Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

littlefelisaAvatar border
TS
littlefelisa
BAGIAN I - Menjadi Nakal Dalam Pesantren
Menjadi Nakal Dalam Pesantren
     Biasanya seorang anak yang dimasukkan kedalam pesantren atau boarding school adalah anak-anak yang memiliki latar belakang yang buruk, nakal saat SD, atau banyak alasan lainnya. Berbeda denganku, aku bahkan tidak merasa nakal apalagi melawan kehendak orangtuaku. Tapi sekarang aku disini, duduk di kursi paling belakang, memegang sebuah buku kecil bertuliskan “daily vocab” dimana aku harus menghafalkan kosa kata Bahasa Inggris setiap yang setiap malamnya semakin bertambah.
“Pillow! Blanket! Bedcover!” beberapa suara santri lain menghafal dengan berteriak membuat bising. Aku mencoba berkonsentrasi pada hafalanku tapi tidak berhasil. Aku sulit menghafal jika ada orang lain berteriak atau siara berisik yang mengganggu. Aku cukup bisa dalam Bahasa Inggris, tapi aku tidak ingin menunjukkannya pada orang lain.
Ustadzah di depan kelas mulai berdiri dan mengecek kami santrinya yang sedang menghafal. “ayo yang benar ya menghafalnya..” (begitu jika ditranslate dalam Bahasa Indonesia) kami kompak berteriak “Yes, miss!” meskipun aku tahu ada beberapa santri yang menjawab dengan setengah hati.
     Disana aku berteman dengan Ika, dia berasal dari Cisalak daerah pegunungan sehingga dia memiliki Bahasa sunda yang sangat halus. Aku dan Ika berada dalam satu kamar, dimana diisi oleh 10 orang termasuk aku dan Ika. Kami bersama-sama kemanapun, bahkan kami menyukai seorang santriwan(sebutan santri laki-laki di pondokku) yang sama. Tapi nasib baik berpihak pada Ika, karena dia dan yang akhirnya berpacaran dengan Santriwan itu, aku hanya bertugas sebagai tukang pos, pengantar surat, atau penyambung percakapan. Karena santriwan itu satu kelas Bahasa inggris denganku sedangkan Ika berada di kelas lain. Aku senang, meskipun aku tidak bisa memilikinya tapi akulah orang yang selalu bersamanya. Aku merasa jahat pada temanku itu, tapi aku juga merasa senang. Entahlah.. aku bingung bagaimana bilangnya.
“Ka, ini surat dari aa” kataku mengacungkan buku bermotif batik, “traktir di kantin ya” lanjutku sebelum memberikan suratnya. “iya, mana sini ah!” katanya, Ika merebut buku itu dari tanganku. Aku tersenyum. Makan gratis!
     Aku memang dikenal dekat dengan beberapa cowok atau santriwan disini, karena pondok pesantren ini tidak begitu ketat dalam mebuat peraturan sehingga kami masih bisa bertemu dengan lawan jenis. aku bahkan lebih bersemangat saat eskul karate dibandingkan harus ikut kelas kaligrafi. Aku juga sering meminjam buku novel ke kakak kelas cowok yang hobi baca buku di perpustakaan sekolah. Seperti setelah dari kantin, aku pergi ke perpus sendiri, karena Ika pasti akan sibuk menmbaca berulang-ulang surat itu sebelum mebalasnya.
“sst…! Sini..” aku melihat kak Regi melambailan tangannya kearahku, aku berlari menghampiri. “apa?”tanyaku bingung. Kak Regi kemudian masuk kedalam perpus, aku menyusul.
“kamu udah baca buku ini? Tanyanya kemudian, dia menunjukkan sebuah buku milik Helen Dunmore (aku ga tau bener ngga penulisnya itu,tolong koreksi) buku itu bersampul biru seperti air laut. Aku menggeleng, karena selain buku itu tebal aku juga tidak begitu menyukai novel terjemahan.
“ini buku bagus, buku fiksi.. kamu pasti suka” katanya. “masa sih? Kak Regi tau dari mana aku bakalan suka?” tanyaku sambil mencari posisi duduk yang enak di kursi baca yang disediakan perpus. “tau lah..kok kamu sendiri?”tanyanya mengalihkan pembicaraan.
      Sebelumnya, aku akan memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku Kiraya Alviani, aku dipanggil Aya atau ada juga yang memanggilku Alvi. Aku memang sangat menyukai novel tapi tidak untuk novel terjemahan. Aku mengenal kak Regi karena dia seniorku di eskul karate dan kami memiliki hobi membaca, dia juga pembimbingku saat aku mengikuti lomba cipta puisi tingkat SMP. Dia bukan pacar Ika, atau cowok yang aku suka. Aku hanya sebatas mengagumi dan menghormatinya sebagai senior, dia juga baik dan sering meminjamkan buku. Aku juga belajar banyak hal darinya, dan aku berharap kak Regi akan meminjamkan lebih banyak bukunya padaku.

***

     Setahun berlalu, apa yang aku takutkan terjadi. Setelah beberapa temanku tidak betah dan memilih pindah sekolah, aku juga harus rela bergabung dengan orang yang tidak aku kenal. Mulai saat itu aku jadi tidak begitu bersemangat, bahkan aku seperti tidak punya teman. Aku sering melewatkan beberapa jam pelajaran dengan pergi ke perpustakan, atau bolos bareng dengan kak Regi.

“sini aja enak adem kan.. kamu ada kelas apa?” kak Regi duduk di lantai, dibalik meja baca. “Bahasa arab” jawabku singkat, aku ikut duduk di lantai. “kenapa gam au masuk?”tanyanya lagi. “aku ga suka, aku juga susah ngerti bahasanya.. lagian kenapa juga harus bisa bahasanya kan kita ga akan kesana” aku berbicara bukan untuk menjawab pertanyaan kak Regi, tapi untuk sebuah alasan bolosku kepada diriku sendiri. Temanku sekarang hanya kak Regi, dengan Ika sekarang aku bertemu sesekali karena aku memang masih menjadi kurirnya.
     Diam-diam lagi aku mulai merasa nyaman dengan kak Regi, dia sekarang yang bersedia ikut bolos denganku. Kami bahkan punya kode untuk keluar kelas, dengan mnengatur jadwal dan jam belajar di sekolah ataupun di pondok. Kode kami adalah ‘ALOHOMORA’ itu adalah sihir di dalam cerita Harry Potter dimana sihir tersebut berfugsi untuk membuka sesuatu yang terkunci. Aku juga tidak mengerti kenapa bisa kita memakai kata sihir itu untuk kode bolos.





anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.6K
1
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan