Bukan Hanya Garam dan Beras, Ternyata Kampus Juga Impor
TS
widoko
Bukan Hanya Garam dan Beras, Ternyata Kampus Juga Impor
Spoiler for impor kampus:
Kebijakan pemerintah untuk mengimpor 500 ribu ton beras sekitar akhir Januari menandakan gagalnya program swasembada pangan yang dicanangkan Presiden Jokowi. Ironis memang. Di negeri yang katanya agraris sampai saat ini kita masih belum mampu mencukupi kebutuhan pangan sendiri.
Nilai impor Indonesia memang cukup tinggi. Sepanjang tahun 2017 saja mencapai 141 triliun lebih (kemendag.go.id). Yang memprihatinkan adalah diantara barang impor itu sebetulnya banyak yang bahan bakunya terdapat di dalam negeri, seperti garam dan beras.
Cambridge (sumber:unimara.ru]
Salah satu langkah untuk mengatasi ketergantungan impor menurut Zulkifli Hasan adalah dengan meningkatkan inovasi baru pada perguruan tinggi kita (jpnn.com, 31/8/17). Menurut Ketua MPR RI tersebut setiap perguruan tinggi harus mencetak mahasiswa yang berpengetahuan luas, kreatif dan mempunyai jiwa enterpreneur tinggi. Dengan bekal keilmuan dan kewirausahaan maka besarnya impor dapat ditekan.
Ironisnya, alih-alih menumbuhkan inovasi di kampus-kampus Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) malah akan mengimpor kampus dari luar negeri (Jawa Pos, 31/1). Kebijakan impor kampus ini tentu saja memantik gelombang penolakan, tapi Mohamad Natsir tetap bergeming.
Spoiler for alasan Pak Mentri:
Secara yuridis, Menteri Kemenristekdikti tetap melanjutkan rencana impor kampus itu karena tidak bertentangan dengan UU No. 12 tahun 2012 (Jawa Pos, 31/1). Tentu alasan ini perlu dicermati ulang. Karena menurut Pasal 6 UU tersebut pendidikan tinggi harus berpihak pada masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi. Sedangkan tujuan utama kampus luar negeri membuka kelas di Indonesia menurut Prof. Suyatno, Ketua Umum Forum Rektor Indonesia (FRI) seperti dilansir Jawa Pos ( 31/1) adalah bisnis.
Mohamad Natsir juga beralasan bahwa Indonesia sudah meratifikasi perdagangan bebas World Trade Organitation (WTO), dimana layanan pendidikan juga bagian didalamnya. Alasan ratifikasi perdagangan bebas ini juga perlu dikritisi. Karena bentuk layanan pendidikan tidak harus perguruan tinggi. Bisa berupa seminar atau pendidikan dan pelatihan (Diklat). Bisa juga tenaga pengajarnya saja.
Mengartikan pelayanan pendidikan dengan impor kampus tentu bertentangan dengan kewajiban perguruan tinggi untuk pembudayaan dan pemberdayaan bangsa sepanjang hayat (UU No. 12 Pasal 6). Jika kampus impor, budaya dan bangsa siapa yang dikembangkan?
Kekhawatiran akan protes dunia internasional jika Indonesia tidak terbuka pada perdagangan bebas WTO berkaitan dengan layanan pendidikan adalah berlebihan. Amerika sendiri sebagai dedenggkot WTO mengenakan pajak 20% untuk barang dari Meksiko dan 30% untuk impor panel surya demi proteksi produksi dalam negeri mereka.
Spoiler for terus gimana nich...?:
Jadi untuk mengehentikan ketergantungan impor kita harus meningkatkan inovasi pergururuan tinggi. Kalau perguruan tingginya impor...?
Spoiler for referensi:
kemendag.go.id
jpnn.com, 31/8/2017
Jawa Pos, 31/1/2018
UU No. 12 Tahun 2012