Quote:
“Eh, aku ikutan nongkrong bareng kalian boleh nggak?” tanya perempuan cantik yang baru saja ku kenal 1 jam yang lalu itu.
“Nah iya tuh, ajakin mbak aku ya girls. Sekalian tebengin Firsty boleh ya mbak?” tanya Kinan pada perempuan yang dipanggil nya ‘mbak’ itu.
“Oke, boleh banget.” sahutnya sambil tersenyum manis.
Aku, Kinan, Firsty, dan Lisa adalah 4 orang perempuan yang bersahabat sejak SMP. Persahabatan kami sudah berjalan hampir 10 tahun. Dan Kinan adalah yang paling pertama menikah di antara kami. Dan saat ini kami sedang berkumpul di rumah Kinan karena dia baru saja melahirkan anaknya yang pertama.
Perempuan yang dipanggil Kinan ‘mbak’ tadi adalah sepupunya. Namanya Callista. Sebuah nama yang cantik, sesuai dengan pemilik namanya.
Seorang perempuan, dengan paras yang ayu, kulit yang putih bersih, dengan rambut yang hitam lebat dan jatuh alami membingkai wajahnya. Saat tertawa dan tersenyum, dia selalu memperlihatkan giginya yang putih dan berderet rapi.
Tubuhnya tinggi dan langsing dengan dua aset perempuannya yang indah. Tipe tubuh Mbak Callista adalah tipe tubuh yang sangat diidamkan perempuan mana pun. Tak terkecuali aku. Karena pemilik tubuh seperti itu, akan terlihat menawan dengan baju apapun. Bahkan dengan kaos turtle neck polos berwarna maroon dan skinny jeans biru langit seperti yang sedang mbak Callista kenakan sekarang.
Ini sih namanya curang. Bagaimana mungkin kedua orang tuanya bisa menurunkan perempuan secantik mbak Callista? Bahkan cara dia berbicara pun sangat menarik. Suaranya lembut, dengan nada yang aku yakin akan membuat semua orang menyukainya. Apakah Tuhan membuat kesalahan dan tidak sengaja memasukkan esens malaikat saat menciptakan manusia bernama Callista?
Tuhan, kenapa engkau tidak adil?
Bagaimana bisa kau menciptakan perempuan nyaris sempurna seperti mbak Callista?
Quote:
“Nebeng aku semua kan?” tanya mbak Callista pada kami.
“Aku sama Lisa nggak mbak. Kebetulan aku juga bawa mobil. Sekalian pulang.” sahutku sambil tersenyum.
“Oh, oke. Berarti ketemu disana ya? Aku mau mampir ke suatu tempat dulu sebentar.”
“Siap mbak.” sahutku singkat.
Sesampainya di cafe, aku dan Lisa pun berinisiatif untuk memesan lebih dulu. Malam ini malam minggu, tempat ini sangat dipenuhi oleh pengunjung, dan hanya menyisakan satu meja. Tanpa menunggu lagi aku dan Lisa membawa pesanan kami menuju meja itu.
Meja yang kami tempati adalah sebuah meja persegi panjang, dengan masing-masing 3 bangku di kedua sisi panjangnya. 3 bangku menghadap kaca, yang memperlihatkan suasana jalan dan langit malam di luar. 3 bangku lainnya menghadap ke dalam cafe.
Setelah terlibat obrolan berdua dengan Lisa sekitar 15 menit, Firsty dan mbak Callista akhirnya datang bersama seorang anak perempuan yang berjalan disamping nya.
Quote:
“Sorry, lama ya?” tanya mbak Callista.
“Nggak kok mbak. Santai aja. Tadi kebetulan lagi asik ngobrol juga, jadi nggak kerasa.” sahut Lisa sambil tersenyum.
“Maaf ya mbak, kami pesen duluan. Mbak sama Firsty juga pesen dulu aja mbak. Soalnya disini self servicedan pay first." timpalku.
“Oh, gitu ya? Oke deh." sahut mbak Callista sambil meletakkan tas tangannya di bangku sebelah kiriku.
"Adek tunggu sini ya. Adek mau apa? Es krim?” tanya mbak Callista pada anak kecil yang sudah duduk di sebelah Lisa.
Anak kecil yang dipanggil ‘adek’ itu hanya mengangguk.
“Ya udah. Titip dia ya girls.” ujar mbak Callista yang kemudian berlalu menuju meja pemesanan.
Quote:
“Adek, namanya siapa?” tanyaku sambil mencondongkan tubuhku ke arah anak kecil tersebut.
Anak kecil tersebut mengalihkan perhatiannya dari tablet yang sejak tadi dimainkannya dan melihat ke arahku.
“Lalita tante.” sahutnya singkat.
“Adek nya mbak callista ya dek?” tanya Lisa.
“Lalita ini anak ku Lis.” jawab mbak Callista yang tiba-tiba ada di meja kami.
Aku dan Lisa pun saling pandang dan mulut kami sama-sama membentuk huruf ‘o’ tanpa suara. Aku yakin apa yang ada di pikiran kami adalah hal yang sama.
Mbak Callista melihat ke arah kami sambil tersenyum. Dia membuka tas yang tadi ditinggalkannya, mengeluarkan sebuah dompet panjang berwarna coklat dan menunjukkannya pada kami sebelum kembali ke meja pemesanan.
Quote:
“Umur mbak Callista berapa mbak? Nggak nyangka deh mbak udah punya anak. Hehehe” celetuk Lisa saat mbak Callista dan Firsty sudah bergabung dengan kami.
“Umurku 27. Lebih tua dari kalian 4 tahun ya. Bener kan?” tanyanya padaku.
“Iya mbak, 4 tahun. “ sahutku sambil tersenyum.
“Ohh, aku kira udah 30 an tapi mukanya awet muda. Soalnya Lalita udah gede begini, terus juga nggak mirip sama mbak. Hehe" celetuk Lisa dengan senyum menyebalkan di wajahnya.
Astaga Lisa!
Aku langsung menendang kakinya di bawah meja kemudian melototinya. Karena aku rasa apa yang sudah dikatakannya itu sangat keterlaluan. Itu pasti menyinggung mbak Callista, dan juga Lalita. Walaupun dia masih kecil, aku tau dia sudah dapat memahami perkataan Lisa.
Isi pikiran kami boleh sama, tapi aku tidak cukup gila dan frontal untuk mencari tahu urusan pribadi orang lain seperti Lisa. Karena aku sendiri juga tidak suka bila ada orang yang ingin tahu urusan pribadiku.
Treat people the way you want them to treat you.
Lalita memang berbeda dengan mbak Callista. Parasnya tidak secantik ibunya. Pun kulitnya yang berwarna sawo matang, beda dengan kulit ibunya yang putih bersih.
Quote:
“Iya. Banyak kok yang bilang begitu. Lalita lebih mirip Bapaknya.“ ujar mbak Callista sambil tersenyum.
Selanjutnya kami pun terlibat obrolan seputar tempat nongkrong yang bagus di kota itu, kota Berlian. Sedangkan mbak Callista ternyata tinggal di kota sebelah, kota Jamrud. Kota yang sama dengan tempat aku tinggal sekarang.
Quote:
“Sebenarnya aku suka jalan-jalan sama nongkrong kaya begini, cuman kadang nggak ada temennya. Di sana aku tinggal ikut suami sih.” ucap mbak Callista.
“Kenapa nggak jalan sama Lalita mbak?” tanyaku.
“Anak ini baru aja ikut tinggal sama aku. Dia dari kecil sama ibu ku di kampungku sana. Jadi dia nggak terlalu suka aku ajak jalan. Keseringan di rumah. Apalagi semenjak aku belikan tablet, kerjanya main melulu di rumah. Kalau nggak sekolah ya nggak keluar rumah.”
“Kalau sama suami mbak?” tanya Lisa.
“Suamiku jarang dirumah.” jawabnya setelah tersenyum sebelumnya.
“Ohh. Emang bapaknya Lalita kerja apa mbak?” tanya Firsty.
“Bapaknya Lalita? Nggak tau ya dia kerja apa sekarang. Terakhir ketemu kayanya waktu Lalita masih bayi.” sahutnya.
Setelah mendengar jawaban mbak Callista, keheningan pun hadir di antara kami. Hanya dengan bertatap mata pun kami dapat memahami pikiran satu sama lain. Kami jadi takut untuk mengajukan pertanyaan lain. Takut pertanyaan lain akan menyinggung urusan pribadi nya lagi.
Quote:
“Hei, santai aja. Kenapa jadi pada tegang sih? Hahaha. “ celetuk mbak Callista memecah keheningan di antara kami.
Kami pun tersenyum dan mencoba ikut tertawa, walaupun masih merasa canggung.
“Aku hamil Lalita waktu umurku 17 tahun. Aku bahkan nggak sempat ikut ujian kelulusan SMA waktu itu. Mau nggak mau aku terpaksa putus sekolah. Begitupun bapaknya Lalita.
Kami akhirnya menikah. Tapi nggak lama setelah kami menikah, dia tiba-tiba menceraikan aku dan pergi begitu aja tanpa peduliin anaknya. Mungkin karena umur kami berdua yang masih muda dan pada dasarnya memang sama-sama belum siap untuk berumah tangga.
Terus, aku menitipkan Lalita sama ibuku, dan memutuskan untuk merantau. Karena aku harus cari uang untuk menghidupi Lalita.
Aku kerja macam-macam. Paling sering sih jadi spg. Soalnya selain aku nggak punya ijazah SMA, ya cuma jadi spg yang lumayan duitnya.
Sebelum sama suami ku yang sekarang, aku udah pernah nikah 2 kali tapi gagal karena mereka ringan tangan dan kasar sama aku. Mungkin mereka merasa derajat mereka lebih tinggi dari pada aku karena aku cuma seorang spg.
Kalau suamiku yang sekarang sih baik, cuman rada cemburuan aja. Makanya aku disuruh berhenti jadi spg sama dia.
Aku sih iya-iya aja, asalkan dia bisa ngasih aku duit yang jumlahnya lebih banyak dari penghasilan aku sebagai spg.
Cuman masalahnya suamiku yang sekarang jarang banget pulang ke rumah. Makanya aku suka bete soalnya nggak bisa kemana-mana.”
Mbak Callista lalu mengaduk minuman coklat yang dipesannya kemudian meminumnya.
Quote:
“Suami mbak yang sekarang kerja dimana? Kok jarang pulang?” tanya Lisa.
Semoga Lisa tidak mengajukan pertanyaan yang salah kali ini.
“Suami ku lebih sering di rumah istri tua nya. Ke rumah ku biasanya paling seminggu 1 atau 2 kali. Soalnya dia harus cari alasan dulu ke istri tua nya.”
“Maklum, nasib jadi istri simpenan.” tutupnya sambil tersenyum.
Another wrong question.
Tapi walaupun sudah beberapa kali kami menanyakan pertanyaan yang secara tidak sengaja malah membuka kehidupan pribadi mbak Callista, mbak Callista tetap tenang. Malah dengan santai dia menceritakan semuanya tanpa beban. Seolah itu adalah suatu hal yang biasa saja.
Padahal untuk kami(sekelompok perempuan dengan cerita hidup yang benar-benar biasa saja), yang barusan kami dengar dari mbak Callista ini tentu sangat mengejutkan. Bagaimana bisa seseorang yang hidup dengan berbagai macam persoalan, masih bisa tersenyum setiap kali dia berbicara?
Tuhan, kenapa engkau tidak adil?
Bagaimana bisa semua masalah itu kau berikan sekaligus kepada seorang perempuan muda seperti mbak Callista?
Quote:
“Duh, ko jadi diem-dieman lagi sih?” tanya mbak Callista memecah keheningan yang lagi-lagi hadir di antara kami.
“Kita jadi nggak enak, mbak jadi menceritakan tentang hidup mbak. Maaf ya mbak, kita nggak ada niat sama sekali mau membuka kehidupan pribadi mbak.” ucapku dengan nada menyesal.
“Loh nggak papa, kan yang mau cerita juga aku. Entah kenapa, rasanya pengen aja gitu cerita sama kalian. Ya, anggap aja ini buat pembelajaran kalian juga. “ sahutnya masih sambil tersenyum.
Kami cuma mengangguk pelan sambil berusaha tersenyum.
“Kalian belum ada yang nikah kan?” tanya mbak Callista pada kami.
“Iya mbak, di geng kami baru Kinan yang udah nikah. Hehe” sahut Lisa.
“Nih, aku kasih pesan ya buat kalian. Laki-laki kaya suami ku, yang suka kabur ke perempuan muda, mereka tuh nyari sesuatu yang nggak bisa dia dapatkan dari istri nya. Perhatian, dan juga penampilan.
Jadi jangan pernah merasa pernikahan kalian aman walaupun kalian udah menikah berpuluh-puluh tahun.
Tetap perhatiin suami kalian, jangan dikurang-kurangin lah pokoknya perhatian buat dia.
Terus dandan lah yang cantik sekali sekali buat suami. Jangan dasteran terus muka awut-awutan aja yang dikasih liat sama suami.
Suami ku yang sekarang ini nih. Beda umurnya sama aku itu ada kali 30 tahun. Pernikahan dia sama istri tua nya juga udah lama banget. Anaknya udah pada gede juga.
Tapi dia ngakunya sih istrinya sudah kurang perhatian sama dia, dan mungkin nggak jaga penampilan juga, makanya dia kepincut sama aku.” ujarnya sambil tersenyum.
“Tapi mbak, kalau suatu saat istri tua nya tau soal mbak, mbak mau gimana?” ujarku memberanikan diri bertanya padanya.
Dia tersenyum sembari meminum minumannya.
“Ini bukan kali pertama aku nikah diam-diam sama suami orang. Makanya aku sudah paham gimana aturan mainnya.
Dulu, setelah aku diceraikan, kedua laki-laki itu pergi begitu aja. Mana sering dikasarin, pas di cerai juga nggak dapet apa-apa. Rugi banget pokoknya.
Makanya, sama suami ku yang sekarang, aku minta belikan mobil sama rumah. Kedua nya aku minta atas namaku. Jadi kalau sewaktu-waktu istri tua nya tau, dan aku akhirnya terpaksa berpisah sama suami ku, aku udah punya pegangan.
Terus? Ya tinggal cari aja suami yang baru. “ ucapnya santai masih dengan senyumnya.
“Hati mbak gimana? Emang nggak sedih ditinggal sama suami?” celetuk Firsty.
“Hmm... Kalau jadi istri simpenan ya jangan terlalu pakai hati.
Jangan sepenuhnya percaya sama mulut laki-laki yang ngaku nya lagi nggak bahagia sama istrinya. Itu alasan aja buat pembenaran dia. Alasan utamanya tetep aja nafsu.
Kalau udah tua atau sakit-sakitan, ntar juga berhenti main sama istri muda. Baliknya pasti ke istri tua juga.
Istri muda kaya aku sih, mana ada yang mau ngurusin orang tua dan sakit-sakitan? Duitnya juga pasti udah nggak ada. Mending cari yang lain.
Sebaliknya nih, kalau ada istri muda yang ngaku, dia rela jadi simpenan karena cinta, sini suruh ketemu aku. Biar aku teriakin di mukanya, kalo omongan dia tuh bullshit!
Karena nggak ada ceritanya, membangun cerita cinta di atas cerita cinta orang lain.” tutup mbak Callista mengakhiri ceritanya.
Aku benar-benar tidak menyangka bahwa cerita seperti ini dapat aku dengar langsung dari pelakunya.
Masih ada dilema besar dalam hatiku yang memperdebatkan tentang apakah yang dilakukan mbak Callista itu salah atau benar. Di satu sisi, dia seperti ini karena keadaan. Di sisi lain dia secara tidak langsung dia hanya menjadi bom waktu, yang sewaktu-waktu bisa saja meledak dan menghancurkan keluarga suaminya.
Aku bersyukur keluargaku sendiri termasuk keluarga yang sudah bertahan hampir berpuluh tahun, dan semuanya baik-baik saja. Ayah dan Ibu masih selalu harmonis dan mesra di usia mereka yang sudah tidak muda lagi. Dan siapapun yang melihat mereka berdua pasti akan mengerti, bahwa mereka saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Sehingga aku percaya tidak akan ada sosok seperti mbak Callista yang hadir di antara mereka.
Tapi, entah kenapa
feelingku mengatakan Tuhan punya alasan lain, kenapa Dia mempertemukan dan mengumpulkanku dengan mbak Callista malam ini. Entahlah apa.
Tok tok tok...
Ada seseorang yang mengetok kaca mobilku saat aku sedang memakai sabuk pengaman.
Ah, rupanya mbak Callista.
Quote:
“Kenapa mbak?” tanyaku.
“Say, aku minta kontak kamu dong. Siapa tau kapan-kapan bisa jalan berdua? Aku nggak punya temen disana. “ ucap mbak Callista padaku.
“Ohh, boleh mbak. Handphone mbak mana?”
Dia pun memasukkan tangannya ke dalam tas tangannya dan mencari-cari sesuatu disana.
“Aduh, handphone ku ketinggalan di mobil. ” ujarnya sambil memukul pelan dahinya.
“Ya udah, kontak mbak aja masukkin sini, nanti aku kontak mbak duluan.” sahutku sambil mengulurkan handphoneku padanya.
“Nah, itu masalahnya. Aku nggak hapal. Hehehe Sebentar deh, aku ambil ke mobil ya.”
Aku hanya mengangguk, dan perempuan cantik yang penuh dengan cerita mengejutkan itu pun berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan.
Quote:
Lisa POV
Quote:
“Nggak nyangka ya, cewek umur 27 tahun cerita hidupnya bisa serumit itu.” celetuk perempuan yang duduk di sampingku.
Matanya menatap ke depan, ke sosok perempuan cantik yang barusan berpamitan kepadanya untuk mengambil handphone.
“Iya, aku juga nggak nyangka.” sahutku singkat.
Aku pun merenung memikirkan cerita panjang yang aku dengar dari mulut mbak Callista tentang hidupnya, ketika kami duduk di meja yang sama di dalam cafe tadi.
Tuhan, kenapa engkau tidak adil?
Di saat ada orang yang cerita hidupnya begitu rumit dan (menurutku)menyedihkan seperti mbak Callista, di sisi lain engkau juga menciptakan orang yang cerita hidupnya begitu indah seperti Intan, perempuan di sampingku ini.
Intan adalah sahabatku sejak SMP. Berbeda dengan aku, Kinan, dan Firsty yang menetap di kota ini hingga sekarang, Intan terpaksa mengikuti keluarganya yang kembali ke kota kelahirannya di pulau seberang sana setelah lulus SMP. Sebelum akhirnya dia kembali ke pulau ini untuk kuliah.
Sifatnya sangat baik bak malaikat. Dia bahkan selalu menjauh setiap kali kami membicarakan tentang orang lain. Dia juga tidak suka memandangi orang lain lama-lama. Pokoknya, prinsip hidupnya adalah, “jangan memperlakukan orang lain, dengan perlakuan yang tidak ingin kamu terima dari orang lain”.
Intan yang cantik ini juga menguasai semua subjek pelajaran tanpa terkecuali. Dia juga anak bungsu dari 4 bersaudara yang hidupnya selalu di banjiri oleh luapan cinta dan kasih sayang oleh keluarganya. Baik secara moril, maupun materiil tentunya. Keluarganya sangat berkecukupan. Sehingga setiap permintaan Intan nyaris selalu dikabulkan oleh orang tuanya.
Setahun kemudian, kami mendengar kabar bahwa Ayah Intan dipercayai untuk membuka cabang usaha di kota sebelah, kota Jamrud. Tapi keluarga Intan enggan kembali ke pulau ini, dan memutuskan untuk tetap tinggal di kota asalnya saja, karena mereka tidak ingin jauh dari keluarga besar mereka. Ayah Intan pun mengalah, dan memutuskan untuk pulang-pergi setiap minggunya.
Quote:
Drrrttt.S E N S O Rrrrttt.S E N S O Rrrrttt...
“Halo? Iya bu?” ucap Intan yang sepertinya sedang menjawab panggilan dari ibunya.
Mungkin Ibu nya lagi kangen sama anak bungsu nya ini.
“Bu? Ibu kenapa? Ibu nangis?” ucapnya panik.
“Ibu? Bu ngomongggg! Jangan bikin Intan khawatir! Bu? Halo? Ibu??”
Wajahnya langsung terlihat kusut setelah panggilan telepon itu terputus.
“Ibu kenapa Tan?” tanyaku sambil menghadap ke arahnya.
“Nggak tau. Pas aku angkat Ibu cuman nangis, nggak ngomong apa-apa. Cuman satu kata yang tadi diucapin Ibu berulang-ulang.” sahutnya panik.
“Apa?”
“Ayah.” sahutnya singkat sambil menatapku.
Dia kembali melihat layar ponsel nya setelah ponsel itu bergetar pendek menandakan pesan masuk.
Dan sejurus kemudian wajahnya tiba-tiba berubah dengan perhatian yang masih terfokus pada ponselnya.
Wajah Intan yang tadinya panik berubah menjadi datar.
“Intan?” tanyaku pelan.
Intan tak menjawab, dia hanya menyerahkan ponsel nya kepadaku.
Dan setelah melihat apa yang ada di layar ponsel Intan, aku mengerti alasan di balik berubahnya wajah Intan itu.
Sebuah pesan singkat dari abang nya,
Quote:
Dek, Ayah selingkuh.
Ibu kolaps, sekarang kami lagi bawa ibu ke IGD.
Kamu pulang sekarang. Jangan temuin Ayah. Jangan angkat telpon Ayah.
Di bawah pesan itu, disertakan sebuah foto.
Foto laki-laki yang aku kenali sebagai Ayah Intan, sedang dicium tangannya oleh seorang perempuan cantik, didepan sebuah rumah yang tentu saja bukan rumah Intan.
Dan perempuan itu, secara mengejutkan adalah perempuan yang kami berdua kenal dengan sangat baik.
Aku pun menghembuskan nafasku pelan sambil memiringkan tubuhku pelan ke arah Intan. Aku bersiap untung menenangkan Intan yang aku yakin jauh lebih terkejut dibandingkan aku. Ya, tentu saja. Anak mana yang akan tenang mengetahui Ayah nya ternyata memiliki perempuan lain?
Tapi saat aku melihat wajahnya, dia hanya diam. Tidak ada air mata yang kukira akan mengalir dari kedua mata indahnya. Tidak ada sedikitpun kesedihan disana.
Wajahnya dingin dengan mata yang menatap lurus ke depan.
Ke arah Firsty, dan mbak Callista yang sedang berjalan ke arah kami sambil melambaikan tangan dan tersenyum.
Dan tanpa sempat ku hentikan, Intan sudah terlanjur menginjak pedal gas mobilnya dengan dalam, sambil menatap tajam ke satu wajah.
Tuhan, kalau engkau memang tidak bisa adil, maka aku akan menciptakan keadilan itu sendiri.
Aku lepas pedal rem, dan aku injak pedal gas dalam-dalam, dan membiarkan mobil ini melesat cepat menuju perempuan itu.
Perempuan sialan yang menghancurkan keluarga indahku!
-TAMAT-