Kaskus

Entertainment

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Polri dan Perlindungan Religi Pribumi
Polri dan Perlindungan Religi Pribumi

Kamis, 23 November 2017 21:16

Polri dan Perlindungan Religi Pribumi

ilustrasi 

Oleh: Watu Yohanes Vianey
Staf Pengajar Unwira Kupang

POS KUPANG.COM - Sejak tanggal 7 November 2017, para pemeluk aliran kepercayaan di Indonesia yang di bidang akademik keagaamaan juga disebut "religi lokal" atau "agama asli", boleh mencantumkan identitas kepercayaannya pada Yang Sakral dalam KTP Nasionalnya.

Dengan demikian eksistensi religi lokal atau religi pribumi di seluruh Nusantara, diakui kesetaraannya dengan keberadaan agama yang diakui resmi dalam konstitusi negara, yang terdiri dari agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu.

Pengakuan ini mengakhiri semacam diskriminasi sistemik terhadap aliran kepercayaan di NKRI dan dalam konteks yang lebih luas menghargai tradisi lokal Nusantara yang mewarisi secara dinamis sistem religi lokalnya. Hal mana tampak dalam pengungkapan ritual-ritual adat di seluruh Nusantara.

Polri sebagai aparatur negara yang menjaga ketertiban dan keamanan, harus merawat keputusan ini agar kelompok-kelompok fundamentalis dan ultrafundamentalis di negeri ini yang anti agama lain, tidak bikin kacau atau melakukan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan dan berkeadilan.

Seluruh anak bangsa bersama Polri harus menghargai keputusan ini sebagai bagian dari pelaksanaan ideologi Pancasila.

Apa itu ritual? Kata "ritual" berasal dari kata Latin "ritus". Michael Downey (1993) dalam The New Dictionary of Catholic Spirituality, yang pada versi bahasa Inggris menjadi "rite" dan "ritual".

"Rite" adalah kata benda yang memuat makna ritus sebagai `kata kerja' yaitu praksis sebuah upacara atau sebuah perayaan keagamaan (a religious ceremony or a ceremonial act), sedangkan "ritual" memaknai ritus sebagai bentuk upacaranya (a body of ceremony).

Makna realis dan religius dari ritual diartikan sebagai tindakan secara terstruktur yang mengungkapkan hubungan manusia dengan Yang Sakral. Namun dalam makna yang sangat umum ritual itu berarti tatacara dalam upacara keagamaan yang berhubungan dengan Yang Kudus (Dhavamony, 1993).

Selain itu ritual juga berarti suatu tindakkan atau perayaan simbolik yang bertujuan untuk memulihkan tata alam lingkungan dan tata alam sosial, dan menempatkan kembali manusia dan komunitasnya dalam tata alam tersebut dalam rangka berpartisipasi dalam tata keselamatan yang membahagiakan, yang diyakini berasal dari Yang Kudus sebagai sumber keselamatannya (Eliade, 1995).

Dari sisi teologi dan antropologi budaya, terutama dari aliran dan teori difusi kebudayaan, seperti difusionisme Jerman-Austria, yang dikenal dengan sebutan "Kulturkreis", Yang Kudus atau Yang Sakral itu bukan hanya menunjuk Yang Ilahi sebagai Wujud Tertinggi dalam pandangan agama-agama besar, tetapi juga Yang Ilahi yang diwahyukan dalam agama-agama tradisi kecil yang berada di seluruh penjuru 
bumi.

Seorang pendiri dan eksponennya, yaitu Pater Wilhelm Schmith, SVD dan murid-muridnya menjadi peneliti dan pengkaji budaya di bidang ini. Majalah Ilmiah Athropos dari aliran budaya ini konsisten hingga dewasa ini menerbitkan kajian-kajian antropologi ini sejak abad ke-18.

Untuk kasus di Flores, salah satu pioner di bidang ini adalah almarhum P. Arndt, SVD. Beliau meneliti dari Ngadha, Riung, Ende Lio, Sikka, hingga Lamaholot di Flores Timur, Solor, Adonara dan Lembata. Bahkan beliau berhasil menunjukkan data dan analisis deskriptif terhadap fakta adanya agama pribumi Flores. Untuk di Ngadha, terbitan tentang religi lokal dari Anthropos, sudah ada sejak tahun 1929.

Salah satu tuturan ritual yang performatif tentang Yang Kudus dalam tradisi lokal Ngadha adalah adanya kepercayaan kepada Yang Sakral dalam nama kolektif yang diungkapkan baik secara triadik dalam nama "Dewa Saga Telu", maupun secara diadik dalam nama "Dewa Zeta Nitu Zale".

Tahun 1950-an, P. Arndt berbasis teori difusionisme kebudayaan atau teori persebaran kebudayaan, menerbitkan dua karya yang berjudul: "Hinduismus der Ngadha" (`Hinduisme Orang Ngadha), dan Deva das Hoechste Wessen der Ngadha (Dewa, Wujud Tertinggi Orang Ngadha). Kata "Deva" baginya adalah serapan dari bahasa Sansekerta dan tersebar melalui agama Hindu Purba hingga ke wilayah Ngadha.

Kata Ngadha sendiri baginya terhubung dengan nama sebuah wilayah purba di India yang menunjuk pada Kerajaan Magadha. Hingga dewasa ini cukup banyak serapan kosakata Sansekerta dan beberapa atribut simbolik yang berhubungan dengan hinduisme purba yang digunakan dalam ritual lokal, baik ritual berdasarkan siklus hidup, ritual berdasarkan siklus musim, maupun ritual-ritual intensional, yang sesuai dengan kebutuhan para pendukungnya.

Contoh seperti ritual Reba, sebagai jenis ritual berbasis siklus musim, yang dirayakan setiap awal tahun Masehi di wilayah Ngadha. Ritual ini banyak memperlihatkan nilai sakralitas, spiritualitas, dan moralitas yang terhubung dengan religi pribumi dan tertenun dengan hinduisme purba.

Melalui konservasi ritus yang dirayakan, dalam ruang dan waktu tertentu, dengan aneka simbol dalam wujud material, kata dan tindakan yang penuh hikmat dan daya santun memproduksi proses 'transubstansiasi' unsur-unsur materi (bdk. Mzm 33:6-9). Yang dalam konteks ritual Reba misalnya, dalam terang analogia entis, ada keyakinan tentang terjadinya semacam proses transubtansiasi pada tumbuhan dan pangan uwi.

Yaitu dalam dan melalui melalui kata-kata konstitusi tuturan adat "Bura Su'a" dan "Su'i Uwi" pangan lokal itu bermula dari makanan "jasmani" berubah menjadi makanan "rohani". Hal mana secara analogia entis, misteri itu terhubung dengan misteri roti ekaristi yang dirayakan dalam Misa Inkulturasi di wilayah ini, setelah mereka menganut agama Katolik. Pada umumnya, gerak transubstansial yang diyakini dalam perayaan ritual lokal, dalam studi Watu (2009), jelas mengandung daya dan makna sakralitas, spiritualitas, dan moralitas.

Makna sakralitas berkaitan dengan relasi manusia dengan Yang Ilahi, yang mewujud secara signifikan antara lain dalam tindakan korban pemujaan sebagai ekspresi iman manusia kepada Yang Sakral.

Dalam tradisi ritus Reba, tindakan pemujaan itu mulai pada Loka Tua Mata Api di kebun ritual, selanjutnya di tengah kampung di tempat rumah korban Bhaga dan selanjutnya masuk ke ruang rumah tradisional Sa'o Ngaza dalam fungsinya sebagai 'pusat ritual'.

Terutama dalam dimensinya sebagai representasi rumah Tuhan (lesa Dewa), yang ada dan menjadi rumah yang membawa keselamatan (rade zi'a), yang menjadi tempat tinggal manusia yang benar (kopo molo) dan yang baik (lego modhe).

Makna spiritualitas itu berkaitan dengan nilai relasi insani dengan jatidirinya, yang terbuka dan terhubung secara bathin dengan Yang Sakral dalam rangka perjuangan meraih derajat hidup rohani yang sempurna.

Dalam konteks makna spiritualitas ini ada keunikan konsep kejiwaan dan tujuan pengolahan nilai spiritualitas. Dalam tradisi lokal, konsep kejiwaan manusia mengandung unsur kejiwaan yang baik yang disebut waka dan kejiwaan yang jahat yang disebut wéra. Pengolahan nilai spiritualitasnya terarah pada perjuangan untuk hidup sempurna dengan memurnikan jiwa yang baik dan dengannya menguduskan roh (jaga waka milo mae).

Hal itu terarah dalam rangka untuk ada dan menjadi 'pembungkus benih ketuhanan' (kopa Dewa) dan dengan ada dan menjadi 'cerminan wajahNya' (nenu ngia Dewa).

Makna moralitas dari ritual Reba berkaitan dengan relasi manusia dengan sesamanya sebagai ekspresi cinta kepada sesama, yaitu modhe ne'e soga woe, meku ne'e doa delu, ('berbuat baik sebagai teman, berlembut hati sebagai sahabat') dengan mewujudkan prinsip-prinsip etika kepedulian komunitiarian lokal, yaitu etika mesu mora ('kasih cinta').

Praksis yang memuat makna moralitas ini terungkap jelas sampai menjangkau di wilayah publik pada saat acara sumbangan bahan makanan, pembagian makanan dan minuman dalam tahap perjamuan bersama, dan pada tahap pementasan tarian massal O Uwi di tengah kampung.

Dalam dan melalui kepercayaan pribumi, yang dirayakan dalam ritual adat, Kita bangsa Indonesia, sebagai komunitas yang bermoral, bersama Polri wajib terpanggil untuk berbuat baik bagi semua orang dari berbagai kalangan.

Mereka yang lain dengan kita dalam SARA itu adalah 'saudara dan 'sahabat'. Perlindungan religi pribumi adalah tanggung jawab kita bersama. *

http://kupang.tribunnews.com/2017/11...pribumi?page=3

0
1.1K
15
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan