- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dipalak PKS 30 Milyar Untuk Biaya Saksi, Tifatul Ogah Ikut Pilkada Sumut


TS
mmo933844
Dipalak PKS 30 Milyar Untuk Biaya Saksi, Tifatul Ogah Ikut Pilkada Sumut
Quote:
Solopos.com, JAKARTA — Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring sebenarnya masuk radar partainya sebagai sosok potensial bakal calon Gubernur Sumatra Utara. Namun, nyatanya partainya mengusung nama lain.
Walaupun lahir di Sumatra Barat, marga Sembiring di belakang namanya mengindikasikan Tifatul berdarah suku Batak Karo asal Sumut. Dia pun menggenggam kursi DPR periode 2014-2019 dari Daerah Pemilihan Sumut I.
Sebagai kader senior, Tifatul menjadi harapan PKS mencetak hattrick di Sumut setelah partai itu menang saat Pilkada Sumut 2008 dan 2013. Kasus yang menimpa kadernya, Gatot Pujo Nugroho, tidak menyurutkan keinginan Partai Dakwah menguasai provinsi tergemuk di Sumatra itu.
Sayangnya, tidak ada nama Tifatul ketika PKS mengumumkan nama jagoannya pada 27 Desember 2017. Partai itu bersama-sama dengan Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional memilih pasangan Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah. Keduanya bukan kader PKS.
Usut punya usut, terpentalnya nama Tifatul rupanya karena keinginan dia sendiri. Mantan Presiden PKS ini ciut nyali tatkala mengetahui kebutuhan dana mengarungi Pilgub Sumut 2018.
“Terus terang, saya mundur untuk Sumut karena tak sanggup lihat hitung-hitungannya,” kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Selasa (13/2/2018).
Tifatul memahami betul ongkos kontestasi pilkada. Lima tahun menjadi Presiden PKS membuat dia dekat dengan soal-soal pencalonan kepala daerah. Contoh paling sahih adalah di Jawa Timur.
Di provinsi itu, terdapat sekurang-kurangnya 75.000 tempat pemungutan suara (TPS). Guna mengamankan suara, setiap kontestan paling tidak membutuhkan 2 orang saksi untuk menjaga lokasi selama 2 hari.
“Kalikan saja 75.000 TPS dengan 2 orang saksi selama 2 hari. Kalau per saksi Rp100.000 per hari maka totalnya bisa Rp30 miliar,” ujar Tifatul.
Di Jatim ada 38 kabupaten dan kota dengan jumlah pemilih 31 juta orang. Sebagai pembanding, Sumut memiliki 33 kabupaten dan kota dengan pemilih 10 juta jiwa dan sekitar 27.000 TPS. Artinya, kontestan butuh Rp10 miliar untuk membayar saksi di Sumut.
Itu baru biaya untuk membayar para saksi saat pencoblosan. Duit lebih besar tersedot untuk sosialisasi, kampanye, lembaga survei, dan pengeluaran lainnya.
Setelah mengkalkulasi, Tifatul pun mengurungkan niat mengejar posisi Sumut-1 atau Sumut-2. Apalagi, pengeluaran jumbo itu tidak mungkin impas selama 5 tahun masa jabatan. “Maju pilkada itu tak bisa bual kosong belaka. Di samping popularitas dan elektabilitas, ada isi tas juga,” katanya.
solopos
Walaupun lahir di Sumatra Barat, marga Sembiring di belakang namanya mengindikasikan Tifatul berdarah suku Batak Karo asal Sumut. Dia pun menggenggam kursi DPR periode 2014-2019 dari Daerah Pemilihan Sumut I.
Sebagai kader senior, Tifatul menjadi harapan PKS mencetak hattrick di Sumut setelah partai itu menang saat Pilkada Sumut 2008 dan 2013. Kasus yang menimpa kadernya, Gatot Pujo Nugroho, tidak menyurutkan keinginan Partai Dakwah menguasai provinsi tergemuk di Sumatra itu.
Sayangnya, tidak ada nama Tifatul ketika PKS mengumumkan nama jagoannya pada 27 Desember 2017. Partai itu bersama-sama dengan Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional memilih pasangan Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah. Keduanya bukan kader PKS.
Usut punya usut, terpentalnya nama Tifatul rupanya karena keinginan dia sendiri. Mantan Presiden PKS ini ciut nyali tatkala mengetahui kebutuhan dana mengarungi Pilgub Sumut 2018.
“Terus terang, saya mundur untuk Sumut karena tak sanggup lihat hitung-hitungannya,” kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Selasa (13/2/2018).
Tifatul memahami betul ongkos kontestasi pilkada. Lima tahun menjadi Presiden PKS membuat dia dekat dengan soal-soal pencalonan kepala daerah. Contoh paling sahih adalah di Jawa Timur.
Di provinsi itu, terdapat sekurang-kurangnya 75.000 tempat pemungutan suara (TPS). Guna mengamankan suara, setiap kontestan paling tidak membutuhkan 2 orang saksi untuk menjaga lokasi selama 2 hari.
“Kalikan saja 75.000 TPS dengan 2 orang saksi selama 2 hari. Kalau per saksi Rp100.000 per hari maka totalnya bisa Rp30 miliar,” ujar Tifatul.
Di Jatim ada 38 kabupaten dan kota dengan jumlah pemilih 31 juta orang. Sebagai pembanding, Sumut memiliki 33 kabupaten dan kota dengan pemilih 10 juta jiwa dan sekitar 27.000 TPS. Artinya, kontestan butuh Rp10 miliar untuk membayar saksi di Sumut.
Itu baru biaya untuk membayar para saksi saat pencoblosan. Duit lebih besar tersedot untuk sosialisasi, kampanye, lembaga survei, dan pengeluaran lainnya.
Setelah mengkalkulasi, Tifatul pun mengurungkan niat mengejar posisi Sumut-1 atau Sumut-2. Apalagi, pengeluaran jumbo itu tidak mungkin impas selama 5 tahun masa jabatan. “Maju pilkada itu tak bisa bual kosong belaka. Di samping popularitas dan elektabilitas, ada isi tas juga,” katanya.
solopos
Diubah oleh mmo933844 13-02-2018 12:01


tien212700 memberi reputasi
1
3.9K
Kutip
41
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan