- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sikap Egoisme Daerah Picu Federalisme


TS
sengkunibarbar
Sikap Egoisme Daerah Picu Federalisme
Quote:
SIKAP egoisme daerah atas nama politik otonomi menyebabkan daerah seenaknya membuat peraturan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Jika dibiarkan terus, hal itu bisa memicu isu federalisme. Dosen antropologi FISIP Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya, mengatakan egoisme daerah itu disebabkan sebagian besar pemimpin daerah tidak memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi. "Jadi, pesan Presiden Jokowi itu jelas agar pemerintah dae-rah disiplin menjadi bagian dari pemerintah pusat dalam mengejar capaian-capaian pembangunan nasional," ujarnya ketika dihubungi, tadi malam. Dalam rapat kerja dengan gubernur dan ketua DPRD, Presiden Joko Widodo mengingatkan pimpinan daerah untuk tidak membuat kebijakan atau aturan sendiri yang tidak selaras dengan pemerintah pusat. "Ini perlu saya ingatkan, yang namanya otonomi daerah itu bukan federal. Kita ini Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, hubungan pusat, provinsi, kabupaten, dan kota ini masih satu garis," kata Presiden (Media Indonesia, 24/1).
Kemal menyebutkan penerbitan perda yang menyimpang dari rambu-rambu kebijakan nasional malah bisa terjerembap pada bad governance dan perilaku koruptif. "Jadi, politik otonomi daerah tetap harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan moralitas sehingga memahami bahwa di tangan pemerintahan daerah ada tanggung jawab juga menjaga Indonesia sebagai gambaran besar pemerintahan," tandasnya. Ahli psikologi politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengungkapkan pesan Presiden Jokowi kepada pimpinan daerah untuk tidak membuat perda yang tak selaras dengan kebijakan nasional merupakan bentuk kegundahan sebagai kepala negara. Menurut dia, persoalan itu tidak terkait dengan isu federalisme. "Sebenarnya bukan tentang semangat federalisme yang meninggi di daerah, melainkan daerah itu semakin berani untuk membuat aturan sendiri. Ya, karena otonomi daerah tadi itu," imbuhnya.
Bukan macam ompong
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mengatakan pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan kewenangan pemerintah pusat untuk menganulir peraturan daerah, bukan berarti pemerintah pusat menjadi macan ompong. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, kata dia, tetap bisa mengontrol pembuatan perda sebelum diterbitkan. "Peran pusat itu sebelum jadi perda. Kalau sudah jadi perda, tidak boleh dibatalkan pusat karena itu sudah menjadi kewenangan Mahkamah Agung sesuai Pasal 24A ayat 1 UUD 1945," kata Khairul ketika dihubungi, tadi malam.
Menurut dia, pernyataan Presiden Jokowi mengingatkan kepala daerah itu sudah benar karena dalam konsep negara kesatuan, kebijakan-kebijakan daerah harus sejalan dengan pusat. "Khusus untuk yang berhubungan dengan urusan otonominya, pemda boleh mengambil keputusan sesuai kondisi daerahnya. Tapi kalau urusan yang bersifat kongruen dengan pusat, pemda tidak boleh bergerak secara berlawanan." Khairul menambahkan, pascaputusan MK, daerah ja-ngan menganggap pemerintah pusat tidak bisa mengontrol produk hukum daerah. "Sebab pasal-pasal terkait evaluasi terhadap perda dalam UU Pemda masih tetap berlaku," ujarnya.
Kemal menyebutkan penerbitan perda yang menyimpang dari rambu-rambu kebijakan nasional malah bisa terjerembap pada bad governance dan perilaku koruptif. "Jadi, politik otonomi daerah tetap harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan moralitas sehingga memahami bahwa di tangan pemerintahan daerah ada tanggung jawab juga menjaga Indonesia sebagai gambaran besar pemerintahan," tandasnya. Ahli psikologi politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengungkapkan pesan Presiden Jokowi kepada pimpinan daerah untuk tidak membuat perda yang tak selaras dengan kebijakan nasional merupakan bentuk kegundahan sebagai kepala negara. Menurut dia, persoalan itu tidak terkait dengan isu federalisme. "Sebenarnya bukan tentang semangat federalisme yang meninggi di daerah, melainkan daerah itu semakin berani untuk membuat aturan sendiri. Ya, karena otonomi daerah tadi itu," imbuhnya.
Bukan macam ompong
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mengatakan pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan kewenangan pemerintah pusat untuk menganulir peraturan daerah, bukan berarti pemerintah pusat menjadi macan ompong. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, kata dia, tetap bisa mengontrol pembuatan perda sebelum diterbitkan. "Peran pusat itu sebelum jadi perda. Kalau sudah jadi perda, tidak boleh dibatalkan pusat karena itu sudah menjadi kewenangan Mahkamah Agung sesuai Pasal 24A ayat 1 UUD 1945," kata Khairul ketika dihubungi, tadi malam.
Menurut dia, pernyataan Presiden Jokowi mengingatkan kepala daerah itu sudah benar karena dalam konsep negara kesatuan, kebijakan-kebijakan daerah harus sejalan dengan pusat. "Khusus untuk yang berhubungan dengan urusan otonominya, pemda boleh mengambil keputusan sesuai kondisi daerahnya. Tapi kalau urusan yang bersifat kongruen dengan pusat, pemda tidak boleh bergerak secara berlawanan." Khairul menambahkan, pascaputusan MK, daerah ja-ngan menganggap pemerintah pusat tidak bisa mengontrol produk hukum daerah. "Sebab pasal-pasal terkait evaluasi terhadap perda dalam UU Pemda masih tetap berlaku," ujarnya.
Parah,, perlu ditindak tegas biar gx semena2.. 

Spoiler for :
0
2.4K
Kutip
17
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan