- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
#SFTHChallange "Aku akan Menjadi Seorang Ibu yang seperti Ibu"


TS
mitalara
#SFTHChallange "Aku akan Menjadi Seorang Ibu yang seperti Ibu"

Quote:
Aku akan Menjadi Seorang Ibu yang seperti Ibu
Quote:
Drrrt….drrrt…
Handphoneku yang terletak tepat di samping piring makan siang hari ini bergetar. Aku sedikit terkejut melihat kontak
ayah muncul di layar, dengan segera kuangkat. “Tumben
ayah telepon di jam-jam segini,” Pikirku.
“Hallo, ayah ada apa?,” Tanyaku santai sambil menyantap
lahap ayam penyet kesukaanku di kantin.
Aku mendengar suara ayah yang sesugukan seperti
menahan tangis, bukan seperti suara ayah yang biasanya.
“Kamu cepetan ke rumah sakit, ibu sakit,” Sahutnya.
“Sakit apa yah,” Tanyaku. Deg, perasaanku mendadak
menjadi tidak enak.
“Sudah sudah, nanti ayah jelaskan di rumah sakit. Kalau
kamu lagi kelas izin saja,” Sambung ayah.
“Iya, aku lagi istirahat makan siang kok. Aku segera ke
sana.” Sahutku sambil menekan tombol merah di
handphone.
Setelah ayah menjelaskan alamat rumah sakit, aku
bergegas mengambil tas dan membayar makananku, tanpa
menghabiskan nasi yang masih ada setengah porsi lebih.
Sepanjang menyetir, aku tidak bisa berhenti berpikir dan
meneteskan air mata. Ini pertama kalinya ibu masuk rumah sakit, yang aku tahu ibu tidak pernah mengeluh ketika ia
sakit, bahkan aku tidak ingat kapan terakhir kali ibu sakit.
Apabila ibu sakit, ia selalu menyembunyikannya dari ayah,
kakak, dan aku. Beliau tidak ingin membuat anggota
keluarganya khawatir dan merasa direpotkan, padahal kami tidak pernah merasa seperti itu.
Tiba-tiba aku teringat perkataan seorang peramal yang
pernah aku datangi di salah satu acara kampus setahun
yang lalu. Dengan menggunakan metode garis tangan, ia
membaca mengenai diriku. Meskipun, waktu itu aku hanya iseng untuk masuk ke standitu dan sebenarnya aku tidak
pernah percaya dengan adanya ramalan. Awalnya, sang
peramal hanya mengatakan hal yang sewajarnya seperti
menebak-nebak kegiatanku semasa kuliah dan soal jodoh
tentunya. Aku bersama dengan teman yang lain hanya
tertawa-tawa kecil sampai tawa itu terhenti ketika peramal
itu mengatakan, “Ibu kamu hanya akan menemani kamu
tidak lebih dari setengah perjalanan hidupmu, tapi kamu
akan hidup panjang umur sampai memiliki cicit.” Peristiwa
itu sudah setahun berlalu, tapi perkataan itu masih tetap
terngiang-ngiang dipikiranku sampai saat ini. Jujur saja,
aku bukan anak yang patuh kepada orang tua, tapi sejak
peramal itu mengatakan hal yang seperti itu, aku jadi
sedikit patuh dengan apa yang dikatakan orang tuaku
mesti tidak sepenuhnya. Seperti saat aku tidak diizinkan
untuk pergi ke luar kota bersama teman-teman, tentu aku
marah dan tidak keluar kamar seharian. Tapi, aku tetap
nurut untuk tidak pergi.
Handphoneku yang terletak tepat di samping piring makan siang hari ini bergetar. Aku sedikit terkejut melihat kontak
ayah muncul di layar, dengan segera kuangkat. “Tumben
ayah telepon di jam-jam segini,” Pikirku.
“Hallo, ayah ada apa?,” Tanyaku santai sambil menyantap
lahap ayam penyet kesukaanku di kantin.
Aku mendengar suara ayah yang sesugukan seperti
menahan tangis, bukan seperti suara ayah yang biasanya.
“Kamu cepetan ke rumah sakit, ibu sakit,” Sahutnya.
“Sakit apa yah,” Tanyaku. Deg, perasaanku mendadak
menjadi tidak enak.
“Sudah sudah, nanti ayah jelaskan di rumah sakit. Kalau
kamu lagi kelas izin saja,” Sambung ayah.
“Iya, aku lagi istirahat makan siang kok. Aku segera ke
sana.” Sahutku sambil menekan tombol merah di
handphone.
Setelah ayah menjelaskan alamat rumah sakit, aku
bergegas mengambil tas dan membayar makananku, tanpa
menghabiskan nasi yang masih ada setengah porsi lebih.
Sepanjang menyetir, aku tidak bisa berhenti berpikir dan
meneteskan air mata. Ini pertama kalinya ibu masuk rumah sakit, yang aku tahu ibu tidak pernah mengeluh ketika ia
sakit, bahkan aku tidak ingat kapan terakhir kali ibu sakit.
Apabila ibu sakit, ia selalu menyembunyikannya dari ayah,
kakak, dan aku. Beliau tidak ingin membuat anggota
keluarganya khawatir dan merasa direpotkan, padahal kami tidak pernah merasa seperti itu.
Tiba-tiba aku teringat perkataan seorang peramal yang
pernah aku datangi di salah satu acara kampus setahun
yang lalu. Dengan menggunakan metode garis tangan, ia
membaca mengenai diriku. Meskipun, waktu itu aku hanya iseng untuk masuk ke standitu dan sebenarnya aku tidak
pernah percaya dengan adanya ramalan. Awalnya, sang
peramal hanya mengatakan hal yang sewajarnya seperti
menebak-nebak kegiatanku semasa kuliah dan soal jodoh
tentunya. Aku bersama dengan teman yang lain hanya
tertawa-tawa kecil sampai tawa itu terhenti ketika peramal
itu mengatakan, “Ibu kamu hanya akan menemani kamu
tidak lebih dari setengah perjalanan hidupmu, tapi kamu
akan hidup panjang umur sampai memiliki cicit.” Peristiwa
itu sudah setahun berlalu, tapi perkataan itu masih tetap
terngiang-ngiang dipikiranku sampai saat ini. Jujur saja,
aku bukan anak yang patuh kepada orang tua, tapi sejak
peramal itu mengatakan hal yang seperti itu, aku jadi
sedikit patuh dengan apa yang dikatakan orang tuaku
mesti tidak sepenuhnya. Seperti saat aku tidak diizinkan
untuk pergi ke luar kota bersama teman-teman, tentu aku
marah dan tidak keluar kamar seharian. Tapi, aku tetap
nurut untuk tidak pergi.
***
Quote:
Sesampainya di parkiran rumah sakit, aku tidak langsung
turun dari mobil karena aku tidak ingin menunjukkan wajah
sedihku kepada mereka, apalagi kepada ibu. Aku ini tipe
ekspresif, gampang sekali terbaca orang lain kalau aku
sedang senang atau pun sedih. Setelah beberapa kali aku
menghembuskan nafas yang dalam untuk membuat diri ini sedikit tenang. Aku turun dari mobil dan menuju pintu
masuk.
Kamar Anggrek 21B, ya itu nomor kamar yang dikatakan
ayah tadi di telepon. Aku melihat ayah dan kakakku berada di ruang tunggu depan kamar. Tanpa berkata sepatah kata pun, aku tahu mereka sedang bersedih. Meski kakakku laki-laki, aku tahu sekali ia sedikit cengeng. Ia tidak pernah tega melihat orang sakit, seperti ia menangis ketika aku sakit.
Jadi karena itu ia lebih memilih menunggu di luar pikirku.
Saat mereka melihatku, mereka langsung menyuruhku
masuk melihat ibu di dalam. Di sana tampak tanteku yang
duduk di samping tempat tidur ibu, yang sedang tertidur
bersama selang-selang infus dan oksigen. Wajah ibu
terlihat sangat pucat dan tidak berdaya. Aku pernah di
posisi seperti itu, tetapi aku tidak ingin siapa pun dari
anggota keluargaku mengalami hal yang sama. Seandainya aku dapat menggantikan posisi ibu saat ini, pasti aku akan menggantikannya tidak hanya untuk menebus semua
kesalahan-kesalahanku di masa lalu, tetapi juga karena aku sayang ibu. Ini pertama kali, aku merasa takut kehilangan
beliau. Aku tidak tahan lagi untuk tidak meneteskan air
mata.
Aku tidak ingin ibu melihat aku menangis, saat beliau
terbangun nanti. Jadi, aku memutuskan untuk pergi keluar
sebentar untuk menenangkan diri dan berusaha menerima kenyataan ini. “Ini nyata bukan mimpi,” sahutku dalam hati seraya memukul-mukul kepalaku yang tidak pusing.
“Tante, aku keluar sebentar ya. Nanti kalau ibu sudah
bangun tolong telepon aku,” Kataku.
“Iya, doain terus ya buat ibu,” Sahut tanteku sambil
memberikanku Al-quran dan perlengkapan salat. Aku
menerimanya dengan tangan masih gemetar.
Ketika aku keluar, ayah dan kakakku sudah pergi. Mungkin keluar untuk cari makan atau mengambil sesuatu di rumah. Aku duduk dan menatap Al-quran dan perlengkapan salat
yang ada digenggamanku. Entah sudah berapa lama, aku
tidak pernah membacanya. Aku teringat, bulan puasa tahun lalu, setiap hari tanpa bosan ibu menyuruhku untuk
membaca Al-Quran dan salat, namun sekali pun aku tidak
pernah menuruti perkataannya. Aku selalu sibuk dengan
urusanku sendiri. Aku tidak ingat berapa kali aku tidak
berpuasa. Seringkali aku makan diam-diam di luar bersama
teman-temanku dan bahkan aku pernah makan di depan
ibu tanpa rasa bersalah. Aku benar-benar berdosa. Aku
anak yang durhaka. Air mataku terus menetes, aku tidak
kuat lagi untuk tidak menangis. Saat itu aku hanya
berharap dapat melalui puasa tahun ini bersama dengan
ibu. Aku tidak akan lagi tidak mendengar perkataannya.
Aku berjanji pada diriku sendiri, untuk patuh dengan
nasihat-nasihat ibu, karena pasti itu demi kebaikan anak-
anaknya bukan untuk beliau sendiri. Ketika aku mau
beranjak mengambil wudu ke musala yang ada di lantai
dasar, kakakku datang.
“Sebenarnya ibu sakit apa?,” Tanyaku sambil sesekali
menyeka air mata yang tiada berhenti.
“Hmmh… ibu didiagnosa kanker usus,” Sahutnya.
“Loh kok mendadak begini, memangnya ibu tidak pernah
merasakan gejala-gejalanya?,” Tanyaku lagi. Jujur saja
kaget sekali mendengar penyakit yang berhubungan
dengan kanker.
“Kamu tahu kan ibu gimana, ga pernah ngomong kalau
sakit. Yang sering di rumah kan kamu, seharusnya kamu
dong yang lebih tahu,” Sahut kakakku ketus.
Aku terdiam sejenak dan menunduk, ia memang mungkin
aku yang kurang peka dan peduli dengan ibu selama ini.
Aku terlalu egois, asyik dengan duniaku sendiri. “Selama ini ibu tidak pernah bilang kalau beliau setiap hari merasakan
sakit di daerah perutnya.”
“Tadi ibu sempat tidak mau dibawa ke rumah sakit. Baru
tadi ketika diperjalanan ke rumah sakit ibu memberitahu
apa yang dikeluhkannya selama ini. Ibu kira itu hanya sakit perut biasa, setiap hari hanya minum obat dari warung
sehingga tidak pernah memeriksakannya ke dokter.
Soalnya ibu takut didiagonasa penyakit yang parah. Sampai tadi pukul 09.00 ketika kamu sudah ke kampus, ibu
memegang perutnya dan menangis karena tidak dapat
turun apalagi beranjak dari tempat tidur. Kondisinya sangat lemah karena rasa sakit diperutnya, tapi udah diberi
suntikan obat sebagai penghilang rasa sakit” Jelas
kakakku satu-satunya ini.
“Kenapa baru jelasin penyakit ibu sekarang? Kenapa ga dari tadi?,” tanpa menunggu jawabannya lagi karena emosi, aku langsung berlari ke musala rumah sakit sesuai dengan
rencanaku semula.

turun dari mobil karena aku tidak ingin menunjukkan wajah
sedihku kepada mereka, apalagi kepada ibu. Aku ini tipe
ekspresif, gampang sekali terbaca orang lain kalau aku
sedang senang atau pun sedih. Setelah beberapa kali aku
menghembuskan nafas yang dalam untuk membuat diri ini sedikit tenang. Aku turun dari mobil dan menuju pintu
masuk.
Kamar Anggrek 21B, ya itu nomor kamar yang dikatakan
ayah tadi di telepon. Aku melihat ayah dan kakakku berada di ruang tunggu depan kamar. Tanpa berkata sepatah kata pun, aku tahu mereka sedang bersedih. Meski kakakku laki-laki, aku tahu sekali ia sedikit cengeng. Ia tidak pernah tega melihat orang sakit, seperti ia menangis ketika aku sakit.
Jadi karena itu ia lebih memilih menunggu di luar pikirku.
Saat mereka melihatku, mereka langsung menyuruhku
masuk melihat ibu di dalam. Di sana tampak tanteku yang
duduk di samping tempat tidur ibu, yang sedang tertidur
bersama selang-selang infus dan oksigen. Wajah ibu
terlihat sangat pucat dan tidak berdaya. Aku pernah di
posisi seperti itu, tetapi aku tidak ingin siapa pun dari
anggota keluargaku mengalami hal yang sama. Seandainya aku dapat menggantikan posisi ibu saat ini, pasti aku akan menggantikannya tidak hanya untuk menebus semua
kesalahan-kesalahanku di masa lalu, tetapi juga karena aku sayang ibu. Ini pertama kali, aku merasa takut kehilangan
beliau. Aku tidak tahan lagi untuk tidak meneteskan air
mata.
Aku tidak ingin ibu melihat aku menangis, saat beliau
terbangun nanti. Jadi, aku memutuskan untuk pergi keluar
sebentar untuk menenangkan diri dan berusaha menerima kenyataan ini. “Ini nyata bukan mimpi,” sahutku dalam hati seraya memukul-mukul kepalaku yang tidak pusing.
“Tante, aku keluar sebentar ya. Nanti kalau ibu sudah
bangun tolong telepon aku,” Kataku.
“Iya, doain terus ya buat ibu,” Sahut tanteku sambil
memberikanku Al-quran dan perlengkapan salat. Aku
menerimanya dengan tangan masih gemetar.
Ketika aku keluar, ayah dan kakakku sudah pergi. Mungkin keluar untuk cari makan atau mengambil sesuatu di rumah. Aku duduk dan menatap Al-quran dan perlengkapan salat
yang ada digenggamanku. Entah sudah berapa lama, aku
tidak pernah membacanya. Aku teringat, bulan puasa tahun lalu, setiap hari tanpa bosan ibu menyuruhku untuk
membaca Al-Quran dan salat, namun sekali pun aku tidak
pernah menuruti perkataannya. Aku selalu sibuk dengan
urusanku sendiri. Aku tidak ingat berapa kali aku tidak
berpuasa. Seringkali aku makan diam-diam di luar bersama
teman-temanku dan bahkan aku pernah makan di depan
ibu tanpa rasa bersalah. Aku benar-benar berdosa. Aku
anak yang durhaka. Air mataku terus menetes, aku tidak
kuat lagi untuk tidak menangis. Saat itu aku hanya
berharap dapat melalui puasa tahun ini bersama dengan
ibu. Aku tidak akan lagi tidak mendengar perkataannya.
Aku berjanji pada diriku sendiri, untuk patuh dengan
nasihat-nasihat ibu, karena pasti itu demi kebaikan anak-
anaknya bukan untuk beliau sendiri. Ketika aku mau
beranjak mengambil wudu ke musala yang ada di lantai
dasar, kakakku datang.
“Sebenarnya ibu sakit apa?,” Tanyaku sambil sesekali
menyeka air mata yang tiada berhenti.
“Hmmh… ibu didiagnosa kanker usus,” Sahutnya.
“Loh kok mendadak begini, memangnya ibu tidak pernah
merasakan gejala-gejalanya?,” Tanyaku lagi. Jujur saja
kaget sekali mendengar penyakit yang berhubungan
dengan kanker.
“Kamu tahu kan ibu gimana, ga pernah ngomong kalau
sakit. Yang sering di rumah kan kamu, seharusnya kamu
dong yang lebih tahu,” Sahut kakakku ketus.
Aku terdiam sejenak dan menunduk, ia memang mungkin
aku yang kurang peka dan peduli dengan ibu selama ini.
Aku terlalu egois, asyik dengan duniaku sendiri. “Selama ini ibu tidak pernah bilang kalau beliau setiap hari merasakan
sakit di daerah perutnya.”
“Tadi ibu sempat tidak mau dibawa ke rumah sakit. Baru
tadi ketika diperjalanan ke rumah sakit ibu memberitahu
apa yang dikeluhkannya selama ini. Ibu kira itu hanya sakit perut biasa, setiap hari hanya minum obat dari warung
sehingga tidak pernah memeriksakannya ke dokter.
Soalnya ibu takut didiagonasa penyakit yang parah. Sampai tadi pukul 09.00 ketika kamu sudah ke kampus, ibu
memegang perutnya dan menangis karena tidak dapat
turun apalagi beranjak dari tempat tidur. Kondisinya sangat lemah karena rasa sakit diperutnya, tapi udah diberi
suntikan obat sebagai penghilang rasa sakit” Jelas
kakakku satu-satunya ini.
“Kenapa baru jelasin penyakit ibu sekarang? Kenapa ga dari tadi?,” tanpa menunggu jawabannya lagi karena emosi, aku langsung berlari ke musala rumah sakit sesuai dengan
rencanaku semula.

Quote:
Sepanjang aku berdoa, hanya aku isi dengan kesembuhan
ibu dan janji-janjiku jika ibu sembuh nanti. Setelah hampir
sejam, aku kembali ke kamar ibu untuk bergantian jaga
dengan tanteku.
Selesai berdoa, aku pun kembali ke ruangan tempat ibu
berbaring.
“Tante, udah salat atau mau makan dulu? Biar aku gantian yang jaga ibu,” Tawarku sambil menyodorkan mukena.
“Ya udah, nanti tante ke sini lagi ya. Kalau ada apa-apa
hubungi tante ya,” Sahutnya.
“Baik tante.”
Aku menggenggam tangan ibu dengan kuat, berharap ia
cepat bangun karena aku ingin mendengar suaranya dan
melihat senyumnya lagi. Namun, aku juga tidak tega
membangunkannya. Setelah beberapa lama aku
memandangi ibu seraya mengingat-ingat kejadian masa
lalu saat bersama ibu. Saat aku sakit, ibulah yang
menungguiku seharian di rumah sakit. Ibu yang
menyuapiku makan, menyisir rambutku, menggantikan
pakaianku. Aku belum bisa membalas semua kebaikan ibu sampai saat ini. Aku ingin membalas kebaikan ibu, tapi
bukan dengan cara yang sama seperti ini.

Aku terus membacakan ibu ayat-ayat suci Al-quran.
Sampai beberapa menit setelahnya, aku merasakan ibu
menggerak-gerakan jari-jarinya di tanganku. Perlahan ibu
mulai membuka matanya dan tersenyum ke arahku, sesuai
dengan harapanku sebelumnya, akhirnya ibu tersadar.
Tangisku akhirnya pecah. Tangis sedih bercampur bahagia.
“Ibu…,” Teriakku sambil berusaha memeluknya.
“Kamu sudah datang nak, kamu ga bolos kuliah kan?,”
Tanya ibuku dengan wajahnya yang masih pucat.
“Udah, ga usah pikirin kuliah aku. Ibu mesti fokus dengan
kesehatan ibu. Aku bisa kok atur jadwalku sendiri,” Sahutku sambil meletakkan jari jemari ibu ke pipiku. Ibu memang
tidak pernah suka jika anaknya tidak masuk sekolah atau
kuliah. Bahkan ketika aku atau kakakku sakit pun, kami
tetap harus masuk kuliah. Ketika sd sampai sma, aku
memang menuruti ibu. Ketika kuliah aku mulai sering
bolos, dari rumah izin pergi ke kampus, tetapi aku hanya
nongkrong di kantin atau numpang tidur di perpustakaan
karena malas.
“Ibu tidak apa-apa nak, kamu jangan nangis. Usia kamu
sekarang sudah dewasa, kamu harus tegar dan bersikap
mandiri, jangan bergantung sama orang lain terus. Ibu tidak
bisa lagi masakin kamu sarapan, setrika pakaian kamu,
bahkan ibu mungkin tidak dapat lagi mendengar keluh
kesahmu karena tugas-tugas kuliah yang menumpuk.
Kamu jangan lupa salat lima waktu dan berpuasa ya nak,
nanti tidak akan ada lagi yang mengingatkan kamu jika ibu sudah tiada,” Panjang ibu sambil berusaha mengusap air
mataku.
“Ibu ga boleh ngomong gitu, ibu pasti sembuh. Pasti
sembuh. Dokter di sini kan hebat-hebat pasti bisa
mengobati ibu,” Kataku berusaha meyakinkan ibu. “Semua
keluarga juga lagi berdoa untuk kesembuhan ibu,”
Tambahku lagi.“Ibu mau lebih lama lagi menemani kamu
sayang, tapi ibu ga bisa. Maafin ibu ya nak. Ibu sayang
kamu. Doa ibu selalu menyertaimu nak, ibu selalu berharap
agar kamu bisa menggapai semua mimpi kamu dan tidak melupakan kewajiban ibadahmu. Semoga kelak kamu
menikah nanti, kamu mendapatkan suami yang dapat
membimbing kamu menjadi istri yang shalehah. Didiklah
anak-anak kamu dengan baik, mungkin ibu kurang bisa
mendidik kamu dengan baik selama ini, sehingga kamu
tumbuh seperti ini, maafin ibu ya nak,” Tambah ibu.
“Ibu, maafin aku. Aku mohon ibu tetap kuat, ibu tetap di sini menemani aku. Aku janji mulai saat ini aku akan rajin salat. Aku janji aku tidak akan merepotkan ibu lagi. Aku janji akan menuruti semua nasihat ibu.”
Ibu tetap tersenyum dan sedikit menganggukan kepala
sambil terus menatapku. Aku terus menggenggam
tangannya di pipiku. Tidak lama kemudian, ibu
memejamkan matanya dan meneteskan air mata. Ini
pertama kalinya aku melihat ibu meneteskan air mata.
“Tiiiiittt……………” terdengar suara itu dari sebuah mesin yang ada di sampingnya. Garis-garis yang tadinya
menggambarkan garis naik turun sepenuhnya menjadi
garis lurus. Aku tidak tahu itu mesin apa, tapi sepertinya
mesin untuk mendeteksi detak jantung. Aku bukan dari
jurusan kesehatan, maklum saja aku tidak tahu.
“Ibu…ibu…bangun,” Teriakku kencang.
Aku tidak mendengar lagi suara ibu, aku tidak lagi melihat
senyum ibu, bahkan hanya untuk merasakan hembusan
nafasnya. Aku menekan tombol pemanggil suster dan
memintanya untuk memanggil dokter yang merawat ibuku.
Seraya menunggu dokter datang, aku memanggil kakakku
yang di luar dan memintanya untuk menelepon ayah.
Ekspresi kakakku sudah lebih tegar, dari saat kutemui
pertama kali tadi. Seperti ia sudah bersiap diri apa pun
yang akan terjadi.
Tidak berapa lama kemudian, dokter dan para suster
masuk. Aku dan yang lain hanya diperkenankan menunggu
di luar. Saat itu tanteku yang baru saja kukabari datang,
sambil berlari kecil. Sedangkan, ayahku yang baru saja
sampai di rumah untuk mengambil beberapa barang yang
rencananya akan digunakan untuk menginap kaget
mendengar berita duka ini dari kakak. Kakak meminta ayah untuk mempersiapkan segalanya di rumah saja, tanpa
harus kembali ke rumah sakit.
ibu dan janji-janjiku jika ibu sembuh nanti. Setelah hampir
sejam, aku kembali ke kamar ibu untuk bergantian jaga
dengan tanteku.
Selesai berdoa, aku pun kembali ke ruangan tempat ibu
berbaring.
“Tante, udah salat atau mau makan dulu? Biar aku gantian yang jaga ibu,” Tawarku sambil menyodorkan mukena.
“Ya udah, nanti tante ke sini lagi ya. Kalau ada apa-apa
hubungi tante ya,” Sahutnya.
“Baik tante.”
Aku menggenggam tangan ibu dengan kuat, berharap ia
cepat bangun karena aku ingin mendengar suaranya dan
melihat senyumnya lagi. Namun, aku juga tidak tega
membangunkannya. Setelah beberapa lama aku
memandangi ibu seraya mengingat-ingat kejadian masa
lalu saat bersama ibu. Saat aku sakit, ibulah yang
menungguiku seharian di rumah sakit. Ibu yang
menyuapiku makan, menyisir rambutku, menggantikan
pakaianku. Aku belum bisa membalas semua kebaikan ibu sampai saat ini. Aku ingin membalas kebaikan ibu, tapi
bukan dengan cara yang sama seperti ini.
***

Aku terus membacakan ibu ayat-ayat suci Al-quran.
Sampai beberapa menit setelahnya, aku merasakan ibu
menggerak-gerakan jari-jarinya di tanganku. Perlahan ibu
mulai membuka matanya dan tersenyum ke arahku, sesuai
dengan harapanku sebelumnya, akhirnya ibu tersadar.
Tangisku akhirnya pecah. Tangis sedih bercampur bahagia.
“Ibu…,” Teriakku sambil berusaha memeluknya.
“Kamu sudah datang nak, kamu ga bolos kuliah kan?,”
Tanya ibuku dengan wajahnya yang masih pucat.
“Udah, ga usah pikirin kuliah aku. Ibu mesti fokus dengan
kesehatan ibu. Aku bisa kok atur jadwalku sendiri,” Sahutku sambil meletakkan jari jemari ibu ke pipiku. Ibu memang
tidak pernah suka jika anaknya tidak masuk sekolah atau
kuliah. Bahkan ketika aku atau kakakku sakit pun, kami
tetap harus masuk kuliah. Ketika sd sampai sma, aku
memang menuruti ibu. Ketika kuliah aku mulai sering
bolos, dari rumah izin pergi ke kampus, tetapi aku hanya
nongkrong di kantin atau numpang tidur di perpustakaan
karena malas.
“Ibu tidak apa-apa nak, kamu jangan nangis. Usia kamu
sekarang sudah dewasa, kamu harus tegar dan bersikap
mandiri, jangan bergantung sama orang lain terus. Ibu tidak
bisa lagi masakin kamu sarapan, setrika pakaian kamu,
bahkan ibu mungkin tidak dapat lagi mendengar keluh
kesahmu karena tugas-tugas kuliah yang menumpuk.
Kamu jangan lupa salat lima waktu dan berpuasa ya nak,
nanti tidak akan ada lagi yang mengingatkan kamu jika ibu sudah tiada,” Panjang ibu sambil berusaha mengusap air
mataku.
“Ibu ga boleh ngomong gitu, ibu pasti sembuh. Pasti
sembuh. Dokter di sini kan hebat-hebat pasti bisa
mengobati ibu,” Kataku berusaha meyakinkan ibu. “Semua
keluarga juga lagi berdoa untuk kesembuhan ibu,”
Tambahku lagi.“Ibu mau lebih lama lagi menemani kamu
sayang, tapi ibu ga bisa. Maafin ibu ya nak. Ibu sayang
kamu. Doa ibu selalu menyertaimu nak, ibu selalu berharap
agar kamu bisa menggapai semua mimpi kamu dan tidak melupakan kewajiban ibadahmu. Semoga kelak kamu
menikah nanti, kamu mendapatkan suami yang dapat
membimbing kamu menjadi istri yang shalehah. Didiklah
anak-anak kamu dengan baik, mungkin ibu kurang bisa
mendidik kamu dengan baik selama ini, sehingga kamu
tumbuh seperti ini, maafin ibu ya nak,” Tambah ibu.
“Ibu, maafin aku. Aku mohon ibu tetap kuat, ibu tetap di sini menemani aku. Aku janji mulai saat ini aku akan rajin salat. Aku janji aku tidak akan merepotkan ibu lagi. Aku janji akan menuruti semua nasihat ibu.”
Ibu tetap tersenyum dan sedikit menganggukan kepala
sambil terus menatapku. Aku terus menggenggam
tangannya di pipiku. Tidak lama kemudian, ibu
memejamkan matanya dan meneteskan air mata. Ini
pertama kalinya aku melihat ibu meneteskan air mata.
“Tiiiiittt……………” terdengar suara itu dari sebuah mesin yang ada di sampingnya. Garis-garis yang tadinya
menggambarkan garis naik turun sepenuhnya menjadi
garis lurus. Aku tidak tahu itu mesin apa, tapi sepertinya
mesin untuk mendeteksi detak jantung. Aku bukan dari
jurusan kesehatan, maklum saja aku tidak tahu.
“Ibu…ibu…bangun,” Teriakku kencang.
Aku tidak mendengar lagi suara ibu, aku tidak lagi melihat
senyum ibu, bahkan hanya untuk merasakan hembusan
nafasnya. Aku menekan tombol pemanggil suster dan
memintanya untuk memanggil dokter yang merawat ibuku.
Seraya menunggu dokter datang, aku memanggil kakakku
yang di luar dan memintanya untuk menelepon ayah.
Ekspresi kakakku sudah lebih tegar, dari saat kutemui
pertama kali tadi. Seperti ia sudah bersiap diri apa pun
yang akan terjadi.
Tidak berapa lama kemudian, dokter dan para suster
masuk. Aku dan yang lain hanya diperkenankan menunggu
di luar. Saat itu tanteku yang baru saja kukabari datang,
sambil berlari kecil. Sedangkan, ayahku yang baru saja
sampai di rumah untuk mengambil beberapa barang yang
rencananya akan digunakan untuk menginap kaget
mendengar berita duka ini dari kakak. Kakak meminta ayah untuk mempersiapkan segalanya di rumah saja, tanpa
harus kembali ke rumah sakit.
***
Quote:
Lima belas menit kemudian.
Dokter dan para suster keluar dari kamar ibuku. Aku
berharap tidak mendengar kata “maaf” dari mereka.
Namun,tidak semua apa yang kami inginkan akan terjadi. Mungkin ini memang yang terbaik buat ibu, Dokter berkata, ibu tidak dapat tertolong karena kondisi ibu yang sudah
sangat lemah ditambah kankernya sudah menyebar ke
bagian tubuh yang lainnya, sehingga amat terlambat untuk
diobati atau pun dilakukan operasi.
Ibu baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Kalau
saja aku tidak langsung ke sini, mungkin aku tidak sempat
meminta maaf dan bertemu dengan ibu untuk yang terakhir
kali. Aku pikir Allah tidak tega untuk membiarkan ibu sakit
lebih lama lagi, entah karena penyakitnya atau pun karena
kami anak-anaknya yang selama ini telah banyak melukai
hati ibu.
Semua ini masih terasa menjadi mimpi bagiku, karena tadi pagi sebelum ke kampus aku masih melihat ibu tersenyum seperti biasanya, meskipun hanya dari tempat tidur. Aku
berharap ibu mendapat balasan dari semua kebaikan dan
pengorbanannya demi keluarga selama ini. Aku tidak akan
pernah melupakan setiap hal yang kau ajarkan kepada
kami ibu, karena kelak aku juga akan menjadi seorang ibu.
Aku akan menjadi seorang ibu yang seperti ibu.
Dokter dan para suster keluar dari kamar ibuku. Aku
berharap tidak mendengar kata “maaf” dari mereka.
Namun,tidak semua apa yang kami inginkan akan terjadi. Mungkin ini memang yang terbaik buat ibu, Dokter berkata, ibu tidak dapat tertolong karena kondisi ibu yang sudah
sangat lemah ditambah kankernya sudah menyebar ke
bagian tubuh yang lainnya, sehingga amat terlambat untuk
diobati atau pun dilakukan operasi.
Ibu baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Kalau
saja aku tidak langsung ke sini, mungkin aku tidak sempat
meminta maaf dan bertemu dengan ibu untuk yang terakhir
kali. Aku pikir Allah tidak tega untuk membiarkan ibu sakit
lebih lama lagi, entah karena penyakitnya atau pun karena
kami anak-anaknya yang selama ini telah banyak melukai
hati ibu.
Semua ini masih terasa menjadi mimpi bagiku, karena tadi pagi sebelum ke kampus aku masih melihat ibu tersenyum seperti biasanya, meskipun hanya dari tempat tidur. Aku
berharap ibu mendapat balasan dari semua kebaikan dan
pengorbanannya demi keluarga selama ini. Aku tidak akan
pernah melupakan setiap hal yang kau ajarkan kepada
kami ibu, karena kelak aku juga akan menjadi seorang ibu.
Aku akan menjadi seorang ibu yang seperti ibu.
***
Quote:
*Sumber gambar: Google
Diubah oleh mitalara 30-01-2018 15:24


anasabila memberi reputasi
1
9.6K
Kutip
63
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan