- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[#SFTHChallenge] Rani yang cantik, Duta yang malang!


TS
risdongklow
[#SFTHChallenge] Rani yang cantik, Duta yang malang!
![[#SFTHChallenge] Rani yang cantik, Duta yang malang!](https://s.kaskus.id/images/2018/01/31/10077443_20180131124059.jpg)
Rani yang cantik, Duta yang malang!
Quote:
“Duta, tunggu! Ini semua bisa aku jelaskan.”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan.”
“Tapi …”
“Cukup! Semua selesai sampai di sini.” Duta mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Rani. Mengingatkan agar perempuan itu tidak mengikutinya lagi. Duta benar-benar telah sampai pada puncak marahnya.
Duta bergegas pergi meninggalkan, Rani. Perempuan yang telah membuat hatinya hancur. Hatinya benar-benar terasa sesak ketika mengetahui Rani telah menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Lebih sesak lagi ketika melihat Rani bersandar di bahu lelaki tersebut. Duta tentu saja sempat terbakar oleh api cemburu. Sebuah keributan terjadi. Duta mendaratkan pukulan telak di wajah lelaki tersebut. Rani menjerit. Orang-orang ramai melerai. Duta lalu meninggalkan Rani dalam kondisi yang rapuh.
Duta tidak habis pikir bagaimana bisa Rani tega mengkhianatinya. Duta merasa telah melakukan segalanya untuk membahagiakan Rani. Semua hal telah ia berikan termasuk Tiket ke Jepang ketika musim semi sebagai kado ulang tahun untuk kekasihnya tersebut.
***
“Sayang, aku ingin ke Jepang pada hari ulang tahunku. Akan ada musim semi. Aku ingin melihat sakura bermekaran bersamamu.” Rani berkata manja di pelukan Duta.
“Aku tau itu impianmu. Aku telah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari.” Duta mengakhiri kalimatnya dengan mendaratkan kecupan mesra di pipi Rani, lalu Rani mengeratkan pelukannya seolah tidak ingin berpisah dengan Duta. Meski sebentar. Meski sesaat. Meski dalam hitungan detik. Rani tidak ingin.
***
Namun kini, Duta mengendarai mobilnya dalam kondisi yang pedih. Setiap kenangan tentang Rani yang muncul di benaknya seperti perisai yang mencabik ulu hatinya. Sakit. Setiap kenangan indah itu kini seperti Boomerang yang menyerangnya balik. Ia begitu menyayangi Rani. Bahkan mungkin melebihi dirinya sendiri. Rani yang cerewet. Rani yang menggemaskan. Rani yang selalu meneyempatkan diri untuk datang ke rumah hanya untuk membawakan nasi goreng yang ia buat sendiri.
“Nasi goreng yang aku buat dengan cinta, cobalah!” Rani menyuapi Duta.
Duta mengunyah pelan.
“Mmm … terlalu manis.”
“Benarkah?” Rani berkata dengan nada khawatir.
“Manisnya karena kamu terlalu banyak tersenyum di depanku.” Duta melanjutkan perkataannya, membuat Rani yang sempat khawatir kini melotot menahan kesal.
“Akan kuberi kamu pelajaran,” katanya sebelum meletakkan nasi goreng di atas meja.
Rani menggelitiki perut Duta, Duta menggeliat dan tertawa. Hari itu mereka seperti pasangan yang paling bahagia sedunia. Seperti sepasang kekasih yang beruntung dapat saling memiliki. Duta tidak hanya melengkapi Rani tapi menyempurnakan. Mereka tidak hanya saling mengisi namun saling menjaga. Bagi mereka saat itu, cinta merekalah yang terhebat. Tidak ada yang lain.
***
Hari ini, Rani menangis sesenggukan menyesali perbuatannya di atas tempat tidur. Ia menyesal telah mengkhianati Duta. Rasa bersalah bersarang di dadanya. Ia harus meminta maaf kepada Duta. Ia telah salah memilih Indra sebagai pelampiasan rasa bosan.
Belakangan Duta memang tengah sibuk mengurusi pekerjaannya di bidang properti. Ada proyek besar yang sedang ia kerjakan. Rani tau, tapi tidak bisa mengerti. Ia tidak suka dibiarkan menunggu. Waktu bertemu yang semakin sedikit menciptakan terlalu banyak rindu di dada Rani. Rindu butuh tempat untuk dituang, rindu adalah sesuatu yang mesti di salurkan. Jika tidak, rindu kadang menciptakan korosi di hati. Pada akhirnya, rindu hanya akan bermetamorporsa menjadi rasa sakit.
Tingdong…
Bel rumah Rani berbunyi. Ia segera bangkit dari duduknya. Dari televisi sayup-sayup terdengar suara Spongebob hingga ke luar. Rani memang penggemar berat Spongebob. Dan Duta pernah memberikan boneka Spongebob terbesar untuknya. Rani membuka pintu, ia terharu ketika melihat Duta berdiri dengan setangkai mawar dan coklat di tangan, laki-laki itu begitu romantis.
“Aku kangen tau … ” Rani menjatuhkan diri di pelukan Duta. Ini pertemuan pertama mereka setelah satu bulan yang lalu. Hanya pesan-pesan singkat yang menjadi pengobat rindu Rani selama ini. Itupun dengan balasan yang kadang lama. Kadang hanya di baca tanpa sempat di balas. Dan ketika Rani menelpon, Duta telah tertidur kelelahan.
“Aku juga kangen makanya aku datang ke sini buat nemuin kamu.”
Rani mengeratkan pelukan. Nafasnya terasa hangat.
“Tapi aku gak bisa lama-lama masih ada banyak pekerjaan,” ucap Duta pelan.
Raut wajah Rani berubah. Pelukannya tidak lagi kencang. Senyumnya memudar.
“Maafkan aku. Tapi setelah proyek ini selesai aku akan lebih sering meluangkan waktu buat kamu.” Duta berkata dengan penuh kehati-hatian. Seolah ingin meminta pengertian, juga tidak ingin menyakiti kekasihnya.
“Aku mengerti,” Rani mendesah.
Duta memeluk Rani lebih erat. Lebih lama. Membiarkan rindu yang memuncak tumpah dan mengalir ke tempat di mana seharusnya ia jatuh. Rindu itu akhirnya pulang ke tempat seharusnya. Meski tidak lama kemudian, rindu itu harus kembali pergi meninggalkan Rani bersama sepi, bersama kenangan, bersama air mata yang jatuh mengiri kepergian Duta.
Rani segera bangkit dari ranjangnya. Ia mesti menemui Duta. Dia Harus meminta Maaf atas kesalahan yang dia buat. Tapi sebelum itu, Rani harus memutuskan Indra terlebih dahulu. Rani mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya lalu menekan tombol keyboard dengan cepat.
‘Indra, maafkan aku. Tapi kupikir kita sudahi saja semua ini. Aku tidak bisa meninggalkan Duta. Aku terlalu mencintainya. Tentang lamaran yang kamu tawarkan, maaf aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak ingin menikahi seseorang yang sebenarnya tidak aku cintai. Maafkan aku telah menjadikanmu pelampiasan atas sepi-sepi yang Duta ciptakan. Sesungguhnya aku tidak pernah benar-benar jatuh cinta kepadam. Aku sadar aku hanya kesepian, aku hanya butuh teman untuk bercerita. Dan kamu, terimakasih telah menjadi pendengar yang baik bagiku.”
Setelah mengirim pesan, Rani menenggelamkan ponsel ke dalam tasnya lagi. Ia tidak peduli pada balasan dari Indra, terserah laki-laki itu mau bilang apa. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara agar Duta mau memaafkannya.
Dengan mengendarai mobil ayahnya, Rani bergegas pergi menemui Duta di rumahnya, namun sayang, bukan kabar menyenangkan yang ditemui oleh Rani. Bi Eem asisten rumah tangga Duta memberitahukan kepada Rani kalau; Duta mengalami kecelakaan.
Sekujur tubuh Rani bergetar hebat mengetahui hal tersebut. Air matanya kembali tumpah. Wajahnya pucat pasi. Kini rasa bersalah tidak lagi bersarang di hatinya tapi merambat hingga ke seluruh bagian tubuh. Seperti sebuah kanker yang susah untuk dicegah. Rani benar-benar akan jatuh ditampar telak oleh kenyataan.
Rani segera melesat menuju rumah sakit tempat Duta dirawat. Sesampainya di rumah sakit ia menemukan Ayah Duta terduduk merenggut kepala. Sedang ibunya terus meraung mencakari kaca ruang operasi. Keluarga yang lain terduduk lemas menunggui dokter keluar dari ruang operasi.
Beberapa jam kemudian, setelah operasi Duta selesai dan dinyatakan menderita patah tulang dan beberapa luka dalam di tubuhnya, Rani tertelungkup di tepi ranjang Duta, bahunya terguncang menangis hebat. Tak terhitung berapa kali sudah ia melontarkan kata-kata maaf. Duta tak sadarkan diri. Terbalut perban yang dipenuhi bercak darah kering. Tapi Rani memiliki keyakinan bahwa Duta mendengar setiap ucapannya. Rani percaya bahwa Duta merasakan keberadaannya.
“Bangunlah demi aku.” Rani terisak. Suaranya terdengar parau dan serak. Air mata tak henti mengalir, “Kamu pernah bilang akan melakukan apapun demi aku. Kamu pernah bilang, apapun yang aku minta sebisa mungkin akan kamu kabulkan. Sekarang aku mohon Duta, aku mohon bangunlah. Bangunlah demi aku, demi cinta kita, demi hal-hal bahagia yang pernah kita janjikan bersama namun belum sempat kita wujudkan, kamu jangan tidur terlalu lama. Ada hari-hari panjang yang harus aku lewatkan. Ada waktu-waktu yang akan menjadi berat jika dilalui tanpa kamu.” Rani terus merintih di samping Duta. Tak ada yang menemani Rani bersuara kecuali alat pendeteksi detak jantung. Ruangan itu senyap, tidak sepi, hanya senyap saja. Ibu Duta ada di sana, namun tak bersuara, bukan tidak ingin hanya saja suaranya memang benar-benar telah habis, tidak bisa keluar lagi. Dan, hari itu juga menjadi kali pertama Duta tidak bisa memenuhi permintaan kekasihnya.
***
Tiga hari sudah Duta tidak sadarkan diri. Dalam kurun waktu tiga hari itu pula Rani nyaris tidak pernah beranjak dari sisi Duta. Ayah Duta sibuk mengurusi pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Mama Duta yang terkadang menemani Rani. Mama Duta tidak perlu ragu dengan kesetiaan Rani sebab ia melihat langsung bagaimana Rani begitu setia menunggui Duta.
Setiap pagi Rani tidak pernah libur membawakan sarapan untuk Duta. Meski ia tau sejak tiga hari yang lalu Duta belum juga sadar, tapi ia selalu berbisik di telinga Duta, “Nasi goreng yang aku buat dengan cinta, cobalah! Kali ini aku yakin tidak akan terlalu manis, karena sejak tiga hari yang lalu aku telah kehilangan senyumku.” Rani tidak kuat lagi menahan tangis, bahunya terguncang, dengan tetesan air mata yang perlahan mulai jatuh, Rani berusaha terlihat tetap tegar
“Sabarlah nak, Duta pasti akan segera sadar.” Begitu kata mama Duta setelah melihat betapa besar cinta Rani untuk anaknya.
Rani ingin berbicara, banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada mama Duta. Bagaimana Duta yang begitu penyabar menghadapinya. Bagaimana Duta selalu menuruti kemauannya. Tapi justru karena terlalu banyak, kata-kata itu menjadi penyumpal. Rani diam. Mulutnya susah berucap. Seperti tersumbat oleh akar pohon beringin.
Hari keempat Duta belum juga sadar. Semalam Rani terjaga, menceritakan ulang moment perjalanan mereka ketika liburan di Jepang. Banyak hal yang memaksanya mempertegar diri. Beberapa potret malah membuatnya tidak kuasa menahan tangis. Pagi ini ia masih duduk telungkup di tepi ranjang. Sedang mama Duta seusai sholat subuh tadi pulang sebentar dan akan kembali nanti siang dengan bekal makan siang.
Begitulah hari-hari berat itu setiap hari berjalan. Rani yang penyabar menunggui Duta, mama yang tak kalah sabar melantunkan do’a-do’a. Memrpanjang sujud di sepertiga malam, merintih kepada Tuhan memohon kesembuhan untuk anaknya.
Hingga akhirnya keajaiban itu datang, pertolongan dari do’a yang dilantunkan penuh dengan kerelaan. Setelah semalam bercerita panjang tentang momen kebersamaannya dengan Duta, pagi ini Rani merasakan kantuk yang luar biasa. Ia tertidur pulas di pinggir ranjang. Duduk berbantalkan lipatan tangan. Diiringi lagu-lagu-lagu rohani yang tertiup angin dari Nirwana. Rani terpejam dengan sangat nyaman.
Satu dua jari mulai bergerak patah-patah, sayup-sayup dengan sisa tenaga yang dia punya Duta terus menerus menyebut nama Rani. Tentu saja Rani tak mendengar terlampau pulas ia tertidur. Pelan-pelan Duta mulai mengelus rambut Rani, dibelainya rambut kekasihnya itu dengan penuh kasih sayang. Hingga tak lama kemudian, Rani merasakan ada sesuatu yang bergerak di kepalanya. Rani menengadah dan tersentak ketika menyadari bahwa Duta telah sadar.
Alangkah bahagianya Rani saat itu. Rani mengerjap beberapa kali, mengusap-usap matanya seolah tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
‘Jika ini hanya buah kerinduanku pada Duta maka segera sadarkan aku, Tuhan…’
Rani bergumam dalam hati dan mencubit lengannya sendiri. Laki-laki di depannya bersusah payah membentuk senyum. Rani akhirnya sadar ini bukan mimpi ini nyata Dutanya telah kembali.
Rani melonjak girang melihat kekasihnya telah sadar. Ia merasakan bahagia meluap-meluap di sekujur tubuhnya. Rani bersyukur dan tidak terkendali, ia melompat memeluki tubuh Duta yang belum sepenuhnya normal, tak pelak, Duta pun dibuatnya meringis menahan sakit sekita itu juga Rani menarik diri ke belakang. Seluruh wajahnya di lumuri bahagia.
“Maafkan aku. Aku tau aku salah. Aku yang terlalu egois meminta kamu untuk selalu ada di tengah kesibukan. Aku yang salah melampiaskan sepi yang kamu tinggalkan kepada orang lain. Maafkan aku. Aku mencintaimu Duta. Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi.” Rani berkata sambil memeluki lengan Duta.
Duta mengangguk, ia belum kuat untuk bicara. Tapi tak apa, Rani tetap merasa senang. Asal Duta telah sadar tak penting lagi apapun baginya. Rani ingin menelpon mama Duta untuk membagikan luapan bahagianya karena sudah tidak kuat lagi ia tampung sendiri. Mama tentu menunggu-nunggu kabar bahagia ini tapi ketika ada suara ketukan pintu, Rani mengurungkan niatnya.
“Itu pasti mama. Dia pasti akan sangat senang melihat kamu sudah sadar.”
Rani berjalan ke arah pintu. Duta memperhatikan. Ia juga sudah tidak sabar bertemu dengan mamanya. Namun, Saat Rani membuka pintu betapa terkejutnya dia ketika mengetahui kalau yang datang ternyata bukan mama Duta tapi ... Indra. Iya, laki-laki yang pernah menjadi pelampiasan rasa sepinya. Rani berpikir ada keperluan apa Indra datang kemari. Apa laki-laki ini sudah gila? Rani tidak ingin Indra merusak momen bahagianya, meski baru sadar, Duta tentu belum lupa dengan kejadian beberapa hari yang lalu yang membuatnya masuk rumah sakit.
“Mau apa kamu?” tanya Rani di ambang pintu.
“Jangan judes begitu, izinkan aku masuk dulu. Nggak sopan.”
“Enggak, nggak bisa. Kamu nggak dibolehin masuk. Duta belum pulih benar, nanti kamu bisa ganggu mentalnya yang belum membaik.” Rani akan menutup pintu tapi Indra menahan dan mendorong pintu hingga membuat Rani terjatuh. Duta yang melihat Rani diperlakukan seperti itu tentu saja merasa geram, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Indra masuk dan menutup pintu.
“Apa sebenarnya yang kamu mau? Kita sudah nggak ada hubungan lagi jadi berhenti ganggu aku.”
“Nggak, nggak segampang itu, Rani. Nggak semudah itu kamu nyuruh aku lupain kamu. Aku benar-benar sudah jatuh cinta sama kamu. Buat lupain kamu itu susah. Aku nggak bisa.”
“Terus sekarang kamu mau apa?”
“Sederhana saja, aku hanya ingin kamu menikah denganku.”
“Cih ... nggak, aku nggak mau.”
“Ayolah Rani, apa yang kurang denganku? Kurang baik apa aku sama kamu?”
“Nggak ada yang kurang sama kamu, aku akuin kamu emang baik tapi aku tetap nggak bisa. Aku tetap nggak bisa jatuh cinta sama kamu sebaik apapun kamu. Aku tetap nggak bisa ngasi hati aku karena semuanya sudah jadi milik, Duta. Semuanya!”
Mendengar jawaban dari Rani, muka Indra langsung berubah merah padam. Ia lalu mengeluarkan sebilah pisau tajam yang diselipkannya dibalik pinggang.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan.”
“Tapi …”
“Cukup! Semua selesai sampai di sini.” Duta mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Rani. Mengingatkan agar perempuan itu tidak mengikutinya lagi. Duta benar-benar telah sampai pada puncak marahnya.
Duta bergegas pergi meninggalkan, Rani. Perempuan yang telah membuat hatinya hancur. Hatinya benar-benar terasa sesak ketika mengetahui Rani telah menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Lebih sesak lagi ketika melihat Rani bersandar di bahu lelaki tersebut. Duta tentu saja sempat terbakar oleh api cemburu. Sebuah keributan terjadi. Duta mendaratkan pukulan telak di wajah lelaki tersebut. Rani menjerit. Orang-orang ramai melerai. Duta lalu meninggalkan Rani dalam kondisi yang rapuh.
Duta tidak habis pikir bagaimana bisa Rani tega mengkhianatinya. Duta merasa telah melakukan segalanya untuk membahagiakan Rani. Semua hal telah ia berikan termasuk Tiket ke Jepang ketika musim semi sebagai kado ulang tahun untuk kekasihnya tersebut.
***
“Sayang, aku ingin ke Jepang pada hari ulang tahunku. Akan ada musim semi. Aku ingin melihat sakura bermekaran bersamamu.” Rani berkata manja di pelukan Duta.
“Aku tau itu impianmu. Aku telah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari.” Duta mengakhiri kalimatnya dengan mendaratkan kecupan mesra di pipi Rani, lalu Rani mengeratkan pelukannya seolah tidak ingin berpisah dengan Duta. Meski sebentar. Meski sesaat. Meski dalam hitungan detik. Rani tidak ingin.
***
Namun kini, Duta mengendarai mobilnya dalam kondisi yang pedih. Setiap kenangan tentang Rani yang muncul di benaknya seperti perisai yang mencabik ulu hatinya. Sakit. Setiap kenangan indah itu kini seperti Boomerang yang menyerangnya balik. Ia begitu menyayangi Rani. Bahkan mungkin melebihi dirinya sendiri. Rani yang cerewet. Rani yang menggemaskan. Rani yang selalu meneyempatkan diri untuk datang ke rumah hanya untuk membawakan nasi goreng yang ia buat sendiri.
“Nasi goreng yang aku buat dengan cinta, cobalah!” Rani menyuapi Duta.
Duta mengunyah pelan.
“Mmm … terlalu manis.”
“Benarkah?” Rani berkata dengan nada khawatir.
“Manisnya karena kamu terlalu banyak tersenyum di depanku.” Duta melanjutkan perkataannya, membuat Rani yang sempat khawatir kini melotot menahan kesal.
“Akan kuberi kamu pelajaran,” katanya sebelum meletakkan nasi goreng di atas meja.
Rani menggelitiki perut Duta, Duta menggeliat dan tertawa. Hari itu mereka seperti pasangan yang paling bahagia sedunia. Seperti sepasang kekasih yang beruntung dapat saling memiliki. Duta tidak hanya melengkapi Rani tapi menyempurnakan. Mereka tidak hanya saling mengisi namun saling menjaga. Bagi mereka saat itu, cinta merekalah yang terhebat. Tidak ada yang lain.
***
Hari ini, Rani menangis sesenggukan menyesali perbuatannya di atas tempat tidur. Ia menyesal telah mengkhianati Duta. Rasa bersalah bersarang di dadanya. Ia harus meminta maaf kepada Duta. Ia telah salah memilih Indra sebagai pelampiasan rasa bosan.
Belakangan Duta memang tengah sibuk mengurusi pekerjaannya di bidang properti. Ada proyek besar yang sedang ia kerjakan. Rani tau, tapi tidak bisa mengerti. Ia tidak suka dibiarkan menunggu. Waktu bertemu yang semakin sedikit menciptakan terlalu banyak rindu di dada Rani. Rindu butuh tempat untuk dituang, rindu adalah sesuatu yang mesti di salurkan. Jika tidak, rindu kadang menciptakan korosi di hati. Pada akhirnya, rindu hanya akan bermetamorporsa menjadi rasa sakit.
***
Tingdong…
Bel rumah Rani berbunyi. Ia segera bangkit dari duduknya. Dari televisi sayup-sayup terdengar suara Spongebob hingga ke luar. Rani memang penggemar berat Spongebob. Dan Duta pernah memberikan boneka Spongebob terbesar untuknya. Rani membuka pintu, ia terharu ketika melihat Duta berdiri dengan setangkai mawar dan coklat di tangan, laki-laki itu begitu romantis.
“Aku kangen tau … ” Rani menjatuhkan diri di pelukan Duta. Ini pertemuan pertama mereka setelah satu bulan yang lalu. Hanya pesan-pesan singkat yang menjadi pengobat rindu Rani selama ini. Itupun dengan balasan yang kadang lama. Kadang hanya di baca tanpa sempat di balas. Dan ketika Rani menelpon, Duta telah tertidur kelelahan.
“Aku juga kangen makanya aku datang ke sini buat nemuin kamu.”
Rani mengeratkan pelukan. Nafasnya terasa hangat.
“Tapi aku gak bisa lama-lama masih ada banyak pekerjaan,” ucap Duta pelan.
Raut wajah Rani berubah. Pelukannya tidak lagi kencang. Senyumnya memudar.
“Maafkan aku. Tapi setelah proyek ini selesai aku akan lebih sering meluangkan waktu buat kamu.” Duta berkata dengan penuh kehati-hatian. Seolah ingin meminta pengertian, juga tidak ingin menyakiti kekasihnya.
“Aku mengerti,” Rani mendesah.
Duta memeluk Rani lebih erat. Lebih lama. Membiarkan rindu yang memuncak tumpah dan mengalir ke tempat di mana seharusnya ia jatuh. Rindu itu akhirnya pulang ke tempat seharusnya. Meski tidak lama kemudian, rindu itu harus kembali pergi meninggalkan Rani bersama sepi, bersama kenangan, bersama air mata yang jatuh mengiri kepergian Duta.
***
Rani segera bangkit dari ranjangnya. Ia mesti menemui Duta. Dia Harus meminta Maaf atas kesalahan yang dia buat. Tapi sebelum itu, Rani harus memutuskan Indra terlebih dahulu. Rani mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya lalu menekan tombol keyboard dengan cepat.
‘Indra, maafkan aku. Tapi kupikir kita sudahi saja semua ini. Aku tidak bisa meninggalkan Duta. Aku terlalu mencintainya. Tentang lamaran yang kamu tawarkan, maaf aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak ingin menikahi seseorang yang sebenarnya tidak aku cintai. Maafkan aku telah menjadikanmu pelampiasan atas sepi-sepi yang Duta ciptakan. Sesungguhnya aku tidak pernah benar-benar jatuh cinta kepadam. Aku sadar aku hanya kesepian, aku hanya butuh teman untuk bercerita. Dan kamu, terimakasih telah menjadi pendengar yang baik bagiku.”
Setelah mengirim pesan, Rani menenggelamkan ponsel ke dalam tasnya lagi. Ia tidak peduli pada balasan dari Indra, terserah laki-laki itu mau bilang apa. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara agar Duta mau memaafkannya.
Dengan mengendarai mobil ayahnya, Rani bergegas pergi menemui Duta di rumahnya, namun sayang, bukan kabar menyenangkan yang ditemui oleh Rani. Bi Eem asisten rumah tangga Duta memberitahukan kepada Rani kalau; Duta mengalami kecelakaan.
Sekujur tubuh Rani bergetar hebat mengetahui hal tersebut. Air matanya kembali tumpah. Wajahnya pucat pasi. Kini rasa bersalah tidak lagi bersarang di hatinya tapi merambat hingga ke seluruh bagian tubuh. Seperti sebuah kanker yang susah untuk dicegah. Rani benar-benar akan jatuh ditampar telak oleh kenyataan.
Rani segera melesat menuju rumah sakit tempat Duta dirawat. Sesampainya di rumah sakit ia menemukan Ayah Duta terduduk merenggut kepala. Sedang ibunya terus meraung mencakari kaca ruang operasi. Keluarga yang lain terduduk lemas menunggui dokter keluar dari ruang operasi.
Beberapa jam kemudian, setelah operasi Duta selesai dan dinyatakan menderita patah tulang dan beberapa luka dalam di tubuhnya, Rani tertelungkup di tepi ranjang Duta, bahunya terguncang menangis hebat. Tak terhitung berapa kali sudah ia melontarkan kata-kata maaf. Duta tak sadarkan diri. Terbalut perban yang dipenuhi bercak darah kering. Tapi Rani memiliki keyakinan bahwa Duta mendengar setiap ucapannya. Rani percaya bahwa Duta merasakan keberadaannya.
“Bangunlah demi aku.” Rani terisak. Suaranya terdengar parau dan serak. Air mata tak henti mengalir, “Kamu pernah bilang akan melakukan apapun demi aku. Kamu pernah bilang, apapun yang aku minta sebisa mungkin akan kamu kabulkan. Sekarang aku mohon Duta, aku mohon bangunlah. Bangunlah demi aku, demi cinta kita, demi hal-hal bahagia yang pernah kita janjikan bersama namun belum sempat kita wujudkan, kamu jangan tidur terlalu lama. Ada hari-hari panjang yang harus aku lewatkan. Ada waktu-waktu yang akan menjadi berat jika dilalui tanpa kamu.” Rani terus merintih di samping Duta. Tak ada yang menemani Rani bersuara kecuali alat pendeteksi detak jantung. Ruangan itu senyap, tidak sepi, hanya senyap saja. Ibu Duta ada di sana, namun tak bersuara, bukan tidak ingin hanya saja suaranya memang benar-benar telah habis, tidak bisa keluar lagi. Dan, hari itu juga menjadi kali pertama Duta tidak bisa memenuhi permintaan kekasihnya.
***
Tiga hari sudah Duta tidak sadarkan diri. Dalam kurun waktu tiga hari itu pula Rani nyaris tidak pernah beranjak dari sisi Duta. Ayah Duta sibuk mengurusi pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Mama Duta yang terkadang menemani Rani. Mama Duta tidak perlu ragu dengan kesetiaan Rani sebab ia melihat langsung bagaimana Rani begitu setia menunggui Duta.
Setiap pagi Rani tidak pernah libur membawakan sarapan untuk Duta. Meski ia tau sejak tiga hari yang lalu Duta belum juga sadar, tapi ia selalu berbisik di telinga Duta, “Nasi goreng yang aku buat dengan cinta, cobalah! Kali ini aku yakin tidak akan terlalu manis, karena sejak tiga hari yang lalu aku telah kehilangan senyumku.” Rani tidak kuat lagi menahan tangis, bahunya terguncang, dengan tetesan air mata yang perlahan mulai jatuh, Rani berusaha terlihat tetap tegar
“Sabarlah nak, Duta pasti akan segera sadar.” Begitu kata mama Duta setelah melihat betapa besar cinta Rani untuk anaknya.
Rani ingin berbicara, banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada mama Duta. Bagaimana Duta yang begitu penyabar menghadapinya. Bagaimana Duta selalu menuruti kemauannya. Tapi justru karena terlalu banyak, kata-kata itu menjadi penyumpal. Rani diam. Mulutnya susah berucap. Seperti tersumbat oleh akar pohon beringin.
Hari keempat Duta belum juga sadar. Semalam Rani terjaga, menceritakan ulang moment perjalanan mereka ketika liburan di Jepang. Banyak hal yang memaksanya mempertegar diri. Beberapa potret malah membuatnya tidak kuasa menahan tangis. Pagi ini ia masih duduk telungkup di tepi ranjang. Sedang mama Duta seusai sholat subuh tadi pulang sebentar dan akan kembali nanti siang dengan bekal makan siang.
Begitulah hari-hari berat itu setiap hari berjalan. Rani yang penyabar menunggui Duta, mama yang tak kalah sabar melantunkan do’a-do’a. Memrpanjang sujud di sepertiga malam, merintih kepada Tuhan memohon kesembuhan untuk anaknya.
Hingga akhirnya keajaiban itu datang, pertolongan dari do’a yang dilantunkan penuh dengan kerelaan. Setelah semalam bercerita panjang tentang momen kebersamaannya dengan Duta, pagi ini Rani merasakan kantuk yang luar biasa. Ia tertidur pulas di pinggir ranjang. Duduk berbantalkan lipatan tangan. Diiringi lagu-lagu-lagu rohani yang tertiup angin dari Nirwana. Rani terpejam dengan sangat nyaman.
Satu dua jari mulai bergerak patah-patah, sayup-sayup dengan sisa tenaga yang dia punya Duta terus menerus menyebut nama Rani. Tentu saja Rani tak mendengar terlampau pulas ia tertidur. Pelan-pelan Duta mulai mengelus rambut Rani, dibelainya rambut kekasihnya itu dengan penuh kasih sayang. Hingga tak lama kemudian, Rani merasakan ada sesuatu yang bergerak di kepalanya. Rani menengadah dan tersentak ketika menyadari bahwa Duta telah sadar.
Alangkah bahagianya Rani saat itu. Rani mengerjap beberapa kali, mengusap-usap matanya seolah tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
‘Jika ini hanya buah kerinduanku pada Duta maka segera sadarkan aku, Tuhan…’
Rani bergumam dalam hati dan mencubit lengannya sendiri. Laki-laki di depannya bersusah payah membentuk senyum. Rani akhirnya sadar ini bukan mimpi ini nyata Dutanya telah kembali.
Rani melonjak girang melihat kekasihnya telah sadar. Ia merasakan bahagia meluap-meluap di sekujur tubuhnya. Rani bersyukur dan tidak terkendali, ia melompat memeluki tubuh Duta yang belum sepenuhnya normal, tak pelak, Duta pun dibuatnya meringis menahan sakit sekita itu juga Rani menarik diri ke belakang. Seluruh wajahnya di lumuri bahagia.
“Maafkan aku. Aku tau aku salah. Aku yang terlalu egois meminta kamu untuk selalu ada di tengah kesibukan. Aku yang salah melampiaskan sepi yang kamu tinggalkan kepada orang lain. Maafkan aku. Aku mencintaimu Duta. Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi.” Rani berkata sambil memeluki lengan Duta.
Duta mengangguk, ia belum kuat untuk bicara. Tapi tak apa, Rani tetap merasa senang. Asal Duta telah sadar tak penting lagi apapun baginya. Rani ingin menelpon mama Duta untuk membagikan luapan bahagianya karena sudah tidak kuat lagi ia tampung sendiri. Mama tentu menunggu-nunggu kabar bahagia ini tapi ketika ada suara ketukan pintu, Rani mengurungkan niatnya.
“Itu pasti mama. Dia pasti akan sangat senang melihat kamu sudah sadar.”
Rani berjalan ke arah pintu. Duta memperhatikan. Ia juga sudah tidak sabar bertemu dengan mamanya. Namun, Saat Rani membuka pintu betapa terkejutnya dia ketika mengetahui kalau yang datang ternyata bukan mama Duta tapi ... Indra. Iya, laki-laki yang pernah menjadi pelampiasan rasa sepinya. Rani berpikir ada keperluan apa Indra datang kemari. Apa laki-laki ini sudah gila? Rani tidak ingin Indra merusak momen bahagianya, meski baru sadar, Duta tentu belum lupa dengan kejadian beberapa hari yang lalu yang membuatnya masuk rumah sakit.
“Mau apa kamu?” tanya Rani di ambang pintu.
“Jangan judes begitu, izinkan aku masuk dulu. Nggak sopan.”
“Enggak, nggak bisa. Kamu nggak dibolehin masuk. Duta belum pulih benar, nanti kamu bisa ganggu mentalnya yang belum membaik.” Rani akan menutup pintu tapi Indra menahan dan mendorong pintu hingga membuat Rani terjatuh. Duta yang melihat Rani diperlakukan seperti itu tentu saja merasa geram, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Indra masuk dan menutup pintu.
“Apa sebenarnya yang kamu mau? Kita sudah nggak ada hubungan lagi jadi berhenti ganggu aku.”
“Nggak, nggak segampang itu, Rani. Nggak semudah itu kamu nyuruh aku lupain kamu. Aku benar-benar sudah jatuh cinta sama kamu. Buat lupain kamu itu susah. Aku nggak bisa.”
“Terus sekarang kamu mau apa?”
“Sederhana saja, aku hanya ingin kamu menikah denganku.”
“Cih ... nggak, aku nggak mau.”
“Ayolah Rani, apa yang kurang denganku? Kurang baik apa aku sama kamu?”
“Nggak ada yang kurang sama kamu, aku akuin kamu emang baik tapi aku tetap nggak bisa. Aku tetap nggak bisa jatuh cinta sama kamu sebaik apapun kamu. Aku tetap nggak bisa ngasi hati aku karena semuanya sudah jadi milik, Duta. Semuanya!”
Mendengar jawaban dari Rani, muka Indra langsung berubah merah padam. Ia lalu mengeluarkan sebilah pisau tajam yang diselipkannya dibalik pinggang.


anasabila memberi reputasi
1
6.8K
Kutip
31
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan