- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Curhatan Pengungsi di Pejaten Timur: Air Datang Seperti Tsunami, Rumah Roboh,....


TS
kimchilia
Curhatan Pengungsi di Pejaten Timur: Air Datang Seperti Tsunami, Rumah Roboh,....
Curhatan Pengungsi di Pejaten Timur: Air Datang Seperti Tsunami, Rumah Roboh, Pohon Hanyut. . .
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - “Itu sudah bukan siaga 1 lagi, tapi sudah seperti tsunami. Rumah-rumah pada rubuh, pohon-pohon hanyut, semua habis.”
Kata-kata itu diucapkan Neneng (60) saat menceritakan kembali peristiwa banjir Sungai Ciliwung yang menerjang rumahnya di kawasan RT 05 RW 08 Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (5/2/2018) lalu.
Sambil membenarkan letak alas tidurnya yang hanya berupa kardus, Neneng terus menggerutu sembari bersyukur atas apa yang terjadi.
“Ini benar-benar yang namanya menderita. Tapi bersyukur saya tidak masih diberi umur panjang, yang penting tidak mati di sungai,”ujarnya ketika ditemui di lokasi pengungsian di Masjid Al Makmuriyah yang masih berada di Pejaten Timur, Selasa (6/2/2018).
Kepada Tribunnews.com, Neneng menceritakan bahwa awalnya sekitar pukul 06.00 WIB air dari Sungai Ciliwung yang hanya berjarak sekitar lima meter dari rumahnya belum masuk ke rumahnya.
“Tapi pukul 08.00 air sudah mulai masuk rumah dan puncaknya sekitar pukul 14.00 air sudah sepinggang dan saya langsung lari ke rumah tetangga. Saya sama delapan orang lainnya langsung naik ke atap, dari situ saya lihat air terus menerjang rumah-rumah di sini, sudah seperti tsunami.”
“Rumah-rumah rubuh, pohon bambu, pohon pisang hanyut semua. Kandang ayam juga hanyut, ayamnya pada berlarian” katanya.
Saat itu kondisi rumah kontrakan Neneng sudah sepenuhnya ditutupi air.
“Di rumah tetangga di lantai duanya saja air setinggi dada, kalau tidak cepat naik bisa-bisa mati kita semua. Rumah saya sudah tenggelam itu, atap asbesnya sudah hanyut terbawa air,” ungkapnya.
Perjuangan Neneng dan warga lainnya belum berhenti sampai di situ.
Di atas atap rumah satu warga lainnya, Neneng dan delapan orang lainnya harus bertahan selama 10 jam sebelum dievakuasi oleh tim SAR.
“Di atas kehujanan kedinginan, pukul 24.00 baru dievakuasi oleh tim SAR, perahunya kecil jadi harus bolak-balik tiga kali. Di atas atap pada nangis semua, kalau air tambah tinggi sudah tidak selamat kita,” ujar wanita yang berprofesi sebagai pemulung itu.
Keesokan harinya, Neneng bersama tetangga lainnya memutuskan untuk tetap bertahan di masjid.
“Lebih baik di sini dulu, kalau pulang listrik tidak ada, lumpur di rumah selutut, atap asbes rumah tidak ada, nasi tidak punya, gerobak untuk mulung juga sudah hanyut, tidak punya uang hanya tinggal Rp 2 ribu.”
“Besok masih harus ganti gerobak yang hanyut, harganya Rp 300 ribu. Nanti nyicil,” keluhnya.
Kini dengan kondisi seadanya Neneng mendapatkan kenyamanan di lokasi pengungsian.
“Walaupun kemarin seharian tidak makan, hari ini selalu tertib makan kalau sudah waktunya. Dapat bantuan beras, minyak, gula, dan lain-lain. Kalau sekarang butuh pakaian, yang bekas-bekas tidak apa-apa, ini sudah dua hari tidak ganti lepek kena air hujan,” jelasnya sambil menunjukkan bajunya.
Sebanyak 500 kepala keluarga terdampak akibat banjir yang melanda kawasan tersebut pada Hari Senin lalu.
Banjir sempat mencapai ketinggian 1,8 meter sebelum surut pada Selasa siang.
http://www.tribunnews.com/metropolit...anyut?page=all
sabar ini semua hanya cobaan, kalo yang tahun kemaren baru azab!!!
banjir rasa tsunami
Quote:
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - “Itu sudah bukan siaga 1 lagi, tapi sudah seperti tsunami. Rumah-rumah pada rubuh, pohon-pohon hanyut, semua habis.”
Kata-kata itu diucapkan Neneng (60) saat menceritakan kembali peristiwa banjir Sungai Ciliwung yang menerjang rumahnya di kawasan RT 05 RW 08 Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (5/2/2018) lalu.
Sambil membenarkan letak alas tidurnya yang hanya berupa kardus, Neneng terus menggerutu sembari bersyukur atas apa yang terjadi.
“Ini benar-benar yang namanya menderita. Tapi bersyukur saya tidak masih diberi umur panjang, yang penting tidak mati di sungai,”ujarnya ketika ditemui di lokasi pengungsian di Masjid Al Makmuriyah yang masih berada di Pejaten Timur, Selasa (6/2/2018).
Kepada Tribunnews.com, Neneng menceritakan bahwa awalnya sekitar pukul 06.00 WIB air dari Sungai Ciliwung yang hanya berjarak sekitar lima meter dari rumahnya belum masuk ke rumahnya.
“Tapi pukul 08.00 air sudah mulai masuk rumah dan puncaknya sekitar pukul 14.00 air sudah sepinggang dan saya langsung lari ke rumah tetangga. Saya sama delapan orang lainnya langsung naik ke atap, dari situ saya lihat air terus menerjang rumah-rumah di sini, sudah seperti tsunami.”
“Rumah-rumah rubuh, pohon bambu, pohon pisang hanyut semua. Kandang ayam juga hanyut, ayamnya pada berlarian” katanya.
Saat itu kondisi rumah kontrakan Neneng sudah sepenuhnya ditutupi air.
“Di rumah tetangga di lantai duanya saja air setinggi dada, kalau tidak cepat naik bisa-bisa mati kita semua. Rumah saya sudah tenggelam itu, atap asbesnya sudah hanyut terbawa air,” ungkapnya.
Perjuangan Neneng dan warga lainnya belum berhenti sampai di situ.
Di atas atap rumah satu warga lainnya, Neneng dan delapan orang lainnya harus bertahan selama 10 jam sebelum dievakuasi oleh tim SAR.
“Di atas kehujanan kedinginan, pukul 24.00 baru dievakuasi oleh tim SAR, perahunya kecil jadi harus bolak-balik tiga kali. Di atas atap pada nangis semua, kalau air tambah tinggi sudah tidak selamat kita,” ujar wanita yang berprofesi sebagai pemulung itu.
Keesokan harinya, Neneng bersama tetangga lainnya memutuskan untuk tetap bertahan di masjid.
“Lebih baik di sini dulu, kalau pulang listrik tidak ada, lumpur di rumah selutut, atap asbes rumah tidak ada, nasi tidak punya, gerobak untuk mulung juga sudah hanyut, tidak punya uang hanya tinggal Rp 2 ribu.”
“Besok masih harus ganti gerobak yang hanyut, harganya Rp 300 ribu. Nanti nyicil,” keluhnya.
Kini dengan kondisi seadanya Neneng mendapatkan kenyamanan di lokasi pengungsian.
“Walaupun kemarin seharian tidak makan, hari ini selalu tertib makan kalau sudah waktunya. Dapat bantuan beras, minyak, gula, dan lain-lain. Kalau sekarang butuh pakaian, yang bekas-bekas tidak apa-apa, ini sudah dua hari tidak ganti lepek kena air hujan,” jelasnya sambil menunjukkan bajunya.
Sebanyak 500 kepala keluarga terdampak akibat banjir yang melanda kawasan tersebut pada Hari Senin lalu.
Banjir sempat mencapai ketinggian 1,8 meter sebelum surut pada Selasa siang.
http://www.tribunnews.com/metropolit...anyut?page=all
sabar ini semua hanya cobaan, kalo yang tahun kemaren baru azab!!!
banjir rasa tsunami

0
2.1K
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan