- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Accidentally, You.


TS
salmansharkan
Accidentally, You.

Quote:
“That moment when you meet a perfect stranger who makes you feel like life.”

Quote:
Ini cerita tentang Airin saat berada di titik terendah dalam hidupnya. Airin menemukan sosok yang bisa membuatnya tersenyum dan mendadak bahagia dan lalu jatuh cinta.
Quote:
Langkahku melambat seiring dengan hembusan angin pelan menerbangkan ujung rambut panjang sepunggungku. Aku sedang bimbang sekarang. Beberapa jam yang lalu aku mengalami hal yang paling aku benci seumur hidupku: pertengkaran orang tua.
Aku masih tidak mengerti sampai saat ini, apa yang membuat mereka berdua mempertahankan pernikahan mereka sementara mereka selalu bertengkar setiap hari. Apa itu karena aku? Jika memang alasannya demikian, kurasa itu adalah alasan yang bodoh. Aku sudah mulai tidak memedulikan mereka lagi.
Oh ya… kau bisa sebut aku kurang ajar atau tidak menghormati orang tua, tapi seperti itulah adanya sekarang. Ada atau tidak ada aku diantara mereka toh mereka tetap bertengkar juga. Ada atau tidak ada mereka bersamaku, toh aku tetap tidak diperhatikan juga.
Aku baru saja turun dari sepeda motor yang ku gas penuh dari rumah menuju sebuah pantai yang banyak dikunjungi wisatawan yang berkunjung ke pulau kecil yang kadang terlupakan ini. Aku melangkah ke arah barat daya, ke arah susunan batu pemecah ombak yang dikelilingi oleh pasir-pasir putih. Melepas alas kakiku dan merasakan hangatnya pasir pantai yang membelai lembut telapak kakiku. Ingin sekali aku mengubur kakiku disana, sekarang juga. Kalau bisa sekujur tubuhku sekalian. Kehangatan itu kurasa bisa menggantikan dingin dan bekunya suasana rumah selama lima tahun terakhir ini.
Aku menghembuskan napas berkali-kali. Menarik napas dalam berkali-kali. Mencoba menenangkan diriku dengan cara yang diberitahukan seorang penyiar radio dalam sebuah acara kemarin siang. Aku mencoba menepikan semua masalahku ke sudut otak yang lain, menggabungkannya ke sebuah titik dan lalu memaksa setiap selnya untuk melupakan apa yang telah terjadi dan mengembalikan kenangan-kenangan yang kemungkinan bisa membuat aku tertawa.
Tapi… ah… aku tidak punya banyak kenangan indah. Umurku sudah dua puluh dan aku belum pernah merasakan pengalaman yang bisa ku kenang dengan indah disaat-saat seperti ini. Aku mengerucutkan bibir dan melanjutkan perjalanan ke ujung barat daya pantai itu dengan sepasang alas kaki di tangan kiriku.
Hari masih sangat pagi… Aku meninggalkan rumah sekitar pukul enam dan sekarang masih dingin dan agak berkabut. Debur ombak menemaniku berjalan hampir sendirian di pantai yang biasanya ramai ini. Memanjakan telingaku dengan lembut nyanyiannya ketika menyentuh bibir pantai dan bertemu pasir tempatku menapak. Aku menatap langit yang masih agak gelap di sebelah barat, namun berpadu cahaya khas matahari terbit di sebelah timur. Awan mulai membentuk formasi abstrak khas yang sangat kusuka.
“Lapar…”Aku mengelus perutku. Seharusnya memang ada penjual makanan di dekat parkiran pantai itu tapi aku melewatkannya begitu saja tadi karena pikiranku yang sedang rumit. Tanpa kusadari aku sudah tiba di ujung sebelah barat daya pantai itu. Ada banyak batu-batuan yang sengaja dibuat dan disusun untuk sebagai pemecah ombak disana. Aku duduk di salah satu batu tak jauh dari bibir pantai. Air dingin sesekali mengenai ujung hidungku yang membuatku semakin menggigil.
Aku menarik napas dalam lagi. Berusaha sebisa mungkin berbicara dengan Tuhan dari dalam hatiku. Memohon padanya agar hari ini, sehari saja, aku bisa merasa bahagia. Agar hari ini, sehari saja, aku bisa melepaskan segala beban di pundak, hati dan otakku dan tersenyum. Agar hari ini, aku bisa melupakan semuanya… tidak hanya hari ini saja, tetapi mulai hari ini dan seterusnya.
“Hai…”
Hatiku mencelos. Hampir saja aku berteriak karena terkejut mendengar suara itu masuk melalui telinga kananku. Aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku, duduk persis di atas batu di sebelah tempatku duduk. Suara laki-laki. Tubuhku seketika mengejang, ketakutan. Aku sangat tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini: laki-laki dan kejutan. Suara ombak benar-benar menenggelamkan suara langkah kakinya. Aku berusaha untuk tenang dan mengatur kecepatan detak jantungku.
“Mengagetkanmu, eh?” dia bicara dalam bahasa Korea. Aku mengerti sekali. Aku pernah belajar bahasa Korea dan mendapatkan sertifikat. Anehnya, ketika mendengarnya bicara perasaan tegang yang tadi menyerbu itu seketika menghilang. Detak jantungku mulai normal dan aku mulai rileks sekarang.
Kuberanikan diriku untuk menoleh ke kanan, dan disanalah dia duduk, tiga puluh sentimeter dari wajahku. Seorang laki-laki berkulit putih, sangat putih tapi tidak pucat, berambut hitam legam lurus disisir klimis dan dibelah dibagian pinggir, tatapannya tajam dari bola matanya yang sehitam intan, berhidung mancung dan kokoh diatas bibirnya yang tipis kemerahan.
Dia tersenyum… padaku, orang yang tidak dia kenal sama sekali. Senyumnya benar-benar tidak dibuat-buat. Aku bisa membedakannya.
Aku mulai bertanya-tanya, kenapa dia tiba-tiba datang dan menyapaku?
Aku meyakinkan diriku bahwa dia bukan hantu atau semacamnya karena aku tahu betul, penduduk lokal pulau ini masih sangat percaya mitos dan tahayul. Ku gerakkan kakiku dengan sengaja menyentuh ujung sepatunya dengan harapan dia tidak akan merasakan sentuhan itu…
Sepatu… kenapa dia menggunakan sepatu diatas pasir? Bukankah itu aneh?
Otakku mulai memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting sampai-sampai aku lupa aku masih menatapnya sekarang. Matanya… indah sekali… Rasanya seperti menatap sebuah bintang paling terang yang bisa kau lihat di malam hari, seperti melihat keindahan Venus di kala fajar, atau menatap bulan di posisi terdekatnya dengan bumi delapan belas tahun sekali.
“Kau sendiri?” tanya laki-laki itu lagi. Saat itulah aku baru memalingkan pandanganku kembali ke atas batuan yang basah oleh air yang dibawa ombak.
“Bagaimana kau tahu aku berbicara berbahasa Korea?” tanyaku spontan. Separo penasaran separo tidak peduli. Entah bagaimana caranya aku masih ingat wajahnya ketika menatap batu-batu yang ada di depan kakiku itu.
“Kau tidak sadar?” tanyanya merasa aneh.
Aku menoleh, “Hah?” aku tidak mengerti juga.
“Ketika kau datang, memarkirkan sepeda motormu, kau mengumpat dalam bahasa Korea,” jelasnya.
Wajahku memerah seketika. Entah aku ingat atau tidak apa yang aku ucapkan beberapa menit yang lalu. Aku memang suka bicara sendiri ketika sedang berkendara. Entah kenapa itu membuatku merasa lebih baik.
“Benarkah?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Dia mengangguk sambil tersenyum simpul. Sesaat pikiranku mulai teralih oleh wajahnya yang memukau itu. Lalu sedetik kemudian aku tersadar oleh ucapannya tadi. “Jadi sejak tadi kau mengikutiku, eh?” nada bicaraku agak tinggi dan menggeser posisi dudukku agak menjauh.
“Wow, tidak, bukan begitu! Aku hanya sedang berlari pagi dari hotel dan ketika mendengar kau bicara, aku, yah… terpikir untuk berjalan-jalan ke tempat ini juga,”
“Alasanmu tidak masuk akal! Kau pasti mengikutiku!” aku berteriak dan sekarang berdiri menjauh darinya.
“Hey, hey, tenang… aku tidak bermaksud… sungguh. Kau tidak percaya? Apakah wajahku terlihat seperti penjahat?” dia menunjuk wajahnya sendiri. Kentara sekali dia takut aku tiba-tiba marah dan pergi dari tempat itu. Entah kenapa aku merasa seperti itu.
“Tidak… kau mirip Wonbin… atau Kangta…? Ah… Kau juga sedikit mirip Choi Siwon…” aku meracau lalu duduk lagi.
Entah wajahku sudah semerah apa aku tidak tahu tetapi aku bisa merasakannya memanas.
Laki-laki itu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan kepalan tangan kangannya. Aku melirik kearahnya dan memerhatikan ekspresi wajahnya saat itu. Dia terlihat benar-benar mengagumkan dengan tawanya.
“Kenapa tertawa?” aku berusaha tetap bicara dengan nada marah meskipun aku yakin sebenarnya aku sudah gagal.
“Kau juga menyanyikan sebuah lagu tadi. Fiction dari Beast kalau aku tidak salah dengar, eh?”
Mataku melotot, tercengang. Aku mulai merinding. Laki-laki ini… Wajahnya memang tampan, tapi dengan pendengaran seperti itu… Maksudku, aku bernyanyi tanpa ada niatan untuk didengar oleh siapapun. Aku biasanya bernyanyi untuk diriku sendiri… Bersenandung… Kenapa dia bisa mendengarnya? Bagaimana bisa dia mendengarnya?
“Apakah aku bernyanyi sekeras itu? Kau membuatku takut… Sungguh!” ucapku. Diam, aku masih menatap matanya yang juga menatap mataku. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku atau apa, sedetik setelah dia menyelami mataku, ekspresinya berubah.
“Kau sedang ada masalah, eh?”
Hatikuku mencelos. Lagi. Sesegera mungkin aku mengalihkan pandanganku dan mencoba tenggelam dalam birunya samudera di depanku. Membatin. Apakah adegan saling tatap tadi membuat dia bisa membaca semua pikiranku?
“Kau ini penyihir atau apa, sih? Aku selalu takut dengan orang yang bisa membaca pikiran orang lain!” aku berkata jujur dan berteriak. “Rasanya seperti tidak punya privasi!”
Dia tertawa. TERTAWA!
Astaga… pria ini bukan manusia kurasa. Aku bahkan tidak bisa menangkap bagian yang lucu dari kalimat-kalimatku sebelumnya. Tetapi… tawa laki-laki itu, entah kenapa aku merasa sangat senang mendengarnya. Entah kenapa aku sangat senang melihatnya.
“Kau tidak pernah dengar?” dia bertanya.
“Apa?”
“Masalah yang sedang dihadapi seseorang akan sangat terlihat jelas di matanya. Ketika mereka melihat, mereka tidak benar-benar memerhatikan apa yang mereka lihat. Ketika mereka menatap, mereka tidak benar-benar menghiraukan apa yang mereka tatap.”
Aku hanya diam dan–ya–aku sedang menatapnya. Tapi… apakah aku memikirkan hal lain saat ini? Apakah dia tahu aku punya masalah yang sumpah demi Tuhan aku tidak ingin ceritakan pada siapapun bahkan teman terdekatku sekalipun jika memang aku punya?
“Ketika kau menatapku tadi, kau tidak benar-benar memerhatikan mataku… seperti ada pembatas kaca tak terlihat tetapi sangat tebal diantara mataku dan matamu. Dan di dalam kaca itu ada banyak sekali kegundahan yang sekarang sedang menghantui pikiranmu… Benar ‘kan?”
“Aku mulai takut. Sungguh…” kataku jujur, masih menatapnya.
“Kalau begitu, katakan, apa yang harus aku lakukan agar kau tidak takut?”
“Hah?” pertanyaan itu benar-benar aneh.
Dia tertawa lagi. Oh Tuhan… tawa itu… Aku benar-benar seperti sedang berada dalam satu scene di sebuah drama Korea sekarang. Aku mencoba mengembalikan kesadaranku. Mencoba sekali lagi membuang dan menyisihkan semua pikiran tentang masalah-masalahku ke sudut otak yang lain untuk bisa benar-benar memerhatikannya. Entah kenapa ucapannya tentang kaca tebal di depan mataku itu sangat mengganggu pikiranku. Rasanya seperti aku kehilangan ketulusan dalam diriku. Aku menatapnya lagi… Wajah itu… Perpaduan antara Wonbin dan Choi Siwon, sudah jelas.
“Kau mencoba memerhatikanku tanpa memikirkan masalahmu, eh?”
Sebuah tombak sudah menusuk punggungku sekarang. Dia benar-benar mengerikan!
“Aku… errr… aku benar-benar takut karena kau sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan… Aku yakin kau pasti keturunan seorang penyihir di Korea!”
Dia tertawa lagi. “Hmmm kupikir kami tidak mengenal penyihir di Korea?”
“Tapi penyihir ada di semua negara, bukan?”
“Aku tidak tahu…” jawabnya tegas sambil mengangkat bahu dan mencoba menirukan gaya imut khas member boyband Korea.
“Katakan, bagaimana kau bisa tahu apa yang sedang aku rasakan!”
“Aku hanya menebak,”
“Bohong!”
“Sungguh! Dan sekarang kau mulai merasa takut, kan?”
“BAGAIMANA KAU TAHU?!”
Dia tertawa lagi. Oh aku mulai menyukai suara tawanya.
“Kau tadi bilang begitu.”
Wajahku seakan terbakar. Oh tidak, kali ini benar-benar sedang terbakar. Kakiku tiba-tiba saja gemetaran dan angin yang tadinya menenangkan menjadi sedikit terlalu dingin dan membuatku merinding berlebihan. Aku menunduk dan menahan tawa.
“Kalau kau ingin tertawa, sebaiknya dilepaskan saja… tidak baik menahan tawa. Kau tahu, jika kau menahan tertawa, pusar mu akan bertambah satu,”
“Bohong!” Aku berteriak lalu menutup mulutku sendiri dengan kedua tangan. Membayangkan bagaimana bentuk tubuhku dengan dua pusar. “KAU BOHONG!” jelas sekali ketakutan di wajahku dan dia melihatnya kemudian tertawa.
Dan… untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu ini, aku ikut tertawa… lepas… sepertinya semuanya tidak pernah terjadi. Sepertinya kepalaku kosong, hanya berisi pikiran-pikiran bahagia. Sepertinya setiap sudut dari sel otakku sudah bisa melupakan masalah yang terjadi beberapa minggu belakangan ini. Sepertinya, tidak, yang ini aku yakin, kaca tebal tak terlihat itu sudah menghilang dan kini aku bisa melihat mata laki-laki itu lebih dalam dan lebih jauh dari sebelumnya. Matanya lebih indah dilihat tanpa masalah yang kupendam… dia tersenyum.
“Hai, Airin. Namaku, Mario…”
Tawaku seketika terhenti ketika dia menyebut namaku sementara seingatku aku tidak pernah memberitahukannya.
Aku masih tidak mengerti sampai saat ini, apa yang membuat mereka berdua mempertahankan pernikahan mereka sementara mereka selalu bertengkar setiap hari. Apa itu karena aku? Jika memang alasannya demikian, kurasa itu adalah alasan yang bodoh. Aku sudah mulai tidak memedulikan mereka lagi.
Oh ya… kau bisa sebut aku kurang ajar atau tidak menghormati orang tua, tapi seperti itulah adanya sekarang. Ada atau tidak ada aku diantara mereka toh mereka tetap bertengkar juga. Ada atau tidak ada mereka bersamaku, toh aku tetap tidak diperhatikan juga.
Aku baru saja turun dari sepeda motor yang ku gas penuh dari rumah menuju sebuah pantai yang banyak dikunjungi wisatawan yang berkunjung ke pulau kecil yang kadang terlupakan ini. Aku melangkah ke arah barat daya, ke arah susunan batu pemecah ombak yang dikelilingi oleh pasir-pasir putih. Melepas alas kakiku dan merasakan hangatnya pasir pantai yang membelai lembut telapak kakiku. Ingin sekali aku mengubur kakiku disana, sekarang juga. Kalau bisa sekujur tubuhku sekalian. Kehangatan itu kurasa bisa menggantikan dingin dan bekunya suasana rumah selama lima tahun terakhir ini.
Aku menghembuskan napas berkali-kali. Menarik napas dalam berkali-kali. Mencoba menenangkan diriku dengan cara yang diberitahukan seorang penyiar radio dalam sebuah acara kemarin siang. Aku mencoba menepikan semua masalahku ke sudut otak yang lain, menggabungkannya ke sebuah titik dan lalu memaksa setiap selnya untuk melupakan apa yang telah terjadi dan mengembalikan kenangan-kenangan yang kemungkinan bisa membuat aku tertawa.
Tapi… ah… aku tidak punya banyak kenangan indah. Umurku sudah dua puluh dan aku belum pernah merasakan pengalaman yang bisa ku kenang dengan indah disaat-saat seperti ini. Aku mengerucutkan bibir dan melanjutkan perjalanan ke ujung barat daya pantai itu dengan sepasang alas kaki di tangan kiriku.
Hari masih sangat pagi… Aku meninggalkan rumah sekitar pukul enam dan sekarang masih dingin dan agak berkabut. Debur ombak menemaniku berjalan hampir sendirian di pantai yang biasanya ramai ini. Memanjakan telingaku dengan lembut nyanyiannya ketika menyentuh bibir pantai dan bertemu pasir tempatku menapak. Aku menatap langit yang masih agak gelap di sebelah barat, namun berpadu cahaya khas matahari terbit di sebelah timur. Awan mulai membentuk formasi abstrak khas yang sangat kusuka.
“Lapar…”Aku mengelus perutku. Seharusnya memang ada penjual makanan di dekat parkiran pantai itu tapi aku melewatkannya begitu saja tadi karena pikiranku yang sedang rumit. Tanpa kusadari aku sudah tiba di ujung sebelah barat daya pantai itu. Ada banyak batu-batuan yang sengaja dibuat dan disusun untuk sebagai pemecah ombak disana. Aku duduk di salah satu batu tak jauh dari bibir pantai. Air dingin sesekali mengenai ujung hidungku yang membuatku semakin menggigil.
Aku menarik napas dalam lagi. Berusaha sebisa mungkin berbicara dengan Tuhan dari dalam hatiku. Memohon padanya agar hari ini, sehari saja, aku bisa merasa bahagia. Agar hari ini, sehari saja, aku bisa melepaskan segala beban di pundak, hati dan otakku dan tersenyum. Agar hari ini, aku bisa melupakan semuanya… tidak hanya hari ini saja, tetapi mulai hari ini dan seterusnya.
“Hai…”
Hatiku mencelos. Hampir saja aku berteriak karena terkejut mendengar suara itu masuk melalui telinga kananku. Aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku, duduk persis di atas batu di sebelah tempatku duduk. Suara laki-laki. Tubuhku seketika mengejang, ketakutan. Aku sangat tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini: laki-laki dan kejutan. Suara ombak benar-benar menenggelamkan suara langkah kakinya. Aku berusaha untuk tenang dan mengatur kecepatan detak jantungku.
“Mengagetkanmu, eh?” dia bicara dalam bahasa Korea. Aku mengerti sekali. Aku pernah belajar bahasa Korea dan mendapatkan sertifikat. Anehnya, ketika mendengarnya bicara perasaan tegang yang tadi menyerbu itu seketika menghilang. Detak jantungku mulai normal dan aku mulai rileks sekarang.
Kuberanikan diriku untuk menoleh ke kanan, dan disanalah dia duduk, tiga puluh sentimeter dari wajahku. Seorang laki-laki berkulit putih, sangat putih tapi tidak pucat, berambut hitam legam lurus disisir klimis dan dibelah dibagian pinggir, tatapannya tajam dari bola matanya yang sehitam intan, berhidung mancung dan kokoh diatas bibirnya yang tipis kemerahan.
Dia tersenyum… padaku, orang yang tidak dia kenal sama sekali. Senyumnya benar-benar tidak dibuat-buat. Aku bisa membedakannya.
Aku mulai bertanya-tanya, kenapa dia tiba-tiba datang dan menyapaku?
Aku meyakinkan diriku bahwa dia bukan hantu atau semacamnya karena aku tahu betul, penduduk lokal pulau ini masih sangat percaya mitos dan tahayul. Ku gerakkan kakiku dengan sengaja menyentuh ujung sepatunya dengan harapan dia tidak akan merasakan sentuhan itu…
Sepatu… kenapa dia menggunakan sepatu diatas pasir? Bukankah itu aneh?
Otakku mulai memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting sampai-sampai aku lupa aku masih menatapnya sekarang. Matanya… indah sekali… Rasanya seperti menatap sebuah bintang paling terang yang bisa kau lihat di malam hari, seperti melihat keindahan Venus di kala fajar, atau menatap bulan di posisi terdekatnya dengan bumi delapan belas tahun sekali.
“Kau sendiri?” tanya laki-laki itu lagi. Saat itulah aku baru memalingkan pandanganku kembali ke atas batuan yang basah oleh air yang dibawa ombak.
“Bagaimana kau tahu aku berbicara berbahasa Korea?” tanyaku spontan. Separo penasaran separo tidak peduli. Entah bagaimana caranya aku masih ingat wajahnya ketika menatap batu-batu yang ada di depan kakiku itu.
“Kau tidak sadar?” tanyanya merasa aneh.
Aku menoleh, “Hah?” aku tidak mengerti juga.
“Ketika kau datang, memarkirkan sepeda motormu, kau mengumpat dalam bahasa Korea,” jelasnya.
Wajahku memerah seketika. Entah aku ingat atau tidak apa yang aku ucapkan beberapa menit yang lalu. Aku memang suka bicara sendiri ketika sedang berkendara. Entah kenapa itu membuatku merasa lebih baik.
“Benarkah?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Dia mengangguk sambil tersenyum simpul. Sesaat pikiranku mulai teralih oleh wajahnya yang memukau itu. Lalu sedetik kemudian aku tersadar oleh ucapannya tadi. “Jadi sejak tadi kau mengikutiku, eh?” nada bicaraku agak tinggi dan menggeser posisi dudukku agak menjauh.
“Wow, tidak, bukan begitu! Aku hanya sedang berlari pagi dari hotel dan ketika mendengar kau bicara, aku, yah… terpikir untuk berjalan-jalan ke tempat ini juga,”
“Alasanmu tidak masuk akal! Kau pasti mengikutiku!” aku berteriak dan sekarang berdiri menjauh darinya.
“Hey, hey, tenang… aku tidak bermaksud… sungguh. Kau tidak percaya? Apakah wajahku terlihat seperti penjahat?” dia menunjuk wajahnya sendiri. Kentara sekali dia takut aku tiba-tiba marah dan pergi dari tempat itu. Entah kenapa aku merasa seperti itu.
“Tidak… kau mirip Wonbin… atau Kangta…? Ah… Kau juga sedikit mirip Choi Siwon…” aku meracau lalu duduk lagi.
Entah wajahku sudah semerah apa aku tidak tahu tetapi aku bisa merasakannya memanas.
Laki-laki itu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan kepalan tangan kangannya. Aku melirik kearahnya dan memerhatikan ekspresi wajahnya saat itu. Dia terlihat benar-benar mengagumkan dengan tawanya.
“Kenapa tertawa?” aku berusaha tetap bicara dengan nada marah meskipun aku yakin sebenarnya aku sudah gagal.
“Kau juga menyanyikan sebuah lagu tadi. Fiction dari Beast kalau aku tidak salah dengar, eh?”
Mataku melotot, tercengang. Aku mulai merinding. Laki-laki ini… Wajahnya memang tampan, tapi dengan pendengaran seperti itu… Maksudku, aku bernyanyi tanpa ada niatan untuk didengar oleh siapapun. Aku biasanya bernyanyi untuk diriku sendiri… Bersenandung… Kenapa dia bisa mendengarnya? Bagaimana bisa dia mendengarnya?
“Apakah aku bernyanyi sekeras itu? Kau membuatku takut… Sungguh!” ucapku. Diam, aku masih menatap matanya yang juga menatap mataku. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku atau apa, sedetik setelah dia menyelami mataku, ekspresinya berubah.
“Kau sedang ada masalah, eh?”
Hatikuku mencelos. Lagi. Sesegera mungkin aku mengalihkan pandanganku dan mencoba tenggelam dalam birunya samudera di depanku. Membatin. Apakah adegan saling tatap tadi membuat dia bisa membaca semua pikiranku?
“Kau ini penyihir atau apa, sih? Aku selalu takut dengan orang yang bisa membaca pikiran orang lain!” aku berkata jujur dan berteriak. “Rasanya seperti tidak punya privasi!”
Dia tertawa. TERTAWA!
Astaga… pria ini bukan manusia kurasa. Aku bahkan tidak bisa menangkap bagian yang lucu dari kalimat-kalimatku sebelumnya. Tetapi… tawa laki-laki itu, entah kenapa aku merasa sangat senang mendengarnya. Entah kenapa aku sangat senang melihatnya.
“Kau tidak pernah dengar?” dia bertanya.
“Apa?”
“Masalah yang sedang dihadapi seseorang akan sangat terlihat jelas di matanya. Ketika mereka melihat, mereka tidak benar-benar memerhatikan apa yang mereka lihat. Ketika mereka menatap, mereka tidak benar-benar menghiraukan apa yang mereka tatap.”
Aku hanya diam dan–ya–aku sedang menatapnya. Tapi… apakah aku memikirkan hal lain saat ini? Apakah dia tahu aku punya masalah yang sumpah demi Tuhan aku tidak ingin ceritakan pada siapapun bahkan teman terdekatku sekalipun jika memang aku punya?
“Ketika kau menatapku tadi, kau tidak benar-benar memerhatikan mataku… seperti ada pembatas kaca tak terlihat tetapi sangat tebal diantara mataku dan matamu. Dan di dalam kaca itu ada banyak sekali kegundahan yang sekarang sedang menghantui pikiranmu… Benar ‘kan?”
“Aku mulai takut. Sungguh…” kataku jujur, masih menatapnya.
“Kalau begitu, katakan, apa yang harus aku lakukan agar kau tidak takut?”
“Hah?” pertanyaan itu benar-benar aneh.
Dia tertawa lagi. Oh Tuhan… tawa itu… Aku benar-benar seperti sedang berada dalam satu scene di sebuah drama Korea sekarang. Aku mencoba mengembalikan kesadaranku. Mencoba sekali lagi membuang dan menyisihkan semua pikiran tentang masalah-masalahku ke sudut otak yang lain untuk bisa benar-benar memerhatikannya. Entah kenapa ucapannya tentang kaca tebal di depan mataku itu sangat mengganggu pikiranku. Rasanya seperti aku kehilangan ketulusan dalam diriku. Aku menatapnya lagi… Wajah itu… Perpaduan antara Wonbin dan Choi Siwon, sudah jelas.
“Kau mencoba memerhatikanku tanpa memikirkan masalahmu, eh?”
Sebuah tombak sudah menusuk punggungku sekarang. Dia benar-benar mengerikan!
“Aku… errr… aku benar-benar takut karena kau sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan… Aku yakin kau pasti keturunan seorang penyihir di Korea!”
Dia tertawa lagi. “Hmmm kupikir kami tidak mengenal penyihir di Korea?”
“Tapi penyihir ada di semua negara, bukan?”
“Aku tidak tahu…” jawabnya tegas sambil mengangkat bahu dan mencoba menirukan gaya imut khas member boyband Korea.
“Katakan, bagaimana kau bisa tahu apa yang sedang aku rasakan!”
“Aku hanya menebak,”
“Bohong!”
“Sungguh! Dan sekarang kau mulai merasa takut, kan?”
“BAGAIMANA KAU TAHU?!”
Dia tertawa lagi. Oh aku mulai menyukai suara tawanya.
“Kau tadi bilang begitu.”
Wajahku seakan terbakar. Oh tidak, kali ini benar-benar sedang terbakar. Kakiku tiba-tiba saja gemetaran dan angin yang tadinya menenangkan menjadi sedikit terlalu dingin dan membuatku merinding berlebihan. Aku menunduk dan menahan tawa.
“Kalau kau ingin tertawa, sebaiknya dilepaskan saja… tidak baik menahan tawa. Kau tahu, jika kau menahan tertawa, pusar mu akan bertambah satu,”
“Bohong!” Aku berteriak lalu menutup mulutku sendiri dengan kedua tangan. Membayangkan bagaimana bentuk tubuhku dengan dua pusar. “KAU BOHONG!” jelas sekali ketakutan di wajahku dan dia melihatnya kemudian tertawa.
Dan… untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu ini, aku ikut tertawa… lepas… sepertinya semuanya tidak pernah terjadi. Sepertinya kepalaku kosong, hanya berisi pikiran-pikiran bahagia. Sepertinya setiap sudut dari sel otakku sudah bisa melupakan masalah yang terjadi beberapa minggu belakangan ini. Sepertinya, tidak, yang ini aku yakin, kaca tebal tak terlihat itu sudah menghilang dan kini aku bisa melihat mata laki-laki itu lebih dalam dan lebih jauh dari sebelumnya. Matanya lebih indah dilihat tanpa masalah yang kupendam… dia tersenyum.
“Hai, Airin. Namaku, Mario…”
Tawaku seketika terhenti ketika dia menyebut namaku sementara seingatku aku tidak pernah memberitahukannya.
Spoiler for INDEX PART 'accidentally, you.':
Diubah oleh salmansharkan 25-01-2018 10:23






Heidymahrani dan 5 lainnya memberi reputasi
6
18.7K
Kutip
62
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan