- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
#SFTHChallenge Bom...Bo


TS
nightwarmare
#SFTHChallenge Bom...Bo

Bom...Bo

Akan ku ceritakan kepadamu sobat, sebuah pengalaman yang tak terlupakan yang pernah aku alami selama aku hidup di masa ketika gadget tak pernah digunakan oleh anak kecil seumuranku dahulu. Dahulu, kami menyukai permainan kebersamaan. Sebuah permainan yang sering diwarnai tawa dan juga perdebatan yang bisa dikenang untuk masa sekarang ketika kita sudah beranjak dewasa.

Aku, seorang bocah berumur 10 tahun, dulu sering bermain kesana kemari sampai lupa waktu hingga akhirnya ibuku menghadiahkanku sebuah hantaman sapu di pantatku sampai memerah ketika aku pulang. Tak apa, Ibuku melakukan itu karena itu adalah bentuk kasih sayangnya dalam mendidik anaknya agar menghormati nasehat orang tua.
***
Liburan sekolah adalah waktu yang paling dinantikan oleh anak-anak seumuranku ketika masih senang bermain dan bercanda bersama teman meskipun kita hanya mempunyai sedikit uang. Uang sedikit itu ternyata cukup untuk meraih kebersamaan dengan orang konyol yang tidak tahu akibatnya nanti. Kala itu film kartun cukup populer di tayangan televisi mulai dari subuh sampai siang hari. Tapi, film itu tak aku gubris ketika temanku mengajakku keluar untuk bermain. Sebut saja namanya Feri.
“Assalamualaikum. Ari, ari, ari... kita main yuk...” teriak Feri dari luar rumahku.
“Keras amat Ri neriaknya, gak enak sama ibuk di rumah.” Sambutku kepada Feri.
“Maap deh Ri, aku kan biasanya neriak gini kalo sama sahabat CS aku ini, hehehe” balas Feri.
“Bentar ya, aku mau ijin dulu sama ibuk ya, barangkali dapet tambahan uang jajan juga, haha”.

***
Dengan hati berbunga-bunga bagaikan di taman dunia fantasi, sambil kegirangan kayak orang gila, aku pun menemui ibuku dengan sedikit merayu-rayu agar diijinkan bermain bersama teman sebayaku dan berharap mendapat tambahan uang jajan juga

“Bu, Ibu, Ibuku yang paling jago masak, paling sayang sama anak, dan paling cantik buat Bapak.” rayuku.

Sontak ibuku langsung kaget, terheran-heran, ini anak bagaimana bisa berkata seperti itu, mungkin itu yang beliau gumam dalam hati. Dan ibuku tahu bahwa aku berperilaku seperti itu pasti ada maunya.
“Ini anak kesambat apa ya, kok bisa ngerayu ibunya kayak pujangga cinta?” senyum ibu kepadaku.
“Enggak kok bu, Ari Cuma mau ijin sama Ibuk. Ari mau bermain sama Feri dan temen-temen di luar. Boleh ya Buk? Ya Buk ya? Ya Buk ya?”
“Alah, kamu mau main apa? Mau ke sungai? Tau sendiri kemarin tercebur di sungai kecil sana kamu gak bisa berenang. Bikin susah orang tua kalo kayak gitu.”
“Enggak kok Buk, Ari cuma bermain sama Feri di kampung. Enggak main ke sungai lagi atau mancing di kali lagi Buk,

“Ya sudah main sana, ati-ati jangan pulang sampai lupa waktu. Awas kalo sampai lupa waktu.” ancam ibuku.
“Iya Buk, engga lagi deh sampe sore, yang kemarin masih sakit Buk”
“Makanya kalo dibilnagin itu nurut, jangan bandel.” omel Ibuku.
“Iya Buk, tapi Buk, uang Ari udah tinggal dikit”
“Ya sudah sana ambil uang recehnya Ibuk di dalem lemari biasanya.”
“Asyik, makasih Ibuk...” sahutku gembira.
***

Kayaknya Feri udah nunggu lama nih.
“Fer, maaf ya kalo lama, kita langsung yuk.”
“Iya, Ri. Tapi kita mampir dulu ya ke rumah kita ajak David juga main sama kita biar tambah rame.” sahutnya.

“Oke, Fer. Kamu bawa uang gak?” tanyaku pada Feri.
“Aku cuma bawa uang seribu doang.” balas Feri.
“Okelah gapapa Fer, yang penting kita nanti bisa main sepuasnya. Yuk langsung ajak David. Jangan kelamaan disini” sahutku.
Segeralah kami menuju rumah David sambil bercerita sana-sini hingga akhirnya bujukan kami membius David juga. Dia akhirnya ikutan main bersama kami.

“Fer, kita mau main apa ini? Masa kita mau main petak umpet jam segini?” tanyaku.
“Enggak lah, kita gak main itu. Vid, kamu ada uang berapa?” jawabnya.
“Cuma dua ribu, mau buat beli jajan.” sahut David.
“Udah, yang seribu buat modal iuran kita yak, aku cuma punya uang seribu nih, Vid.” kata Feri.
“Emang uangnya buat apaan Fer?” tanyaku penasaran.
“Udah, tenang aja. Kamu ada kan receh seribu di celana?” tanya Feri kepadaku.
“Ada Fer, nih uangnya.”
“Oke, kita siap-siap meluncur ke lokasi ya.” Jawab Feri dengan tatapan ala cowok misterius yang susah ditebak.
***
Feri pun mengajak kami berdua menapaki jalanan batako di sepanjang gang di daerah pedesaan. Disana dia sangat mengenal seorang kakek yang usianya sekitar 60 tahunan tapi terlihat bugar dan sumringah. Seperti tidak ada beban dalam hidupnya. David pun bercengkrama panjang lebar sama kakek tersebut. Dan pada akhirnya mereka pun bernegosiasi layaknya di pasar tradisional. Dan kakek tersebut memberikan banyak batang mirip korek api tapi ukurannya lebih besar.
“Apaan itu Fer?” tanyaku pada Feri.

“Mercon bos, kita main ini ya buat seneng-seneng tapi kudu ati-ati sama ini biar engga bikin jari kita bernasib malang” sahut Feri.
“Tumben ini anak bisa bijaksana juga. Biasanya dia engga terlalu peduli dengan akibat di akhir nanti.” Gumamku dalam hati.
Kakek tadi ngasih kita 30 biji petasan korek api. Masing-masing dari kita mendapatkan sepuluh biji. Kita main petasan di jalanan sepi, terkadang ada ayam lewat langsung kaget “petok-petok” bikin tiga anak nakal ini ketawa lebar, huahaha.
Sementara itu, si David iseng nyalain petasannya dan dilempar ke dalam plastik sampah besar. Dan akhirnya terdengar suara “Duoowooooor” kayak suara balon meletus tapi kenceng banget.
Di lain sisi, aku masih bingung, sisa petasanku mau kuhabiskan untuk apa. Dan diambilah sisa petasanku oleh si Feri.
“Petasannya buat aku ya?” lirik dia dengan tatapan merayu.
“Lah, tadi kan udah dijatah masing-masing sepuluh biji.” jawabku agak kecewa.
“Udah, tenang aja, nanti aku ganti kalo di sekolah. Boleh ya?” rayu dia.
“Iya deh kalo gitu.” Balasku singkat.
Entah pikiran apa yang merasuki akal si Feri ini. Dia tiba-tiba terinspirasi oleh kotoran Kerbau di pinggir jalan. Saat itu aku dan David sedang membicarakan kartun Dragon Ball yang menceritakan Son Goku bergabung dengan Bejita untuk mengalahkan Cell.
Tiba-tiba si Feri teriak “Awas bos...lariiii”...

“Bluk, cebluk, mak cebluk, cebluk”
Suara petasan itu menjadi aneh.
***
Dan seketika itu, aku dan David jadi beringasan sama si Feri.
“Guend*ng, Feri itu emang parah.” Umpatku dengan nada kesal.

“Orang gila, Feri itu. Dasar gila. Mana bau kotoran kerbau lagi.” Sahut David.
“Vid, Vid, belakang kaosmu tuh banyak kotoran pada nempel. Risih enggak tuh?” tanyaku.
“Di pipimu juga tuh, apa engga kecium bau tuh? Wkwkwkwk. Dah ancur tuh, wkwkwk.” canda si David.
“Awas, entar si Feri. Mau aku coletin nih kotoran ke dia biar tahu rasa.”
***Tamat***
Berdasarkan pengalaman pribadi TS

Diubah oleh nightwarmare 10-02-2018 08:19


anasabila memberi reputasi
1
892
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan