- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[#SFTHChallenge] MAUT DI SERAUT WAJAH REMAJA


TS
bijikude
[#SFTHChallenge] MAUT DI SERAUT WAJAH REMAJA
![[#SFTHChallenge] MAUT DI SERAUT WAJAH REMAJA](https://s.kaskus.id/images/2018/01/29/8607335_201801291104030522.jpg)
![[#SFTHChallenge] MAUT DI SERAUT WAJAH REMAJA](https://s.kaskus.id/images/2018/02/02/8607335_201802021023470965.png)
Quote:
Quote:
~~~
Ku beritahukan ini padamu, kawan. Akan ku ceritakan sebuah kejadian yang mengubah segalanya saat pelarianku beberapa bulan lalu. Andai saja saat itu aku mendengarkan nasehatmu.
Ya, andai saja.
Saat kau membaca surat ini, saat itu juga kau mendapat kabar bahwa aku sudah mati.
Awal kisahnya seperti yang kau tahu, kawan.
Sesuai dengan saranmu waktu itu, engkau memintaku bersembunyi beberapa waktu setelah mengetahui musuh-musuh kita di bisnis kotor ini ingin sekali mencabut nyawaku, setelah organisasi kita berhasil mengungguli dominasi mereka di kota ini. Terlebih lagi, aku berhasil menjatuhkan beberapa petinggi musuh-musuh kita. Aku berhasil mengirim mereka ke penjara.
Tentu saja, semua itu harus dibayar mahal dengan keberlangsungan napasku ini. Mereka menemukan pola jerat yang ku buat. Mereka memintaku membayar kelicikanku dengan nyawa yang mengalir di nadiku.
Sesuai saranmu, aku pun menghilangkan jejak, menghindari peluru-peluru panas yang siap merobek darahku, menghindari hingar bingar dunia kotor kita.
Aku melarikan diri ke suatu tempat di belantara lembah yang aku pun tidak tahu dimana, hanya engkau seorang yang tahu lokasinya. Seolah bersembunyi di antah berantah ini belum cukup, engkau menyertakan dua orang pengawal dengan senjata yang selalu siaga untuk menjagaku.
Aku berterima kasih padamu, kawan. Karena berkatmu jua, aku masih merasakan kehidupan masih mengaliri tiap inci kulitku.
Cerita petaka ini dimulai, ketika aku terbangun mengigil di suatu pagi yang berkabut.
Entah sudah hari keberapa kala itu. Yang jelas, aku bosan selalu terbangun dalam kondisi seperti itu.
Rumah sederhana tempatku bersembunyi ini memang berada terpencil dari perkampungan terdekat yang masih sedikit primitif, tapi kedua pengawal kirimanmu selalu memenuhi kebutuhanku dengan segera. Sepertinya kedua orang itu tak pernah terlelap. Mereka masih berjaga ketika aku hendak memenjamkan mata, dan masih terjaga ketika aku terbangun. Entahlah, yang jelas, nyawaku berada diantara selongsong peluru-peluru mereka. Seperti dua ekor anjing menjaga seekor domba gembala.
Pagi hari di lembah belantara selalu dijebak kabut dingin. Uap air melayang itu baru hilang ketika sinar matahari mulai menggapai ceruk-ceruk di tempat sela-sela pegunungan ini.
Setelah sublimasi kabut itu, para penduduk di desa terdekat baru memulai aktifitasnya. Sekelompok penduduk berbondong mengarah ke ladang yang jalannya melalui jalan kecil di depan rumah persembunyianku ini. Dan aku biasanya tengah menghidup aroma kopi hangat sambil bersedekap selimut di kursi teras depan ketika mereka mulai melewati depan rumah.
Denting beradu dari alat pertanian yang mereka pikul, cara lugu khas pedesaan ketika mereka menyapa, itulah satu-satunya pengusir jenuhku yang hanya sesaat. Aku tidak benar-benar peduli.
Hari demi hari, kejenuhan ini semakin menumpuk. Aku mulai merindukan gemerlap kota ketika malam. Asap diskotik, wanita-wanita cantik, juga citarasa alkohol. Aku rindu bersosialisasi.
Suatu pagi di hari berikutnya, ketika para penduduk lewat lagi, aku membalas sapaan mereka satu demi satu. Ku amati wajah-wajah mereka. Para lelakinya dengan pahatan wajah yang tegas dan legam, khas para pekerja keras yang tiap hari menantang matahari. Lalu, para wanitanya yang kebanyakan berusia paruh baya, memiliki kulit yang bersih. Senyum ramah mereka selalu melekat ketika bersua denganku.
Tapi, mendadak mataku terpaku pada seraut wajah remaja diantara mereka. Wajah itu milik seorang gadis yang membawa anyaman bambu di pelukan pinggangnya.
INDAH. Itu kata pertama yang terlontar tanpa sadar ketika aku menatap wajahnya. Ya, itu pertama kalinya mulutku mengatakan sesuatu tanpa sanggup aku kendalikan. Apa mungkin sorot mata si gadis dingin itu menciptakan sebuah hipnotis?
Kecantikan polos yang sederhana, bagiku bahkan melebihi paras wanita-wanita kota bermaskara tebal yang selalu menatap genit dan tersenyum binal, yang setiap malam kulihat selalu mengelilingi dirimu, kawan. Ya, memperlihatkan seolah engkau sang bajingan, kawan. Padahal justru mereka itu merampok harta dan syahwatmu dengan bibir bergincu dan semprotan pheromone di selangkangan dan juga di belahan dada , bukan begitu?
Tapi tak seperti para penduduk lainnya, yang mengadahkan wajah ketika menyapa, gadis itu hanya menunduk. Hanya melirik dingin melalui sudut matanya, tak nampak senyuman sama sekali.
Keindahan wajah yang beku itu berlalu ketika para petani itu menghilang di jalan berkelok di sisi sana.
Aku menanyakan wanita itu pada pengawal. Mereka bilang, gadis itu adalah si bunga desa. Banyak di gilai pemuda-pemuda disana, namun pinangan mereka selalu ditolaknya.
Aku meminta mereka mereka untuk mengatur pertemuanku dengan gadis itu, kedua pengawal hanya saling pandang, lalu mengangkat bahu.
***
Entah cara apa yang mereka lakukan, dua hari kemudian pengawal itu memberitahukan bahwa gadis itu bersedia ditemui. Apakah aku senang? Untuk ukuran seorang wanita yang berharga diri tinggi seperti si gadis desa, tentu saja iya!
Aku pun bertamu.
Kami saling berbicara.
Aku bercerita tentang hidupku, mengapa aku bisa sampai tersesat di desa itu, tapi tentu saja aku menyembunyikan bagian cerita kelam kita, kawan.
Setelah hari itu, aku bertamu ke rumah gadis itu hampir setiap hari. Ketahui saja kawan, kehidupanku yang membosankan di tempat dingin ini mulai menjadi menarik. Si gadis bunga desa itu yang merubah keadaannya.
Kami menjadi semakin dekat, hingga suatu kali, aku meminta supaya gadis itu mengajakku berkeliling desa. Ia menyanggupinya. Ia mulai membawaku berjalan-jalan.
Namun bukannya pemandangan indah pedesaan yang ku lihat di sepanjang perjalanan itu, aku malah melihat jelas pandangan-pandangan sinis beberapa pemuda setempat. Mata mereka memancarkan aura kebencian. Aku mengerti akan hal itu, kawan. Aku merebut pujaan hati mereka, si gadis bunga desa.
Hingga suatu hari, aku berkeliling bersama si bunga desa tanpa kedua pengawalku, beberapa pemuda mencegatku di tengah jalan. Mereka mengancamku untuk menjauhi si bunga desa.
Malam hari setelahnya, aku menceritakan hal itu pada kedua pengawalku. Aku memerintahkan kedua orang itu untuk menyingkirkan pemuda-pemuda yang menyukai si bunga desa.
Perlahan tapi pasti. Satu demi satu pemuda yang mengancamku ketika itu mulai menghilang dan tak pernah kembali, beberapa lainnya tak berani menatap mataku ketika kami bertemu. Para pengawalku bekerja dengan baik. Pemuda-pemuda mulai menghindari si bunga desa meski aku tak tahu bagaimana para pengawal ini melakukannya.
Aku kembali leluasa mengakrabkan diri dengan gadis pemilik pesona eksotis itu. Semakin hari, kami menjadi semakin dekat. Cukup dekat hingga akhirnya pesonanya itu membutakan mataku.
Dalam suatu obrolan tentang masalalu kami, aku menceritakan kisah diriku yang sejatinya. Mengisahkan dunia kelamku, dunia kita, kawan. Sungguh, pesona yang dimilikinya mampu menutupi akal sehatku. Atau memang inilah yang pujangga bilang, cinta buta?
Gadis bunga desa itu nampak membulatkan matanya sejenak, namun kemudian seraut wajah remaja itu tersenyum manis seolah tidak mempersoalkan hal itu.
Itulah awal mula petaka nya, kawan. Langkah awal dari kematianku. Bunga desa itu menjadi malaikat mautku. Penebar bunga di hari pemakamanku. Sebuah ironi, ketika aku tak paham, cinta atau dusta yang ku hirup saat itu?
Suatu kali, si bunga desa itu membawaku ke atas sebuah bukit. Perjalanan menanjak kami tempuh dengan kedua pengawalku mengikuti kami jauh dari belakang. Beberapa semak berduri menceracah kakiku, tapi semua itu terobati ketika menatap seraut wajah remaja dibasahi peluh dengan bibir terengah menghirup udara tengah tersenyum melangkah sembari menarik jemariku.
Kemudian ia tersandung, sedangkan jemarinya masih menggenggam tanganku. Dan kejadian selanjutnya mirip sekali dengan kisah – kisah picisan yang biasanya selalu dinafikan orang-orang, sialan.
Melihat seorang bidadari merebah diatas permadani rerumputan, dengan bias cahaya yang membuat pudar dunia dan hanya memfokuskan mata pada keindahan tersebut. Angin yang membelai ujung dedaunan, menyingkap potongan kain yang dipakai untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.
Pipinya merona, ia tersenyum malu meski saat itu aku tahu, ia tengah menggodaku dengan pesona surganya.
Aku menyambut bagian surga itu, kawan. Pria mana yang bagian tubuhnya tak bergetar, ketika tampak di depan matanya sesosok bidadari bergaun putih tengah merebah, dengan lekukan tubuhnya yang tersingkap menunggu untuk dijamah?
Kau tahu bagaimana sensasi yang ku dapat saat itu, kawan? Jika dongeng tentang malaikat jatuh yang bercinta bersama seorang anak manusia itu benar – benar terjadi, itu adalah kisah tentang aku dengan si bunga desa. Tak perlu kau tanyakan bagaimana rasanya bercinta, kawan. Engkau jauh lebih mengerti daripada aku.
Entah berapa lama kamu bergumul hingga kehabisan napas, si bunga desa kembali bangun dan menarikku berjalan seolah bercinta bukanlah kegiatan yang menghabiskan energi baginya.
Sesampainya di atas bukit, indahnya pemandangan membayar semua rasa lelah kami. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan pepohonan hingga ke ujung horizon. Sebuah sungai kecil nampak membelah kesatuan hijaunya. Sungai kecil itu berasal dari sebuah air terjun yang berada di puncak bukit yang kunaiki itu.
Dibawah bukit sana, bongkahan batu-batu besar menyeringai di sekitar tempat jatuhnya air terjun itu. Gemericik air menghantam bebatuan dibawah sana, membiaskan cahaya, menjadi sebatang pelangi kecil. alam itu nampak romantis, kawan. Jika kau nikmati bersama si bunga desa.
Di atas bukit, sang bunga desa memintaku memetik serumpun anggrek ungu yang tumbuh di celah bebatuan lembab tak jauh dari tempat kami berdiri. Aku menurutinya. Ku arahkan langkah menuju anggrek ungu itu.
Ketika tanganku tengah berusaha menggapai tangkainya, tiba-tiba suara ledakan menyalak, menggema di ceruk perbukitan. Bersamaan dengan itu, setitik rasa sakit menerpa punggungku. Darahku bersemburat keluar dari lubang yang baru saja tercipta di bagian dada kiri. Rasa sakitnya merebak dengan cepat. Pandangan mata mendadak kabur seiring lenguhanku, hingga akhirnya semua menjadi gelap.
Entah berapa minggu aku sekarat, kawan. Nampaknya hari-hari berlalu cepat. Ketika aku tersadar, luka di punggung dan juga dada kiri ku sudah mengering. Pengawalku bercerita, seorang pembunuh profesional bersembunyi di belakang pepohonan sambil membidikku. Para pengawalku berhasil mengejar dan segera menghabisinya. Mereka meyakini seorang penembak jitu dikirim oleh musuh-musuh kita untuk menghabisiku.
Memang, dilihat dari jejak luka ini, sebutir peluru khusus jelas diarahkan untuk melubangi jantungku. Aku bersyukur dewi kemalangan masih tak peduli pada bajingan ini. Peluru itu meleset beberapa inci dari targetnya. Aku tidak jadi mati, kawan. Peluru itu menembus dari punggung hingga ke dekat pergelangan bahu kiri.
Kemudian datang sepucuk surat darimu, kawan. Engkau resah persembunyianku tak lagi aman. Pengawalku menceritakan kedekatanku dengan si gadis bunga desa padamu, kan? Engkau mengira gadis cantik itu penyebabnya. Engkau memintaku mengambil pilihan, habisi gadis itu atau gadis itu yang akan menghabisiku.
Kawan, aku mencintai sang bunga desa, tapi aku juga mencintai hidupku sendiri. Aku kalut. Ditengah kekalutan itu, sebuah keputusan tolol ku ambil. Entahlah, aku yang hipokrit ini masih meyakini kejadian itu tak sengaja, tak ada kaitannya dengan si gadis desa. Tapi pengawalku terus saja mendesak, bahwa wanita ini racun, yang nantinya bias membunuhku dengan cara lain.
Hei kawan, bisakah engkau bayangkan? Seorang bajingan yang terkenal licik seperti diriku ini menjadi tolol karena bayang-bayang seraut maut wajah remaja? Diriku yang mampu menyingkirkan mafia-mafia saingan di kota kita, tak becus menghabisi seorang gadis desa. Pantaskah aku disebut bajingan, kawan?
Beberapa hari setelah luka ku mulai mengering, aku kembali menjumpai lagi sang bunga desa. Aku mengajaknya kembali ke air terjun di atas bukit. Nada suaranya bertanya, mengkhawatirkan diriku. Tapi sorot matanya berkata lain. Pandangan jijik seolah menelanjangi.
Kilasannya sama, pengawal membuntutiku jauh di belakang, jalan menanjak, duri semak-semak menceracah kaki, napas yang memburu udara, peluh di sekitar wajah. Wajahku, parasnya, Semua di selingi senyum-senyum palsu.
Setibanya kami di pinggir tebing di atas bukit air terjun, aku memetik anggrek ungu yang di inginkan si bunga desa, lalu ku berikan padanya.
Sang bunga desa menempelkan hidung, menghirup aromanya, berterima kasih sambil bergelayut manja di pelukan ku. Ia mengadahkan wajahnya ke arahku. matanya terpenjam, bibirnya terbuka. Aku mengecupnya mesra. Untuk sesaat, aku merasakan cinta.
Saat itu sore hari menjelang malam. Di ujung cakrawala sana, matahari merona diujung senja. Dari pinggir tebing di atas bukit air terjun kami menikmati kehangatannya. Aku memeluk tubuh si bunga desa dari belakang, Ia tersenyum mesra. Tanganku mengusap lembut punggungnya. Inilah saatnya.
Aku memenjamkan mata dan menarik napas. Mendadak kusentakkan tanganku ke depan, mendorong tubuh gadis ini sekuat tenaga ke depan sana.
Si bunga desa menjerit keras. Lengkingannya menyayat panjang, bergema di ceruk perbukitan. Jeritannya berakhir dengan suara mengerikan, berderak tulang belulang diadu bongkah bebatuan dibawah sana.
Seluruh tubuhku bergetar mendengarnya, kawan. Aku memaksakan diri menengok kebawah sana. Sang bunga desa kini berbaring di celah bebatuan lembab yang diselimuti lumut hijau bersemburat darah. Bentuk wajah remajanya yang cantik, kini tak sanggup ku gambarkan kengeriannya. Aku bergegas berlari pulang dengan tubuh yang bergetar hebat.
Itu kejadian empat jam yang lalu, saat aku menuliskan cerita ini. Kini para penduduk desa sedang mengelilingi rumah persembunyianku dengan berbagai senjata dan obor-obor api yang menggeliat murka mengitari sudut-sudutnya. Teriakan marah mereka dalam bahasa yang asing bagiku.
Tak pernah dinyana, sang gadis desa yang kucintai menjadi malaikat mautku. Buah kebodohanku. Maafkan aku, kawan. Aku tak bisa lari dari maut ku lagi. Kau akan melanjutkan bisnis kotor ini sendirian. Saat kau membaca kata-kata terakhirku ini, bersiap saja, mungkin engkau juga yang selanjutnya dijemput maut.
Quote:
*****
Diubah oleh bijikude 02-02-2018 11:03


tien212700 memberi reputasi
1
10.6K
Kutip
94
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan