- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
The Inherited Light


TS
yavidrahmat
The Inherited Light


~ The Inherited Light ~



Quote:
Sambil baca, boleh sambil dengerin lagu ini biar dapat feelnya

Quote:
Hari itu, suasana dingin kota Malang sangat terasa menusuk kulit. Sebentar lagi pukul 8.25, sudah waktunya untukku beranjak dari tempat tidurnya dan pergi ke perkuliahan yang dimulai pukul 9 pagi di hari ini. Aku dan Anang adalah mahasiswa semester lima, dimana semangat kami menuntut ilmu saat itu tak sebesar saat-saat kami di semester awal. Terlambat sepuluh-dua puluh- tiga puluh menit adalah hal yang biasa bagi kami berdua, walaupun bukan salahku juga rutinitas seperti ini terjadi hampir di setiap harinya. Hidup bersama Anang dalam satu kontrakan yang sama lah yang membuatku sering datang terlambat, mengingat membutuhkan beberapa upaya untuk membangunkan Anang di pagi hari.
Perkuliahan hari ini berjalan seperti hari-hari biasanya. Dan berakhir seperti biasanya, mengobrol bertiga antara Aku, Anang dan Andini di meja taman seperti biasanya pula. Beberapa obrolan-obrolan kecil selalu menjadi perekat hubungan kami bertiga. Momen seperti inilah yang membuatku masih bertahan di kerasnya hidup merantau demi mencari ilmu dan ijazah di kota orang. Apalagi bersama Andini, wanita berambut pendek dengan paras ayu-nya yang membuatku selalu naksir padanya selama dua tahun ini. Sepintas obrolan kita hari ini membahas tentang masa depan apa yang terjadi pada kami setelah ini.
“Jadi, gimana kalo kita bikin surat semacam time-capsule gitu. Untuk diri kita sendiri di masa depan. Gak perlu jauh-jauh masa depannya. Cukup sampai dimana kita semua di wisuda bareng, atau seenggaknya kita semua Wisuda toh gak ada yang jamin juga kita bisa Wisuda bareng” celoteh Anang
Berdua dengan Andini kami menyetujui celotehan tersebut, terdengar mengasyikan untuk mengirimkan sepucuk surat untuk diri kita sendiri di masa mendatang.
“Btw Dit, kalo boleh nebak. Suratmu isinya bukan buat cewek. Toh kamu ini keliatan banget kalo ga doyan cewek” sela Anang menggodaku
“Pala lu ga doyan cewek, gue masih normal ya” balasku ketus.
Andini hanya tertawa kecil melihat gurauan kami berdua.
Besoknya, seperti biasa seusai perkuliahan. Kita bertiga berkumpul kembali dan membawa kertas-kertas kita masing-masing untuk di pendam di pekarangan rumah Andini.
Beberapa bulan berlalu, aktifitas untuk ngobrol bareng seusai perkuliahan membuatku merasa sakit hati. Kini anggota kami bertambah satu orang bernama Erik, dan dia satu meja bersama kami sebagai pacar Andini. Kini aku merasa dunia ini terasa sesak ketika jam perkuliahan telah usai. Sejak saat itu aku tak pernah ikut kumpul bersama lagi di jam usai perkuliahan, dan semua ini berlangsung hingga beberapa bulan sampai akhirnya aku mendengar kabar bahwa Andini kini di duga hamil dengan perutnya yang tampak lebih besar daripada sebelumnya. Isu seperti ini berdampak pada kehidupan Andini dan kekasihnya Erik, keduanya mendapatkan tekanan dari publik. Dari sebuah aib dan dosa yang telah mereka berdua perbuat berdampak pada gunjingan masyarakat terhadap keluarga mereka berdua. Tapi, Bagaimana dengan keluarga Andini? Keluarga mereka adalah sosok keluarga berada di kota Malang ini. Apalagi dengan sudah meninggalnya sang Ayah, dan hanya Ibu saja yang menemani dia di Rumah.
Pertengkaran pun terjadi antara Andini dan ibunya, adu mulut untuk saling membela diri dan membela kehormatan keluarganya saat ini
“Bu! Aku akan tetap merawatnya. Sekalipun anak itu terlahir akibat dosa ibunya. Kau tahu bu, seorang anak yang terlahir di dunia ini sama sekali tidak menanggung dosa orang tuanya. Karena itu aku tak ingin melihat bayi suci ini teronggok bersama lalat-lalat dan sampah” rintih Andini dengan keras sambil mengusap perutnya.
Ibunya hanya terdiam mendengar perkataan mantap dari mulut Andini, sementara aku dan Anang hanya diam terpaku melihat salah satu sahabat kami sedang tertimpa musibahnya.
“Apakah ini salah satu cobaan dari orang kaya?” gumamku saat itu.
Berbeda dengan Erik, mahasiswa semester akhir yang kini tinggal disibukan dengan sidang skripsinya itu. Dia memiliki keluarga yang berwatak cukup keras. Sebagaimana isu tersebut mulai menyebar dari lingkungan kampus hingga ke desa tempat tinggal mereka berdua.
“Nang, kau tahu aku sakit hati?” aku mencoba curhat pada Anang selama perjalanan kembali ke rumah kontrakan.
Dia yang seolah tahu, bahwa selama ini aku memendam rasa cinta pada Andini. Mulai menepuk-nepuk bahuku seolah agar aku tampak tegar mendengarnya. Mendengar seorang wanita yang ku cintai di hamili oleh orang yang baru saja kita kenal. Sesak sekali rasanya menyimpan cinta yang seperti ini.
Beberapa hari setelahnya, sebuah pesan berupa suara dari Andini muncul di ponselku.
“Kau tahu, aku menyesal bersama Erik. Dia tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya padaku” Andini menangis di dalam pesan suara tersebut. Setiap balasan dariku selalu mendapatkan balasan tentang kesedihan yang dia ceritakan, sebuah penyesalan akan dosa yang telah ia lakukan. Dan berpuncak pada pesan dimana dia mengatakan bahwa Erik bunuh diri di kamar kostnya.
“Oh Tuhan, sekali lagi kau iris hati ini semakin kecil” aku sangat iba mendengarnya, seorang wanita akan melahirkan anaknya tanpa seorang ayah yang bertanggung jawab. Dan lagi, mengapa rasa cinta ku pada Andini ini membuatku turut merasakan kesedihan yang dia rasakan. Tak terasa tetesan air mata turut menggenangi area pada pangkal mataku.
“Din, bolehkah aku? Bila menjadi sosok ayah bagi anakmu itu?” balasku lirih melalui pesan suara
“Aku ingin ketemu kamu saat ini, kamu dimana?” lanjutku setelah tak ada balasan dari Andini.
“Aku di rumah, bersama Ibu dan Nenekku” balasnya melalui pesan singkat biasa.
Seketika, ku raih jaket bomber digantungan belakang pintu. Dan meluncur ke rumah Andini yang jaraknya tak terlalu jauh dari kampusku berada. Perjalananku aman-aman saja hingga di pertigaan Kacuk. Ada razia kendaraan bermotor.
“Dompetku? Ah sial, kenapa ada acara ketinggalan juga sih?” gerutuku sambil meraba-raba saku celanaku.
“Siang pak, SIM dan STNK tolong ditunjukan” salah satu petugas Polisi memintaku menunjukan kelengkapan berkendaraku
“Maaf pak, saya sedang terburu-buru. Dompet saya ketinggalan di rumah ini pak. Jadi bolehlah saya langsung lewat saja?” rayuku
“Maaf mas tak ada pengecualian”
“ Pak, saya ini mau ngelamar anak orang! Baik tunggu sebentar, saya mau telpon teman saya buat ambilin dompet saya” bentakku kesal sembari meminggirkan sepeda motor ke tepi jalan. Aku pun menelepon Anang, dan memintanya untuk mengambilkan dompetku di celana tiga-perempatku di gantungan belakang pintu.
10 menit berlalu, pak Polisi masih dengan sabar menunggu. Toh razia kali ini rasanya cukup besar mengingat bertepatan dengan momen tahun baru. Tak lama kemudian Anang datang sambil mengantarkan Dompetku.
“Kamu penyelamatku Nang” ucapku terharu.
Akupun menunjukan STNK dan SIM ku pada Polisi tersebut, beliau membiarkanku lewat sambil berbisik “Semoga lancar ya mas lamarannya”. aku pun menjawabnya dengan senyuman seakan lupa atas perlakuan mengesalkan yang beliau berikan padaku sebelumnya. Entah mengapa aku merasa lebih pede untuk melanjutkan perjalananku ke rumah Andini. Aku sangat berterimakasih kepada Anang, tapi dia langsung kembali ke Kontrakanku dengan menagih semangkok Mie Ayam atas jasanya kali ini.
Kini aku telah sampai di depan rumah Andini, sebuah ingatan sejenak terpintas di benakku sejak terakhir kali kedatanganku kemari bersama Anang beberapa bulan yang lalu. Ku buka gerbangnya dan melalui pekarangannya yang agak luas tersebut
Tokk.. Tok..
“Assalamualaikum” teriakku sambil mengetok pintu.
Terdengar jawaban dari dalam, dan itu Bu Suryani dengan daster biru panjang ala emak-emak lagi nyantai di rumah. Ya, beliau ini ibunya Andini.
“Masuk dulu dek,duduk dulu silahkan” bu Suryani mempersilahkan
“Tunggu sebentar, ibu panggilkan Andini dulu ya” tampak mata yang berkaca-kaca dari kedua bola matanya.
Sebagai lelaki, aku menocoba untuk langsung mengutarakan maksud kedatanganku kemari. Bu, saya ingin menikahi Andini ucapku saat itu. Bu Suryani tampak kaget mendengar perkataanku, beliau tampak senang dan sedikit bersedih setelahnya.
“Tapi dek Dita, apakah kamu yakin setelah mengetahui keburukan dari putri ibu ini sudah menjadi bahan pertimbanganmu untuk mempersuntingnya?” ucapnya sedikit bersedih
“Saya tau kok bu, saya sudah siap dengan semua itu” balasku mantap
Kami pun mengobrol bersama, dan aku masih belum juga bertemu dengan Andini. Sudah kesekian kali ibunya memanggil Andini, tapi dia tak juga muncul. Kami terlalu larut dengan obrolan – obrolan ini. Seakan bu Suryani mengujiku tentang kesiapanku untuk hidup bersama Andini. Setelah satu jam berlalu, aku pun berpamit diri untuk kembali ke rumah kontrakan.
Malamnya, aku hanya melamun seorang diri. Merenungi apa yang telah terjadi sehari ini. Mengapa aku datang melamarnya? Mengapa setelah keterlambatan ini aku baru melamarnya? Mengapa aku harus menahan rasa sesakku selama ini ketika ia menghabiskan waktunya bersama Erik? Apakah cinta ini benar-benar rasa cinta atau hanya sekedar rasa iba?
Sementara itu, di rumah Andini. Ibunya menceritakan maksud kedatanganku hari ini. Terkejut, itulah yang Andini mungkin rasakan saat ini.
“An, kamu yakin mau menerima hidupmu bersama Dita? Apakah kamu sadar bahwa yang kamu lakukan sebelum ini hanya akan menjadi sebuah penyakit hati bagi hubungan kalian kedepannya?” Tanya ibunya
“Aku tahu aku kurang ajar bu. Dengan menerima kebaikan yang telah Dita berikan padaku. Bersama dia, aku yakin kebaikan hatinya yang sering dia berikan pada orang lain. Akan ia berikan padaku dan bayi yang akan lahir sebentar lagi” jawab Andini sambil mengusap perutnya yang kian hari semakin membesar.
Semalaman itu, mereka berdua duduk di tepi ranjang dengan kepala Andini yang bersandar di bahu ibunya. Mereka bercerita tentang masa kecil Andini dan kisah cinta masa remaja Ibunya. Dengan harapan untuk melepas beban dan mengikhlaskan semua yang telah terjadi.
Sementara aku? Restu siapa yang kubutuhkan untuk pernikahan ini? Mengingat kedua orang tua ku sudah meninggal saat aku masih duduk di bangku SMA. Tanpa adanya Paman atau Bibi dari kedua orang tuaku, adik atau kakak apalagi? Sebuah lamunan muncul dari diriku yang kini masih bekerja sebagai kurir di sebuah jasa pengiriman barang.
2 bulan telah berlalu, sebentar lagi akan tiba saatnya untuk Andini melahirkan anaknya. Dan tentu pernikahanku dengan Andini setelahnya. Pukul 10 malam, aku masih harus mengantarkan sebuah kiriman paket ke sebuah alamat sekitar bundaran Monumen Pesawat. Teleponku berdering, Ibunya Andini meneleponku memberi tahuku bahwa Andini saat ini telah dibawa ke bidan setempat.
Melahirkan, ya… Andini melahirkan!
Aku pun bergegas mengantarkan kiriman paketku ke alamat tujuan, betapa bahagianya diriku mendengar kabar tersebut. Dimana kebahagiaanku ini membuatku bersemangat untuk mempacu sepeda motorku sampai kecepatan 90 Km/H. Aku terus mempacu kencang kendaraanku menuju rumah Andini, kebahagiaan ini mengacaukan refleksi dari semua indraku.
Tin-tiiinnn!
Tiiiiiin!!!!
Sebuah truk tangki mengklaksonku dari depan, aku baru tersadar bahwa aku telah salah jalur menuju ke jalur satu arah ke arah selatan. Sial, semuanya sudah terlambat. Truk yang jaraknya hanya sekitar 15 meter di hadapku dengan kecepatan penuh seperti ini tidak memungkinkanku untuk menghindarinya. Entah mengapa di momen krusial seperti ini, aku merasa dunia terasa berjalan sangat lambat. Dan aku mensyukurinya telah lahir di dunia ini. Terima kasih Tuhan atas segala kebaikanmu selama ini. Aku pun menutup mataku pasrah.
BRUUAKKKK!
Tabrakan tak dapat dihindarkan, sebuah besi besar yang harusnya berada di muka truk, kini menusuk di dada pengendara motor tersebut. Nahas, sebuah nyawa telah pergi pada insiden ini. Identitas korban pun diketahui melalui dompet yang masih berada di saku celananya. Dan ponsel ini, digunakan untuk menghubungi penelepon terakhir.
“Dek Dit, ada apa?” sebuah suara dari wanita berumur menjawab telepon tersebut.
“Permisi ibu, apakah ibu keluarga dari pria bernama Dita Madani?” Tanya seorang pria dari seberang telepon yang mengetahui nama Dita dari kartu tanda penduduk yang berada di dompetnya.
“Bukan, tapi saya mengenal mas Dita. Ada yang bisa saya bantu?” jawab bu Suryani
Pria dari seberang telepon tersebut menjelaskan semuanya pada bu Suryani.
Lemas, begitulah keadaan bu Suryani mendengar kabar tersebut. Seorang pria yang akan menikahi anaknya telah meninggalkan dunia ini. Bu Suryani tak terlalu tega untuk mengabarkan berita ini pada Andini. Apalagi setelah mengetahui bahwa anak yang dilahirkannya tidak mempunyai kemampuan untuk melihat keindahan dunia ini.
Anang yang saat itu berada di rumah Andini pun turut kaget mendengar kedua kabar buruk yang menimpa kedua sahabatnya tersebut. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba dia pergi menuju lokasi kecelakaan tersebut. Dan membawa jenazah Dita ke Rumah Sakit terdekat dengan menggengam surat yang dia ambil dari dompet Dita tersebut.
Kring….
Bunyi telepon bu Suryani mendapatkan panggilan dari Anang. Anang dengan segera menjelaskan untuk membawa bayi Andini ke Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar. Beliau menuruti apa yang diinstruksikan oleh Anang. Namun masih sedikit bingung karena tak ada kejelasan lengkap. Bu Suryani berangkat seorang diri, mengingat kondisi Andini yang kelewat depresi akibat nasib buruk yang menimpanya saat itu.
Sesampainya di rumah sakit, bu Suryani menanyakan maksud dari Anang menyuruh dia datang kemari. Anang pun menjelaskan, bahwasanya mata dari Bayi cantik bernama Hita tersebut mampu untuk di selamatkan.
“Diselamatkan bagaimana maksudmu?” Tanya bu Suryani terheran-heran
“Bu, Dita pernah ikut mendaftar sebagai pendonor mata di Bank Mata Indonesia dan bukan cuma sebagai pendonor mata, dia juga mendaftar sebagai pendonor organ tubuh yang lain juga. Semua itu kuketahui setelah secara sengaja dengan kelancanganku dan rasa penasaranku aku melihat isi dompetnya saat ia memintaku mengambilkan dompetnya untuk mengantarkan SIM yang ia minta karena dia terjaring razia kendaraan bermotor. Dan waktu itu, Anang juga melihat sebuah blangko pendonor mata. Kau tahu bu? Aku merasa takjub atas kebesaran hati yang dimilikinya untuk orang lain. Bahkan setelah ia meninggal” cerita Anang
“Karena itu pula waktu ku dengar kecelakaan terjadi, dan nyawa Dita tak terselamatkan aku langsung menuju ke lokasi. Karena saat ku lihat formulir tersebut tertera tulisan bahwa pendonoran mata dilakukan maksimal 6 jam setelah meninggal”
“Dan kini, mata Hita bisa terselamatkan dengan transplantasi dari kornea mata Dita yang telah di donorkan sebelumnya bu” lanjutnya
“Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah. Kebaikan apalagi yang dek Dita beri pada kami” bu Suryani langsung tertunduk lemas, menangis dengan keras dan mengingat kembali sosok Dita yang selalu berbaik hati pada keluarganya.
Empat tahun berlalu…
Hita telah tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang sangat cantik, seperti ibunya dan seperti Omahnya. Sebuah bidadari kecil mulai tumbuh sebagai obat rindu ibunya terhadap seseorang. Seseorang yang menuliskan tentang rasa cintanya terhadap seorang wanita, dan apakah dia masih bisa menyimpan rasa cintanya hingga Wisuda kelak. Dan seseorang yang namanya tertulis oleh seorang wanita tentang bagaimana dia ragu untuk mengatakan perasaannya padanya, dan surat yang terpendam itu sebagai pengingat apabila wanita tersebut telah lupa dengan cintanya kepada pria tersebut. Ya, sebuah cinta yang tak pernah terucap namun tetap ia rasakan sampai saat ini sebagai seorang Single Parentbersama Hita bidadari kecilnya.
“Mah, papa Hita lagi ngapain ya mah?” Tanya Hita dengan nada polosnya yang lucu.
“Dek, papa kamu sekarang lagi menerangi duniamu dengan matanya” cubit Andini di hidung bidadari kecilnya dengan gemas.
- - - - - Tamat - - - - -


Diubah oleh yavidrahmat 03-02-2018 03:19


anasabila memberi reputasi
1
20.9K
Kutip
264
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan