- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[SFTHChallenge] Kisah Seorang Marxis Ibukota


TS
valerossi86
[SFTHChallenge] Kisah Seorang Marxis Ibukota
![[SFTHChallenge] Kisah Seorang Marxis Ibukota](https://s.kaskus.id/images/2018/01/23/8458664_201801230936130509.jpg)
Hallo semua, apa kabar? Udah lama juga gak nulis di sini. Pas ada event SFTH Challenge, jadi iseng juga pingin ikutan. Pas lagi kerjaan belum terlalu sibuk juga sih.
Cerita kali ini simple aja kok. Cerita dari pengalaman seseorang lah intinya. Well, enjoy the story lah ya!
Quote:
Sebuah kampus di pinggiran Jakarta di awal 2016
“Misi Mbak, mau ngumpulin tugas dari Mas Iwan baiknya taro mana ya?” tanyaku kepada sesosok wanita paruh baya yang duduk tepat di depan pintu kantor jurusanku.
“Di mejanya aja. Ada beberapa paper juga kok dari temen-temen kamu udah numpuk di sana. Nanti paling saya bilang ke Mas Iwan kalo tadi ada mahasiswanya nyariin. Orangnya lagi ada bimbingan tuh sama anak angkatan tua.”
“Baik Mbak. Terima kasih”
“Oh iya, nama kamu siapa? Angkatan berapa? Kok saya jarang liat kamu di kelas ya?”
“Saya Jordan, Mbak Kanti. 2015.”
“Oh… 2015 toh… Pantes… Kayaknya selama ini saya baru satu-dua kali ngajar di kelas anak 2015.”
Aku hanya meringis saja mendengarnya. Aku pun kemudian beruluk salam dan berpamitan kepada salah satu dosen senior di jurusanku itu.
Oh iya. Aku belum memperkenalkan diriku ya? Mungkin dari penggalan cerita di atas kalian sudah melihat namaku. Yup. Perkenalkan, namaku Jordan. Saat ini aku masih mahasiswa tingkat awal di salah satu kampus di pinggiran ibukota.
Apa yang special dariku sehingga kisahku perlu rasanya perlu ditulis di sini? Well, tidak seperti orang-orang di negeri ini pada umumnya, aku adalah seorang Marxis.
Sekali lagi: Aku adalah seorang Marxis.
Dan aku bangga dengan hal tersebut.
![[SFTHChallenge] Kisah Seorang Marxis Ibukota](https://dl.kaskus.id/rlv.zcache.com/proud_marxist_t_shirt-r52d8e93f31e44f4e979939f1e90f57d2_k2gr0_324.jpg)
Cacian, makian, ejekan dan sumpah serapah sudah jadi makananku sehari-hari karena pandanganku ini. Dan sebagian besar hal negative tersebut datang justru dari kelompok terdekatku: keluarga dan teman-teman seangkatan di kampusku. Bahkan kekasihku yang belum ada setahun ini berhasil kupikat pun sesekali mengejek pandanganku ini.
Ya, kamu tidak salah baca. Bahkan kekasihku sendiri.
Jadi siapa yang mendukungku dengan pandanganku ini? Rasanya hanya sedikit orang yang kukenal yang tidak mempermasalahkan pandanganku ini. Beberapa dari mereka bahkan mendukungku.
Abangku mungkin termasuk kelompok yang mendukung pandanganku ini walaupun sesekali ia mencela pandanganku ini. Tapi aku tahu betul ia memiliki pandangan yang sama denganku.
Orang lain yang satu pandangan denganku adalah Mas Iwan. Ya. Dosenku yang sedikit kusinggung di awal cerita ini. Aku sering berdiskusi dengannya soal pandanganku ini dan beberapa kali kami hadir dalam forum-forum di mana orang-orang yang memiliki pandangan yang sama dengan kami berkumpul.
-----
Kukirimkan pesan itu kepada Mas Iwan melalui aplikasi perpesanan instan di ponselku.
Kaget melihat interaksiku dengan Mas Iwan bisa sedekat itu? Well, Mas Iwan memang salah satu dosen paling asyik di jurusanku. Egaliter mungkin nama tengahnya. Tidak pernah menempatkan dirinya sebagai dosen yang maha mengerti segalanya jika berhadapan dengan mahasiswanya dan lebih menganggap mahasiswanya sebagai partner diskusi yang setara. Jadi tidak heran jika kelasnya seringkali sangat panjang karena ia selalu meladeni pertanyaan bahkan ‘tantangan’ debat dari mahasiswanya.
Lebih lagi, ia merupakan salah satu teman dekat Abangku sejak mereka SMA. Jadi sebenarnya aku sudah mengenal Mas Iwan jauh sebelum aku masuk ke kampus ini.
-----
Tidak lama setelah aku mengakhiri perbincangan daring dengan Mas Iwan tadi, ponselku berbunyi.
Nah, yang barusan itu kekasihku. Terlihat kan bagaimana ia sebenarnya tidak terlalu suka dengan pandanganku. Tapi apa boleh buat? Ia sudah kadung sayang kepadaku dan mau tidak mau menerimaku yang Marxis ini.
-----
Ruang besar itu cukup ramai malam itu. Sepertinya ada ratusan atau bahkan ribuan orang yang hadir di ruangan itu. Aku beberapa kali melihat wajah-wajah yang cukup familiar buatku dalam beberapa forum Marxis yang pernah kukunjungi.
Terasa ponselku bergetar dan kulihat ada pesan masuk dari Mas Iwan. Ia bilang ia baru sampai di parkiran dan memintaku menunggunya di dekat pintu masuk ruangan.
Setelah menunggu tidak begitu lama, Mas Iwan tiba dan mengajakku ke arah barisan depan dan bertemu beberapa Marxis kenalannya.
“Marxis sedunia, bersatulah!”, ucap salah satu dari mereka ketika melihat kedatangan kami yang tentu saja kami sambut dengan tawa.
Kami pun kemudian mengobrol bersama mereka sembari menunggu acara dimulai.
Beberapa menit kemudian lampu ruangan dimatikan dan seorang pembawa acara masuk dan membuka acara dengan line-line yang menurutku hanya sebatas ice breaker saja.
Kami para penonton pun bersorak meminta agar sang pengisi acara utama segera dihadirkan di atas panggung.
Dan tidak lama kemudian si pembawa acara mundur dan ini yang kami nantikan!
Mendadak kami semua terdiam dan melihat dengan mata kepala kami sendiri sosok paruh baya nan kharismatik itu mengambil posisi di panggung.
Kharismanya masih ada dan bahkan lebih kuat daripada yang pernah kulihat dari video. Usianya memang tidak muda lagi, namun terlihat raut wajah dan kharismanya seperti menantang takdir yang berbentuk usia. Senyumannya yang tulus seperti ingin meproklamirkan jika ia masih punya tenaga lebih dari cukup untuk kegiatan malam ini.
“Hello Jakarta!” ucap sosok kharismatik itu singkat.
Dan kami pun tenggelam dalam hysteria ketika melihat sosok itu. Itulah awal dari waktu-waktu terbaik kami di malam itu.
-----
“We love you Richard! More songs please! We want more!”, teriakku ketika Richard Marx memungkasi konser malam itu.
![[SFTHChallenge] Kisah Seorang Marxis Ibukota](https://dl.kaskus.id/cdns.klimg.com/kapanlagi.com/p/marx-bbb.jpg)
Tembang "Can't help falling in love" yang ia cover dari Elvis "The King" Prestley menjadi nomor pamungkas malam itu.
Mimik muka sosok 52 tahun itu terlihat bahagia melihat antusiasme penonton. Setelah membungkukkan badannya sebagai salam akhir Kemudian ia segera bergerak ke balik panggung dan meninggalkan kami yang juga mulai bergerak meninggalkan tempat konser.
Sembari mengantri keluar, kusempatkan mengirim kepada kekasihku satu foto hasil swafoto dengan latar belakang Richard Marx yang sedang bernyanyi di panggung.
Aku hanya menyeringai saja membaca responnya.
Yah, bagaimanapun aku bangga menjadi seorang Marxis!
“Misi Mbak, mau ngumpulin tugas dari Mas Iwan baiknya taro mana ya?” tanyaku kepada sesosok wanita paruh baya yang duduk tepat di depan pintu kantor jurusanku.
“Di mejanya aja. Ada beberapa paper juga kok dari temen-temen kamu udah numpuk di sana. Nanti paling saya bilang ke Mas Iwan kalo tadi ada mahasiswanya nyariin. Orangnya lagi ada bimbingan tuh sama anak angkatan tua.”
“Baik Mbak. Terima kasih”
“Oh iya, nama kamu siapa? Angkatan berapa? Kok saya jarang liat kamu di kelas ya?”
“Saya Jordan, Mbak Kanti. 2015.”
“Oh… 2015 toh… Pantes… Kayaknya selama ini saya baru satu-dua kali ngajar di kelas anak 2015.”
Aku hanya meringis saja mendengarnya. Aku pun kemudian beruluk salam dan berpamitan kepada salah satu dosen senior di jurusanku itu.
Oh iya. Aku belum memperkenalkan diriku ya? Mungkin dari penggalan cerita di atas kalian sudah melihat namaku. Yup. Perkenalkan, namaku Jordan. Saat ini aku masih mahasiswa tingkat awal di salah satu kampus di pinggiran ibukota.
Apa yang special dariku sehingga kisahku perlu rasanya perlu ditulis di sini? Well, tidak seperti orang-orang di negeri ini pada umumnya, aku adalah seorang Marxis.
Sekali lagi: Aku adalah seorang Marxis.
Dan aku bangga dengan hal tersebut.
![[SFTHChallenge] Kisah Seorang Marxis Ibukota](https://dl.kaskus.id/rlv.zcache.com/proud_marxist_t_shirt-r52d8e93f31e44f4e979939f1e90f57d2_k2gr0_324.jpg)
Cacian, makian, ejekan dan sumpah serapah sudah jadi makananku sehari-hari karena pandanganku ini. Dan sebagian besar hal negative tersebut datang justru dari kelompok terdekatku: keluarga dan teman-teman seangkatan di kampusku. Bahkan kekasihku yang belum ada setahun ini berhasil kupikat pun sesekali mengejek pandanganku ini.
Ya, kamu tidak salah baca. Bahkan kekasihku sendiri.
Jadi siapa yang mendukungku dengan pandanganku ini? Rasanya hanya sedikit orang yang kukenal yang tidak mempermasalahkan pandanganku ini. Beberapa dari mereka bahkan mendukungku.
Abangku mungkin termasuk kelompok yang mendukung pandanganku ini walaupun sesekali ia mencela pandanganku ini. Tapi aku tahu betul ia memiliki pandangan yang sama denganku.
Orang lain yang satu pandangan denganku adalah Mas Iwan. Ya. Dosenku yang sedikit kusinggung di awal cerita ini. Aku sering berdiskusi dengannya soal pandanganku ini dan beberapa kali kami hadir dalam forum-forum di mana orang-orang yang memiliki pandangan yang sama dengan kami berkumpul.
-----
Quote:
Mas, papernya tadi udah aku kumpulin ya. Ada di meja Mas Iwan sama paper-paper yang lain.
Kukirimkan pesan itu kepada Mas Iwan melalui aplikasi perpesanan instan di ponselku.
Quote:
Oke Jo. Terima kasih. Sori ya ga sempet ketemu tadi. Tadi ada konsultasi nih sama seniormu si Komang. Masya Allah deh ni anak! Mau nulis skripsinya tentang apa, teori yang dipakenya apa. Ibaratnya mau ke Bandung dari Jakarta aja kudu muter dulu sampe Atambua.
Quote:
Hyahahaha! Nikmatin aja Mas. Di situlah suka duka jadi dosen. Kan Mas Iwan sendiri yang pernah bilang.
Quote:
Kampret lu Jo! Ntar awas lu ya, paper lu gua corat coret.
Quote:
Dih, gitu mainnya. Mentang-mentang dosen.
Quote:
Yaelah. Gitu aja baper. BTW, ntar malem dateng kan?
Quote:
Wajib lah itu mah Mas. Marxis wajib hadir.
Quote:
Cakep. Itu baru Marxis! Bangga gua. Abang lu dateng?
Quote:
Gak tau deh. Doi mah Marxis yang rada denial gitu.
Quote:
Gak berubah tu makhluk dari dulu.
Quote:
Yowis. Nanti mau bareng atau gimana?
Quote:
Ga usah lah. Ketemu di sana aja. Gara-gara si Komeng ni gua jadi ikutan pusing bantu cari framework teori yang pas buat skripsinya.
Quote:
Ya udah sik lepasin aja tu anak bikin skripsi semau-maunya.
Quote:
Kredibilitas gua sebagai dosen pembimbing yang dipertaruhin di sini Tong!
Quote:
Yowislah. Sampe ketemu nanti malem Mas.
Quote:
Yo. See U tonight.
Kaget melihat interaksiku dengan Mas Iwan bisa sedekat itu? Well, Mas Iwan memang salah satu dosen paling asyik di jurusanku. Egaliter mungkin nama tengahnya. Tidak pernah menempatkan dirinya sebagai dosen yang maha mengerti segalanya jika berhadapan dengan mahasiswanya dan lebih menganggap mahasiswanya sebagai partner diskusi yang setara. Jadi tidak heran jika kelasnya seringkali sangat panjang karena ia selalu meladeni pertanyaan bahkan ‘tantangan’ debat dari mahasiswanya.
Lebih lagi, ia merupakan salah satu teman dekat Abangku sejak mereka SMA. Jadi sebenarnya aku sudah mengenal Mas Iwan jauh sebelum aku masuk ke kampus ini.
-----
Tidak lama setelah aku mengakhiri perbincangan daring dengan Mas Iwan tadi, ponselku berbunyi.
Quote:
“Hallo sayang. Nanti malem kamu jadi ke Kuningan?” terdengar suara lembut di ujung sana.
“Jadi dong. Secara ya… Marxis.”
“Kamu tuh udah aku bilangin berkali-kali. Umur masih segini tapi Marxis…”
“Marxisme itu universal, sayang.”
“Ya udah lah. Have fun ya.”
“Makasih sayang.”
“Jadi dong. Secara ya… Marxis.”
“Kamu tuh udah aku bilangin berkali-kali. Umur masih segini tapi Marxis…”
“Marxisme itu universal, sayang.”
“Ya udah lah. Have fun ya.”
“Makasih sayang.”
Nah, yang barusan itu kekasihku. Terlihat kan bagaimana ia sebenarnya tidak terlalu suka dengan pandanganku. Tapi apa boleh buat? Ia sudah kadung sayang kepadaku dan mau tidak mau menerimaku yang Marxis ini.
-----
Ruang besar itu cukup ramai malam itu. Sepertinya ada ratusan atau bahkan ribuan orang yang hadir di ruangan itu. Aku beberapa kali melihat wajah-wajah yang cukup familiar buatku dalam beberapa forum Marxis yang pernah kukunjungi.
Terasa ponselku bergetar dan kulihat ada pesan masuk dari Mas Iwan. Ia bilang ia baru sampai di parkiran dan memintaku menunggunya di dekat pintu masuk ruangan.
Setelah menunggu tidak begitu lama, Mas Iwan tiba dan mengajakku ke arah barisan depan dan bertemu beberapa Marxis kenalannya.
“Marxis sedunia, bersatulah!”, ucap salah satu dari mereka ketika melihat kedatangan kami yang tentu saja kami sambut dengan tawa.
Kami pun kemudian mengobrol bersama mereka sembari menunggu acara dimulai.
Beberapa menit kemudian lampu ruangan dimatikan dan seorang pembawa acara masuk dan membuka acara dengan line-line yang menurutku hanya sebatas ice breaker saja.
Kami para penonton pun bersorak meminta agar sang pengisi acara utama segera dihadirkan di atas panggung.
Dan tidak lama kemudian si pembawa acara mundur dan ini yang kami nantikan!
Mendadak kami semua terdiam dan melihat dengan mata kepala kami sendiri sosok paruh baya nan kharismatik itu mengambil posisi di panggung.
Kharismanya masih ada dan bahkan lebih kuat daripada yang pernah kulihat dari video. Usianya memang tidak muda lagi, namun terlihat raut wajah dan kharismanya seperti menantang takdir yang berbentuk usia. Senyumannya yang tulus seperti ingin meproklamirkan jika ia masih punya tenaga lebih dari cukup untuk kegiatan malam ini.
“Hello Jakarta!” ucap sosok kharismatik itu singkat.
Dan kami pun tenggelam dalam hysteria ketika melihat sosok itu. Itulah awal dari waktu-waktu terbaik kami di malam itu.
-----
“We love you Richard! More songs please! We want more!”, teriakku ketika Richard Marx memungkasi konser malam itu.
![[SFTHChallenge] Kisah Seorang Marxis Ibukota](https://dl.kaskus.id/cdns.klimg.com/kapanlagi.com/p/marx-bbb.jpg)
Tembang "Can't help falling in love" yang ia cover dari Elvis "The King" Prestley menjadi nomor pamungkas malam itu.
Mimik muka sosok 52 tahun itu terlihat bahagia melihat antusiasme penonton. Setelah membungkukkan badannya sebagai salam akhir Kemudian ia segera bergerak ke balik panggung dan meninggalkan kami yang juga mulai bergerak meninggalkan tempat konser.
Sembari mengantri keluar, kusempatkan mengirim kepada kekasihku satu foto hasil swafoto dengan latar belakang Richard Marx yang sedang bernyanyi di panggung.
Quote:
Kamu tuh ya, umur masih segitu senengnya Richard Marx. Tua banget selera lu, tau!
Aku hanya menyeringai saja membaca responnya.
Yah, bagaimanapun aku bangga menjadi seorang Marxis!
Diubah oleh valerossi86 30-01-2018 17:08


anasabila memberi reputasi
1
2K
Kutip
14
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan