Assalamualaikum,
Salam Silaturahmi bagi para Pejalan di seantero jagad Nusantara.
Ane hanya ingin berbagi kisah berkelana di Tanah Marapu alias Pulau Sumba selama 30 hari nih, gan. Tepatnya di daerah Sumba Timur. Perjalanan ini bukan mengutamakan piknik, rekreasi, atau openg trip. Jadi tak banyak ngebahas tentang tempat wisata. Ane sendiri lebih senang dibilang Musafir. Musafir Gembel lebih tepatnya.
Kurang lebihnya saya mohon maaf kalo ada salah-salah tulisan atau format. Maklum ini first Thread ane
Dibutuhkan saran dari para suhu-suhu kaskuser agar apa yang saya tulis lebih baik lagi.
Selamat membaca!!!
Tanah Marapu day 1
Bermewah-mewah dulu, susah mah belakangan.
Biasa kalo kemana-mana naek motor, ini malah naek pesawat kecil. Enak sih berasa mewah, tapi mabok deh jadinya. Kepala, perut, mental dan perasaan berasa diobok-obok di atas langit. Liat ke luar jendela isinya laut semua. Mana tinggi bener!
Terbayang kasus-kasus kecelakaan pesawat yg bangkenya masih belum ditemukan. Terkadang gue melihat surga udah ada di depan mata. Anehnya gue masih belum mau pergi ke surga dulu. Gue masih pengen kimpoi dulu. Makanya gw berdoa dengan segenap jiwa raga biar surganya dipindahin nanti setelah gue nikah, punya anak, cucu, terus keliling dunia sekeluarga. Amin!
Alhamdulillah, Allah mendengar doa gue. Gue selamat sampe tanah Sumba. Walaupun otak dan isi perut gue masih mabok, melihat sekitar masih berasa goyangannya. Istilah Jetleg itu sampe terbawa ketika gue lagi duduk berdoa di dalem masjid.
Kepala gue makin pusing. Perut mual. Gue melihat sekitar. Hordeng masjid dan lantai yang gue dudukin sampe ikut-ikutan goyang. Ahk, Jetleg gue ternyata makin parah! Ruangan masjid bergoyang. Sampe orang-orang di sekitar pun ikut merasakan Jetleg yang gue alami. Terlihat wajah mereka sampe panik. Sampe segitunya simpati mereka ke gue!
Tiba-tiba mereka berlarian keluar dan teriak-teriak, "Gempa, gempaa!". Asyem! ternyata bukan jetleg. Ternyata gempa beneran. Gue pun cepet-cepet keluar dari masjid. Mental dan perasaan gue makin ngedrop.
6,6 SR. Tingkat gempa yang terjadi malam itu. Pulau Sumba berhasil membuat gue mabok. Penyambutan yg sangat luar biasa syekaleee dari alam Sumba. Tanah Marapu.
Tanah Marapu day 2
Mereka Anak-anak Pulau Sumba. Sejak pertama datang ke tempat ini langsung dikerubungi gitu sama mereka. Lucu-lucu. Tadinya gue mau traktir es krim, tapi karena gak ada yg jual, gue kasih permen tolak angin aja biar badan mereka sekuat macan *apaansi*
Ini hari kedua gue di Pulau Sumba. Mabok dan Syok gue agak sedikit hilang ketika sore hari temen gue ngajak pergi ke salah satu bukit yang lagi hits jaman now. Bukit Wairinding namanya. Aih, keren lah pokoknya!
Kalo mau masuk pelosok-pelosok di Pulau Sumba itu harus pake motor atau mobil yang disebut Hilux kayak gini. Soalnya treknya beneran sadis. Tapi bagi gue naek mobil beginian sama aja, bikin gue mabok. Kecuali kalo gue duduk di bak belakang mobil sambil liat pemandangan cakep.
Dari satu kampung ke kampung lain itu jauh bener. Tiap rumah kadang jaraknya jauhan. Naik turun bukit, jalannya belok-belok, mana panas terik. Ampun dah! Overol orang-orang disini ramah-ramah. Sesusah apapun mereka, bakalan menjamu kita dengan sepenuh jiwa.
Selain rumah-rumah yang unik, yang membuat gue tertarik ada sebuah batu berdiri tegak di sekitar rumah. Sebuah batu persegi yang ditopang 4 pilar batu. Bentuknya mirip kayak batu megalitikum gitu. Gue pun berniat naik ke atas batu itu. Tapi sebelum gue naek, gue udah ditegur duluan. "Itu kuburan, Mas!" Glek! Gue langsung mundur seribu langkah.
"Itu biasanya kuburan leluhur jaman dulu. Semakin tinggi kedudukan orang disini, batu untuk kuburannya akan semakin besar," temen gue, Uche coba menjelaskan.
Gue pikir itu batu untuk menjemur hasil pertanian atau celana dalem. Ternyata gue keliru. Untung gue gak jadi duduk di atas leluhur mereka. Bisa-bisa gw dikeroyok warga disini. Masih untung cuma dikeroyok, kalo dijadiin pakan Babi gimana? Kan gak lucu!
Spoiler for Tanah Marapu day 3:
Masjid adalah bangunan langka di Pulau Sumba. Terdapat hanya di kota saja. Karena di Pulau Sumba ini mayoritas agama kristen.
Sekalipun muslim hanya jadi minoritas, tapi setiap yang solat di masjid itu terisi setengahnya. Contohnya di Masjid yang ada di pusat kota Waingapu, Sumba Timur ini. Jamaah yang solat berjamaah bisa sampai 4-5 shaf panjang. Berbeda dengan di daerah gue yang mayoritas islam, Masjid hanya terisi satu shaf, itu pun hanya berisi 4-5 orang saja. Kebalikannya banget! Haha
Meskipun muslim di Sumba hanya minoritas, tapi mayoritas semua pergi solat ke masjid. "Banggalah karena islam, bukan bangga karena mayoritas," ucap seorang bapak tua ketika kami sedang mengobrol di pelataran samping masjid sambil menunggu solat isya. Senang rasanya sudah sampai di Sumba ini. Bisa melihat perjuangan Islam Minoritas menegakan agama Allah.
Malam semakin larut. Dari masjid gue berjalan kaki menikmati pemandangan kota Waingapu menuju tempat bermalam sementara. Dalam pikir, banyak pelajaran yang gue ambil dari masyarakat Sumba, terutama muslim di Sumba.
Jihad bukan hanya perang, tapi bagaimana kita berjuang agar selalu istiqomah dalam menjalankan ibadah, sekalipun ditempat yg menjadikan islam sebagai minoritas. *Sok bijak banget yak, gue!*
Gue berhenti di depan patung pacu kuda tradisional sumba. Hewan yang satu ini memang telah dijadikan simbol hewan Tanah Marapu. "Ah, liat patung ini tetiba gw jadi pengen nyusu kuda binal!" *Eh*
Spoiler for Tanah Marapu Day 4:
Berjalan menelusuri sudut kota Waingapu di panas terik matahari yg tak mau menurunkan suhunya sedikit pun. Kecuali kalau malam tiba.
Beberapa orang menggelar hasil kebunnya di trotoar jalan dengan hanya beralaskan terpal berukuran 2 meter. Namun tak ada alas untuk menghalangi kulit mereka dari sengatan matahari yang terik.
Di atas terpal kecil itu menumpuk hasil kebun. Ada mangga, kelapa, jambu air, kacang rebus, ikan, dan sayur mayur.
Gue beristirahat di dekat gedung yang sudah hancur dan usang. Cuaca Sumba memang panas terik. Tapi pemandangan langit Sumba sangatlah menarik. Anak-anak berkejar-kejaran riang di lapangan depan gedung. Muka belepotan penuh debu bercampur ingus. Ah, masa-masa dimana tidak ada beban hidup.
Gue pun kembali ke penginapan sementara. Di tengah malam gue kembali melewati jalur yang sama. Pedagang-pedagang itu masih setia di trotoar menunggu dagangannya habis. Seorang ibu tua tidur tak beralas dan tak beratap. Tak ada yg berkurang dari yang ia jual tadi sore.
Seorang dari mereka menebar senyum ke arah gue. Warna orange pinang menghiasi senyumnya. Ah, andai saja gue punya uang sekarung, pasti gue sudah membeli semua dagangannya! Tapi gue hanyalah seorang musafir gembel. Yang gue bisa hanya membalas senyumannya.
Spoiler for Tanah Marapu Day 5:
Tak ada makan, kita makan babi. Tak ada uang, kita jual kerbau. Tak ada mainan, kita main anjing.
Masyarakat Pulau Sumba memang tak bisa lepas dari hewan-hewan tersebut. Babi, kambing, kerbau, sapi, anjing, kuda, merupakan hewan yang selalu ada di setiap rumah. Meskipun rumah mereka hanya gubuk sederhana, tapi ternak yang mereka pelihara jumlahnya puluhan ekor. Hewan-hewan itu berkeliaran mencari makan tanpa penjagaan.
Setiap orang diharuskan mempunyai hewan ternak, karena setiap ada acara adat, acara pernikahan, atau bahkan kematian salah seorang anggota keluarga, selalu diadakan pesta besar-besaran. Puluhan ekor sapi, kambing, kuda dan babi menjadi hewan yang wajib dipotong. Begitu pun kalo ada tamu seperti gue ini, mereka tak segan-segan memotong ayam ataupun kambing untuk jamuan. Padahal gue hanyalah tamu antah berantah yang hanya ingin bersilaturahmi dengan mereka (dibaca: numpang tidur)
"Karena tamu adalah raja! Kami akan menjamu dengan apa yanh kami punya." Jelas Ibu Konga sambil memberikan ayam untuk gue sembelih (secara mereka tau kalo dalam Islam ada tata cara untuk prosesi penyembelihan hewan).
Dan ini perdana gw motong ayam. Hasilnya bisa dibayangkan sendiri. Seorang pemuda ganteng nan polos tak berdosa disuruh motong leher ayam, yang kalo motong bawang aja udah nangis lillahitaala. Fiuh!
Spoiler for Tanah Marapu Day 6:
Gak usah jauh-jauh ke afrika. Di Pulau Sumba pun udah mirip. Alamnya, orang-orangnya, bahasanya yang kayak cabe kriting, cuacanya yang panas mentereng, susah air, susah sinyal, susah nyari cewek cakep *eh*. Gitu dah pokoknya!
Setiap sudut yang dilihat hanyalah bukit-bukit tandus dan kering. Tapi keadaan itu malah membuat pemandangan menjadi eksotis. "Kalo di jakarta sudah musim banjir, tapi di Sumba ini masih musim kering." Ucap Lucas, "tapi kalo sudah musim hujan, pemandangan semua bukit di sini jadi hijau, macam bukit teletubies."
Sore ini gue dan kawan-kawan akan bergerak ke arah Sumba Timur bagian selatan. Kami berangkat dengan menggunakan motor. Gw sempet ragu berangkat di sore hari, karena otomatis kita akan kemalaman di jalan. Masalahnya di Sumba ini jarang ada kampung, kebanyakan, yah, bukit tandus yang super luas. Kalo motor mogok di tengah jalan, ya tamat lah sudah. Apalagi pas Lucas bilang banyak kejadian begal, mental gue langsung drop. Muka gue pucet. Mereka tertawa melihat ekpresi gue.
"Tenang, Mas, begal itu banyak di Sumba bagian Barat, kalo Sumba timur itu aman sudah. Jalan sampai tengah malam pun aman." Perasaan gue sedikit lega. Gue memang pernah di begal beberapa tahun kebelakang, dan sampai sekarang masih trauma dengan begal. Deg degan aja kalo ketemu begal, apalagi kalo ketemu dengan kamu *Eaaa*.
Spoiler for Tanah Marapu Day 7:
My Trip My Prihatin
Selalu dan selalu. Disuatu perjalanan pasti ada yang namanya kendala atau masalah yang selalu menghambat. Itu mutlak. Karena itu sudah bagian dari perjalanan.
Siapa pun orangnya pasti pernah mengalami masalah dalam perjalanan. Termasuk gue yang tiap kali ngebolang, tiap kali itu juga selalu ada masalah yang bikin prihatin. Miris lah pokoknya mah!
Ketika kami sedang menuju Sumba Timur bagian selatan, atau persisnya menuju daerah Tawui, jalan yang dilalui beneran jelek mahadahsyat. Sempit. Cuma muat satu mobil. Apalagi pas masuk ke hutan Wanggameti, jalan bebatuan tajem gede-gede banget. Kadang kendaraan harus menyebrangi anak sungai sampe 6 kali.
Sebenarnya awal berangkat itu ada 5 buah motor. Satu motor yang dibawa sama yang namanya Erik muter balik akibat mogok. Satu lagi motor Si Simon sedang berjuang melawan mogok akibat businya selalu kebanjiran. Bayangin aja udah 5 kali doi mogok.
Motor yg kami pake memang semuanya sudah gak layak pake. Apalagi jalan yang dilalui kejam kayak gini. Tapi mau gimana lagi. Cuma itu motor yang kami punya.
Penderitaan gak sampe disitu doang. Motor yang gue pake, rem belakangnya mendadak copot. Besi penghubung rem masuk ke jari-jari roda. Alhasil roda bagian belakang ngunci. Gak bisa maju, gak bisa mundur. Besi penghubung remnya bengkok. Dan parahnya kami mogok ditengah hutan taman nasional yang rimbun banget, plus pas tanjakan curam, plus menjelang malam pula, plus gak ada kamu *Ehem.
Spoiler for besi penghubungnya masih bengkok. sebelum dilurusin malah hampir leter O.:
Allah memang gak pernah menelantarkan hamba-hamba Nya. Saat kami sudah pasrah di tengah rimba yang sepi, seseorang menyuruh Motor malang itu dinaikan ke atas bak mobil Hiluxnya. Aih, padahal tuh mobil penuh dengan barang-barang bawaannya. Daripada kami bermalam di hutan, mending kami turuti tawaran orang itu.
Akhirnya kami susun yang ada di bak mobil sedemikian rupa agar si motor bisa naek dan membawa kami ke Tawui. Dan yang bikin gue tambah prihatin, gue mesti duduk di atas motor tersebut. Posisi gue duduk udah kayak naek odong-odong rasa dufan. Kebanting kiri kanan, loncat-loncatan menerjang jalan ancur Sumba, dan yang lebih horor lagi menembus gelap gulita malam hutan Sumba.
Spoiler for malam mencekam:
Mulut gue sepanjang perjalanan gak pernah berenti komat kamit.
Dan pantat gue. . . .
Hmmmm!
Salam Prihatin!
Spoiler for udah kayak naek odong-odong. haha:
Spoiler for Tanah Marapu Day 8:
Suasana gelap menyelimuti kami yang tengah beramai-ramai menggerumuti nasi bungkus. Beralaskan tikar bercahayakan senter. Namun tak mengurangi rasa keharmonisasian dalam kebersamaan.
Ini bukan di hutan. Bukan di laut. Bukan di kolong jembatan. Bukan pula sedang kemping ala ceria. Ini di dalam rumah di suatu kampung yang masih berjuang dengan kegelapan malam. Tak ada listrik PLN seperti di kota tempat kita tinggal. Hanya lampu minyak yang di gunakan pada tiap rumah. Lebih parahnya, tak ada sinyal telepon genggam. Ini Indonesia, yang katanya sudah merdeka. Iya, Katanya!
Kemarin malam kami tiba pukul 9 malam. Badan gue berasa remuk diguncang jalanan Sumba selama 4 jam di atas bak mobil hilux. Setengah badan gue terlapisi debu jalan. Buktinya di siang hari terlihat pada jaket yang gue pake berubah warna dari biru menjadi coklat. Ah, padahal baru kemarin gue cuci bersih setelah beberapa bulan gak dicuci.
Oia, Semalam kami tidur di rumah Bapa Desa (Bapak Kepala Desa). Bapa dan Mamak desa dengan senang hati menerima kami yang notabennya orang tak dikenal. Mamak Desa mengantarkan beberapa gelas Kopi Sumba dalam sebuah nampan. Gue sempet ragu meminumnya karena takut maag kronis gue kambuh dipelosok antah berantah. Sudah 2 kali gue masuk UGD gegara maag kronis gue kambuh. Merepotkan memang.
"Tenang ini kopi asli sumba, tanpa campuran seperti yg dijual ditempat kalian," Jelas mamak desa. "Kopi asli tidak membuat lambung sakit". Dan benar, untuk kali pertama setelah 3 tahun pensiun, gue minum kopi lagi. Tanpa ada efek pada lambung. Aman. Rasa kopinya, selezat pemandangan pantai di Sumba.
Spoiler for kopi sumba timur:
Terima kasih Mamak Desa, Gue jadi bisa minum kopi lagi!
Spoiler for Tanah Marapu Day 9:
Ini temen jalan gue di Sumba dari Jakarta. Namanya Danny, biasa dipanggil Dani, tapi kadang sama mamaknya sering disebut Dany *gak penting bgt yah?*
Penting menurut gue karena doi suka photografer. Jadi waktu jalan bareng di Sumba, gue udah kayak bawa photografer pribadi. Tiap ada tempat yang keren gue suka mintai dia buat motoin. Kami udah sepakat buat membentuk komunitas Pria Gondrong Tamvan Ruvawan, karena rambut kami yang sama-sama gondrong dan tamvan.
Waktu jalan, kami lebih seneng naik di bak mobil hilux. Namanya juga nebeng, kalo duduk di dalam mobil ya gak sopan. Puncaknya ketika motor yang kami tunggangi mogok akibat rem copot di tengah hutan Wanggameti, motor kami angkut di bak mobil hilex dan gue sama doi nemenin motor itu di bak mobil biar gak kabur loncat keluar bak mobil. Empat jam kami terpontang-panting di atas bak mobil hilux, berselimut debu, bermandikan malam gelap gulita.
"Ini kali pertama gue backpacker prihatin kayak gini!" Dia berkeluh kesah. Gue hanya tertawa. Doi ngebolang dengan orang yang salah. "Besok bakalan lebih prihatin lagi!" Timpal gue lantas tertawa.
Malam itu kami berpisah. Dia pergi menuju dataran tinggi Praiwitu. Dan gue sendiri terdampar di Tawui. Bener ternyata perkataan gue, keesokan harinya gue dapet kabar kalo doi jatoh dari motor. Dia jadi korban ganasnya jalanan Sumba. Hahaha
Welcome to the Jungle.
Salam Prihatin!
Spoiler for Tanah Marapu day 10:
Tawui Riiyang. Ri iyang yang dalam bahasa Sumba artinya Tulang Ikan. Nama sebuah dusun di ujung selatan Sumba Timur. Perkampungannya pas di pinggir pantai. Ombaknya gede banget soalnya berhadapan langsung dengan samudera. Jika di peta geser sedikit ke bawah sudah kelihatan Benua Australia.
Beberapa orang pergi membawa jaring ikan dipundaknya. Ibu-ibu beriringan membawa ember yang ditaruh di atas kepalanya. Anak-anak kecil ikut membawa jerigen berisikan air. Warga-warga di sini ramah. Senyum hangat dari mereka setiap kali berpapasan.
Gue langsung disuruh makan oleh warga sekitar. Padahal gue cuma numpang duduk sebentar di rumah mereka. Taunya malah disuruh makan. Tanpa pikir-pikir lagi, karena kebetulan emang lagi laper. Rejeki anak soleh.
Lantas Gue disuruh motong ayam. Secara mereka yg beragama kristen tau kalo gue yang beragama Islam punya ritual sendiri kalo mau motong ternak.
Kadang gue suka mikir, bagaimana mereka bisa sebaik itu. Padahal bangunan rumah mereka kurang dari kata nyaman, keadaan mereka prihatin, tapi cara mereka menjamu tamu seakan tidak menunjukan bahwa mereka ini orang-orang tak berkurangan. Gue kadang suka nolak jamuan mereka seperti ini. Gak enak, euy! Masa tiap silaturahmi suruh motong ayam mulu. Tapi percuma aja nolak, soalnya gue terus dipaksa buat makan atau motong ayam.
"Kalo kamu gak mau motong ayamnya, kamu gak boleh pergi dari sini!" Ancam mereka. Dan gue menyerah dengan ancaman mereka.
Tawui Riiyang memang Tulang Ikan. Tapi sebelum menyisakan tulang belulang, tulang itu masih diselimuti daging-daging. Mereka berikan dagingnya kepada orang-orang. Hingga yg tersisa hanya tulang; kering, sisaan, dibuang, kadang dimakan kucing dan anjing. Namun mereka senang menjamu orang, sekalipun tinggal tulang belulang, tapi masih berguna dan di makan untuk mahluk hidup lainnya. Cara menjamu yang mengesankan. Begitulah potret masyarakat di Tawui Riiyang.