

TS
littlefelisa
BAGIAN I
MASA KECIL
Rumah adalah satu-satunya tempat untuk berlindung dan berkeluh kesah, rumah juga menjadi alasan terbaik untuk pulang dan kabur dari semua aktifitas yang menyebalkan di luar sana. Di rumah kita bisa mendapatkan kasih sayang, kehangatan, wejangan dari orang tua dan yang terpenting adalah makan gratis. Tapi rumah juga bisa menjadi alasan untuk pergi, meninggalkan keluarga karena suatu masalah atau memang sudah seharusnya kita tidak berada didalamnya lagi. Entah urusan kerja atau menikah dan ingin hidup terpisah dari orang tua. Kadang kita tidak tahu apa yang akan menjadi alasan kita untuk pergi dari rumah.
20 September 2002
Aku masih kelas 1 SD. Rumahku berada di gang yang hanya muat dilalui satu mobil. Rumah itu katanya adalah milik kakekku yang diberikan kepada bapakku setelah bapak meniah dengan ibu. Sedari kecil aku sudah dibiasakan untuk mandiri. Mengerjakan segala sesuatunya tanpa bantuan orantuaku. Karena mereka tidak seperti orang tua lainnya yang bekerja sebagai karyawan atau PNS. Di desaku menjadi PNS adalah pekerjaan populer saat itu. Aku selalu mengerjakan PRku sendiri, membereskan buku sekolah sendiri dan berangkat sekolah dengan angkot sendirian. Orang tuaku adalah wiraswastawan, dan biasa disebut pedagang atau pembisnis. Di rumah kami yang kecil, kami memiliki toko kelontong yang saat itu belum ada orang lain di desaku membuka toko kelontong. Aku tidak pernah protes, karena sesekali mereka mengajakku untuk berlibur ke luar kota atau sekedar makan di food corner yang ada di super market. Aku tidak pernah marah mereka mengabaikanku ketika aku meminta bantuan, mungkin karena aku masih SD sehingga aku hanya menurut dan tidak paham pada situasi di rumah.
Saat aku naik kelas, aku yang masuk ranking 3 besar pun tidak diantar oleh ibu dan bapakku, aku malah bersama dengan nenekku. Dia menungguku di luar kelas, disana banyak ibu-ibu yang juga menunggu anaknya. Aku kecewa dan marah.
Aku datang menghampiri nenekku yng biasa ku panggih ‘emih’ itu, “Mih.. ibu mana?” tanyaku padanya sambil menarik ujung baju kebayanya. Nenekku dengan tatapan tenangnya menenangkan “ada kok, ibu ke Jakarta dulu sebentar.. katanya beli baju sama boneka bagus buat kamu”. Aku masih merengek minta bertemu ibu, tapi aku malah diajak pulang ke rumah nenek.
“mih, mau ke ibu mih!” kataku sambil terus menarik ujung kebaya nenekku yang mulai lusuh
Nenek sangat sabar menghadapi aku yang saat itu menangis dan iri pada anak-anak lain yang dijemput oleh ibu mereka. Aku merasa ibuku yang seharusnya datang, mengambil raportku dan berkata banyak hal mengenai aku yang berhasil masuk 3 besar, tapi pada kenyataannya aku yang memang tidak mengerti apa-apa hanya bisa merengek dan menangis pada nenek.
Di kepalaku yang saat itu adalah anak SD hanyalah sebuah pertanyaan “apa aku memang tidak diperhatikan?” sejak saat itu dan hari-hari selanjutnya aku seakan dilupakan. Seiring aku yang bertambah besar dan usaha orang tuaku yang semakin sukses aku merasa semakin terlupakan. Bahkan saat aku mengikuti Jambore pramuka, aku tidak pernah seharipun di jenguk, bapak hanya datang saat Jambore selesai.
“kamu kok ibunya ga pernah kesini?” tanya Naya, dia sedang duduk di dekat tenda dan membereskan bekalnya. Aku menggeleng lesu, dan hanya tersenyum saja. “sibuk ya?” tanyanya lagi semakin penasaran. “iya, kan jagain toko” jawabku akhirnya. Naya mengangguk seolah dia paham apa yang kukatakan. Padahal aku hanya asal saja menjawab aku malas ngobrol tentang orangtua.
Padahal aku ini sudah menunjukkan prestasi terbaikku, aku mengharapkan apresiasi dari ibu atau bapak. Aku selalu bilang bahwa aku berhasil menang di olehraga lompat jauh, aku juga mengikuti setiap lomba cipta puisi, aku selalu mendapat nilai bagus saat mengarang cerita, bahkan kacang hijau yang berubah menjadi kecambahpun aku ceritakan. Tapi reaksi mereka biasa saja. Aku mulai merasa berkurangnya perhatian mereka semakin aku tumbuh besar dan menghadapi masa puber. Aku bahkan harus sekolah di boarding school saat SMP. Dan itu membuatku tertekan. Entah ini adalah keputusan yang baik atau bukan, karena sekali lagi aku hanya bisa menuruti apa yang orangtuaku katakan.
Setelah aku menghadapi USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) aku mengikuti ujian masuk ke SMP Negeri terbaik di kotaku, bersama teman-temanku aku belajar dan berharap bisa masuk kesana. Tapi orangtuaku tidak memberikan izin, mereka malah mendaftarkanku ke sebuah pondok pesantren, disanalah semua tekanan-tekanan yang aku dapatkan bermula, dan aku tidak tahu cara mengakhirinya.
Rumah adalah satu-satunya tempat untuk berlindung dan berkeluh kesah, rumah juga menjadi alasan terbaik untuk pulang dan kabur dari semua aktifitas yang menyebalkan di luar sana. Di rumah kita bisa mendapatkan kasih sayang, kehangatan, wejangan dari orang tua dan yang terpenting adalah makan gratis. Tapi rumah juga bisa menjadi alasan untuk pergi, meninggalkan keluarga karena suatu masalah atau memang sudah seharusnya kita tidak berada didalamnya lagi. Entah urusan kerja atau menikah dan ingin hidup terpisah dari orang tua. Kadang kita tidak tahu apa yang akan menjadi alasan kita untuk pergi dari rumah.
20 September 2002
Aku masih kelas 1 SD. Rumahku berada di gang yang hanya muat dilalui satu mobil. Rumah itu katanya adalah milik kakekku yang diberikan kepada bapakku setelah bapak meniah dengan ibu. Sedari kecil aku sudah dibiasakan untuk mandiri. Mengerjakan segala sesuatunya tanpa bantuan orantuaku. Karena mereka tidak seperti orang tua lainnya yang bekerja sebagai karyawan atau PNS. Di desaku menjadi PNS adalah pekerjaan populer saat itu. Aku selalu mengerjakan PRku sendiri, membereskan buku sekolah sendiri dan berangkat sekolah dengan angkot sendirian. Orang tuaku adalah wiraswastawan, dan biasa disebut pedagang atau pembisnis. Di rumah kami yang kecil, kami memiliki toko kelontong yang saat itu belum ada orang lain di desaku membuka toko kelontong. Aku tidak pernah protes, karena sesekali mereka mengajakku untuk berlibur ke luar kota atau sekedar makan di food corner yang ada di super market. Aku tidak pernah marah mereka mengabaikanku ketika aku meminta bantuan, mungkin karena aku masih SD sehingga aku hanya menurut dan tidak paham pada situasi di rumah.
Saat aku naik kelas, aku yang masuk ranking 3 besar pun tidak diantar oleh ibu dan bapakku, aku malah bersama dengan nenekku. Dia menungguku di luar kelas, disana banyak ibu-ibu yang juga menunggu anaknya. Aku kecewa dan marah.
Aku datang menghampiri nenekku yng biasa ku panggih ‘emih’ itu, “Mih.. ibu mana?” tanyaku padanya sambil menarik ujung baju kebayanya. Nenekku dengan tatapan tenangnya menenangkan “ada kok, ibu ke Jakarta dulu sebentar.. katanya beli baju sama boneka bagus buat kamu”. Aku masih merengek minta bertemu ibu, tapi aku malah diajak pulang ke rumah nenek.
“mih, mau ke ibu mih!” kataku sambil terus menarik ujung kebaya nenekku yang mulai lusuh
Nenek sangat sabar menghadapi aku yang saat itu menangis dan iri pada anak-anak lain yang dijemput oleh ibu mereka. Aku merasa ibuku yang seharusnya datang, mengambil raportku dan berkata banyak hal mengenai aku yang berhasil masuk 3 besar, tapi pada kenyataannya aku yang memang tidak mengerti apa-apa hanya bisa merengek dan menangis pada nenek.
Di kepalaku yang saat itu adalah anak SD hanyalah sebuah pertanyaan “apa aku memang tidak diperhatikan?” sejak saat itu dan hari-hari selanjutnya aku seakan dilupakan. Seiring aku yang bertambah besar dan usaha orang tuaku yang semakin sukses aku merasa semakin terlupakan. Bahkan saat aku mengikuti Jambore pramuka, aku tidak pernah seharipun di jenguk, bapak hanya datang saat Jambore selesai.
“kamu kok ibunya ga pernah kesini?” tanya Naya, dia sedang duduk di dekat tenda dan membereskan bekalnya. Aku menggeleng lesu, dan hanya tersenyum saja. “sibuk ya?” tanyanya lagi semakin penasaran. “iya, kan jagain toko” jawabku akhirnya. Naya mengangguk seolah dia paham apa yang kukatakan. Padahal aku hanya asal saja menjawab aku malas ngobrol tentang orangtua.
Padahal aku ini sudah menunjukkan prestasi terbaikku, aku mengharapkan apresiasi dari ibu atau bapak. Aku selalu bilang bahwa aku berhasil menang di olehraga lompat jauh, aku juga mengikuti setiap lomba cipta puisi, aku selalu mendapat nilai bagus saat mengarang cerita, bahkan kacang hijau yang berubah menjadi kecambahpun aku ceritakan. Tapi reaksi mereka biasa saja. Aku mulai merasa berkurangnya perhatian mereka semakin aku tumbuh besar dan menghadapi masa puber. Aku bahkan harus sekolah di boarding school saat SMP. Dan itu membuatku tertekan. Entah ini adalah keputusan yang baik atau bukan, karena sekali lagi aku hanya bisa menuruti apa yang orangtuaku katakan.
Setelah aku menghadapi USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) aku mengikuti ujian masuk ke SMP Negeri terbaik di kotaku, bersama teman-temanku aku belajar dan berharap bisa masuk kesana. Tapi orangtuaku tidak memberikan izin, mereka malah mendaftarkanku ke sebuah pondok pesantren, disanalah semua tekanan-tekanan yang aku dapatkan bermula, dan aku tidak tahu cara mengakhirinya.


anasabila memberi reputasi
1
571
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan