c4punk1950...Avatar border
TS
c4punk1950...
[#SFTH Challange] Sakitku Berbuah Manis Dalam Ibadahku






Prolog

“ Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara ! Pergunakan masa sehatmu sebelum tiba masa sakitmu. Pergunakan masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Pergunakan masa kayamu sebelum datang masa miskinmu. Pergunakan waktu senggangmu sebelum datang masa sibukmu. Pergunakan masa hidupmu sebelum datang kematianmu."

( H.R Al Hakim )



  
 
   

Mata itu berkaca-kaca. Bibirnya merintih menahan rasa perih yang tak tertahan pada tubuhnya. Kalau tidak ada kekuatan iman mungkin ia lebih memilih untuk tidak meneruskan hidup di bumi Allah ini. Ujian yang di derita sudah hampir mencapai waktu dua bulan lamanya. Hidup di dalam rasa sakit akibat stroke yang telah merenggut semua kegagahannya. Untunglah masih ada yang mengurusinya istri tercinta dan buah hatinya yang selalu menghibur hari-hari di dalam sakitnya.
   
Jalannya sudah tidak tegak, kadang harus dituntun. Tawanya sudah tak pernah terdengar yang ada hanya rintihan sakit, mengeluh dan resah pada hidupnya. Pekerjaannya kini hanyalah duduk dengan pikiran kosong, bingung apa yang musti dikerjakan. Ia kini meratapi hidupnya kenapa harus tertimpa sakit seperti ini, ada rasa marah pada ketidak adilan yang di terimanya.
   
Padahal beberapa bulan yang lalu sebelum sakit yang menderanya ia masih sanggup untuk menyetir mobilnya dengan gagah. Dan anak buahnyapun masih menaruh hormat padanya, bahkan ia masih sempat memarahi Pak Takur akibat kopi buatannya kurang manis, sempat juga kopi yang di buat office boy itu dibuang, tanpa memperdulikan jerih payah kerja orang lain.
   
Bahkan masih sempat menggoda gadis-gadis bawahannya dengan candaan nakal yang kurang baik bila dilakukan, karena ia sudah menikah dan punya anak rasanya tak pantas ia menggoda mereka, sebab bukan hanya mulut yang bekerja tapi tangan jahilnya juga ikut bergerilya. Bapak satu anak ini dikala sehat sering berbuat curang dan kotor dalam permainan bisnis. Bila malam tiba hidupnya di habiskan dengan bermalam di diskotik. Dengan alasan lembur atau ada keperluan luar kota kepada istri tercinta di rumah. Banyak hal yang tak baik lainnya yang dilakukan selama kesehatan masih berpihak padanya.
   
Tapi sekarang keadaan sudah berubah total, mulutnya yang sering memaki orang yang lemah itu kini tak bisa berkata dengan jelas. Tangannya yang sering jahil pada gadis-gadis muda kini lemah tak berdaya, bahkan untuk membawa sebuah gelas sajapun sudah tak kuat. Kakinya yang dulu sering berjalan ke tempat – tempat hiburan malam kini tak sanggup di gerakkan dengan sempurna. Wajahnya terlihat berkerut seperti menua padahal umurnya saja masih empat puluh tahun dan kini terlihat seperti tujuh puluh tahunan. Hidupnya kini bergelut dengan kepayahan harta yang dikumpulkanpun hampir habis untuk biaya perawatan sakitnya. Mobil jaguar hasil dari pencucian uang yang dilakukan bersama temannya kini di jual beserta rumah mewah dan villa yang ada di puncak ikut terjual untuk biaya rumah sakit dan bayar hutang.
   
Sekarang hanya rumah sederhana ini yang jadi tempat tinggalnya, dan hanya istri serta anaknya yang menemani hidupnya ada juga seorang pembantu tapi bila malam ia pulang kerumahnya bisa juga di sebut Pembantu harian. Tidak ada lagi hiruk pikuk gemerlapnya kehidupan luar kini yang dinikmati hanya sebuah ruangan yang tak seberapa luas, hampir lebih dari separuh hari dihabiskannya di tempat tidur. Sisanya duduk di depan rumah sambil melihat pemandangan yang menjemukan, paling-paling hanya orang –orang yang lalu lalang sibuk dengan urusannya masing-masing.
   
“Ayah….!!!” Terdengar panggilan dari luar kamar tidur, tampak putranya yang gagah menghampirinya. Semakin dilihat putranya mirip dengannya waktu masih muda dulu tapi yang membedakan ia lebih terkesan sederhana dengan pakaian yang rapih dengan baju lengan panjang dan celana panjang menggantung tidak menyentuh tanah. “ayah Hanif pergi dulu… mau shalat Jum’at” ucapnya sambil memegang tangannya lalu di ciumnya dengan hormat. Ia hanya dapat mengangguk lemah, dan anaknya kembali mencium pipinya kemudian berkata “ ayah cepat sembuh ya !!”. Kemudian Hanif pergi meninggalkan dirinya sendiri yang terbaring lemah di tempat tidur itu.
   
Sepeninggal Hanif ia merasakan sesuatu yang tak pernah dirasakan sebelumnya, pertanyaan yang ada di pikirannya kapan terakhir ia shalat ?? bahkan ia hampir lupa bacaan shalat, dalam perenungan di kala sakit itu hatinya terasa tergerak untuk mau melakukan shalat. Tapi ia tak tahu caranya shalat dalam keadaan seperti ini, maka ia pun menunggu Hanif pulang.
   
Tampak pintu berderit dan suara salam menggema di ruangan itu “Assalamu’alaikum” tapi tak ada jawaban dari dalam ruangan itu seperti biasanya, Hanif merapikan sajadahnya lalu masuk ke ruangan di belakang, di lihat ayahnya sedang di suapi bubur oleh pembantunya “ Bi …biar aku saja mumpung ada di rumah, nanti minggu malam aku akan pergi lagi…” dengan ramah dia meminta pada pembantunya itu. “ udah mas…ga usah biar bibi aja …mas istirahat aja..” ujar si bibi merasa tidak enak bila pekerjaanya diambil oleh tuannya. “ sudah bi…aku ingin mengurus ayahku selama aku disini…sebab dari waktu ayah sakit dua bulan yang lalu aku tidak bisa menemaninya, aku rindu bi ….rindu dengan surga yang di siapkan Allah untuk anak yang berbakti pada orang tuanya” akhirnya si bibi mengalah pada tuannya dan memberikan mangkuk bubur itu pada Hanif, kemudian Hanif dengan penuh kasih sayang menyuapinya dengan penuh kesabaran.
   
Pemuda itu memang sayang sama ayahnya, dia bekerja di pertambangan minyak di Mesir ketika ayahnya menderita sakit ia tidak pulang ke rumah karena saat itu keluarganya memang sengaja tidak mengabarkan, takut kalau-kalau ia shock dan penyakit jantungnya kambuh, setelah masa liburan barulah ia diberitahu bertepatan hari itu ulang tahun ayahnya. Dan karena kelembutan ibunya dalam memberikan kabar akhirnya Hanif dapat menerimanya walau ia agak kecewa pada keluarganya kalau ia tidak di beritahu di awal kalau ayahnya sakit parah, sebab ia sangat menyayangi ayahnya karena yang ia tahu ayahnya adalah orang yang sangat baik, baik pada dirinya maupun ibunya.
   
Sudah empat hari ini ia selalu memperlakukan ayahnya seperti ia di waktu kecil, tinggal tersisa dua hari lagi ia harus berangkat kembali ke Mesir untuk mengurus surat pengunduran dirinya. Ia ingin tinggal bersama ayah dan ibunya, ia ingin merawat ayahnya dengan tangannya sendiri. Sebelum ayahnya sakit Hanif sebagai pemuda yang prilakunya memang sudah berubah seperti ini, semenjak ia rajin mengikuti pengajian-pengajian di kampusnya dulu. Bahkan ia juga termasuk aktivis kampus yang mendukung agar kotanya dapat diberlakukan syariah Islam. Namanya harum di berbagai aktivitas sosial, walau begitu tak ada kesombongan yang terpancar disana matanya tetap teduh dan menunduk bila melewati wanita, tutur katanya tetap sopan, walau garang ketika berorasi di depan teman-temannya, dan shalat seperti makan dan minum baginya, Ibunya bangga dengannya, tapi ayahnya tidak begitu memahami hal itu karena ayahnya sibuk dengan pekerjaannya jadi kurang memperhatikan sepak terjangnya tapi ia dapat memaklumi karena ayahnya bekerja untuk menafkahi keluarga.
   
Tubuh yang tak berdaya itu memanggil anaknya untuk segera menghampiri dirinya “ Hhannifff….” ucapnya dengan terbata-bata dan menggerakkan tangannya yang lemah untuk mendekat padanya, “ iya ayah…” Hanif segera menghampiri ayahnya dan menempelkan kupingnya pada ayahnya. “ aayyahh …iinginnn… sshhallaat..saamma kkammu” ucap ayahnya, sangat lemah suaranya hampir-hampir tak terdengar. Seperti halilintar yang menyambar, Hanif kaget dan gembira karena setelah empat hari di sini ayahnya baru ingin shalat, dalam hati ia terus memuji nama Allah “Allahuakbar..Allahuakbar…” ucapnya senang.
   
Adzan maghrib pun berkumandang, dan ia mengajarkan tata cara shalat orang yang sakit tidak seperti mereka yang normal kemudian Hanif membasuh air wudhu kepada ayahnya sebab ayahnya tak mau bertayamum ia ingin berlama-lama di temani oleh putra satu-satunya. Biasanya Hanif shalat sering berjama’ah di masjid tapi kini ia menemani ayahnya dan Hanif menjadi imamnya sedang ayahnya menjadi ma’mum shalat dalam pembaringan.
   
Tubuh lemah itu melaksanakan shalat pertamanya, setelah sekian lama ia tidak melakukan hal itu, karena disibukkan oleh pekerjaan yang telah banyak menyita waktu dan hidupnya yang ia sia-siakan untuk mencari harta. Tak terasa nada suara Hanif yang mendendangkan lafadz Qur’an membuatnya menangis ia merasa bersalah pada hidupnya, air matanya mengalir mengingat pada keburukan yang sering ia lakukan, di dalam sakitnya ia baru mengingat Allah. Mengapa harus sekarang, ia menyesal kenapa tidak di waktu sehat agar banyak yang bisa di lakukan untuk melakukan hal yang baik.
   
Setelah salam terakhir Hanif mendatangi tubuh ayahnya lalu menciumi tangan dan pipinya dan mengusap sisa-sisa air mata yang membasahi bantal ayahnya “ maaafkkaan aayyaahh Niiff” ucapnya dengan air mata masih menetes dari belahan kelopak matanya yang sudah cekung, “ sudah ayah..Hanif yang salah meninggalkan ayah sendiri di sini Hanif yang minta maaf” Hanif tak dapat menahan bendungan air yang ada di matanya, ia pun menangis dengan memeluk ayahnya dengan erat.
   
Ketukan pintu kamar tidak terdengar, lalu terdengar pintu berderit muncullah sosok wanita paruh baya dengan pakaian kemeja kerja dengan rok panjang warna ungu merasa bingung dengan apa yang dilihatnya, “kenapa kok kalian menangis seperti ini ??” ucapnya dengan wajah yang bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di kamar ini. “bu aku mminnta mmaaff” suara lemah itu kembali terdengar. Wanita itu mendekati suaminya “ibu sudah maafkan ayah kok..!!” sambil mencium dahinya. Hanif yang terdiam lalu memeluk ibunya dan sambil berkata pelan “ ya Allah terima kasih kau satukan kami dengan iman..” ibunya kini mengikuti apa yang dilakukan oleh anaknya dan suaminya yaitu menitikkan air mata walau sudah di tahannya dari tadi, kini di hatinya ada kelegaan karena suaminya sosok pria yang ia sayangi meminta maaf atas kesalahan tehadapnya selama ini. Hari itu kamar ini penuh dengan tangis kebahagiaan dan tangis kerinduan akan iman.


   
Esoknya Hanif dan ibunya dilarang bepergian oleh ayahnya, karena ia ingin bersama satu hari ini bersama mereka karena hari minggu Hanif akan kembali lagi ke Mesir meninggalkan dirinya, dan senin ibunya kembali disibukkan dengan pekerjaannya kembali ia akan merasa kesepian kembali karena hanya di temani bi Inah yang mengurusinya.

Dirinya sering bermimpi merasa dinaungi sebuah pohon besar entah apa maksudnya, namun pohon itu begitu sejuk dan indah, tapi pohon itu bentuknya berbeda dengan pohon pada umumnya, pohon itu mirip sebuah payung dengan dirinya berada di bawah meneduh disertai kicauan burung yang indah. Dan mimpi itu selalu berulang hingga ia takut akan terjadi sesuatu dengan dirinya.
   
Hari itu ia menyuruh Hanif membacakan Qur’an di dekatnya, terasa ada kedamaian di hati walau masih terbaring lemah tapi ia dapat kembali tersenyum, senyum kebahagiaan adanya anak shalih di hadapannya serta istri yang sabar merawat dirinya dalam kursi pesakitan.

Hanif membaca Qur’an kebetulan sekali surat Al-Isra…tepat di ayat 23- 24 ia menangis dalam kekhusuan di bacanya surah itu dengan perlahan namun pasti.
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya. Dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, sayangilah mereka keduanya, sebagaimana keduanya telah menyayangi aku waktu kecil.’” (Al Israa’: 23-24)
   
Hari itu setiap shalat dilakukan berjama’ah di kamar yang kecil itu dengan Hanif sebagai Imam, sampai hari itu berakhir dengan kegelapan malam dan berakhirnya adzan Isya dikumandangkan ayahnya tak mau jauh dari ia dan ibunya. Setelah shalat isya selesai, Hanif melihat ayahnya agak menggigil kedinginan, ibunya segera menutupi selimut ke seluruh tubuhnya dengan tangan lemah ayahnya menggenggam tangannya dan ibunya lalu berkata dengan lancar tidak terbata-bata seperti hari yang telah lalu tapi dengan suara masih lemah.
   
“Bu…tolong telepon Pak Takur…ada yang mau saya sampaikan ..” Ibu segera menekan nomor pak Takur lewat telepon genggamnya.

“ Pak Takur…ini saya Pak Irham….saya mau minta maaf atas kesalahan saya selama ini kepada bapak” dengan suara pelan dan lemah tapi agak lancar dari biasanya.

“waduhhh…Pak saya saja sudah ndak inget toh Pak…iya saya sudah maafkan ko pak…yang penting sekarang Bapak cepet sembuh” ucap Pak takur kemudian.

“ terima kasih ya Pak…kebetulan saya ada rejeki buat bapak nanti minta sama istri saya ya Pak buat biaya sekolah anakmu..”

“ matur nuwun…Pak…moga gusti Allah membalas kebaikan bapak”

“sama-sama Pak salam sama keluarga di rumah”

“nggehh…Pak” lalu telepon terputus tangannya kembali melemah.
   
Tangan itu kembali memegang ibu dan anaknya, tak lama tubuhnya bergetar di dengarnya nyanyian surga sudah menyambut dirinya, dengan sisa tenaga di tariknya tangan istri dan anaknya agar lebih mendekat dan dia berkata “ aku cinta kalian, tapi kini cintaku kepada Allah lebih besar dan mungkin ini saatnya aku pergi meninggalkan kalian” diringi senyuman ia berkata dengan lancar tanpa terbata-bata. Hanif dan ibunya lalu memeluknya dan menangis di dalam dadanya “ ternyata sakitku adalah ibadahku, terima kasih bu …anakku…” ucapnya lirih.
   
Ibu dan anak itupun semakin tersedu-sedu sambil memeluk erat sang ayah, terdengar pelan dan lemah kata-kata ayahnya namun mempunyai arti. Kemudian terucap dari mulut sang ayah dengan sangat perlahan “Laa….ilaaha…illa...llah..,Muham…mad…Ra..sul..Al…lah….,”
   
Hanif mengguncang tubuh sang ayah, “ayah….ayah…ayaaaaahhhh….,”
   
Ayahnya kini telah kembali kepada TuhanNya. Seulas senyum menghiasi wajah.Tampak guratan keriput dari wajahnya tidak terlihat. Bersih sekali wajahnya seperti bayi baru di lahirkan. Hanif kembali mengguncang tubuh ayahnya seakan tak percaya ayahnya pergi secepat ini.
   
Hanif memegang dadanya….”aaaggghhhh All..ahhu…ak..barr…,” lalu tubuhnya jatuh di dada ayahnya yang sudah tak bernyawa. Penyakit jantungnya kambuh dan membawa Hanif menemui ayahnya.
   
Kini tinggallah si ibu yang menangis dalam keridhaan dan ikhlas melepas mereka berdua, dan berdo’a “andaikan aku di berikan sakit saat ini aku ingin bersama mereka ya Rabb, karena sakitnya menjadi ibadahnya” sambil memeluk dua orang yang di sayanginya kini pandanganya gelap…lalu tak ingat apa-apa lagi.


   
   
Epilog.




“Bu… anak kita sudah lahir”
“ kita beri nama siapa yah ??”
“ Adbul Hanif ..moga jadi anak yang sayang sama aku ya Bu..”
“ya sama aku lah..aku kan ibunya…”
“ sama aku akukan ayahnya”
“ ihhh..ayah ga mau kalah ni..”
“ aku bermimpi kalau aku sakit..dia akan ada disampingku bu”
“ kalau ayah sakit pasti jadi rajin ibadahnya”
“ ihhh..ibu ngeledek sekarang saja sudah rajin”

Wanita itu meneteskan air matanya pada dua pusara dihadapannya, satu persatu kerabat dan keluarga memberikan petuah agar di beri kesabaran, lalu ia memohon kepada sang penguasa bumi “Ya Rabb kau luluskan anak dan suamiku dalam ujianMu dengan rasa sakit, dan kini aku memohon luluskanlah diriku dalam kesendirian sebagai seorang janda agar terhindar dari fitnah dari orang orang yang jahil” matanya tertunduk pada batu nisan di depannya. Matahari diam termenung diatasnya seakan tahu perasaan sang Ibu yang sedang dalam kesedihan ia meredupkan sinar panasnya dengan dibantu oleh awan agar segera menutupinya. Alam terasa hening kicau burung di dahan-dahn pohon tidak terdengar, angin pun seakan lembut menyapa untuk menghentikan kesedihan sang bunda, tidak banyak suara binatang pada saat itu semuanya tenggelam dalam kesedihan karena dua ahli surga dimakamkan mereka seakan bertasbih dan meminta pada sang kuasa agar si ibu tidak berlarut dalam kedukaan. Tak lama setelah berdo’a, terlihat senyum manis yang agak dipaksakan sambil mengusap bulir-bulir air mata yang membasahi pipinya kemudian dengan langkah gontai ia tinggalkan gundukan tanah merah itu dengan duka cita yang mendalam.

Sayup-sayup terdengar suara lantunan asmahul husna dari kejauhan, menambah syahdunya hari itu, ia melihat langit dengan memaksakan untuk tersenyum "suatu hari nanti aku akan di panggil oleh Mu", dan ia kembali berjalan dengan perlahan sosoknya menghilang dari tempat pemakaman.







TAMAT

Penulis c4punk





Mejeng SFTH ku yang lain

Mutiara Hatiku Yang Hilang

Merantau
Diubah oleh c4punk1950... 17-03-2021 16:23
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
13.4K
87
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan