membuat orangtuanya resah karena khawatir dia akan "ketinggalan kereta".

"Saya tak ingin kamu jadi perawan tua," ujar Yusra menirukan perkataan ibunya.

Yusra menambahkan, sang ibu bahkan menyuruhnya berkeliling untuk mendapatkan jodoh.

Namun, seperti halnya Nour, Yusra yang bekerja sebagai penerjemah untuk Pemerintah Suriah menemukan sebagian besar orang di sekelilingnya adalah perempuan atau pria tua.

"Sebagian pemuda pergi ke luar negeri. Sebagian lainnya bertempur. Masalah ekonomi juga membuat mereka berpikir soal menikah. Belum lagi para pria yang tewas selama tujuh tahun terakhir," ujar Yusra.

Kondisi itu, lanjut Yusra, diperburuk dengan masalah sektarian yang makin meruncing di Suriah sehingga orang-orang dengan latar belakang agama berbeda nyaris tak mungkin untuk menikah.

Perang juga membuat inflasi meroket, pengangguran meningkat, dan kerugian ekonomi mencapai sekitar 225 miliar dollar AS.

Kondisi perekonomian yang amat buruk ini membuat Firas (37) menyingkirkan pikiran untuk menikah.

"Biaya hidup yang melonjak dan faktor ekonomi lainnya membuat menikah menjadi sebuah hal yang mustahil," ujar pria yang bekerja di toko reparasi mesin cuci di Damaskus.

Apalagi, peluru mortar yang dilepaskan pemberontak beberapa kali mendarat di luar tokonya sehingga membahayakan dirinya dan para pelanggan.

"Saya tak bisa merencanakan masa depan. Saya hanya menjalani hidup dari hari ke hari. Hanya Tuhan yang tahu apakah saya masih hidup besok," kata Firas.

"Mereka yang menikah dalam kondisi saat ini sudah gila. Saya tak bisa menjamin keselamatan diri sendiri, jadi bagaimana saya bisa menjaga istri dan anak saya kelak?" tanyanya.

Di distrik lain, tak jauh dari lokasi toko tempat Firas bekerja, seorang mahasiwa musik Munzer Kallas menggantung kalender besar di dinding kamar tidurnya.

Pada kalender itu beberapa tanggal ditandai lingkaran tebal berwarna merah. Lingkaran merah itu menandati batas akhir jawaban beasiswa untuk belajar di luar negeri.

"Saya tak berpikir untuk menikah sama sekali. Pernikahan butuh stabilitas dan saya ingin menyusul kakak saya ke Jerman," ujar Kallas (26).

"Saya lebih baik mencari tiket pesawat ketimbang mencari calon istri," tambahnya.




http://www.tribunnews.com/internasio...di-perawan-tua


sebelahblog
anasabila
anasabila dan sebelahblog memberi reputasi
2
2.4K
24
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan